Bos rentenir menatap pria muda di hadapannya dengan tatapan nyalang.“Aku tidak ada urusan denganmu anak muda!” ucap bos rentenir dengan dingin.Kedua preman yang ada di belakang bos rentenir membisikan sesuatu.“Tuan, kedua pria itu yang menghajar kami sampai babak belur siang tadi.” bisik preman itu. Membuat bos rentenir menatap Mahen dan Bas bergantian.“Tentu saja kau, berurusan denganku, mulai saat ini! Siapapun yang berurusan dengan Arleta! Maka akan berurusan pula denganku!” tegas Mahen dengan menatap tajam ketiga pria di hadapannya.“Haha..mau jadi pahlawan kesiangan rupanya, anak kecil macam kau!” bos rentenir menatap Mahen dari atas sampai bawah, dengan tatapan meledek.Apalagi saat ini Mahen maupun Bas, hanya memakai kaos santai biasa. Pantas saja jika bos rentenir itu menganggap remeh keduanya.Mahen menatap pria tua di hadapannya ini dengan tatapan membunuh. Dia maju selangkah mengikis jarak diantara keduanya.“Aku tidak ingin berbasa basi denganmu! Aku hanya mengantark
“Kita langsung pulang atau gimana tuan?” tanya Bas, ketika baru saja melajukan mobilnya.Mahen menoleh pada Alana, yang sedang bersandar pada dada bidang Mahen.“Kamu lapar?” Arleta mendongak, mengangkat wajahnya.” Tentu saja! Kamu tidak memberiku makan dari siang.” sahut Arleta dengan wajah memelas.Mahen tergelak.”Haha..maafkan aku, Bas! Kita cari tempat makan dulu.” titah Mahen, yang langsung di angguki oleh Bas.Entah kenapa Arleta merasa nyaman dan aman saat bersama Mahen. Rasa benci, kesal, marah, hilang begitu saja digantikan dengan rasa tenang. Arleta tidak perlu takut lagi sekarang.Tidak lama kemudian Bas memarkirkan mobilnya di depan sebuah cafe.Setelah mematikan mesin mobil, Bas keluar terlebih dulu, lalu membukakan pintu untuk Arleta dan juga Mahendra.“Silahkan nona, tuan.” Arleta mengangguk.”Terima Kasih tuan Bas.” sahutnya lalu, bergerak keluar disusul Mahen.“Panggil saya Bas saja nona.” ucap Bas. Tak enak jika wanita yang bersama tuannya memanggilnya tuan juga.
Sonya langsung kembali pulang, ketika melihat respon yang diberikan putranya, namun Sonya tidak akan tinggal diam, perjodohan ini harus berhasil.Sonya sudah memikirkan cara agar besok malam Mahendra pulang ke rumahnya.“Mama pastikan, kamu tidak bisa menolaknya besok!” ucap Sonya bermonolog sendiri.Malam kian beranjak namun Mahen tidak dapat memejamkan matanya walau sedetik. Entah kenapa setiap Mahen memejamkan mata, bayangan tubuh Arleta menghiasi pikiran Mahen.Mahen bangun, mengusap wajahnya dengan kasar.“Sial! Kenapa jadi kepikiran Arleta terus! Ah! Tubuh gadis itu benar-benar membuat aku gila!” Mahen menoleh jam yang menempel di dinding. Pukul dua dini hari.Mahen bangun lalu menyambar jaket kulit yang tergantung, lalu mengambil kunci motor. Tidak peduli jam berapa Mahen meluncur menuju apartemen.Ya. Mahen memilih menggunakan motor, agar lebih cepat. Jalanan malam yang lengang, membuat pria itu lebih cepat tiba di apartemen.Setelah memarkirkan motor, Mahen langsun
Mahen keluar kamar mandi dengan wajah ceria, pria itu bersiul riang sambil melangkahkan kakinya menuju lemari mengambil pakaian kerjanya. Apartemen ini memang sering Mahen tinggali, sehingga tidak heran banyak pakaiannya yang berada disini. Mahen lebih nyaman berada di apartemen daripada di rumah utama. Besar! Tapi sepi!Mahen menoleh, ketika Arleta keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk saja. “Hey! Kenapa malah berdiri disana? Cepat pakai baju atau aku akan memakanmu kembali!” ucap Mahen.Arleta menggeleng cepat.”Aku..aku tidak ada baju ganti tuan.” sahut Arleta pelan. Tanganya memegang erat handuk yang Arleta kenakan.“Ah! Iya, kenapa aku bisa lupa.” ucap Mahen, menepuk keningnya sendiri. Kemudian Mahen berjalan menuju lemari,membukanya lalu mencari baju yang kira-kira pas untuk tubuh mungil Arleta.“Ah! Sepertinya ini muat.” ucap Mahen, mengambil kaos miliknya.Setelah itu, kembali melangkah menghampiri Arleta yang masih berdiri di tempatnya.“Pakai ini dulu, nanti
Setelah drama per braan selesai, akhirnya Mahen dan Bas memutuskan untuk pulang. Mereka keluar dari toko dengan menenteng beberapa paper bag.Sampai di parkiran Bas, memasukan semua belanjaan ke dalam mobil. Lalu setelah itu kembali ke depan.“Tuan, anda mau bareng atau..”“Aku bawa motor, langsung saja antar ke apartemen.” ucap Mahen, memberi perintah.Bas mengangguk, setelah itu masuk kedalam mobil dan langsung melesat menuju apartemen Mahen. Sama halnya dengan Bas, Mahenjuga langsung naik ke motor lalu melajukan kendaraan roda duanya.Tidak butuh lama, Mahen dan Bas sudah sampai di parkiran apartemen.Pria itu berjalan terlebih dahulu, sedangkan Bas mengambil barang di bagasi setelah itu baru menyusul Mahen.Sesuai dengan perintah, Arleta hanya berdiam diri. Wanita memilih merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur dengan selimut menutupi seluruh tubuhnya, kecuali wajah.Arleta menenggelamkan wajahnya di bawah selimut ketika, mendengar pintu apartemen di buka seseorang.‘Siapa ya,
Malam telah tiba.Arleta segera pergi ke kamar mandi membersihkan tubuhnya disana.Entah kenapa, dia seperti bersemangat menyambut malam ini.Arleta menaruh sabun dengan aroma lavender ke dalam bath up, yang sebelumnya di isi penuh dengan air.Wangi lavender langsung menyeruak di dalam kamar mandi. Bagi Arleta menghirup aroma lavender membuatnya menjadi rilex.Setelah membuka semua pakaiannya, Arleta masuk ke dalam bath up, merendam diri disana.Sejuknya air langsung menyentuh kulit Arleta, memberikan sensasi segar. Arleta memejamkan mata, menikmati semua ini.Arleta pantas bersyukur, dirinya yang bukan apa-apa, sekarang bisa merasakan gaya hidup mewah seperti orang kaya. Yang biasanya Arleta hanya membayangkan saja saat ini dia bisa merasakannya.“Apa masih ada meeting?” tanya Mahen, pada Bas ketika mereka baru saja selesai meeting di salah satu cafe.“Tidak ada tuan. Ini yang terakhir.” sahut Bas.Mahendra mengangguk, kemudian melangkah masuk ke dalam mobil.Berkali-kali Mahen
Merasa jengah dengan drama sang mama, Mahendra memutar tubuhnya lalu berjalan cepat, diikuti oleh Bas. Teriakan dan panggilan sang mama tidak lagi Mahen dihiraukan. Dalam pikirannya saat ini hanya satu. Mencari Arleta! Percuma berada di rumah ini! Mamanya tidak akan memberi tahu dimana keberadaan gadis itu. Bas berjalan cepat, agar tiba di mobil lebih dulu. Bas dengan sigap membukakan pintu untuk Mahen. Mahen masuk tanpa sepatah kata pun,setelah menutup kembali pintu mobil, Bas berlari kecil mengitari mobil, lalu masuk dan duduk di depan kemudi. Bas menoleh kebelakang.’’Tuan kita kemana?’’ Mahen menggelengkan kepala, lalu mengusap wajahnya dengan kasar. ‘’Aku tidak tahu harus mencari Arleta kemana, apa kau ada ide?’’ bukannya menjawab Mahen malah balik bertanya. Bas menggelengkan kepala.’’ Aku belum ada ide tuan, aku terlalu terkejut sampai susah berpikir!’’ keluh Bas. ‘’Jalanlah saja dulu, kita pikirkan nanti.’’ titah Mahen. Bas mengangguk, kemudian berbalik
Di dalam kamar mandi Arleta berusaha untuk mencari sesuatu agar dirinya bisa keluar dari tempat ini tempat di mana dia diculik.Sepertinya kamar mandi ini terletak di belakang dan kamar mandi itu juga memiliki ventilasi yang lumayan besar. Arleta naik ke atas bak mandi yang terbuat dari coran untuk melihat keadaan di luar.“Sepertinya aku bisa kalau lewat sini! tapi bagaimana caranya untuk membuka kayu ini? ucap Arleta bermonolog sendiri.Di balik ventilasi Arleta dapat melihat suasana di luar, sepertinya tempat dia dikurung berada di tengah hutan. Terbukti banyak pohon-pohon besar di luar sana.Brak!Brak!Suara pintu digedor dari luar! “Hei kau sudah selesai belum? kenapa sangat lama!” teriak si pria yang botak yang menunggui Arleta di depan pintu kamar mandi.“Astaga! Kenapa aku bisa lupa, kalau si botak ada di luar!” Arleta menepuk keningnya sendiri. Bagaimana bisa dia melupakan hal sepenting ini. “Aduh! perutku sangat sakit! Pergilah dulu aku tidak akan kabur!” teriak Arle
Mahesa berdiri di pinggir jurang, memandang ke kejauhan, ke arah dunia yang terbentang luas. Dunia yang telah dia selamatkan, namun kini terasa jauh berbeda, seolah-olah seberkas cahaya dan bayangan bercampur dalam dirinya. Kekuatan Pohon Kehidupan yang telah mengalir di tubuhnya selama ini berpadu dengan kekuatan Bayangan Abadi, warisan dari leluhur yang terpendam jauh di dalam dirinya. Dia merasakan dua sisi yang bertarung dalam dirinya, cahaya yang membawa kehidupan dan bayangan yang membawa kegelapan. Seiring dengan berjalannya waktu, Mahesa menyadari bahwa dirinya kini bukan hanya seorang manusia biasa, tetapi juga penjaga antara dua dunia: dunia yang terang dan dunia yang gelap. Pohon Kehidupan, yang telah lama menjadi pusat keseimbangan di dunia ini, kini memiliki tugas baru, menjaga keseimbangan antara keduanya. Namun, tidak ada yang pernah mempersiapkan Mahesa untuk peran yang lebih besar daripada yang dia bayangkan. Kekuatan yang ada padanya bukan hanya milik dirinya, tet
Langit di atas Pohon Kehidupan mulai berubah, berlapis warna keemasan yang memancar seperti aurora. Namun, ada ketegangan yang merayap di udara, menciptakan rasa genting yang tidak bisa dijelaskan. Arleta dan Mahen berdiri di depan pohon itu, memandangi sesuatu yang baru saja mereka temukan—sebuah artefak kuno berbentuk orb kristal yang bersinar lembut.Nyai Sekar, yang berdiri di belakang mereka, tampak gelisah. “Ini adalah Artefak Kebangkitan,” katanya dengan nada berat. “Ia memiliki kekuatan untuk membawa kembali roh yang terikat dengan Pohon Kehidupan ke dunia nyata. Tetapi ada harga yang harus dibayar.”Arleta menatap artefak itu dengan campuran harapan dan ketakutan. “Apa harganya, Nyai?”Nyai Sekar menggeleng perlahan. “Membawa kembali satu jiwa akan mengganggu keseimbangan dunia. Kegelapan akan mendapat jalan untuk merasuki dunia ini, lebih kuat dari sebelumnya.”Mahen mengepalkan tangan, menatap artefak itu dengan mata penuh tekad. “Dia adalah anak kami. Jika ada kesempatan u
Pohon Kehidupan berdiri megah di tengah hutan lebat, cabang-cabangnya menjulang tinggi ke langit, dan daunnya bersinar lembut, memancarkan kehangatan yang menenangkan. Namun, sejak pengorbanan Mahesa untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran Bayangan Abadi, ada perubahan yang sulit diabaikan. Pohon itu tampak lebih hidup dari sebelumnya, dan bunga-bunga liar bermekaran di sekitar akarnya dengan warna-warna cerah yang tidak biasa.Arleta duduk di akar pohon, tangannya memegang kelopak bunga biru yang baru saja ia petik. “Mahen,” panggilnya, suaranya lembut tapi penuh kerinduan. “Aku merasa seperti dia masih di sini.”Mahen, yang berdiri tidak jauh darinya, memandang istrinya dengan mata yang penuh kesedihan dan cinta. “Aku juga merasakannya,” jawabnya. “Semua ini... keanehan yang terjadi sejak Mahesa pergi, seolah-olah dia masih berusaha berbicara kepada kita.”Malam itu, saat mereka tidur di rumah sederhana yang mereka bangun tak jauh dari Pohon Kehidupan, Arleta bermimpi. Dalam mimpi
Langit masih dihiasi semburat jingga saat Mahesa membuka matanya perlahan. Tubuhnya terasa ringan, namun hati dan pikirannya penuh dengan beban keputusan yang harus diambil. Pohon Kehidupan berdiri di depannya, memancarkan cahaya lembut, seperti sebuah lentera yang tetap menyala di tengah malam tergelap.Suara lembut Nyai Sekar memecah keheningan. "Mahesa, kau telah menunjukkan keberanian yang luar biasa. Namun, perjalanan ini belum selesai."Mahesa menatap Nyai Sekar dengan mata penuh tekad. "Aku akan melakukan apa saja untuk melindungi dunia ini, meskipun itu berarti aku harus kehilangan segalanya."Nyai Sekar tersenyum tipis, tetapi kesedihan tampak di matanya. "Terkadang, melindungi berarti memilih untuk hidup dan bertahan, bukan mengorbankan segalanya. Kau harus belajar bahwa harapan tidak hanya berasal dari pengorbanan, tapi juga dari keberlanjutan perjuangan."Mahesa terdiam, hatinya bimbang. Ia tahu betul bahwa Bayangan Abadi masih menunggu untuk dihancurkan, namun pertanyaan
Arleta dan Mahen berdiri di tengah reruntuhan jembatan yang baru saja mereka lewati. Suasana sunyi, hanya suara napas mereka yang terdengar di antara kepulan debu dan kilauan cahaya samar dari Pohon Kehidupan yang kini mulai meredup. “Aku tidak bisa kehilangan dia lagi, Mahen,” kata Arleta, suaranya pecah di tengah isak tertahan. “Mahesa adalah alasan kita ada di sini.” Mahen menggenggam tangan Arleta erat, matanya menatap jauh ke arah tempat Mahesa dan Lirya menghilang. “Kita akan menemukannya. Aku janji. Tapi kita harus tetap fokus. Lirya semakin kuat, dan waktu kita tidak banyak.” Di depan mereka, sebuah jalan setapak yang penuh dengan akar bercahaya mulai terbuka, seolah Pohon Kehidupan memberi mereka petunjuk. Tanpa ragu, mereka melangkah maju, meski tubuh mereka masih terasa lemah akibat serangan terakhir Lirya. Semakin jauh mereka berjalan, suasana berubah semakin mencekam. Cahaya yang sebelumnya lembut kini berubah menjadi redup, hampir seperti nyala lilin yang hampir p
Mahen dan Arleta berdiri di depan gerbang besar yang bercahaya redup. Angin dingin menerpa wajah mereka, membawa bisikan halus seperti suara ribuan jiwa yang terperangkap di dalam. Di balik pintu itu adalah dunia yang tidak mereka kenal, namun takdir telah membawa mereka ke sini.Arleta menggenggam tangan Mahen erat, tatapannya penuh dengan keteguhan meskipun hatinya berdebar hebat. “Kita harus lakukan ini bersama. Aku tidak akan membiarkanmu melakukannya sendirian.”Mahen menatap istrinya, mencium keningnya lembut. “Apa pun yang terjadi, kita akan melawan bersama.”Panji berdiri di belakang mereka, wajahnya serius. “Gerbang ini akan membawa kalian ke inti Pohon Kehidupan. Tapi ingat, ujian yang menanti di dalamnya akan menguji cinta, kepercayaan, dan keberanian kalian. Jangan pernah terpisah, karena itulah kelemahan terbesar kalian.”Keduanya mengangguk, lalu melangkah masuk ke gerbang.Begitu mereka melewati gerbang, dunia di sekitar mereka berubah drastis. Cahaya lembut berwarna em
“Mahesa...” bisik Arleta, langkahnya terhenti saat menatap putranya. Air mata mengalir deras di wajahnya. Wajah Mahesa, yang dulu ceria dan penuh cinta, kini tampak dingin dan tak berjiwa.Namun, apa yang lebih menusuk hatinya adalah tatapan kosong itu, tatapan yang tak lagi mengenalinya.“Pergi,” suara Mahesa dingin dan berat, seperti bukan berasal dari dirinya. “Kalian tidak diinginkan di sini.”Mahen mencoba melangkah maju meski tubuhnya lunglai. “Mahesa, ini ayahmu. Ini ibumu yang selalu mencintaimu. Kami melakukan segalanya untuk membawamu kembali.”Mahesa tidak bergeming. Tangannya terangkat, dan seketika gelombang energi menghantam Mahen hingga terhempas ke tanah.“Mahen!” jerit Arleta, berlari ke arah suaminya. Ia berlutut, memeluk tubuh Mahen yang terguncang akibat serangan itu.Mahen menatap Arleta, mencoba berbicara meski suaranya serak. “Dia... dia bukan lagi anak kita. Ada sesuatu yang menguasainya.”Tawa sinis menggema di ruangan itu. Lirya muncul dari balik bayangan, me
Hari-hari setelah serangan Lirya berlalu dengan perlahan. Pohon Kehidupan masih berdiri tegak, meskipun aura yang dipancarkannya mulai melemah. Mahen dan Arleta semakin waspada, menyadari bahwa kekuatan gelap bisa menyerang kapan saja.Namun, sesuatu yang aneh mulai terjadi. Mahesa tidak lagi memberikan tanda. Cahaya pohon itu semakin redup, seolah-olah terhubung dengan sesuatu yang semakin jauh.“Sekar, apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Mahen suatu malam, ketika mereka duduk di ruang kerja.Sekar menghela napas panjang. “Aku takut... Mahesa mungkin tidak lagi berada di dunia antara. Jika itu benar, maka dia mungkin sudah ditarik ke inti Pohon Kehidupan. Itu adalah tempat di mana roh-roh dipersiapkan untuk dilahirkan kembali.”“Lahir kembali?” bisik Arleta, hatinya mencelos.Sekar mengangguk. “Ya, itu berarti dia akan dilahirkan di dunia yang berbeda, tanpa ingatan tentang kalian. Kalian hanya memiliki sedikit waktu untuk menyelamatkannya sebelum itu terjadi.”Di tengah kebingungan
Keluarga Mahen kembali ke rumah mereka dengan hati yang berat. Kehilangan Mahesa seperti luka yang terus menganga, meskipun harapan dari Pohon Kehidupan mereka genggam erat.Arleta duduk di ruang tamu, memandangi foto Mahesa yang tergantung di dinding. Wajah kecil itu, dengan senyum polosnya, kini menjadi kenangan yang menghantui. Air mata jatuh perlahan di pipinya, namun ia tetap diam.Mahen berdiri di dekat jendela, menatap gelapnya malam. Angin dingin menyapu wajahnya, seolah dunia luar tak peduli pada rasa sakit yang kini melanda keluarganya.“Mahen,” suara Arleta bergetar, memecah keheningan. “Kau yakin... dia akan kembali?”Mahen menoleh, matanya merah oleh kelelahan dan emosi yang tertahan. Pria itu berjalan mendekati istrinya, duduk di sampingnya, dan menggenggam tangan Arleta.“Kita harus percaya, Arleta. Mahesa berkata dia akan kembali, dan aku yakin dia akan menepati janjinya,” katanya dengan suara tegas, meski di baliknya ada ketakutan yang tak terucap.Namun, kepercayaa