Malam telah tiba.Arleta segera pergi ke kamar mandi membersihkan tubuhnya disana.Entah kenapa, dia seperti bersemangat menyambut malam ini.Arleta menaruh sabun dengan aroma lavender ke dalam bath up, yang sebelumnya di isi penuh dengan air.Wangi lavender langsung menyeruak di dalam kamar mandi. Bagi Arleta menghirup aroma lavender membuatnya menjadi rilex.Setelah membuka semua pakaiannya, Arleta masuk ke dalam bath up, merendam diri disana.Sejuknya air langsung menyentuh kulit Arleta, memberikan sensasi segar. Arleta memejamkan mata, menikmati semua ini.Arleta pantas bersyukur, dirinya yang bukan apa-apa, sekarang bisa merasakan gaya hidup mewah seperti orang kaya. Yang biasanya Arleta hanya membayangkan saja saat ini dia bisa merasakannya.“Apa masih ada meeting?” tanya Mahen, pada Bas ketika mereka baru saja selesai meeting di salah satu cafe.“Tidak ada tuan. Ini yang terakhir.” sahut Bas.Mahendra mengangguk, kemudian melangkah masuk ke dalam mobil.Berkali-kali Mahen
Merasa jengah dengan drama sang mama, Mahendra memutar tubuhnya lalu berjalan cepat, diikuti oleh Bas. Teriakan dan panggilan sang mama tidak lagi Mahen dihiraukan. Dalam pikirannya saat ini hanya satu. Mencari Arleta! Percuma berada di rumah ini! Mamanya tidak akan memberi tahu dimana keberadaan gadis itu. Bas berjalan cepat, agar tiba di mobil lebih dulu. Bas dengan sigap membukakan pintu untuk Mahen. Mahen masuk tanpa sepatah kata pun,setelah menutup kembali pintu mobil, Bas berlari kecil mengitari mobil, lalu masuk dan duduk di depan kemudi. Bas menoleh kebelakang.’’Tuan kita kemana?’’ Mahen menggelengkan kepala, lalu mengusap wajahnya dengan kasar. ‘’Aku tidak tahu harus mencari Arleta kemana, apa kau ada ide?’’ bukannya menjawab Mahen malah balik bertanya. Bas menggelengkan kepala.’’ Aku belum ada ide tuan, aku terlalu terkejut sampai susah berpikir!’’ keluh Bas. ‘’Jalanlah saja dulu, kita pikirkan nanti.’’ titah Mahen. Bas mengangguk, kemudian berbalik
Di dalam kamar mandi Arleta berusaha untuk mencari sesuatu agar dirinya bisa keluar dari tempat ini tempat di mana dia diculik.Sepertinya kamar mandi ini terletak di belakang dan kamar mandi itu juga memiliki ventilasi yang lumayan besar. Arleta naik ke atas bak mandi yang terbuat dari coran untuk melihat keadaan di luar.“Sepertinya aku bisa kalau lewat sini! tapi bagaimana caranya untuk membuka kayu ini? ucap Arleta bermonolog sendiri.Di balik ventilasi Arleta dapat melihat suasana di luar, sepertinya tempat dia dikurung berada di tengah hutan. Terbukti banyak pohon-pohon besar di luar sana.Brak!Brak!Suara pintu digedor dari luar! “Hei kau sudah selesai belum? kenapa sangat lama!” teriak si pria yang botak yang menunggui Arleta di depan pintu kamar mandi.“Astaga! Kenapa aku bisa lupa, kalau si botak ada di luar!” Arleta menepuk keningnya sendiri. Bagaimana bisa dia melupakan hal sepenting ini. “Aduh! perutku sangat sakit! Pergilah dulu aku tidak akan kabur!” teriak Arle
Arleta dapat bernafas lega ketika mobil para penjahat sudah berlalu, tanpa menyadari keberadaannya.“Huh! Syukurlah mereka tidak mengetahui keberadaanku.” Setelah memastikan keadaan aman, Alana kembali melanjutkan pelariannya.Mahendra,Pria itu sedang merasa gelisah tiada tara sampai tidak dapat berkonsentrasi bekerja.Bas yang baru masuk, melangkahkan kaki mendekat kemudian duduk di kursi yang berhadapan dengan tuannya itu.Mahen mendongak melihat kedatangan Bas. “Bagaimana? Apa sudah ada kabar tentang Arleta?” tanya Mahen dengan nada gelisah.Bas menggeleng lemah.”Belum ada tuan, padahal orang suruhanku sudah mengarahkan semua anak buahnya, untuk mencari keberadaan nona Arleta.Tapi mereka belum juga menemukannya.” jelas Bas.“Apa tuan tahu? Barangkali Nyonya besar punya tempat rahasia atau apa?” tanya Bas.Pencarian selama sehari semalam yang tidak membuahkan hasil membuat Bas frustasi. Entah kemana Nyonya besarnya itu menyembunyikan Arleta.Mahen terdiam, nampak berpikir sebe
Sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, Serly datang ke hotel yang sudah diberitahu Mahen sebelumnya. Setelah bertanya dari resepsionis wanita itu langsung disuruh menuju kamar atas pesan dari si pemesan kamar yaitu Mahendra. Setelah akses masuk kamar sudah berada di tangan, Serly melangkah dengan percaya diri.Tiba di depan kamar 501 Serly menempelkan kartu akses masuk, begitu pintu terbuka Serly langsung masuk.Di dalam kamar dengan bernuansa sweet room ini Serly menjatuhkan bobotnya di atas kasur berukuran king size.‘’Sebelum Mahen datang, lebih baik aku bersiap. Aku harus tampil semenarik mungkin agar Mahen tidak bisa melupakan malam ini!’’ ucap Serly bermonolog sendiri.Serly beranjak lalu masuk kedalam kamar mandi, dia ingin terlihat perfect nanti. Tidak lama Serly sudah keluar, kali ini sudah berganti pakain memakai lingerie berwarna merah, dengan leher berbentuk V sehingga memperlihatkan dua gundukan gunung kembarnya yang besar. Kulit Serly yang putih bersih dipadukan
Setelah mendapat informasi yang diinginkan Mahen langsung pergi keluar hotel menemui Bas yang sudah menunggunya di parkiran.Melihat tuannya mendekat dengan sigap Bas keluar lalu membukakan pintu mobil, Mahendra melangkah masuk setelah itu Bas kembali menutup pintu dan Bas, dia kembali masuk dan duduk di depan kemudi.Bas menoleh menghadap ke belakang.”Kita kemana tuan?” tanya Bas.“Kita pergi ke alamat ini!” Mahen memutar rekaman tadi.Setelah mengetahui kemana tujuan mereka Bas langsung tancap gas menuju sana.Tidak peduli malam! Tidak peduli lelah! yang jelas yang ada dalam pikiran kedua pria itu sama, menemukan Arleta secepatnya!Bas melajukan kendaraannya dengan kecepatan sedang, karena mereka harus menyisir sepanjang perjalanan. Siapa tahu mereka melihat Arleta.Di tengah perjalan tiba-tiba turun hujan deras. Jarak pandang Bas semakin terbatas, apalagi saat ini mereka berada di jalanan sepi dengan kanan kiri dipenuhi pohon-pohon besar.“Astaga! Kenapa malah turun hujan! Jika be
Bas segera memarkirkan mobilnya di depan IGD begitu tiba di rumah sakit terdekat. Mahen segera turun menggendong Arleta, tanpa menunggu Bas membukakan pintu.“Suster!”“Suster!”Mendengar teriakan Mahen, dua suster berlari keluar mendorong brankar.Mahendra sedikit berlari menghampiri kedua suster itu.“Tolong selamatkan wanita ini sus!” ucap Mahen, setelah meletakan Arleta di atas brankar.“Kami akan berusaha tuan.” sahut salah satu suster itu.Setelah itu kedua perawat mendorong tubuh pucat Arleta masuk kedalam ruang IGD. Sedangkan Bas dan Mahen duduk menunggu di ruang tunggu.“Bagaimana kalau terjadi sesuatu dengannya Bas? Aku..aku tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri.” ucap Mahen penuh rasa bersalah.Dia terlihat sangat khawatir dengan kondisi Arleta saat ini..“Anda tenang tuan, nona Arleta sedang ditangani dokter.Dia pasti akan baik-baik saja.” “Tetap saja aku takut Bas!”“Aku tidak akan memaafkan wanita itu maupun mama! Jika terjadi sesuatu dengan Arleta!” geram Mahen.
Mahen tidak memperdulikan penolakan Arleta. Pria itu membaringkan Arleta kembali.“Istirahatlah. Aku hanya ingin memelukmu.” Mahe ikut berbaring, memeluk Arleta dari belakang. Kedua tangannya dimasukkan kedalam baju Arleta, menggenggam kedua gumpalan kenyal milik gadis itu..Arleta mendelik.”Bagaimana saya bisa istirahat kalau tangan anda berada di situ.” omel Arleta.“Nikmati saja. Izinkan aku seperti ini! Atau kamu mau lebih?” bisiknya di belakang telinga Arleta. Hembusan nafas Mahen menghadirkan sengatan listrik pada tubuh Arleta.Arelta tidak menjawab pertanyaan Mahen, dia berpura-pura memejamkan mata daripada pria di belakangnya ini berbuat aneh-aneh.Entah berapa lama mereka dalam posisi seperti itu, hingga akhirnya mereka tertidur dengan posisi berpelukan.Bas tersenyum ketika memeriksa keadaan di dalam kamar. Lalu dengan sangat pelan menutup kembali pintu kamar rawat Arleta. Setelah memastikan semua aman, baru Bas membaringkan diri di kursi tunggu yang berada di depan ruang
Malam itu, rumah Mahen dan Arleta diselimuti keheningan yang mencekam. Setelah membawa Mahesa ke rumah sakit, mereka berdua duduk di ruang tunggu, menatap kosong ke arah pintu ruang perawatan. Tidak ada kabar pasti dari dokter selain bahwa Mahesa berada dalam kondisi koma. Tidak ada penjelasan medis yang memadai, seolah-olah tubuh kecilnya telah menyerah tanpa alasan yang jelas.Arleta menunduk, air mata jatuh tanpa henti. “Mahen, kenapa semua ini terjadi pada Mahesa? Apa yang sebenarnya terjadi di taman itu?”Mahen memeluk Arleta erat, mencoba menenangkan istrinya meskipun dirinya pun dipenuhi kegelisahan. “Aku nggak tahu, Leta. Tapi aku janji, kita akan menemukan jawabannya. Mahesa pasti kembali pada kita.”Namun, di dalam hatinya, Mahen tahu bahwa janji itu mungkin sulit ditepati. Surat yang ditemukan di bantal Mahesa terus mengganggu pikirannya. Apa maksud Mahesa akan kembali setelah membantu mereka? Siapa mereka? Dan mengapa semua petunjuk selalu berpusat pada pohon besar di
Taman di belakang rumah Mahen dan Arleta kini menjadi tempat favorit keluarga mereka. Pohon besar itu tidak hanya menjadi saksi tumbuh kembang Mahesa, tetapi juga menyimpan misteri yang seolah tak habis digali. Layang-layang yang terbang tinggi sering menjadi simbol kebebasan bagi Mahesa, namun juga mengingatkan Mahen dan Arleta pada kehadiran Reza, sosok misterius yang menjadi bagian dari cerita keluarga mereka.Namun, kehidupan yang tampaknya tenang ini mulai terusik kembali saat kejadian aneh terjadi.Suatu pagi, Mahesa yang baru selesai bermain di taman berlari masuk ke rumah dengan wajah ceria. Dia membawa sesuatu di tangannya, selembar surat yang tampak usang, ditemukan di dekat akar pohon besar.“Ayah, Bunda! Lihat ini, aku nemu surat lagi!”Mahen segera mengambil surat itu dan membukanya. Tulisan tangan di surat itu sama seperti yang ditemukan sebelumnya di dalam kotak kayu, membuat mereka merasa merinding."Untuk Mahen dan Arleta,Jangan takut pada apa yang belum kalian p
Hari-hari berlalu setelah peristiwa di bawah pohon besar terasa lebih tenang. Meski rasa penasaran tetap ada, Mahen dan Arleta memutuskan untuk fokus pada keluarga mereka, terutama Mahesa. Namun, ada sesuatu yang berubah dalam kehidupan mereka, seolah-olah kehadiran Reza membawa pesan terselubung yang belum sepenuhnya mereka pahami.Mahesa kini tumbuh semakin besar. Semakin hari, kecerdasan dan rasa ingin tahunya semakin terlihat. Dia sering bertanya hal-hal yang sulit dijawab, seperti tentang bintang di langit atau kenapa hujan turun. Namun, pertanyaan yang paling sering Mahesa ajukan belakangan ini membuat Mahen dan Arleta terdiam.“Ayah, Bunda, nanti kalau aku besar, aku akan seperti apa?”Mahen tertawa kecil, mencoba menyembunyikan kebingungannya. “Kamu akan jadi anak yang hebat, Sayang, seperti sekarang.”“Tapi aku mau tahu,” desak Mahesa. “Reza bilang setiap anak punya jalannya sendiri.”Mahen dan Arleta terkejut. Sudah berbulan-bulan sejak mereka terakhir mendengar Mahesa
Hari-hari berlalu dengan tenang setelah Reza "mengucapkan selamat tinggal." Mahesa tampak kembali seperti anak kecil pada umumnya, yang ceria, penuh rasa ingin tahu, dan sibuk dengan aktivitasnya. Namun, Mahen dan Arleta belum bisa sepenuhnya melupakan apa yang terjadi. Gambar terakhir yang ditinggalkan Mahesa, dengan tulisan "Sampai jumpa lagi, Mahesa," tetap tersimpan rapi di ruang kerja mereka, seolah menjadi pengingat bahwa kisah ini belum benar-benar selesai.Entah, seperti masih ada yang mengganjal di hati Mahen maupun Arleta. Suatu malam, Mahen terbangun dengan nafas tersengal. Mimpi aneh menghantuinya. Mahen melihat dirinya berjalan di tengah sawah yang luas, dikelilingi oleh layangan-layangan yang berterbangan di langit jingga. Di kejauhan, Mahen melihat seorang anak laki-laki berdiri membelakanginya.“Reza?” panggil Mahen dalam mimpi.Anak itu menoleh, tersenyum, lalu berlari menjauh sambil membawa layangan. Mahen mencoba mengejarnya, tetapi langkahnya terasa berat,
Setelah peristiwa di taman belakang, Mahen dan Arleta merasa ada sesuatu yang belum selesai.Perasaan aneh terus menghinggapi mereka setiap kali mengingat cerita Mahesa tentang Reza, terutama ketika mereka melihat gambar-gambar yang dibuat Mahesa. Gambar itu bukan sekadar ilustrasi seorang anak bermain, melainkan potongan cerita yang terasa hidup.Namun, mereka memutuskan untuk tidak membahasnya terlalu jauh di depan Mahesa. Anak itu tampak bahagia, dan bagi mereka, itu yang paling penting.Suatu pagi, saat membersihkan gudang, Arleta menemukan sebuah kotak kayu tua yang tertutup debu tebal.Arleta tidak ingat pernah menyimpan kotak itu sebelumnya. Dengan rasa penasaran, wanita itu membuka kotak tersebut dan menemukan beberapa barang usang di dalamnya. Sebuah foto hitam putih seorang anak laki-laki memegang layangan, sebuah catatan kecil, dan mainan kayu yang sudah lapuk.Di belakang foto itu, tertulis dengan tinta yang mulai memudar. "Reza, di hari pertama layangan barunya terbang
Mahesa yang baru berumur enam tahun mulai menunjukkan kemampuan yang luar biasa. Dia sering kali berbicara dengan kalimat yang tampak terlalu dewasa untuk anak seusianya.“Ayah, kenapa langit bisa biru?” tanyanya suatu sore saat mereka duduk di halaman belakang.Mahen terkekeh, merasa bingung harus menjelaskan dengan bahasa sederhana. “Karena cahaya dari matahari itu terpecah oleh atmosfer bumi, Sayang.”“Oh, jadi itu seperti warna pelangi, ya? Tapi cuma yang biru yang terlihat?” tanyanya lagi.Mahen tertegun. Anak seusia Mahesa sudah bisa memahami konsep seperti itu? Mahen menatap Arleta, yang hanya mengangkat bahu sambil tersenyum bangga.Tidak hanya itu, Mahesa juga sering menghabiskan waktu dengan membaca buku cerita yang lebih sulit daripada teman-teman sebayanya. Saat Mahesa berhasil menyelesaikan salah satu buku yang diberikan Arleta, Mahesa berkata, “Bunda, aku suka buku ini. Tapi aku mau tahu, kenapa tokohnya harus meninggalkan keluarganya di akhir cerita?”Pertanyaan itu
Hari-hari di rumah Mahen dan Arleta selalu hidup dengan tawa Mahesa. Kini, di usia lima tahun, Mahesa telah menunjukkan banyak hal yang membuat kedua orang tuanya bangga. Di setiap langkah pertumbuhannya, Mahen dan Arleta berusaha memberikan pengalaman-pengalaman yang mendidik, namun tetap menyenangkan, demi membentuk pribadi Mahesa yang ceria dan penuh kasih. Pada ulang tahunnya yang kelima, Mahesa menerima hadiah istimewa dari Mahen dan Arleta, sebuah sepeda kecil berwarna biru, lengkap dengan roda tambahan di sampingnya. “Ini sepeda untuk anak yang sudah besar seperti kamu,” kata Mahen sambil tersenyum, menyerahkan sepeda tersebut. Mata Mahesa berbinar. “Aku bisa naik sepeda, Ayah?” tanyanya dengan polos serta antusias. “Tentu bisa, tapi Ayah akan ajari dulu,” jawab Mahen, penuh semangat. Keesokan harinya, Mahen membawa Mahesa ke halaman depan rumah. Dengan sabar, Mahen mengajarkan cara mengayuh dan keseimbangan. Awalnya, Mahesa terlihat ragu-ragu, tapi dengan du
Masa kanak-kanak Mahesa adalah babak penuh warna dalam kehidupan Mahen dan Arleta. Dalam setiap senyum, tawa, dan tangis Mahesa, mereka menemukan arti baru dari cinta dan kebahagiaan, setiap momen yang mereka lewati, menjadikan kisah yang tidak dapat diulang dua kali.Ketika Mahesa baru belajar berjalan, hari itu menjadi momen yang tidak terlupakan bagi Arleta dan Mahen. Waktu itu, Mahen sedang menyusun laporan di ruang kerja, sementara Arleta sibuk menyiapkan makan malam di dapur. Tiba-tiba, terdengar suara tawa kecil Mahesa dari ruang tamu.Mahen yang penasaran melongok dan melihat Mahesa berdiri dengan susah payah di dekat meja kopi. “Arleta! Cepat kesini!” panggil Mahen penuh antusias.Arleta segera berlari ke ruang tamu, mendengar panggilan dari suaminya, tidak lupa wanita itu menyeka tangannya yang basah. Saat itu, Mahesa mulai melangkahkan kaki kecilnya, perlahan namun pasti, menuju Mahen.“Lihat dia, Arleta!” Mahen berseru, matanya berbinar.Arleta menahan napas, melihat Ma
Mahen menghubungi tim hukumnya keesokan paginya, membicarakan soal rencana untuk menghadapi Reza.Pria itu tahu bahwa menghadapi Reza tidak bisa dilakukan dengan emosi semata. Semua harus dilakukan secara cerdas dan penuh perhitungan.Sementara itu, Arleta berusaha menjaga rutinitas di rumah agar Mahesa tidak terpengaruh oleh situasi yang sedang mereka hadapi. Wanita itu, selalu bersikap normal seperti biasa, melakukan aktifitas ibu rumah tangga dan bermain dengan Mahesa.Disisi lain, Arleta menyaksikan bagaimana Mahen kembali menunjukkan sisi tegasnya sebagai seorang pemimpin, dalam menyikapi setiap masalah yang mereka hadapi.Malam itu, setelah Mahesa tertidur, Mahen duduk di ruang kerjanya dengan segelas kopi. Arleta mendekat dan meletakkan tangannya di bahu suaminya.“Bagaimana rencanamu?” tanyanya lembut.Mahen menatapnya sejenak sebelum menjawab. “Aku sudah berbicara dengan tim keamanan dan legal. Kami akan mengumpulkan bukti atas tindakan Reza, dan jika dia melanggar hukum, k