Sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, Serly datang ke hotel yang sudah diberitahu Mahen sebelumnya. Setelah bertanya dari resepsionis wanita itu langsung disuruh menuju kamar atas pesan dari si pemesan kamar yaitu Mahendra. Setelah akses masuk kamar sudah berada di tangan, Serly melangkah dengan percaya diri.Tiba di depan kamar 501 Serly menempelkan kartu akses masuk, begitu pintu terbuka Serly langsung masuk.Di dalam kamar dengan bernuansa sweet room ini Serly menjatuhkan bobotnya di atas kasur berukuran king size.‘’Sebelum Mahen datang, lebih baik aku bersiap. Aku harus tampil semenarik mungkin agar Mahen tidak bisa melupakan malam ini!’’ ucap Serly bermonolog sendiri.Serly beranjak lalu masuk kedalam kamar mandi, dia ingin terlihat perfect nanti. Tidak lama Serly sudah keluar, kali ini sudah berganti pakain memakai lingerie berwarna merah, dengan leher berbentuk V sehingga memperlihatkan dua gundukan gunung kembarnya yang besar. Kulit Serly yang putih bersih dipadukan
Setelah mendapat informasi yang diinginkan Mahen langsung pergi keluar hotel menemui Bas yang sudah menunggunya di parkiran.Melihat tuannya mendekat dengan sigap Bas keluar lalu membukakan pintu mobil, Mahendra melangkah masuk setelah itu Bas kembali menutup pintu dan Bas, dia kembali masuk dan duduk di depan kemudi.Bas menoleh menghadap ke belakang.”Kita kemana tuan?” tanya Bas.“Kita pergi ke alamat ini!” Mahen memutar rekaman tadi.Setelah mengetahui kemana tujuan mereka Bas langsung tancap gas menuju sana.Tidak peduli malam! Tidak peduli lelah! yang jelas yang ada dalam pikiran kedua pria itu sama, menemukan Arleta secepatnya!Bas melajukan kendaraannya dengan kecepatan sedang, karena mereka harus menyisir sepanjang perjalanan. Siapa tahu mereka melihat Arleta.Di tengah perjalan tiba-tiba turun hujan deras. Jarak pandang Bas semakin terbatas, apalagi saat ini mereka berada di jalanan sepi dengan kanan kiri dipenuhi pohon-pohon besar.“Astaga! Kenapa malah turun hujan! Jika be
Bas segera memarkirkan mobilnya di depan IGD begitu tiba di rumah sakit terdekat. Mahen segera turun menggendong Arleta, tanpa menunggu Bas membukakan pintu.“Suster!”“Suster!”Mendengar teriakan Mahen, dua suster berlari keluar mendorong brankar.Mahendra sedikit berlari menghampiri kedua suster itu.“Tolong selamatkan wanita ini sus!” ucap Mahen, setelah meletakan Arleta di atas brankar.“Kami akan berusaha tuan.” sahut salah satu suster itu.Setelah itu kedua perawat mendorong tubuh pucat Arleta masuk kedalam ruang IGD. Sedangkan Bas dan Mahen duduk menunggu di ruang tunggu.“Bagaimana kalau terjadi sesuatu dengannya Bas? Aku..aku tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri.” ucap Mahen penuh rasa bersalah.Dia terlihat sangat khawatir dengan kondisi Arleta saat ini..“Anda tenang tuan, nona Arleta sedang ditangani dokter.Dia pasti akan baik-baik saja.” “Tetap saja aku takut Bas!”“Aku tidak akan memaafkan wanita itu maupun mama! Jika terjadi sesuatu dengan Arleta!” geram Mahen.
Mahen tidak memperdulikan penolakan Arleta. Pria itu membaringkan Arleta kembali.“Istirahatlah. Aku hanya ingin memelukmu.” Mahe ikut berbaring, memeluk Arleta dari belakang. Kedua tangannya dimasukkan kedalam baju Arleta, menggenggam kedua gumpalan kenyal milik gadis itu..Arleta mendelik.”Bagaimana saya bisa istirahat kalau tangan anda berada di situ.” omel Arleta.“Nikmati saja. Izinkan aku seperti ini! Atau kamu mau lebih?” bisiknya di belakang telinga Arleta. Hembusan nafas Mahen menghadirkan sengatan listrik pada tubuh Arleta.Arelta tidak menjawab pertanyaan Mahen, dia berpura-pura memejamkan mata daripada pria di belakangnya ini berbuat aneh-aneh.Entah berapa lama mereka dalam posisi seperti itu, hingga akhirnya mereka tertidur dengan posisi berpelukan.Bas tersenyum ketika memeriksa keadaan di dalam kamar. Lalu dengan sangat pelan menutup kembali pintu kamar rawat Arleta. Setelah memastikan semua aman, baru Bas membaringkan diri di kursi tunggu yang berada di depan ruang
Seharian berada di villa mewah Arleta tidak diperbolehkan pergi kemanapun. Hal itu membuat gadis itu terus cemberut.Bagaimana tidak!Ini baru pertama kalinya pergi ke tempat seperti ini, dengan pemandangan yang sangat sayang untuk dilewatkan.Villa yang berada di tengah hamparan kebun dengan menyajikan pemandangan yang begitu menyejukan, yang tidak akan ditemukan di kota.“Kamu bisa menikmatinya dari sini. Tidak perlu cape-cape pergi kesana.” Mahen menunjuk ke bawah, dimana hamparan teh berada.Saat ini mereka sedang menikmati sore di gazebo kamar.Arleta mengerucutkan bibirnya. “Tapi aku ingin menikmatinya dari dekat.” keluh Arleta.Mahen menarik pinggang Arleta lebih dekat dengannya.“Aku mengajakmu kesini. Bukan berarti kamu bisa pergi seenakmu, bagaimana nanti jika ada orang menculikmu kembali dan aku tidak tahu. Apa kamu mau begitu?” Gio mencoba menakut-nakuti Arleta.Arleta menggeleng cepat.” Tentu saja tidak! Tapi kan bukan salahku, aku tidak minta kesini! Aku hanya minta p
Malam hari,Mahen dan Arleta sudah berada di meja makan, di susul Bas yang baru datang. Ketiganya makan malam dengan khidmat, tidak ada obrolan apapun diantara mereka. Hingga beberapa saat lamanya.“Oh, Iya tuan. Ini pesanan anda tadi.” ucap Bas ketika makan malam sudah selesai.Bas menaruh paper bag yang ada di kursi ke atas meja makan.“Cepat juga kau.” sahut Mahen, lalu mengambil paper bag itu.Mahen mengeluarkan isinya, sebuah ponsel keluaran terbaru Arleta sampai tercengang melihatnya. Seumur-umur Arleta baru melihat barang mewah seperti itu.Mahen menoleh pada Arleta, lalu menyodorkan ponsel itu pada Arleta.“Ini untukmu.” Arleta membuka matanya lebar, terkejut dengan apa yang diucapkan Mahen.“Hah! Maksud tuan?”“Ini untukmu. Apa kamu tidak dengar?”“Saya dengar, tapi ini terlalu mahal tuan, saya tidak mau hutang saya tambah banyak.” jawab Arleta jujur dengan apa yang ada di pikirannya.Mahen menghela nafas panjang, tidak menyangka jika Arleta akan berpikir sejauh itu.“Ini
Keesokan hari mereka kembali pulang ke kota, sesuai yang dikatakan Mahen semalam jika dia sudah menemukan apartemen untuk tempat tinggal Arleta.Arleta sempat menolak dan kekeh ingin kembali ke rumah ayahnya saja, tetapi Mahen juga menolak keras permintaan Arleta.Setelah melewati perdebatan sengit akhirnya Arleta mengalah dan setuju untuk tinggal di apartemen baru.Pagi-pagi sekali Bas sudah melajukan mobilnya menembus dinginnya jalanan perdesaan. Sedangkan Arleta di tampak masih mengantuk dan kembali tertidur. Mahen,Dia sibuk dengan ponselnya. Entah apa yang sedang Mahen lihat.Hampir tiga jam lamanya mereka melakukan perjalanan, mereka sampai melewatkan sarapan pagi.Sebenarnya Mahen sudah menyuruh Bas menepi sebentar untuk mencari makan, namun Bas menolak.“Nanti saja jika sudah sampai di kota tuan. Kita harus kejar waktu, siang ini ada meeting penting.” jelas Bas.Setelah itu tidak ada lagi percakapan diantara mereka. Sampai akhirnya mereka tiba di kota.Bas berhenti di seb
Tring!Ponsel Arleta berbunyi, Arleta yang baru saja keluar dari kamar mandi hanya meliriknya saja tanpa berniat ingin melihatnya lebih dulu.Arleta lebih memilih berpakaian terlebih dulu, jika tidak dia tidak yakin kalau pria yang sedang duduk di atas tempat tidur itu tidak mengulang aktifitas panas mereka lagi.Ya. Mahen saat ini sedang duduk bersandar di tempat tidur, setelah tadi menghabiskan waktu sorenya dengan berolahraga panas bersama Arleta.Selesai berpakaian Arleta berjalan menghampiri Mahen.“Tuan anda mau mandi?” tanya Arleta.Mahen yang sedang bermain ponsel mendongak menatap Arleta.“Hem. Tapi sekali lagi ya, baru aku mandi.” sahut Mahen dengan menaik turunkan alis.Arleta melotot.” Tidak mau! Yang tadi saja baru selesai, aku lelah. Lapar!” tolak Arleta.Mahen menarik lengan Arleta, sehingga wanita itu terjatuh dalam pangkuannya.“Janji kali ini hanya sebentar.” “Tidak! Mana mungkin kamu bermain sebentar! Nanti malam saja, aku beneran lelah.” ucap Arleta dengan m
Malam itu, rumah Mahen dan Arleta diselimuti keheningan yang mencekam. Setelah membawa Mahesa ke rumah sakit, mereka berdua duduk di ruang tunggu, menatap kosong ke arah pintu ruang perawatan. Tidak ada kabar pasti dari dokter selain bahwa Mahesa berada dalam kondisi koma. Tidak ada penjelasan medis yang memadai, seolah-olah tubuh kecilnya telah menyerah tanpa alasan yang jelas.Arleta menunduk, air mata jatuh tanpa henti. “Mahen, kenapa semua ini terjadi pada Mahesa? Apa yang sebenarnya terjadi di taman itu?”Mahen memeluk Arleta erat, mencoba menenangkan istrinya meskipun dirinya pun dipenuhi kegelisahan. “Aku nggak tahu, Leta. Tapi aku janji, kita akan menemukan jawabannya. Mahesa pasti kembali pada kita.”Namun, di dalam hatinya, Mahen tahu bahwa janji itu mungkin sulit ditepati. Surat yang ditemukan di bantal Mahesa terus mengganggu pikirannya. Apa maksud Mahesa akan kembali setelah membantu mereka? Siapa mereka? Dan mengapa semua petunjuk selalu berpusat pada pohon besar di
Taman di belakang rumah Mahen dan Arleta kini menjadi tempat favorit keluarga mereka. Pohon besar itu tidak hanya menjadi saksi tumbuh kembang Mahesa, tetapi juga menyimpan misteri yang seolah tak habis digali. Layang-layang yang terbang tinggi sering menjadi simbol kebebasan bagi Mahesa, namun juga mengingatkan Mahen dan Arleta pada kehadiran Reza, sosok misterius yang menjadi bagian dari cerita keluarga mereka.Namun, kehidupan yang tampaknya tenang ini mulai terusik kembali saat kejadian aneh terjadi.Suatu pagi, Mahesa yang baru selesai bermain di taman berlari masuk ke rumah dengan wajah ceria. Dia membawa sesuatu di tangannya, selembar surat yang tampak usang, ditemukan di dekat akar pohon besar.“Ayah, Bunda! Lihat ini, aku nemu surat lagi!”Mahen segera mengambil surat itu dan membukanya. Tulisan tangan di surat itu sama seperti yang ditemukan sebelumnya di dalam kotak kayu, membuat mereka merasa merinding."Untuk Mahen dan Arleta,Jangan takut pada apa yang belum kalian p
Hari-hari berlalu setelah peristiwa di bawah pohon besar terasa lebih tenang. Meski rasa penasaran tetap ada, Mahen dan Arleta memutuskan untuk fokus pada keluarga mereka, terutama Mahesa. Namun, ada sesuatu yang berubah dalam kehidupan mereka, seolah-olah kehadiran Reza membawa pesan terselubung yang belum sepenuhnya mereka pahami.Mahesa kini tumbuh semakin besar. Semakin hari, kecerdasan dan rasa ingin tahunya semakin terlihat. Dia sering bertanya hal-hal yang sulit dijawab, seperti tentang bintang di langit atau kenapa hujan turun. Namun, pertanyaan yang paling sering Mahesa ajukan belakangan ini membuat Mahen dan Arleta terdiam.“Ayah, Bunda, nanti kalau aku besar, aku akan seperti apa?”Mahen tertawa kecil, mencoba menyembunyikan kebingungannya. “Kamu akan jadi anak yang hebat, Sayang, seperti sekarang.”“Tapi aku mau tahu,” desak Mahesa. “Reza bilang setiap anak punya jalannya sendiri.”Mahen dan Arleta terkejut. Sudah berbulan-bulan sejak mereka terakhir mendengar Mahesa
Hari-hari berlalu dengan tenang setelah Reza "mengucapkan selamat tinggal." Mahesa tampak kembali seperti anak kecil pada umumnya, yang ceria, penuh rasa ingin tahu, dan sibuk dengan aktivitasnya. Namun, Mahen dan Arleta belum bisa sepenuhnya melupakan apa yang terjadi. Gambar terakhir yang ditinggalkan Mahesa, dengan tulisan "Sampai jumpa lagi, Mahesa," tetap tersimpan rapi di ruang kerja mereka, seolah menjadi pengingat bahwa kisah ini belum benar-benar selesai.Entah, seperti masih ada yang mengganjal di hati Mahen maupun Arleta. Suatu malam, Mahen terbangun dengan nafas tersengal. Mimpi aneh menghantuinya. Mahen melihat dirinya berjalan di tengah sawah yang luas, dikelilingi oleh layangan-layangan yang berterbangan di langit jingga. Di kejauhan, Mahen melihat seorang anak laki-laki berdiri membelakanginya.“Reza?” panggil Mahen dalam mimpi.Anak itu menoleh, tersenyum, lalu berlari menjauh sambil membawa layangan. Mahen mencoba mengejarnya, tetapi langkahnya terasa berat,
Setelah peristiwa di taman belakang, Mahen dan Arleta merasa ada sesuatu yang belum selesai.Perasaan aneh terus menghinggapi mereka setiap kali mengingat cerita Mahesa tentang Reza, terutama ketika mereka melihat gambar-gambar yang dibuat Mahesa. Gambar itu bukan sekadar ilustrasi seorang anak bermain, melainkan potongan cerita yang terasa hidup.Namun, mereka memutuskan untuk tidak membahasnya terlalu jauh di depan Mahesa. Anak itu tampak bahagia, dan bagi mereka, itu yang paling penting.Suatu pagi, saat membersihkan gudang, Arleta menemukan sebuah kotak kayu tua yang tertutup debu tebal.Arleta tidak ingat pernah menyimpan kotak itu sebelumnya. Dengan rasa penasaran, wanita itu membuka kotak tersebut dan menemukan beberapa barang usang di dalamnya. Sebuah foto hitam putih seorang anak laki-laki memegang layangan, sebuah catatan kecil, dan mainan kayu yang sudah lapuk.Di belakang foto itu, tertulis dengan tinta yang mulai memudar. "Reza, di hari pertama layangan barunya terbang
Mahesa yang baru berumur enam tahun mulai menunjukkan kemampuan yang luar biasa. Dia sering kali berbicara dengan kalimat yang tampak terlalu dewasa untuk anak seusianya.“Ayah, kenapa langit bisa biru?” tanyanya suatu sore saat mereka duduk di halaman belakang.Mahen terkekeh, merasa bingung harus menjelaskan dengan bahasa sederhana. “Karena cahaya dari matahari itu terpecah oleh atmosfer bumi, Sayang.”“Oh, jadi itu seperti warna pelangi, ya? Tapi cuma yang biru yang terlihat?” tanyanya lagi.Mahen tertegun. Anak seusia Mahesa sudah bisa memahami konsep seperti itu? Mahen menatap Arleta, yang hanya mengangkat bahu sambil tersenyum bangga.Tidak hanya itu, Mahesa juga sering menghabiskan waktu dengan membaca buku cerita yang lebih sulit daripada teman-teman sebayanya. Saat Mahesa berhasil menyelesaikan salah satu buku yang diberikan Arleta, Mahesa berkata, “Bunda, aku suka buku ini. Tapi aku mau tahu, kenapa tokohnya harus meninggalkan keluarganya di akhir cerita?”Pertanyaan itu
Hari-hari di rumah Mahen dan Arleta selalu hidup dengan tawa Mahesa. Kini, di usia lima tahun, Mahesa telah menunjukkan banyak hal yang membuat kedua orang tuanya bangga. Di setiap langkah pertumbuhannya, Mahen dan Arleta berusaha memberikan pengalaman-pengalaman yang mendidik, namun tetap menyenangkan, demi membentuk pribadi Mahesa yang ceria dan penuh kasih. Pada ulang tahunnya yang kelima, Mahesa menerima hadiah istimewa dari Mahen dan Arleta, sebuah sepeda kecil berwarna biru, lengkap dengan roda tambahan di sampingnya. “Ini sepeda untuk anak yang sudah besar seperti kamu,” kata Mahen sambil tersenyum, menyerahkan sepeda tersebut. Mata Mahesa berbinar. “Aku bisa naik sepeda, Ayah?” tanyanya dengan polos serta antusias. “Tentu bisa, tapi Ayah akan ajari dulu,” jawab Mahen, penuh semangat. Keesokan harinya, Mahen membawa Mahesa ke halaman depan rumah. Dengan sabar, Mahen mengajarkan cara mengayuh dan keseimbangan. Awalnya, Mahesa terlihat ragu-ragu, tapi dengan du
Masa kanak-kanak Mahesa adalah babak penuh warna dalam kehidupan Mahen dan Arleta. Dalam setiap senyum, tawa, dan tangis Mahesa, mereka menemukan arti baru dari cinta dan kebahagiaan, setiap momen yang mereka lewati, menjadikan kisah yang tidak dapat diulang dua kali.Ketika Mahesa baru belajar berjalan, hari itu menjadi momen yang tidak terlupakan bagi Arleta dan Mahen. Waktu itu, Mahen sedang menyusun laporan di ruang kerja, sementara Arleta sibuk menyiapkan makan malam di dapur. Tiba-tiba, terdengar suara tawa kecil Mahesa dari ruang tamu.Mahen yang penasaran melongok dan melihat Mahesa berdiri dengan susah payah di dekat meja kopi. “Arleta! Cepat kesini!” panggil Mahen penuh antusias.Arleta segera berlari ke ruang tamu, mendengar panggilan dari suaminya, tidak lupa wanita itu menyeka tangannya yang basah. Saat itu, Mahesa mulai melangkahkan kaki kecilnya, perlahan namun pasti, menuju Mahen.“Lihat dia, Arleta!” Mahen berseru, matanya berbinar.Arleta menahan napas, melihat Ma
Mahen menghubungi tim hukumnya keesokan paginya, membicarakan soal rencana untuk menghadapi Reza.Pria itu tahu bahwa menghadapi Reza tidak bisa dilakukan dengan emosi semata. Semua harus dilakukan secara cerdas dan penuh perhitungan.Sementara itu, Arleta berusaha menjaga rutinitas di rumah agar Mahesa tidak terpengaruh oleh situasi yang sedang mereka hadapi. Wanita itu, selalu bersikap normal seperti biasa, melakukan aktifitas ibu rumah tangga dan bermain dengan Mahesa.Disisi lain, Arleta menyaksikan bagaimana Mahen kembali menunjukkan sisi tegasnya sebagai seorang pemimpin, dalam menyikapi setiap masalah yang mereka hadapi.Malam itu, setelah Mahesa tertidur, Mahen duduk di ruang kerjanya dengan segelas kopi. Arleta mendekat dan meletakkan tangannya di bahu suaminya.“Bagaimana rencanamu?” tanyanya lembut.Mahen menatapnya sejenak sebelum menjawab. “Aku sudah berbicara dengan tim keamanan dan legal. Kami akan mengumpulkan bukti atas tindakan Reza, dan jika dia melanggar hukum, k