Keesokan hari mereka kembali pulang ke kota, sesuai yang dikatakan Mahen semalam jika dia sudah menemukan apartemen untuk tempat tinggal Arleta.Arleta sempat menolak dan kekeh ingin kembali ke rumah ayahnya saja, tetapi Mahen juga menolak keras permintaan Arleta.Setelah melewati perdebatan sengit akhirnya Arleta mengalah dan setuju untuk tinggal di apartemen baru.Pagi-pagi sekali Bas sudah melajukan mobilnya menembus dinginnya jalanan perdesaan. Sedangkan Arleta di tampak masih mengantuk dan kembali tertidur. Mahen,Dia sibuk dengan ponselnya. Entah apa yang sedang Mahen lihat.Hampir tiga jam lamanya mereka melakukan perjalanan, mereka sampai melewatkan sarapan pagi.Sebenarnya Mahen sudah menyuruh Bas menepi sebentar untuk mencari makan, namun Bas menolak.“Nanti saja jika sudah sampai di kota tuan. Kita harus kejar waktu, siang ini ada meeting penting.” jelas Bas.Setelah itu tidak ada lagi percakapan diantara mereka. Sampai akhirnya mereka tiba di kota.Bas berhenti di seb
Tring!Ponsel Arleta berbunyi, Arleta yang baru saja keluar dari kamar mandi hanya meliriknya saja tanpa berniat ingin melihatnya lebih dulu.Arleta lebih memilih berpakaian terlebih dulu, jika tidak dia tidak yakin kalau pria yang sedang duduk di atas tempat tidur itu tidak mengulang aktifitas panas mereka lagi.Ya. Mahen saat ini sedang duduk bersandar di tempat tidur, setelah tadi menghabiskan waktu sorenya dengan berolahraga panas bersama Arleta.Selesai berpakaian Arleta berjalan menghampiri Mahen.“Tuan anda mau mandi?” tanya Arleta.Mahen yang sedang bermain ponsel mendongak menatap Arleta.“Hem. Tapi sekali lagi ya, baru aku mandi.” sahut Mahen dengan menaik turunkan alis.Arleta melotot.” Tidak mau! Yang tadi saja baru selesai, aku lelah. Lapar!” tolak Arleta.Mahen menarik lengan Arleta, sehingga wanita itu terjatuh dalam pangkuannya.“Janji kali ini hanya sebentar.” “Tidak! Mana mungkin kamu bermain sebentar! Nanti malam saja, aku beneran lelah.” ucap Arleta dengan m
Mahendra segera memeriksa ponselnya sesuai perintah Arleta, Sedetik kemudian Mahen mengernyitkan keningnya, karena tidak ada notif salah kirim seperti yang Arleta katakan.Kembali Mahen menoleh menatap Arleta dengan bingung.” Tidak ada.” sahutnya.“Masa tidak ada, coba lihat ini.” Arleta menunjukan ponselnya, dalam layar terpampang jelas notif bank atas nama pria itu.Mahen menepuk keningnya sendiri.”Kamu ini, itu memang untukmu. Jadi tidak ada acara salah kirim.” jelas Mahen.Arleta terkejut.”Hah! Untukku? Buat apa? Uang yang kemarin tuan kasih saja belum terpakai sedikitpun.” tanya nya dengan polos.‘Astaga nih cewek, dikasih banyak duit malah bertanya untuk apa?’“Mana aku tahu, terserah kamu mau diapakan uang itu. Mulai saat ini jangan lagi bertanya hal konyol seperti tadi. Aku mentransfer sejumlah uang ke rekening mu, setelah kamu bekerja. ” sahut Mahen dengan terkekeh kecil.Arleta diam sebentar, lalu mengangguk kecil, ketika sudah mengerti dengan arti ‘bekerja’ yang diucapkan
Lagi-lagi Arleta terpaksa harus berbohong.” Aku bekerja sebagai asisten rumah tangga, dan tidur di dalam. Makanya aku tidak pernah pulang.” sahut Arleta dengan seulas senyum agar temannya ini percaya.“Wah! Bagus dong. Aku senang mendengarnya.”“Oh, iya. Kamu ada ponsel gak? Boleh aku minta nomornya?” tanya Rina.Dret!Dert!Baru saja Arleta akan menjawab tidak, ponselnya malah berbunyi. Jika sudah begini kan dia tidak mungkin bisa berbohong.“Ada. Em..sebentar ya, aku angkat telpon dulu.” sahut Arleta.Rina mengangguk,Arleta sedikit bergeser menjauh dari Rina setelah itu barulah Arleta mengangkat panggilan dari Mahen.“Iya tuan.” sahut Arleta ketika telepon sudah terhubung.“Kamu dimana?” “Aku ada di rumah ayah tuan, ada apa?” tanya Arleta heran, bukankah tadi pagi Arleta sudah pamit?“Untuk apa kau kesana. Bukankah kau bilang ingin berbelanja bahan untuk bikin kue, kenapa malah kesana.” protes Mahen.“Iya tuan, sekalian jalan….”“Pulang cepat! Atau aku batal memberimu izin!” titah
Dengan langkah gontai Arleta berjalan keluar dari apartemen, tak terasa air matanya jatuh begitu saja. Ada rasa berat meninggalkan pria yang beberapa bulan ini bersama dengannya, menyelamatkan hidupnya dari kemiskinan.Arleta merasa dia orang yang paling bodoh telah menyia-nyiakan orang sebaik Mahen, walau mungkin caranya salah tapi bagi Arleta Mahen sudah seperti dewa penolongnya.Tapi sekarang dewa penolongnya sudah kecewa dengannya akibat ulah Arleta sendiri. Arleta berdiri di depan pintu menatap beberapa lama, sungguh berat rasanya pergi dari sini. Tapi apa mau dikata semua sudah berakhir sekarang.Dengan dada yang kian sesak Arleta, Arleta menguatkan dirinya.‘’Selamat tinggal tuan, maaf aku telah mengecewakanmu.’’ ucap Arleta dengan lirih. Arleta berbalik lalu melangkah pergi dari sana, dengan menyeret koper kecil berisi beberapa potong pakaian miliknya.Ya, Arleta memang tidak membawa semua pakaian yang diberikan Mahen untuknya, dia hanya membawa beberapa potong pakaian yang
“Tuan Mahen!’’ buru-buru Bas mengangkat panggilan itu sebelum panggilan kembali mati.‘’Tuan anda dimana? Aku seharian mencarimu.’’tanya Bas setelah panggilan terhubung.‘’Maaf, apa anda bisa menjemput tuan yang punya ponsel ini? Beliau mabuk berat dan membuat kerusuhan disini.’’ ucap seorang wanita dari seberang sana.Bas benar-benar terkejut ketika mendengar sahutan dari seberang sana ternyata seorang wanita, dan lebih terkejut sekaligus cemas ketika mendengar kabar yang wanita itu sampaikan. ‘’ Saya kesana sekarang! Kirim lokasinya cepat!’’ ‘’ Baik tuan saya kirim sekarang.’’ sahut si wanita.Setelah itu panggilan terputus.Tring!Bas segera mengecek ponselnya begitu pesan masuk dari nomor Mahen.‘’Milenial Club!’’‘’Astaga! Kenapa tuan bisa berada di klub sejauh ini, pantas saja aku tidak menemukannya walau sudah berkeliling kota.’’ Milenia Club adalah sebuah Club malam yang cukup terkenal di kota X yang jaraknya lumayan jauh dari tempat Bas berada saat ini. Namun itu tidak
Mahen mengerjapkan mata perlahan, sinar matahari pagi yang masuk lewat celah jendela mengganggu tidurnya.Masih antar sadar dan tidak, Mahen menelisik ruangan tempatnya saat ini berada. Ruangan bernuansa merah membuat pria itu mengernyit bingung.‘Dimana ini?’ Entah Mahen lupa bagaimana bisa dia berada di ruangan yang sangat cerah ini, berbeda dengan kamar miliknya yang bernuansa serba putih dan terkesan lebih kalem.“Aw!” Mahen memekik, kepalanya masih terasa sangat berat ketika dibawa untuk bangun. Matanya kembali menelisik setiap sudut ruangan.“Bas.” Dia mengernyit merasa bingung, bagaimana bisa ada Bas juga di sana.Mahen memaksakan untuk turun, perlahan kakinya melangkah menghampiri Bas.“Bas.” Mahen mengguncang tangan Bas pelan.Bas yang ketika tidur sangat sensitif terhadap gerakan atau pun suara, seketika matanya langsung terbuka.“Tuan!” ucapnya kaget. Lalu bergeser mengubah posisinya duduk, memberi ruang untuk Mahen duduk.Mahen pun duduk di sebelah Bas, dengan memiji
Mahen menjatuhkan surat yang baru saja dia baca, Tanpa bicara apapun Mahen langsung bangun lalu menyambar kunci mobil Bas yang tergeletak di sofa.“Tuan! Anda mau kemana?” Bas berlari menyusul Mahen ang sudah berjalan keluar terlebih dulu.Mahen terus melangkah tanpa memperdulikan teriakan Bas. Bas mencoba menyusul namun sayang Mahen susah lebih dulu menaiki mobilnya dan tancap gas.“Akh!” “Kamu pergi kemana Arleta!” “Berani kau pergi! Tanpa seijin dariku!”“Kamu pikir, kamu bisa menghindar dan pergi dariku? Hahaha…kamu salah Arleta! Kamu salah!”“Kemanapun kamu pergi, aku pasti akan menemukanmu!” Mahen terus berteriak sendiri. Ada sebuah penyesalan dalam dirinya. Jika waktu bisa diputar kembali Mahen tidak akan mengatakan hal yang mungkin bisa menyakiti hati Arleta.Entah kenapa, Mahen bisa merasa gila seperti ini. Saat mengetahui jika Arleta memilih pergi darinya.Padahal jika Mahen mau, mencari ganti sepuluh wanita yang lebih dari Arleta pun Mahen bisa!Tapi tidak!Mahen
Mahesa berdiri di pinggir jurang, memandang ke kejauhan, ke arah dunia yang terbentang luas. Dunia yang telah dia selamatkan, namun kini terasa jauh berbeda, seolah-olah seberkas cahaya dan bayangan bercampur dalam dirinya. Kekuatan Pohon Kehidupan yang telah mengalir di tubuhnya selama ini berpadu dengan kekuatan Bayangan Abadi, warisan dari leluhur yang terpendam jauh di dalam dirinya. Dia merasakan dua sisi yang bertarung dalam dirinya, cahaya yang membawa kehidupan dan bayangan yang membawa kegelapan. Seiring dengan berjalannya waktu, Mahesa menyadari bahwa dirinya kini bukan hanya seorang manusia biasa, tetapi juga penjaga antara dua dunia: dunia yang terang dan dunia yang gelap. Pohon Kehidupan, yang telah lama menjadi pusat keseimbangan di dunia ini, kini memiliki tugas baru, menjaga keseimbangan antara keduanya. Namun, tidak ada yang pernah mempersiapkan Mahesa untuk peran yang lebih besar daripada yang dia bayangkan. Kekuatan yang ada padanya bukan hanya milik dirinya, tet
Langit di atas Pohon Kehidupan mulai berubah, berlapis warna keemasan yang memancar seperti aurora. Namun, ada ketegangan yang merayap di udara, menciptakan rasa genting yang tidak bisa dijelaskan. Arleta dan Mahen berdiri di depan pohon itu, memandangi sesuatu yang baru saja mereka temukan—sebuah artefak kuno berbentuk orb kristal yang bersinar lembut.Nyai Sekar, yang berdiri di belakang mereka, tampak gelisah. “Ini adalah Artefak Kebangkitan,” katanya dengan nada berat. “Ia memiliki kekuatan untuk membawa kembali roh yang terikat dengan Pohon Kehidupan ke dunia nyata. Tetapi ada harga yang harus dibayar.”Arleta menatap artefak itu dengan campuran harapan dan ketakutan. “Apa harganya, Nyai?”Nyai Sekar menggeleng perlahan. “Membawa kembali satu jiwa akan mengganggu keseimbangan dunia. Kegelapan akan mendapat jalan untuk merasuki dunia ini, lebih kuat dari sebelumnya.”Mahen mengepalkan tangan, menatap artefak itu dengan mata penuh tekad. “Dia adalah anak kami. Jika ada kesempatan u
Pohon Kehidupan berdiri megah di tengah hutan lebat, cabang-cabangnya menjulang tinggi ke langit, dan daunnya bersinar lembut, memancarkan kehangatan yang menenangkan. Namun, sejak pengorbanan Mahesa untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran Bayangan Abadi, ada perubahan yang sulit diabaikan. Pohon itu tampak lebih hidup dari sebelumnya, dan bunga-bunga liar bermekaran di sekitar akarnya dengan warna-warna cerah yang tidak biasa.Arleta duduk di akar pohon, tangannya memegang kelopak bunga biru yang baru saja ia petik. “Mahen,” panggilnya, suaranya lembut tapi penuh kerinduan. “Aku merasa seperti dia masih di sini.”Mahen, yang berdiri tidak jauh darinya, memandang istrinya dengan mata yang penuh kesedihan dan cinta. “Aku juga merasakannya,” jawabnya. “Semua ini... keanehan yang terjadi sejak Mahesa pergi, seolah-olah dia masih berusaha berbicara kepada kita.”Malam itu, saat mereka tidur di rumah sederhana yang mereka bangun tak jauh dari Pohon Kehidupan, Arleta bermimpi. Dalam mimpi
Langit masih dihiasi semburat jingga saat Mahesa membuka matanya perlahan. Tubuhnya terasa ringan, namun hati dan pikirannya penuh dengan beban keputusan yang harus diambil. Pohon Kehidupan berdiri di depannya, memancarkan cahaya lembut, seperti sebuah lentera yang tetap menyala di tengah malam tergelap.Suara lembut Nyai Sekar memecah keheningan. "Mahesa, kau telah menunjukkan keberanian yang luar biasa. Namun, perjalanan ini belum selesai."Mahesa menatap Nyai Sekar dengan mata penuh tekad. "Aku akan melakukan apa saja untuk melindungi dunia ini, meskipun itu berarti aku harus kehilangan segalanya."Nyai Sekar tersenyum tipis, tetapi kesedihan tampak di matanya. "Terkadang, melindungi berarti memilih untuk hidup dan bertahan, bukan mengorbankan segalanya. Kau harus belajar bahwa harapan tidak hanya berasal dari pengorbanan, tapi juga dari keberlanjutan perjuangan."Mahesa terdiam, hatinya bimbang. Ia tahu betul bahwa Bayangan Abadi masih menunggu untuk dihancurkan, namun pertanyaan
Arleta dan Mahen berdiri di tengah reruntuhan jembatan yang baru saja mereka lewati. Suasana sunyi, hanya suara napas mereka yang terdengar di antara kepulan debu dan kilauan cahaya samar dari Pohon Kehidupan yang kini mulai meredup. “Aku tidak bisa kehilangan dia lagi, Mahen,” kata Arleta, suaranya pecah di tengah isak tertahan. “Mahesa adalah alasan kita ada di sini.” Mahen menggenggam tangan Arleta erat, matanya menatap jauh ke arah tempat Mahesa dan Lirya menghilang. “Kita akan menemukannya. Aku janji. Tapi kita harus tetap fokus. Lirya semakin kuat, dan waktu kita tidak banyak.” Di depan mereka, sebuah jalan setapak yang penuh dengan akar bercahaya mulai terbuka, seolah Pohon Kehidupan memberi mereka petunjuk. Tanpa ragu, mereka melangkah maju, meski tubuh mereka masih terasa lemah akibat serangan terakhir Lirya. Semakin jauh mereka berjalan, suasana berubah semakin mencekam. Cahaya yang sebelumnya lembut kini berubah menjadi redup, hampir seperti nyala lilin yang hampir p
Mahen dan Arleta berdiri di depan gerbang besar yang bercahaya redup. Angin dingin menerpa wajah mereka, membawa bisikan halus seperti suara ribuan jiwa yang terperangkap di dalam. Di balik pintu itu adalah dunia yang tidak mereka kenal, namun takdir telah membawa mereka ke sini.Arleta menggenggam tangan Mahen erat, tatapannya penuh dengan keteguhan meskipun hatinya berdebar hebat. “Kita harus lakukan ini bersama. Aku tidak akan membiarkanmu melakukannya sendirian.”Mahen menatap istrinya, mencium keningnya lembut. “Apa pun yang terjadi, kita akan melawan bersama.”Panji berdiri di belakang mereka, wajahnya serius. “Gerbang ini akan membawa kalian ke inti Pohon Kehidupan. Tapi ingat, ujian yang menanti di dalamnya akan menguji cinta, kepercayaan, dan keberanian kalian. Jangan pernah terpisah, karena itulah kelemahan terbesar kalian.”Keduanya mengangguk, lalu melangkah masuk ke gerbang.Begitu mereka melewati gerbang, dunia di sekitar mereka berubah drastis. Cahaya lembut berwarna em
“Mahesa...” bisik Arleta, langkahnya terhenti saat menatap putranya. Air mata mengalir deras di wajahnya. Wajah Mahesa, yang dulu ceria dan penuh cinta, kini tampak dingin dan tak berjiwa.Namun, apa yang lebih menusuk hatinya adalah tatapan kosong itu, tatapan yang tak lagi mengenalinya.“Pergi,” suara Mahesa dingin dan berat, seperti bukan berasal dari dirinya. “Kalian tidak diinginkan di sini.”Mahen mencoba melangkah maju meski tubuhnya lunglai. “Mahesa, ini ayahmu. Ini ibumu yang selalu mencintaimu. Kami melakukan segalanya untuk membawamu kembali.”Mahesa tidak bergeming. Tangannya terangkat, dan seketika gelombang energi menghantam Mahen hingga terhempas ke tanah.“Mahen!” jerit Arleta, berlari ke arah suaminya. Ia berlutut, memeluk tubuh Mahen yang terguncang akibat serangan itu.Mahen menatap Arleta, mencoba berbicara meski suaranya serak. “Dia... dia bukan lagi anak kita. Ada sesuatu yang menguasainya.”Tawa sinis menggema di ruangan itu. Lirya muncul dari balik bayangan, me
Hari-hari setelah serangan Lirya berlalu dengan perlahan. Pohon Kehidupan masih berdiri tegak, meskipun aura yang dipancarkannya mulai melemah. Mahen dan Arleta semakin waspada, menyadari bahwa kekuatan gelap bisa menyerang kapan saja.Namun, sesuatu yang aneh mulai terjadi. Mahesa tidak lagi memberikan tanda. Cahaya pohon itu semakin redup, seolah-olah terhubung dengan sesuatu yang semakin jauh.“Sekar, apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Mahen suatu malam, ketika mereka duduk di ruang kerja.Sekar menghela napas panjang. “Aku takut... Mahesa mungkin tidak lagi berada di dunia antara. Jika itu benar, maka dia mungkin sudah ditarik ke inti Pohon Kehidupan. Itu adalah tempat di mana roh-roh dipersiapkan untuk dilahirkan kembali.”“Lahir kembali?” bisik Arleta, hatinya mencelos.Sekar mengangguk. “Ya, itu berarti dia akan dilahirkan di dunia yang berbeda, tanpa ingatan tentang kalian. Kalian hanya memiliki sedikit waktu untuk menyelamatkannya sebelum itu terjadi.”Di tengah kebingungan
Keluarga Mahen kembali ke rumah mereka dengan hati yang berat. Kehilangan Mahesa seperti luka yang terus menganga, meskipun harapan dari Pohon Kehidupan mereka genggam erat.Arleta duduk di ruang tamu, memandangi foto Mahesa yang tergantung di dinding. Wajah kecil itu, dengan senyum polosnya, kini menjadi kenangan yang menghantui. Air mata jatuh perlahan di pipinya, namun ia tetap diam.Mahen berdiri di dekat jendela, menatap gelapnya malam. Angin dingin menyapu wajahnya, seolah dunia luar tak peduli pada rasa sakit yang kini melanda keluarganya.“Mahen,” suara Arleta bergetar, memecah keheningan. “Kau yakin... dia akan kembali?”Mahen menoleh, matanya merah oleh kelelahan dan emosi yang tertahan. Pria itu berjalan mendekati istrinya, duduk di sampingnya, dan menggenggam tangan Arleta.“Kita harus percaya, Arleta. Mahesa berkata dia akan kembali, dan aku yakin dia akan menepati janjinya,” katanya dengan suara tegas, meski di baliknya ada ketakutan yang tak terucap.Namun, kepercayaa