Mahen mengerjapkan mata perlahan, sinar matahari pagi yang masuk lewat celah jendela mengganggu tidurnya.Masih antar sadar dan tidak, Mahen menelisik ruangan tempatnya saat ini berada. Ruangan bernuansa merah membuat pria itu mengernyit bingung.‘Dimana ini?’ Entah Mahen lupa bagaimana bisa dia berada di ruangan yang sangat cerah ini, berbeda dengan kamar miliknya yang bernuansa serba putih dan terkesan lebih kalem.“Aw!” Mahen memekik, kepalanya masih terasa sangat berat ketika dibawa untuk bangun. Matanya kembali menelisik setiap sudut ruangan.“Bas.” Dia mengernyit merasa bingung, bagaimana bisa ada Bas juga di sana.Mahen memaksakan untuk turun, perlahan kakinya melangkah menghampiri Bas.“Bas.” Mahen mengguncang tangan Bas pelan.Bas yang ketika tidur sangat sensitif terhadap gerakan atau pun suara, seketika matanya langsung terbuka.“Tuan!” ucapnya kaget. Lalu bergeser mengubah posisinya duduk, memberi ruang untuk Mahen duduk.Mahen pun duduk di sebelah Bas, dengan memiji
Mahen menjatuhkan surat yang baru saja dia baca, Tanpa bicara apapun Mahen langsung bangun lalu menyambar kunci mobil Bas yang tergeletak di sofa.“Tuan! Anda mau kemana?” Bas berlari menyusul Mahen ang sudah berjalan keluar terlebih dulu.Mahen terus melangkah tanpa memperdulikan teriakan Bas. Bas mencoba menyusul namun sayang Mahen susah lebih dulu menaiki mobilnya dan tancap gas.“Akh!” “Kamu pergi kemana Arleta!” “Berani kau pergi! Tanpa seijin dariku!”“Kamu pikir, kamu bisa menghindar dan pergi dariku? Hahaha…kamu salah Arleta! Kamu salah!”“Kemanapun kamu pergi, aku pasti akan menemukanmu!” Mahen terus berteriak sendiri. Ada sebuah penyesalan dalam dirinya. Jika waktu bisa diputar kembali Mahen tidak akan mengatakan hal yang mungkin bisa menyakiti hati Arleta.Entah kenapa, Mahen bisa merasa gila seperti ini. Saat mengetahui jika Arleta memilih pergi darinya.Padahal jika Mahen mau, mencari ganti sepuluh wanita yang lebih dari Arleta pun Mahen bisa!Tapi tidak!Mahen
“Maksud kamu, bicara seperti itu pada mama apa, mama tidak mengerti?” tanya Sonia dengan wajah di buat se sendu mungkin.“Sudahlah ma! Aku tahu maksud kedatangan mama kesini untuk apa.”“Mahen cape ma. Mau istirahat.” Mahen berbalik lalu melangkah masuk ke dalam kamar, lalu menguncinya dari dalam.“Mahendra tunggu! Mama ingin bicara!” Sonia mencoba membuka pintu kamar, namun tidak bisa.“Mahen! Buka!” teriaknya terus menggedor pintu.Merasa tidak ada respon, Sonya berbalik, lalu menatap Bas dengan sinis.“Asisten tak berguna!” sinisnya.Membuat Bas membulatkan matanya seketika mendengar ucapan Sonia.‘Eh! Kena juga’ Sonia melangkah keluar apartemen dengan menghentakan kaki saking kesalnya.Di dalam kamar,Mahendra duduk merenung di atas tempat tidur, pikirannya sedang kacau sekarang. Mahen sengaja tidak ingin berlama-lama bicara dengan mamanya. Dia tidak ingin semakin emosi dan melontarkan kata-kata kasar nanti.Pertengkarannya dengan Arleta berawal dari ulah Sonia, yang menganca
Dua hari telah berlalu Bas dan anak buahnya gencar mencari keberadaan Alana. Mulai dari perkotaan sampai ke pelosok pun semua mereka datangi.Bahkan anak buah Bas sampai berinisiatif untuk membuat selebaran dengan bermodalkan foto yang diberikan Bas pada mereka.Entah dari jam berapa mereka berkeliling tanpa rasa lelah demi menemukan Alana.‘’Permisi, apa kalian pernah bertemu dengan wanita ini?’’ tanya salah satu anak buah Bas pada seorang pejalan kaki, dengan menunjukan selebaran berisi foto Alana.Kali ini mereka menyasar daerah padat penduduk di pinggiran kota.Wanita itu menggeleng,” Maaf saya tidak pernah bertemu dengannya,’’ sahut si wanita.‘’Oh. Baiklah, terimakasih.’’Wanita itu menganggukan kepala sebagai jawaban setelah itu kembali melanjutkan perjalanan. Begitu pula dengan anak buah Bas.Terik matahari tidak lantas membuat mereka menyerah. Saat dua anak buah Bas sedang beristirahat di warung pinggiran jalan.‘’Bagaimana jika kita tidak menemukan wanita itu hari ini? P
Emp!....empt!Arleta meronta memberontak ketika dua orang pria yang tiba-tiba membekap mulutnya dengan sebuah sapu tangan. Berteriak minta tolong pun dia tidak bisa.Tubuh Arleta semakin lemah, matanya tidak kuat lagi terbuka, tidak lama Arleta benar-benar memejamkan mata.Dua orang pria anak buah Bas itu langsung menghubungi temannya untuk membawakan mobil.Tidak lama sebuah mobil hitam mendekat. Kedua pria itu langsung gerak cepat ketika mobil sudah berhenti di dekat mereka.“Ayo jalan.” titah salah seorang yang baru masuk.Si pengemudi mengangguk tanpa kata dan langsung melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi sebelum ada yang melihat keberadaan mereka.Keadaan sore itu yang cukup sepi karena gerimis memuluskan mereka dalam menangkap Arleta. Siang tadi setelah mendapatkan kabar dari Pras tentang lokasi yang diduga menemukan wanita yang mirip dengan Arleta. Bas langsung mengirimkan banyak anak buahnya untuk menyisir seluruh kawasan tersebut.Usaha mereka tidak sia-sia setelah sal
Brak!Mahen mendobrak salah satu pintu yang ada di gudang itu, pintu itu satu-satunya pintu yang di kunci.Di ruangan yang pengap dan gelap ini Mahen melihat wanita yang begitu dikenal terikat di sebuah kursi, dengan mulut, tangan dan kaki yang terikat.Mata bulat Arleta membola kala mendengar pintu didobrak namun yang membuatnya lebih terkejut pria yang ada di balik pintu yaitu seorang Mahendra..Empt….!Empt….!‘Tuan Mahen!’’‘Tolong saya tuan!’ jerit Arleta dalam hati,‘’Arleta!’’ teriak Mahen sambil berlari menghampiri gadis yang membuatnya hampir gila dalam beberapa minggu ini.Air mata Arleta jauh seketika begitu melihat Mahen dari dekat yang sedang berusaha membuka satu persatu ikatan tali dari tubuh Arleta.Sedangkan diluar,Mahen mendengar adanya keributan mungkin Bas sedang melawan para penjahat yang menculik Arleta. Dan untuk hal itu Mahen mempercayakan hal itu pada Bas.‘’Ahk!’’Bugh!Bugh!Suara kayu yang dipukulkan ke tembok dan teriakan anak buah Bas yang seolah sed
Mahen baru melepas pelukannya ketika bel berbunyi. “Sepertinya dokter Rian yang datang. Tunggulah dulu, aku akan membukakan pintu,”ucap Mahen dengan lembut, pria itu mengusap sisa air mata di pipi Arleta sebelum beranjak pergi.Hati Arleta menghangat mendapat perlakuan lembut dari Mahen, pria yang dikenalnya dengan panggilan Mr. G pria berwajah datar dan dingin, tapi sekarang Arleta melihat sisi lain dari pria itu.Kali ini Arleta melihat sisi lembut yang penuh dengan perhatian, membuatnya terbuai.“Sadar Arleta! Sadar. Jangan mudah baper jadi cewek,” ucap Arleta memperingati dirinya sendiri.Ya, Arleta tidak boleh terbawa perasaan, dia tidak tahu apa yang akan terjadi setelah itu. Tapi perkataan Mahen tadi masih terngiang-ngiang di telinga.Benarkah apa yang dikatakan pria itu?Atau hanya emosi sesaat saja? Entahlah Arleta tidak tahu dan belum yakin jika yang keluar dari mulut Mahen adalah sebuah kebenaran. Yang jelas saat ini hutang Arleta bertambah pada pria itu, kali ini Arle
Pagi menjelang, Arleta mulai mengerjap membuka mata, gadis itu merasakan tangannya terasa kelu dan berat ketika ingin digerakan. Arleta menoleh, ketika matanya sudah benar-benar terbuka. “Astaga tuan Mahen,” ucap Arleta pelan, gadis itu sungguh terkejut melihat pemandangan yang tidak biasa ini. Arleta menatap wajah tampan yang sedang tertidur pulas berbantalkan tangannya. Ya, Mahen ketiduran ketika menunggui Arleta, sampai-sampai pria itu ketiduran dengan posisi duduk di sisi ranjang. Bibirnya mengukir senyum indah, mengagumi keindahan di depan matanya dengan nyata. Jantungnya menjadi berdetak tidak beraturan, Arleta segera memalingkan pandangan ke arah lain, untuk mengusir rasa aneh dalam dada. Panggilan alam membuat Arleta mau tidak mau harus membangunkan Mahen yang masih tertidur pulas. Arleta tidak dapat menarik tangannya yang digunakan Mahen sebagai bantal, terlalu berat dan kelu rasanya. “Tuan.” panggil Arleta pelan, gadis itu menyentuh bahu Mahen menggunakan t
Malam itu, rumah Mahen dan Arleta diselimuti keheningan yang mencekam. Setelah membawa Mahesa ke rumah sakit, mereka berdua duduk di ruang tunggu, menatap kosong ke arah pintu ruang perawatan. Tidak ada kabar pasti dari dokter selain bahwa Mahesa berada dalam kondisi koma. Tidak ada penjelasan medis yang memadai, seolah-olah tubuh kecilnya telah menyerah tanpa alasan yang jelas.Arleta menunduk, air mata jatuh tanpa henti. “Mahen, kenapa semua ini terjadi pada Mahesa? Apa yang sebenarnya terjadi di taman itu?”Mahen memeluk Arleta erat, mencoba menenangkan istrinya meskipun dirinya pun dipenuhi kegelisahan. “Aku nggak tahu, Leta. Tapi aku janji, kita akan menemukan jawabannya. Mahesa pasti kembali pada kita.”Namun, di dalam hatinya, Mahen tahu bahwa janji itu mungkin sulit ditepati. Surat yang ditemukan di bantal Mahesa terus mengganggu pikirannya. Apa maksud Mahesa akan kembali setelah membantu mereka? Siapa mereka? Dan mengapa semua petunjuk selalu berpusat pada pohon besar di
Taman di belakang rumah Mahen dan Arleta kini menjadi tempat favorit keluarga mereka. Pohon besar itu tidak hanya menjadi saksi tumbuh kembang Mahesa, tetapi juga menyimpan misteri yang seolah tak habis digali. Layang-layang yang terbang tinggi sering menjadi simbol kebebasan bagi Mahesa, namun juga mengingatkan Mahen dan Arleta pada kehadiran Reza, sosok misterius yang menjadi bagian dari cerita keluarga mereka.Namun, kehidupan yang tampaknya tenang ini mulai terusik kembali saat kejadian aneh terjadi.Suatu pagi, Mahesa yang baru selesai bermain di taman berlari masuk ke rumah dengan wajah ceria. Dia membawa sesuatu di tangannya, selembar surat yang tampak usang, ditemukan di dekat akar pohon besar.“Ayah, Bunda! Lihat ini, aku nemu surat lagi!”Mahen segera mengambil surat itu dan membukanya. Tulisan tangan di surat itu sama seperti yang ditemukan sebelumnya di dalam kotak kayu, membuat mereka merasa merinding."Untuk Mahen dan Arleta,Jangan takut pada apa yang belum kalian p
Hari-hari berlalu setelah peristiwa di bawah pohon besar terasa lebih tenang. Meski rasa penasaran tetap ada, Mahen dan Arleta memutuskan untuk fokus pada keluarga mereka, terutama Mahesa. Namun, ada sesuatu yang berubah dalam kehidupan mereka, seolah-olah kehadiran Reza membawa pesan terselubung yang belum sepenuhnya mereka pahami.Mahesa kini tumbuh semakin besar. Semakin hari, kecerdasan dan rasa ingin tahunya semakin terlihat. Dia sering bertanya hal-hal yang sulit dijawab, seperti tentang bintang di langit atau kenapa hujan turun. Namun, pertanyaan yang paling sering Mahesa ajukan belakangan ini membuat Mahen dan Arleta terdiam.“Ayah, Bunda, nanti kalau aku besar, aku akan seperti apa?”Mahen tertawa kecil, mencoba menyembunyikan kebingungannya. “Kamu akan jadi anak yang hebat, Sayang, seperti sekarang.”“Tapi aku mau tahu,” desak Mahesa. “Reza bilang setiap anak punya jalannya sendiri.”Mahen dan Arleta terkejut. Sudah berbulan-bulan sejak mereka terakhir mendengar Mahesa
Hari-hari berlalu dengan tenang setelah Reza "mengucapkan selamat tinggal." Mahesa tampak kembali seperti anak kecil pada umumnya, yang ceria, penuh rasa ingin tahu, dan sibuk dengan aktivitasnya. Namun, Mahen dan Arleta belum bisa sepenuhnya melupakan apa yang terjadi. Gambar terakhir yang ditinggalkan Mahesa, dengan tulisan "Sampai jumpa lagi, Mahesa," tetap tersimpan rapi di ruang kerja mereka, seolah menjadi pengingat bahwa kisah ini belum benar-benar selesai.Entah, seperti masih ada yang mengganjal di hati Mahen maupun Arleta. Suatu malam, Mahen terbangun dengan nafas tersengal. Mimpi aneh menghantuinya. Mahen melihat dirinya berjalan di tengah sawah yang luas, dikelilingi oleh layangan-layangan yang berterbangan di langit jingga. Di kejauhan, Mahen melihat seorang anak laki-laki berdiri membelakanginya.“Reza?” panggil Mahen dalam mimpi.Anak itu menoleh, tersenyum, lalu berlari menjauh sambil membawa layangan. Mahen mencoba mengejarnya, tetapi langkahnya terasa berat,
Setelah peristiwa di taman belakang, Mahen dan Arleta merasa ada sesuatu yang belum selesai.Perasaan aneh terus menghinggapi mereka setiap kali mengingat cerita Mahesa tentang Reza, terutama ketika mereka melihat gambar-gambar yang dibuat Mahesa. Gambar itu bukan sekadar ilustrasi seorang anak bermain, melainkan potongan cerita yang terasa hidup.Namun, mereka memutuskan untuk tidak membahasnya terlalu jauh di depan Mahesa. Anak itu tampak bahagia, dan bagi mereka, itu yang paling penting.Suatu pagi, saat membersihkan gudang, Arleta menemukan sebuah kotak kayu tua yang tertutup debu tebal.Arleta tidak ingat pernah menyimpan kotak itu sebelumnya. Dengan rasa penasaran, wanita itu membuka kotak tersebut dan menemukan beberapa barang usang di dalamnya. Sebuah foto hitam putih seorang anak laki-laki memegang layangan, sebuah catatan kecil, dan mainan kayu yang sudah lapuk.Di belakang foto itu, tertulis dengan tinta yang mulai memudar. "Reza, di hari pertama layangan barunya terbang
Mahesa yang baru berumur enam tahun mulai menunjukkan kemampuan yang luar biasa. Dia sering kali berbicara dengan kalimat yang tampak terlalu dewasa untuk anak seusianya.“Ayah, kenapa langit bisa biru?” tanyanya suatu sore saat mereka duduk di halaman belakang.Mahen terkekeh, merasa bingung harus menjelaskan dengan bahasa sederhana. “Karena cahaya dari matahari itu terpecah oleh atmosfer bumi, Sayang.”“Oh, jadi itu seperti warna pelangi, ya? Tapi cuma yang biru yang terlihat?” tanyanya lagi.Mahen tertegun. Anak seusia Mahesa sudah bisa memahami konsep seperti itu? Mahen menatap Arleta, yang hanya mengangkat bahu sambil tersenyum bangga.Tidak hanya itu, Mahesa juga sering menghabiskan waktu dengan membaca buku cerita yang lebih sulit daripada teman-teman sebayanya. Saat Mahesa berhasil menyelesaikan salah satu buku yang diberikan Arleta, Mahesa berkata, “Bunda, aku suka buku ini. Tapi aku mau tahu, kenapa tokohnya harus meninggalkan keluarganya di akhir cerita?”Pertanyaan itu
Hari-hari di rumah Mahen dan Arleta selalu hidup dengan tawa Mahesa. Kini, di usia lima tahun, Mahesa telah menunjukkan banyak hal yang membuat kedua orang tuanya bangga. Di setiap langkah pertumbuhannya, Mahen dan Arleta berusaha memberikan pengalaman-pengalaman yang mendidik, namun tetap menyenangkan, demi membentuk pribadi Mahesa yang ceria dan penuh kasih. Pada ulang tahunnya yang kelima, Mahesa menerima hadiah istimewa dari Mahen dan Arleta, sebuah sepeda kecil berwarna biru, lengkap dengan roda tambahan di sampingnya. “Ini sepeda untuk anak yang sudah besar seperti kamu,” kata Mahen sambil tersenyum, menyerahkan sepeda tersebut. Mata Mahesa berbinar. “Aku bisa naik sepeda, Ayah?” tanyanya dengan polos serta antusias. “Tentu bisa, tapi Ayah akan ajari dulu,” jawab Mahen, penuh semangat. Keesokan harinya, Mahen membawa Mahesa ke halaman depan rumah. Dengan sabar, Mahen mengajarkan cara mengayuh dan keseimbangan. Awalnya, Mahesa terlihat ragu-ragu, tapi dengan du
Masa kanak-kanak Mahesa adalah babak penuh warna dalam kehidupan Mahen dan Arleta. Dalam setiap senyum, tawa, dan tangis Mahesa, mereka menemukan arti baru dari cinta dan kebahagiaan, setiap momen yang mereka lewati, menjadikan kisah yang tidak dapat diulang dua kali.Ketika Mahesa baru belajar berjalan, hari itu menjadi momen yang tidak terlupakan bagi Arleta dan Mahen. Waktu itu, Mahen sedang menyusun laporan di ruang kerja, sementara Arleta sibuk menyiapkan makan malam di dapur. Tiba-tiba, terdengar suara tawa kecil Mahesa dari ruang tamu.Mahen yang penasaran melongok dan melihat Mahesa berdiri dengan susah payah di dekat meja kopi. “Arleta! Cepat kesini!” panggil Mahen penuh antusias.Arleta segera berlari ke ruang tamu, mendengar panggilan dari suaminya, tidak lupa wanita itu menyeka tangannya yang basah. Saat itu, Mahesa mulai melangkahkan kaki kecilnya, perlahan namun pasti, menuju Mahen.“Lihat dia, Arleta!” Mahen berseru, matanya berbinar.Arleta menahan napas, melihat Ma
Mahen menghubungi tim hukumnya keesokan paginya, membicarakan soal rencana untuk menghadapi Reza.Pria itu tahu bahwa menghadapi Reza tidak bisa dilakukan dengan emosi semata. Semua harus dilakukan secara cerdas dan penuh perhitungan.Sementara itu, Arleta berusaha menjaga rutinitas di rumah agar Mahesa tidak terpengaruh oleh situasi yang sedang mereka hadapi. Wanita itu, selalu bersikap normal seperti biasa, melakukan aktifitas ibu rumah tangga dan bermain dengan Mahesa.Disisi lain, Arleta menyaksikan bagaimana Mahen kembali menunjukkan sisi tegasnya sebagai seorang pemimpin, dalam menyikapi setiap masalah yang mereka hadapi.Malam itu, setelah Mahesa tertidur, Mahen duduk di ruang kerjanya dengan segelas kopi. Arleta mendekat dan meletakkan tangannya di bahu suaminya.“Bagaimana rencanamu?” tanyanya lembut.Mahen menatapnya sejenak sebelum menjawab. “Aku sudah berbicara dengan tim keamanan dan legal. Kami akan mengumpulkan bukti atas tindakan Reza, dan jika dia melanggar hukum, k