"Maaf Tuan. Saya tidak sengaja."Ucap Arleta dengan nada memohon kepada seorang laki laki yang baru saja bertabrakan dengannya.
"Maaf katamu!" Bentak pria yang biasa tuan Mahen itu."Lihat! Lihat!" Mahen menunjuk baju yang basah karena tersiram oleh Arleta..Arleta hanya menundukan kepala karena takut dengan laki laki di hadapannya.Padahal baru hari ini Arleta bisa bekerja sebagai OG di salah satu perusahaan hotel ternama di kotanya, itupun karena bantuan seorang teman yang sudah lama bekerja di di hotel ini. Namun dia sudah mendapat masalah.Seperti sekarang ini, mungkin tadi Arleta berjalan dengan terus menundukan kepalanya sampai tidak tahu ada orang di depannya.Sialnya orang itu adalah Mahendra Sky salah satu pelanggan VIP di hotel ini."Maafkan saya Tuan. Maafkan saya." Arleta terus berusaha untuk memohon maaf. Namun Mahen kali ini tidak menjawabnya. Tanpa mengatakan apapun Mahen berlalu dari sana. Arleta masih berdiri terpaku dengan wajah pucat dan tubuh gemetaran. Semakin pucat saat beberapa teman OG lainnya menatapnya dengan tatapan mengejek."Anak baru itu ya?" Bisik seorang OG wanita."Sembrono sekali dia. Tidak tahu apa siapa yang sudah dia tabrak?" Satu lagi menyakut."Tamat sudah riwayatnya." Yang lain ikut berbicara."Arleta!" teriak Sarah memanggil Arlera, lalu menghampiri Arleta. "Tidak apa apa. Ayo!" Sarah memapah Arleta dan membawanya ke Ruangan OB.Arleta sudah menangis. "Aku sungguh tidak sengaja. Aku tidak melihat." Sarah hanya bisa menepuk bahunya dengan lembut, mencoba memberi dorongan mental untuk teman yang sudah dengan susah payah dia masukan bekerja disini."Apa aku akan dipecat?" Arleta menoleh dan mencoba bertanya pada Sarah.Sarah menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu. Semoga saja tidak. Berdoa saja." ucap Sarah.Kata-kata Sarah bukan membuat hati Arleta tenang, tapi malah membuatnya semakin pucat."Bagaimana kalau aku dipecat?" tanya Arleta lagi. Sarah tidak bisa menjawab, dia juga tidak bisa menjanjikan apa apa. Arleta baru saja bekerja dan sudah membuat kesalahan yang begitu fatal. Menabrak seseorang dan menumpahkan minuman di baju seseorang? Itu sebenarnya hal yang sepele. Tetapi, kembali disayangkan, seseorang itu pelanggan VIP disini. Pihak hotel selalu memberikan service terbaik untuk tamu VIP mereka.Siapapun akan dipecat tanpa toleransi jika sudah melakukan kesalahan yang membuat tidak nyaman tamu mereka. Pihak hotel akan langsung mengambil tindakan tanpa pandang bulu.Walaupun Sarah sudah bekerja selama tiga tahun disini, dia tidak lebih hanya seorang OB saja. Apa yang bisa diperbuat?Arleta tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang, dia hanya bisa berdoa didalam hati semoga saja masalah ini tidak berujung buruk. Daniah tidak bisa membayangkan jika dia harus dipecat hari itu juga. Bagaimana dia harus kembali mencari pekerjaan? Selama lebih dari satu bulan dia keliling ibu kota hanya untuk mencari pekerjaan. Dan semua hasilnya sia-sia. Lalu dia tidak sengaja bertemu Sarah, teman semasa SMA nya dulu dan Sarah membantunya untuk melamar menjadi OB di hotel tempatnya bekerja.Akhirnya Arleta diterima juga meskipun harus menunggu sampai dua mingguan.Arleta begitu senang. Akhirnya dia dapat pekerjaan. Dia bisa segera mencicil hutangnya pada rentenir.Tetapi kenyataan ternyata tak semudah harapannya. Baru saja Arleta menenangkan pikirannya, Pak Menejer memanggilnya."Arleta! Mari ikut saya." Arleta mendongak. Tanpa bertanya dia langsung mengikuti pak menejer.Arleta belum tahu mau dibawa kemana. Tetapi setelah menatap sebuah pintu dimana manajer itu berhenti, jantungnya langsung berdebar hebat. Arleta hanya bisa pasrah ketika manajer itu menyuruhnya masuk. Arleta menarik kakinya yang terasa begitu lemas. Dia memaksakan melangkah masuk." Tuan Mahen Apakah dia orangnya? Tanya pak menejer, tangannya menunjuk Arleta. Mahen menatap tajam Arleta.” Iya. Dia orangnya!” jawab Mahen dengan sedikit bentakan. Kejadian tadi masih saja membuatnya emosi."Pecat Dia!" Hanya dua patah kata itu saja mampu membuat tulang belulang Arleta seketika terasa ngilu. Tubuhnya gemetaran. Seketika dia berlutut di lantai."Tuan. Ku mohon. Jangan pecat saya. Saya membutuhkan pekerjaan ini." Entah mendapat kekuatan dari mana, tiba tiba Arleta berani untuk memohon seperti itu.Arleta berlutut, memohon di hadapan manajer hotel dan juga Mahen."Tuan Ku mohon. Tolong ampuni saya. Saya berjanji tidak akan melakukan kesalahan lagi. Saya mohon Tuan. Beri saya kesempatan satu kali saja." Arleta masih terus memohon sambil menangis.Mr. G terlihat bergerak, dia berdiri lalu menoleh pada manajer hotel yang masih berdiri di belakang hadapan Arleta yang berlutut."Jika anda tidak memecatnya. Ya, maka aku akan memberikan penilaian buruk tentang pelayanan di hotel ini. Dan, satu lagi! Saya akan pastikan hotel ini akan berhenti beroperasi!” ancamnya. Setelah itu Mahen langsung beranjak dari tempat itu.Manager hotel itu tidak mampu berbuat apa apa. Kecuali mempertahankan nama baik perusahaan tempatnya bekerja."Pak, Tolong saya." Arleta kembali memohon setelah kepergian Mahen."Maafkan saya Arleta. Saya tidak bisa menolongmu." Dengan rasa putus asa yang mendalam, Arleta pun bangun dari berlututnya. Dia kembali menyeret kakinya untuk keluar dari ruangan manajer.Sesampainya di ruangan OB, Sarah menyambut kedatangan Arleta."Bagaimana?” tanya Sarah, dengan raut wajah khawatir.“Aku dipecat.” jawab Arleta pelan. "Maafkan Aku Arleta. Aku tidak bisa membantumu." ucap Sarah. Di maresa sangat bersalah, namun apa yang bisa dia lakukan? Tidak ada!"Tidak apa apa. Terimakasih kamu sudah banyak membantuku." ucap Arleta. Sarah mengangguk. "Yang sabar ya. Aku akan berusaha mencarikan pekerjaan baru untukmu." Arleta hanya mengangguk, kemudian Arleta pergi ke ruangan ganti untuk melepas semua seragamnya dan mengganti dengan pakaiannya sendiri. Setelah itu Arleta mengambil tas usang miliknya, dan bersiap pulang dengan membawa kegagalan kembali."Aku akan mengantarmu." ucap Sarah. Dia sungguh prihatin dengan nasib Arleta. Namun Sarah sendiri tidak bisa berbuat apa-apa.Dan uang lah si sang penguasa!Alana menggeleng. "Tidak perlu Sarah. Nanti kamu malah kena masalah juga. Aku bisa menumpang Bus saja." jawab Arleta.Sarah hanya bisa mengangguk pasrah. "Baiklah. Hati hati ya? Kalau ada apa apa, jangan sungkan untuk menghubungi ku." ucap Sarah lagi.Arleta mengangguk,kemudian memeluk Sarah. Keduanya menangis dalam pelukan.Sungguh tragis, nasib Arleta!Sepanjang perjalanan keluar dari gedung, banyak pasang mata yang menatapnya tidak suka. Mereka kembali berbisik bisik."Itulah. Anak baru tapi teledor! Emang dikira enak kerja disini!" "Kasihan Sekali. Baru masuk, sudah dipecat!"Arleta hanya menundukkan wajahnya. Rasa malu, sedih dan kecewa pada dirinya sendiri bercampur menjadi satu. Arleta masih sesekali sesenggukan. Sampai di dalam Bus pun Arleta masih sesekali meneteskan air mata. Apalagi ketika mengingat hutang-hutang yang ayahnya tinggalkan sebelum meninggalkan dunia.Arleta berjalan gontai melangkah masuk kedalam rumah. Menjatuhkan bobotnya di kursi usang yang ada di ruang tamu.Arleta menyandarkan punggung di sandaran kursi, berkali-kali Arleta menarik nafas panjang, kemudian menghembuskan dengan perlahan.Hal itu Arleta lakukan untuk menetralisir rasa sesak di dalam dada." Huhf. Sial bener hari ini, padahal aku sudah berharap bisa dapat gaji yang lumayan,tapi itu hanya mimpi saja! Sekarang bagaimana aku mendapatkan uang!" keluh Arleta." Kenapa orang tadi sombong banget, kesalahan aku yang tak seberapa tapi aku pria menyebalkan itu bisa membuat aku dipecat saja. Ck! Menyebalkan!" umpat Arleta kembali.Di balik Arleta itu merasa sangat sedih dengan apa dialaminya. Tapi walau bagaimana? Arleta meyakinkan dirinya sendiri untuk tidak boleh menyerah dengan keadaan.Brak!Brak!Arleta terlonjak kaget, saat pintu rumahnya diketuk dengan kasar.Arleta segera bersembunyi di bawah kolong ranjang miliknya.Tubuhnya bergetar hebat, saking takutnya. Arlet
Tidak menyangka hari hari Arleta akan menjadi seperti ini, dia dibuat ketakutan dengan kedatangan pria tua Bangka itu.Andai waktu bisa diputar, Arleta akan memilih bekerja daripada sekolah. Mungkin kejadian ini tidak akan pernah terjadi. Tapi sekarang, tinggalah penyesalan.Arleta meneteskan air mata, mengingat hal itu. Jika saja Arleta mempunyai ibu seperti anak-anak yang lain, mungkin saat ini Arleta tidak akan melewati hari-hari beratnya sendiri.Tapi takdir berkata lain. Arleta harus kuat demi masa depannya sendiri. Arleta tidak boleh menyerah! Tidak boleh!Dalam kesendiriannya, pikiran Arleta menerawang jauh sebelum kepergian ayahnya.‘’ Leta. Maafkan ayah, ayah tidak mampu menyekolahkanmu sampai perguruan. ‘’ ucap ayah dengan sendu.Arleta menoleh, lalu tersenyum.’’Arleta tidak apa-apa kok yah, terimakasih sudah berjuang selama ini.’’ Jawab Arleta dengan air mata yang sudah bercucuran.Arleta merengkuh tubuh kurus ayahnya.Ya. Pria yang sudah berjuang keras membesarkan Arlet
“Ja-jaminan.” ucap Arleta tergagap.Bagaimana bisa, ayahnya menjadikan Arleta jaminan? Arleta bukan barang! Yang bisa seenaknya diberikan pada orang, sebagai jaminan hutang.Lalu Arleta menggeleng,” Tidak! Pasti ini bohong!” Arleta masih menyangkal kenyataan yang baru saja dia ketahui.“Ini asli Arleta. Disana terdapat tanda tangan ayahmu.” tunjuk pria tua itu.Mata Arleta mengikuti arah tangan bos rentenir ini. Memang benar disana ada tanda tangan ayahnya.Bahkan dalam surat itu tertulis jika ayah Arleta mendatangi ini surat ini dengan sadar dan tanpa paksaan dari siapapun.“Begini saja, tuan. Saya janji akan melunasi hutang ayah, tapi..”“Tapi apa!” potong Pria tua itu.“Tapi saya minta waktu, setelah saya mendapatkan pekerjaan, saya akan mencicilnya.” jawab Arleta. Dia terus menundukan kepala.“Tidak bisa! Kau akan menjadi istri ke 5 ku! Dan kau tidak bisa menolak, ayahmu sendiri yang sudah memberikanmu padaku!” bentaknya, dengan suara tinggi. Arleta semakin menundukan wajah,
Sesuai arahan Arleta langsung pergi ke ruang ganti bersama seorang kepala OB di sini.“Ini seragammu. Semoga betah.” ucapnya. Sambil menyodorkan baju pada Arleta.Arleta menerima baju itu.” Terimakasih, nama ku Arleta.” Kini giliran Arleta yang mengulurkan tangan.“Ami.” sahutnya, sambil menerima uluran tangan Arleta.“Cepatlah ganti. Nanti langsung saja pergi ke dapur. Disana kamu akan tahu pekerjaanmu nanti.” titahnya, setelah itu Ami langsung pergi meninggalkan Arleta.Setelah Ami keluar, Arleta langsung mengganti pakaiannya dengan seragam baru. Arleta tersenyum menatap dirinya di cermin.“Semoga kali ini, tidak ada halangan dalam pekerjaanku. Dengan begitu aku akan segera mendapatkan uang untuk membayar hutang.” “Semangat Arleta! Ingat! Jangan buat kesalahan lagi!” ucap Arleta menyemangati dirinya sendiri. Setelah itu Arleta langsung keluar dari ruang ganti dan berjalan menuju dapur dengan semangat empat lima.Tiba di pintu dapur Arleta menghentikan langkahnya sebentar. Dia mena
Laki-laki yang Arleta ketahui bernama tuan Mahendra itu melotot menatap Alana, yang juga sedang menatapnya. Namun dengan tatapan penuh kekhawatiran.‘Astaga! Kenapa bisa ada orang ini disini? Kalau sampai dia bilang sama yang punya perusahaan aku bisa kehilangan pekerjaan lagi.’ batin Arleta.“Hey! Kenapa kau ada disini!” bentak Mahen.Arleta terlonjak, kemudian menundukan pandangan.“Ma_maaf tuan. Sa_saya sedang beekerja disini.” jawab Arleta dengan tergagap. Lalu Arleta memberanikan diri mengangkat wajah, menatap laki-laki yang sedang memelototinya dari tadi.Arleta menjatuhkan alat kebersihannya begitu saja, lalu berlutut di hadapan Mehendra.“Tuan saya mohon maaf, atas kejadian tempo lalu. Saya mohon tuan, jangan bilang sama orang yang punya perusahaan ini, saya tidak ingin di pecat lagi tuan. Saya benar-benar sangat membutuhkan pekerjaan ini.” Arleta memohon dengan kedua tangan di tanggupka di depan dada.Pria itu tetap diam.‘Oh. Rupanya dia belum tahu kalau aku pemilik
Sangat mudah untuk Bas mencari tahu tentang Arleta, pagi ini Bas sudah mengantongi semua dan siap diberikan pada MahenKetika hari masih sangat pagi, Bas sudah keluar dari apartemennya, menuju rumah utama tempat dimana Mahen tinggal.Bas sengaja berangkat sepagi ini, karena akan membicarakan tentang informasi yang di dapatnya..Tidak butuh waktu lama untuk Bas sampai di rumah utama. Setelah mobilnya terparkir dengan baik, Bas segera turun dan melangkah masuk.Di rumah besar ini hanya ada Gio tinggal seorang diri, hanya ada beberapa pelayan dan juga penjaga rumah saja. Sesekali Bas juga menginap disana.“Tuan!” panggil Bas. Ketika susah tiba di depan pintu kamar Mahen.Bas mencoba membuka pintu namun tidak bisa.’’ Sepertinya tuan Mahen masih tidur.’’ Bas mengambil ponsel dalam saku celana, lalu menghubungi nomor Mahen. ‘’Astaga. Mengganggu saja!’’ keluh Mahen. Perlahan pria itu membuka mata, tangannya meraih ponsel yang ada di atas nakas.‘’Bas. Ini masih sangat pagi, kenapa dia su
“Tuan, saya turun disini saja.’’ ucap Arleta saat mobil Bas tiba di pintu gerbang kantor.Tanpa menunggu jawaban dari Mahen, Bas menghentikan mobilnya tepat di samping pintu masuk. Setelah mobil berhenti Arleta segara membuka pintu.‘’Tuan terima kasih atas tumpangannya.’’ ucap Arleta, sebelum dia benar-benar turun.‘’Hem.’’ sahut Ma singkat. Setelah Arleta benar-benar turun Bas langsung melajukan mobilnya kembali masuk kedalam pekarangan gedung. Sedangkan Arleta berjalan di belakang.Arleta bersyukur, tadi dia mendapatkan tumpangan kalau tidak, Dia pasti akan kesiangan . Arleta buru-buru masuk ke dalam ruang ganti, setelah berganti pakaian Arleta langsung menuju dapur. Bersiap untuk menjalankan tugas. Seperti biasa di dapur sudah ada pembagian tugas masing-masing, hari ini Arleta kebagian tugas membersihkan ruangan di lantai tiga.Di lantai lain, tepatnya di ruangan presdir Mahendra sedang sibuk dengan berkas-berkas yang menumpuk di atas meja. Pria itu terlalu fokus sehingga
Mehen mendorong tubuh Arleta hingga gadis itu jatuh terlentang diatas sofa empuk yang ada di ruangan presdir. Mehen langsung menindih Arleta dan melanjutkan mencumbu gadis itu dengan brutal.“Tuan! Berhenti! Tolong jangan lakukan ini!” Arleta memohon dengan mengiba. Tapi pria di atasnya ini seakan tuli tidak mendengar jerit tangisnya.Tangis dan rengekan Arleta seperti musik yang membuat Mahenra semakin bernafsu. Puas bermain di area leher kini Mahendra mencium bibir Arleta kembali dengan brutal menyusuri setiap rongga mulut gadis di bawahnya. Tangan Mahen bergerak meremas payudara Arleta yang berukuran sedang namun sangat pas ditangan Mehendra, tangan satunya pria itu digunakan untuk memegang tangan Arleta agar tidak bisa berontak.“Empt..”“Empt..” Arleta berteriak tertahan, nafasnya hampir habis akibat ulah Mahen.Pria itu melepaskan ciumannya, membiarkan Arleta mengambil oksigen. Matanya menatap dua buah gunung yang sangat indah di balik kaos yang Arleta kenakan.Dan…Srek!“Tid
Hari-hari berlalu setelah peristiwa di bawah pohon besar terasa lebih tenang. Meski rasa penasaran tetap ada, Mahen dan Arleta memutuskan untuk fokus pada keluarga mereka, terutama Mahesa. Namun, ada sesuatu yang berubah dalam kehidupan mereka, seolah-olah kehadiran Reza membawa pesan terselubung yang belum sepenuhnya mereka pahami.Mahesa kini tumbuh semakin besar. Semakin hari, kecerdasan dan rasa ingin tahunya semakin terlihat. Dia sering bertanya hal-hal yang sulit dijawab, seperti tentang bintang di langit atau kenapa hujan turun. Namun, pertanyaan yang paling sering Mahesa ajukan belakangan ini membuat Mahen dan Arleta terdiam.“Ayah, Bunda, nanti kalau aku besar, aku akan seperti apa?”Mahen tertawa kecil, mencoba menyembunyikan kebingungannya. “Kamu akan jadi anak yang hebat, Sayang, seperti sekarang.”“Tapi aku mau tahu,” desak Mahesa. “Reza bilang setiap anak punya jalannya sendiri.”Mahen dan Arleta terkejut. Sudah berbulan-bulan sejak mereka terakhir mendengar Mahesa
Hari-hari berlalu dengan tenang setelah Reza "mengucapkan selamat tinggal." Mahesa tampak kembali seperti anak kecil pada umumnya, yang ceria, penuh rasa ingin tahu, dan sibuk dengan aktivitasnya. Namun, Mahen dan Arleta belum bisa sepenuhnya melupakan apa yang terjadi. Gambar terakhir yang ditinggalkan Mahesa, dengan tulisan "Sampai jumpa lagi, Mahesa," tetap tersimpan rapi di ruang kerja mereka, seolah menjadi pengingat bahwa kisah ini belum benar-benar selesai.Entah, seperti masih ada yang mengganjal di hati Mahen maupun Arleta. Suatu malam, Mahen terbangun dengan nafas tersengal. Mimpi aneh menghantuinya. Mahen melihat dirinya berjalan di tengah sawah yang luas, dikelilingi oleh layangan-layangan yang berterbangan di langit jingga. Di kejauhan, Mahen melihat seorang anak laki-laki berdiri membelakanginya.“Reza?” panggil Mahen dalam mimpi.Anak itu menoleh, tersenyum, lalu berlari menjauh sambil membawa layangan. Mahen mencoba mengejarnya, tetapi langkahnya terasa berat,
Setelah peristiwa di taman belakang, Mahen dan Arleta merasa ada sesuatu yang belum selesai.Perasaan aneh terus menghinggapi mereka setiap kali mengingat cerita Mahesa tentang Reza, terutama ketika mereka melihat gambar-gambar yang dibuat Mahesa. Gambar itu bukan sekadar ilustrasi seorang anak bermain, melainkan potongan cerita yang terasa hidup.Namun, mereka memutuskan untuk tidak membahasnya terlalu jauh di depan Mahesa. Anak itu tampak bahagia, dan bagi mereka, itu yang paling penting.Suatu pagi, saat membersihkan gudang, Arleta menemukan sebuah kotak kayu tua yang tertutup debu tebal.Arleta tidak ingat pernah menyimpan kotak itu sebelumnya. Dengan rasa penasaran, wanita itu membuka kotak tersebut dan menemukan beberapa barang usang di dalamnya. Sebuah foto hitam putih seorang anak laki-laki memegang layangan, sebuah catatan kecil, dan mainan kayu yang sudah lapuk.Di belakang foto itu, tertulis dengan tinta yang mulai memudar. "Reza, di hari pertama layangan barunya terbang
Mahesa yang baru berumur enam tahun mulai menunjukkan kemampuan yang luar biasa. Dia sering kali berbicara dengan kalimat yang tampak terlalu dewasa untuk anak seusianya.“Ayah, kenapa langit bisa biru?” tanyanya suatu sore saat mereka duduk di halaman belakang.Mahen terkekeh, merasa bingung harus menjelaskan dengan bahasa sederhana. “Karena cahaya dari matahari itu terpecah oleh atmosfer bumi, Sayang.”“Oh, jadi itu seperti warna pelangi, ya? Tapi cuma yang biru yang terlihat?” tanyanya lagi.Mahen tertegun. Anak seusia Mahesa sudah bisa memahami konsep seperti itu? Mahen menatap Arleta, yang hanya mengangkat bahu sambil tersenyum bangga.Tidak hanya itu, Mahesa juga sering menghabiskan waktu dengan membaca buku cerita yang lebih sulit daripada teman-teman sebayanya. Saat Mahesa berhasil menyelesaikan salah satu buku yang diberikan Arleta, Mahesa berkata, “Bunda, aku suka buku ini. Tapi aku mau tahu, kenapa tokohnya harus meninggalkan keluarganya di akhir cerita?”Pertanyaan itu
Hari-hari di rumah Mahen dan Arleta selalu hidup dengan tawa Mahesa. Kini, di usia lima tahun, Mahesa telah menunjukkan banyak hal yang membuat kedua orang tuanya bangga. Di setiap langkah pertumbuhannya, Mahen dan Arleta berusaha memberikan pengalaman-pengalaman yang mendidik, namun tetap menyenangkan, demi membentuk pribadi Mahesa yang ceria dan penuh kasih. Pada ulang tahunnya yang kelima, Mahesa menerima hadiah istimewa dari Mahen dan Arleta, sebuah sepeda kecil berwarna biru, lengkap dengan roda tambahan di sampingnya. “Ini sepeda untuk anak yang sudah besar seperti kamu,” kata Mahen sambil tersenyum, menyerahkan sepeda tersebut. Mata Mahesa berbinar. “Aku bisa naik sepeda, Ayah?” tanyanya dengan polos serta antusias. “Tentu bisa, tapi Ayah akan ajari dulu,” jawab Mahen, penuh semangat. Keesokan harinya, Mahen membawa Mahesa ke halaman depan rumah. Dengan sabar, Mahen mengajarkan cara mengayuh dan keseimbangan. Awalnya, Mahesa terlihat ragu-ragu, tapi dengan du
Masa kanak-kanak Mahesa adalah babak penuh warna dalam kehidupan Mahen dan Arleta. Dalam setiap senyum, tawa, dan tangis Mahesa, mereka menemukan arti baru dari cinta dan kebahagiaan, setiap momen yang mereka lewati, menjadikan kisah yang tidak dapat diulang dua kali.Ketika Mahesa baru belajar berjalan, hari itu menjadi momen yang tidak terlupakan bagi Arleta dan Mahen. Waktu itu, Mahen sedang menyusun laporan di ruang kerja, sementara Arleta sibuk menyiapkan makan malam di dapur. Tiba-tiba, terdengar suara tawa kecil Mahesa dari ruang tamu.Mahen yang penasaran melongok dan melihat Mahesa berdiri dengan susah payah di dekat meja kopi. “Arleta! Cepat kesini!” panggil Mahen penuh antusias.Arleta segera berlari ke ruang tamu, mendengar panggilan dari suaminya, tidak lupa wanita itu menyeka tangannya yang basah. Saat itu, Mahesa mulai melangkahkan kaki kecilnya, perlahan namun pasti, menuju Mahen.“Lihat dia, Arleta!” Mahen berseru, matanya berbinar.Arleta menahan napas, melihat Ma
Mahen menghubungi tim hukumnya keesokan paginya, membicarakan soal rencana untuk menghadapi Reza.Pria itu tahu bahwa menghadapi Reza tidak bisa dilakukan dengan emosi semata. Semua harus dilakukan secara cerdas dan penuh perhitungan.Sementara itu, Arleta berusaha menjaga rutinitas di rumah agar Mahesa tidak terpengaruh oleh situasi yang sedang mereka hadapi. Wanita itu, selalu bersikap normal seperti biasa, melakukan aktifitas ibu rumah tangga dan bermain dengan Mahesa.Disisi lain, Arleta menyaksikan bagaimana Mahen kembali menunjukkan sisi tegasnya sebagai seorang pemimpin, dalam menyikapi setiap masalah yang mereka hadapi.Malam itu, setelah Mahesa tertidur, Mahen duduk di ruang kerjanya dengan segelas kopi. Arleta mendekat dan meletakkan tangannya di bahu suaminya.“Bagaimana rencanamu?” tanyanya lembut.Mahen menatapnya sejenak sebelum menjawab. “Aku sudah berbicara dengan tim keamanan dan legal. Kami akan mengumpulkan bukti atas tindakan Reza, dan jika dia melanggar hukum, k
Setelah pertemuan dengan Ana, suasana rumah kembali tenang. Namun, di balik ketenangan itu, baik Mahen maupun Arleta tahu bahwa hubungan mereka masih membutuhkan waktu untuk benar-benar pulih. Mahesa, dengan tingkah lucu dan polosnya, menjadi pengikat hati mereka berdua.Malam itu, ketika Mahesa sudah tertidur pulas di kamarnya, Arleta duduk di balkon rumah mereka. Angin malam berhembus lembut, mengiringi pikirannya yang melayang-layang. Arleta teringat tatapan Ana saat pertemuan itu. Ada rasa sakit di mata wanita itu, tetapi juga ada tekad untuk melepaskan.Mahen keluar dari kamar, membawa dua cangkir teh hangat. Pria itu tahu istrinya sedang berpikir keras.“Tehnya untuk kamu,” kata Mahen, menyerahkan secangkir teh kepada Arleta.“Terima kasih,” jawab Arleta pelan, menerima cangkir itu dengan senyuman kecil.Mereka duduk berdampingan di bawah langit malam yang bertabur bintang. Untuk sesaat, tidak ada kata-kata yang terucap. Hanya suara angin yang menemani mereka.“Aku tahu sem
Hari-hari berlalu setelah pertemuan Arleta dan Ana di kafe. Meski percakapan itu memberikan kejelasan, Arleta tetap tidak bisa sepenuhnya melupakan sosok Ana. Wanita itu bertanya-tanya apakah ada sesuatu yang belum terungkap, sesuatu yang mungkin Mahen sembunyikan darinya.Sementara itu, Mahen tampak berusaha lebih keras untuk membangun kembali kepercayaan istrinya.Dia semakin sering membantu mengurus Mahesa, meluangkan waktu lebih banyak bersama keluarga, dan selalu memastikan bahwa Arleta merasa diperhatikan. Namun, di tengah upayanya itu, ada rasa khawatir yang diam-diam mengusiknya.Suatu sore, ketika Mahen sedang di kantor, Arleta menerima sebuah amplop tanpa nama yang diselipkan di bawah pintu rumah mereka. Dengan rasa penasaran bercampur was-was, Arleta membukanya. Di dalamnya terdapat foto-foto lama Mahen dan Ana, tampak mesra di sebuah acara yang jelas bukan sekadar pertemuan teman biasa.Hati Arleta mencelos. Dia merasa dikhianati lagi, meski Mahen tidak pernah mengaku