Tiga bulan sudah istriku menjalani tahap pemulihan. Dan hari ini akhirnya kami diizinkan kembali ke rumah.Senang rasanya bisa melangkah bersama seperti ini. Menghirup udara serta aroma khas rumah yang telah lama dirindukan.Sewaktu berada di rumah sakit, Maria kerap menanyakan rumah ini. Maklum saja, dua tahun koma tentu membuatnya melupakan banyak hal. Selalu yang diingat hanyalah peristiwa enam tahun silam.Tapi tidak masalah, yang terpenting adalah dia telah kembali padaku. Sisanya biar takdir yang urus.Aku tidak ingin hal lain mengusik ketenangan kami. Sudah cukup aku melihat air mata di pipi Maria. Sekarang waktunya dia bahagia."Sayang, berapa lama aku koma? Mengapa semuanya tampak sama? Bukankah kau bilang, bahwa aku koma selama dua tahun? Tapi kau dan aku masih terlihat sama."Entah apa maksud dari pertanyaan ini. Maria duduk di depan cermin rias miliknya. Sedangkan aku meletakkan tas milik istriku itu."Apa menurutmu ada yang berbeda dari rumah ini? Atau cermin itu yang ber
Hari yang ku nantikan akhirnya datang juga. "Selamat siang, Tuan Mark. Apa benar kau yang memanggilku?" Akhirnya wanita licik itu masuk dalam perangkapku. Dia datang seorang diri. "Silahkan duduk, Nona Monika. Aku memang ingin bertemu denganmu." Ya, wanita itu adalah Monika. Wanita yang selama tiga bulan terakhir ku curigai kehadirannya. Setiap kali melangkah, wanita itu pasti ada dimana-mana. Bukankah ini sesuatu yang mencurigakan? Bahkan pertemuan kami pun seolah direncanakan dengan matang. "Ada apa, Tuan Mark? Apa kau merindukanku?" Kali ini Monika tak segan menunjukkan jati dirinya. Dia membelai pundak serta dahiku. Seakan hendak menggoda. Faktanya adalah aku tidak tertarik sama sekali. "Tentu saja aku merindukanmu. Kalau tidak, untuk apa aku capek-capek memintamu datang?" Aku sungguh muak terhadap diriku sendiri. Menyentuh paha wanita selain Maria, membuatku jijik dan ingin muntah. "Benarkah? Kalau begitu tunggu apa lagi? Silahkan jamah aku." Aku sudah duga, Monika past
The King Hotel“Kau benar-benar payah, Mark! Dua malam kau tidur di samping gadis itu, tapi tidak sedikit pun menyentuhnya. Kau ini normal atau tidak?”Lelaki yang bernama Mark itu tak mengambil pusing cemoohan yang dikeluarkan oleh Richard, lelaki satunya yang berprofesi sebagai germo itu."Aku bukan dirimu! Lagi pula aku bukan pecinta anak remaja!" sanggah Mark dengan santainya. Namun, sukses membuat lelaki itu tersindir.Tak lama, Mark dan lelaki germo itu melangkah menuju sebuah kamar, di mana terdapat gadis yang sedari tadi jadi topik perbincangan mereka.Dialah Maria, gadis berusia sembilan belas tahun yang terperangkap ke dalam tipu daya mucikari tersebut. Maria yang semula diimingi pekerjaan di kota, tidak tahu kalau dia sedang ditipu. Bukan bekerja kantoran, atau jadi ART … dia justru berakhir disekap, juga disiksa karena terus memberontak saat tahu nasibnya yang hanya akan berakhir di ranjang lelaki hidung belang.Langkah kedua lelaki itu kian mendekat. Sementara Maria sema
".... Namun, ingat satu hal dariku, bahwa jika kau menarik ulur keputusanmu, maka aku bisa berlaku kejam dari Richard. Apa kau tidak masalah?" Entah apa yang sedang direncanakan oleh lelaki gagah tersebut. Mark seolah menguji mental Maria."Bukankah Anda bosnya di sini? Aku bahkan tidak diberi pilihan ketiga. Lantas mengapa Anda masih bertanya?" Rupanya Maria cukup bijak. Memberi jawaban cerdas yang sukses membuat kagum Mark. "Good, ternyata kau cukup cerdas di usia belia." Mark tersenyum sinis memuji karakter Maria. "Tunggu apa lagi? Apa kau sedang menunggu Richard di sini?" tukas Mark. "Ha?" Maria tercengang tak paham. Mendadak Mark berucap teka-teki. "Ah, iya." Namun, sedetik kemudian Maria paham maksud dari pria tersebut. Sementara itu, di ruang berbeda. Terlihat seorang pria berusia empat puluh tahun tengah menghitung dolar dengan mata berbinar. Jumlah uang itu tidaklah sedikit. Mencakup sembilan digit. "Wah, kalau harga per wanita seperti ini, maka aku bisa menguasai kot
Mobil sedan hitam membawa Maria dan juga Mark. Di dalam mobil itu mereka hanya diam membisu. Bahkan suara musik pun tidak terdengar sama sekali.Keheningan menemani mereka menuju kastil megah milik Mark.Dua jam perjalanan, akhirnya mereka pun tiba. Maria melirik bangunan di depannya. "Apakah ini istana?" batin gadis itu."Apa kau lebih suka tinggal di dalam mobil?" cetus Mark yang sudah keluar dari mobil."Kalau aku diberi pilihan untuk tinggal di mobil, maka aku lebih baik diam di sini," bisik Maria."Apa kau mengatakan sesuatu?" tanya Mark penuh selidik."Tidak!"Maria pun keluar, mengikuti jejak langkah Mark memasuki kastil yang menjulang tinggi.Warnanya coklat tua, bagian dalam dipenuhi pernak-pernik klasik nan unik.Di sudut ruangan lantai satu terdapat tirai kristal putih. Ada pula patung harimau yang tampak menyeramkan. Mata hewan buas itu berwarna merah menyala.Sedangkan lampu gantung terlihat remang-remang.Hampir seluruh ruangan memiliki bola lampu kuning. Sehingga menamb
Malam itu gemuruh hujan kembali menyapa belahan dunia lain. Petir yang selalu enggan alpa, menghantam tiang listrik di ujung kota. Sehingga menyebabkan kegelapan di seluruh pelosok. Tak terkecuali kastil Mark.Namun, orang kaya sepertinya tentu saja menyiapkan persediaan khusus bila siatuasi seperti ini akan terjadi. Mark merupakan orang terkaya di kota tersebut. Tentu mudah baginya untuk mendapatkan apa yang tidak dimiliki rakyat jelata.Bahkan jika mau, ia bisa saja membeli seluruh pemukiman warga. "Duduklah, kau akan tahu tugasmu apa saja," titah Mark kepada Maria yang saat ini berdiri meremas kesepuluh jemarinya.Jemari lentik itu berkeringat sejak tadi. Takut bila Mark memintanya untuk menjadi budak ranjang. "Bacalah ini." Mark menyodorkan secarik kertas kepada Maria."Apa ini?" tanya gadis itu."Walau kau miskin, setidaknya kau tidak buta huruf." Lidah Mark memang terkesan tajam. Kata-katanya kerap melukai perasaan. Seluruh pelayan di kastil itu tahu karakter pria tersebut. Maka
Melihat Maria yang tak pandai memotong stik, terpaksa Mark memberi potongan miliknya. "Ambillah, kau hanya akan menghambat tidurku," cetus pria itu."Terimakasih." Mark memang pria arogan sekaligus misterius. Namun, dibalik sifatnya itu rupanya masih tersimpan rasa simpatik.Dua anak manusia beda generasi itu makan dalam diam. Hanya suara deru hujan yang menemani mereka. Maria masih belum terbiasa dengan jenis makanan yang tersaji. Rasanya memang sungguh nikmat, tetapi tidak mengenyangkan.Dahulu kedua orang tuanya menyiapkan roti serta daging ayam sebagai menu makan malam mereka. Keluarga kecil nan sederhana itu menghabiskan makanan sesuka hati. Berbeda dengan Mark yang makan dalam porsi sedikit.Seperti kebanyakan orang kaya, usai makan malam mereka langsung menikmati wisky sebagai hidangan penutup. Tak lupa pula buah-buahan melengkapi.Mark menekan tombol di sebelah kiri meja. Lima menit kemudian datanglah seorang pelayan dengan sepiring stik dan juga kentang goreng. Tak lupa pula
“Tuan.” Maria mengenakan lingeri hitam pekat pemberian Mark. Berdiri di ambang pintu kamar pria tersebut. Mark menoleh, memperhatikan penampilan Maria yang cukup memukau. Namun sayangnya, pria itu sama sekali tidak tertarik.“Masuklah,” titahnya.Mark mengakhiri panggilan telpon. Lantas duduk di kursi minimalis seraya menuang wisky. Seperti biasa, bila menjelang tidur ia kerap meneguk segelas minuman keras untuk memancing rasa kantuk.Sialnya, cara itu tak pernah berhasil walau ia menghabiskan berbotol-botol minuman keras. Penyakit insomnia yang dideritanya selama bertahun-tahun kerap menghalang memasuki alam mimpi.Maria duduk di sisi Mark, sedangkan pria tersebut masih meneguk wisky. Ada rasa canggung sekaligus takut dalam benak Remaja berusia sembilan tahun tersebut. Berpikir jauh bila Mark hendak mengajaknya bercinta.“Apa kau pernah masuk ke perguruan tinggi?” Pertanyaan ini memeceh keheningan, hingga Maria merasa sedikit lega.“Tidak pernah,” sahut gadis itu.“Mengapa?”Maria te