Pagi itu mulai lebih cerah lagi, matahari mengambang dengan sendirinya. Di taman mereka berdua asik bercengkrama. Obrolan tersebut terlihat menyenangkan, sesekali Lintang menebar senyumnya pada pria itu, sesekali pula ada tawa yang timbul di antara sela-sela obrolan menjelang siang itu. Tangan si pria memanggil seorang pedagang yang berada di pojok taman, tempat tersebut memang menjadi lokasi untuk para pedagang kaki lima. Obrolan panjang menguras energi mereka, membuat keduanya merasa lapar.
"Pak, pesan dua porsi ya."
"Siap, Mas dan Mbak yang dari tadi mesra banget ihiw."
Tatap mata si gadis dan pria itu bertemu dan saling melontarkan raut geli.
Mereka mendapati fakta bahwa mereka pernah berjumpa di perlombaan melukis suatu masih duduk di sekolah dasar. Meski Lintang memutuskan untuk tidak melanjutkan bakatnya dan memilih menjadi akuntan di sebuah firma terkenal. Mereka semakin akrab satu sama lain, tak lupa gadis tersebut memberikan nomor kontak gawainya supaya tetap dapat berkomunikasi dengan Rudra.
Dua mangkok berisi bubur ayam panas nampak sangat lezat menghampiri keduanya. Ada percikan tawa yang muncul di sana ketika mereka berdebat antara bubur diaduk dan tidak diaduk.
Taman tersebut memang sangat rindang sehingga panasnya hari menjelang siang tidak bisa mengusik obrolan yang mereka ciptakan di kursi taman itu. Mungkin karena nostalgia masa lalu memang terkadang membuat candu. Bagaimana tidak? Mereka pernah dipertemukan di kala perlombaan melukis, dimana pria tersebut dan gadis itu menjadi juaranya, meski si pria hanya menduduki posisi kedua. Rudra sedikit menyanyangkan, mengapa gadis tersebut memilih menjadi akuntan ketimbang melanjutkan mimpinya menjadi pelukis terkenal. Pria itu selintas berpikir tahun ini ia merasa karirnya berada di puncak, karena saingannya sudah memilih jalan lain.
Perjalanan wisata masa lalu terganggu dengan sebuah realita dimana dering panggilan dari gawai Rudra terus berbunyi, dengan sangat terganggu pria itu mengangkat panggilan tersebut yang sudah ia abaikan beberapa kali.
“Iya halo, kenapa, Gof? Bukannya hari ini waktuku mencari inspirasi?” kata si pria dengan sedikit geram.
“Emang ya, kalau sudah dapat kesempatan pameran suka lupa diri. Aku sebagai juru bicaramu ingin memberikan kabar bahagia dan kabar buruk, mau pilih yang mana dulu untuk didengar?” jawab suara seorang pria dalam panggilan tersebut, yang bisa dipastikan dia adalah Gofano si pria berkacamata yang kemarin berada di meja kedai untuk berdiskusi.
“Sial, kenapa bisa ada kabar buruk segala? Aku pilih kabar buruk dulu saja, because I rest the best for the last” jawab si pria, yang sesekali melirik ke arah kursi taman tepat ke arah seorang gadis yang juga sedang terlihat sibuk dengan gawai pribadinya.
“Kabar buruknya, tempat pameran yang kita sudah rencanakan, ada yang membatalkannya dari pihak promotor, kamu tidak bisa untuk melaksanakan pameran disana” jawabnya.
“Lalu, dimana?” dengan cepat pria itu langsung menjawab.
“Kita pindah di galeri nasional, karena ada seorang investor dan kolektor yang tertarik dengan karya-karyamu sebelum ini, mereka ternyata diam-diam memperhatikan karya yang kamu ciptakan, untuk soal ini kamu bisa tanyakan langsung kepada mereka. Karena mereka mengundang kita untuk sebuah makan malam. Malam ini.”
“Apakah kamu serius? Pameranku akan dilaksanakan di galeri nasional?” jawab pria itu dengan sedikit tidak percaya.
“Halo, Rudra Batara Lesmana, sudah berapa lama kamu berteman denganku? Apakah pernah aku berbohong? Ya pernah sih, waktu aku memilih untuk pergi dengan kekasihku.” jawabnya
“Baiklah, sekarang berita baiknya apa?” lanjut si pria itu.
“Baiklah berita baiknya adalah kamu akan mendapatkan undangan untuk melakukan pameran di Paris jika kamu berhasil memukau para seniman negeri ini. Ini momen yang sangat langka. Karena kolektor yang berada disisi kita saat ini adalah kolektor yang sangat fanatik dengan seniman bukan karyanya saja dan dia orang yang membeli hampir semua hasil lukisanmu. Aku sangat tahu kamu sangat mengingkan untuk terbang ke Paris bukan? Memamerkan karyamu di sana?” jawabnya.
Pria itu hanya terdiam. Cahaya mulai menelusuri sela-sela ranting dan daun seakan-akan semesta memberikan dukungan untuk sebuah karismanya yang akan segera bersinar menyaingi kilau sang mentari.
“Rud.. Aku tau kamu sedang tidak bisa berkata-kata, sama persis kalau kamu sedang terkesima dengan seorang gadis, dasar cupu. Sudah ya, jangan lupa nanti malam pukul tujuh tepat kamu harus sudah siap berada di depan rumahmu itu. Oke? Bye.” sambungnya cepat.
“Tut.. Tut" suara dering panggilan tertutup.
Taman itu menjadi sesak olah senyum merekah yang tercetak berkali-kali dari si pria yang sedang berdiri mematung dengan gawai yang masih bersanding dengan daun telinganya. Dia merasa langkah yang diambil sudah akurat dan tepat meski sedikit terlambat untuk meyakini jalan yang dia pilihnya. Ya, jalan seni akan selalu sunyi dan sepi.
Sulit sekali orang di era hari ini memilih jalur seni, apalagi yang sama sekali menjadikan materi atau kekayaan sebagai pilihan nomor sekian untuk hidup dan gengsi. Kerap kali dia dikucilkan dari masyarakat karena pilihannya ini. Dia tegar saat ini karena almarhum orang tuanya mengajarkannya untuk tidak menyesali semua pilihan yang diambilnya, karena sebelum mengambil pilihan tersebut harus didasari nurani ynag kuat dan akhirnya memilih hal tersebutlah yang paling baik dari yang baik-baik saja. Lamunannya pecah di saat si gadis pesepda tersebut menepuk bahunya.
“Rud, kamu kenapa?” tanyanya.
Tanpa aba-aba pria tersebut langsung memeluk gadis itu lalu melepasnya dan melemparkan senyum lebarnya. Lalu tersadar bahwa yang dia peluk adalah seorang gadis yang baru hari ini dia temui kembali setelah sekian lama tidak berjumpa.
“Maaf-maaf, aku tidak sengaja. Mungkin karena aku terlalu senang.” jawab pria tersebut gugup.
Gadis itu menyebulkan kemerahan pada pipinya, bagaimana tidak kulitnya yang bersih itu tak kuasa untuk menutupi kejujuran perasaan yang sedang dirasakan si gadis tersebut.
“Gak apa-apa kok rud santai aja. Memangnya kenapa? Kok kamu terlihat sangat senang sekali?” tanya si gadis tersebut kepada pria yang sedang menahan malu karena kejadian tadi.
Belum pria itu menjawab, dering telpon berbunyi dari gawai si gadis itu. Gadis itu hanya menganggukkan kepala, dan berkata kepada sesorang dalam panggilan tersebut untuk menunggu sebentar.
“Rud, sepertinya simpan cerita itu nanti. Aku akan menghubungimu nanti untuk menagih cerita yang akan kamu ceritakan padaku ini. Abang supir onlinenya sudah menungguku soalnya, boleh minta tolong sekali lagi gak? Untuk mengantarkanku dan sepedaku ke gerbang taman ini. Dia menungguku di sana” jawab si gadis dengan menampilkan muka sedikit memelas itu.
Pria tersebut langsung bergegas membereskan bawaannya, dan mengangkat sepeda tersebut untuk kemudian menuntunnya ke depan gerabang. Mereka berdua berjalan perlahan-lahan meninggalkan para dedaunan yang sedari tadi menjadi penonton yang menyaksikan percakapan sangat asik oleh keduannya.
Sesampainya di sana, mereka berpamitan dan pria tersebut melambaikan tangganya, lalu berpaling dan sedikit melompat kegirangan lalu berlari kearah sepedanya yang ia parkirkan di tiang lampu taman. Rudra menaiki sepedanya, melaju meninggalkan taman tersebut. Di jalan pria itu mulai menata kembali mimpi-mimpinya untuk menjadi sesorang yang bisa dihargai di dunia yang dia pilih yaitu seni. Dia sementara lupa kepada seorang gadis yang berhasil memukau perhatiannya, yang masih dia belum ketahui siapa namanya.
“Tepat di hari yang sama, ada tanya yang menjelma raksasa yang melangkah mendekati kita yang belum punya senjata jawabannya.”
Suara pedagang kaki lima penjual empek-empek adalah tanda waktu yang pasti, setelahnya akan disusul suara siar suar-suar di sekitar komplek perumahan dan tempat tinggal di gubuk-gubuk liar. Parade klakson juga kadang konvoi gelombangnya sampai di telinga meski pintu depan sudah tertutup, pintu kamar sedikit terbuka. Ramai-ramai lampu rumah berlarian menyala. Sepeda yang ia gunakan dia sandarkan di garasi. Nanti malam adalah waktu yang tepat untuk memijakkan mimpinya kepada orang-orang yang tepat dalam hal menghargai karya yang ia lahirkan. Mandi yang bersih, memilih parfum yang baik serta busana yang rapi menjadi prioritas pencariannya saat ini. Pria itu bergegas untuk siapkan diri karena dering nada panggilan dari gawainya yang ia tengok berasal dari sahabatnya sekaligus juru
Seekor burung memasukan dirinya ke air, menangkap ikan-ikan kecil lalu membawanya ke sarang, tak jauh dari pemandang itu lautan menawarkan ke mesraan lain. Layar putih yang ditiup angin samudera menghantarkan perahu itu ke semenanjung rindu. Seorang gadis duduk di ujung perahu, seraya menyulam senyum yang merekah pelan-pelan, terlihat seorang pria yang asik mengagumi senyum itu dari tempat kemudi. Tak mau kalah, ikan-ikan berjingkrakan mengambil buih-buih senyum yang di sulamnya. Perahu itu dikelilingi lompatan-lompatan cahaya yang berkejaran, mengitari perahu. Seakan-akan mengiringi pelayaran perahu itu. Layar pun mengembang ditiup samudera. Keindahan yang tak kunjung usai dihempaskan begitu saja dari gadis yang berbalut mimpi keanggunan hakiki, perlahan-lahan perahu pun merayap mendekati bibir pantai, langit pun kian gelap, suara lagu pun kian mengeras, lagu yang terdengar tak asing lagi. Lagu yang berasal dari grup band terkenal yaitu Dead Squad.Pria itu terbangun, sediki
Setelah beberapa hari dia mengurung diri di dalam studionya. Beberapa lukisan sudah selesai di lahirkan. Persalinan antara harapan dan takdir yang belum merestuinya untuk bertemu dengan seorang gadis yang sangat dia harapkan untuk bertemu. Lukisan-lukisan itu semuanya berwajah sama dengan bermacam-macam tokoh, seperti gadis tersebut ingin hadir disetiap peristiwa. Wajah tersebut sangat haru, bisa juga sangat indah, bisa juga sangat menyedihkan. Gambaran negeri tersebut terwakilkan oleh seorang gadis yang mampu menyilap mata. Cahaya masuk tanpa permisi, menyilaukan mata pria yang sedari tadi tertidur diantara lukisan-lukisan, kuas yang bergeletakan dan bercak-bercak cat yang jatuh ke lantai. Sinar matahari seakan mengelus pipinya dan mencoba membangunkan pria tersebut. Pria tersebut terbangun. Melakukan hal-hal yang menjadi rutinitas masyarakat pada umumnya. Menggosok gigi, lalu pergi untuk mandi. Pria itu pergi untuk sekedar mampir meminum kopi. H
Malam ini bulan sedang berselimut bintang yang bermekaran. Jalan-jalan sesak dipenuhi bola-bola lampu kendaraan berlalu-lalang, seperti belalang yang hendak bermigrasi ke tempat yang lebih hijau. Suara-suara merdu bertautan, saling mengisi tiap sudut jalan. Beberapanya lagi terlihat petugas sedang sibuk untuk kerja lembur mengecat tembok-tembok kota dari gambar-gambar lukis yang dianggap provokatif. Menurutnya gambar tersebut merusak pemandangan, dan terkesan kotor. Baliho-baliho kampanye mungkin terlalu bersih dan sulit untuk ditertibkan.Kembali masuk ke dalam mobil ada tawa yang menghindar untuk berhenti, meski lampu merah di depan mata. Kedua pasang mata bebrapa kali saling tangkap, lalu timbul tawa kembali. Mereka berdua menemukan teman lain yang sangat dirindukan.Mobil itu melaju menjauh sedikit ke tujuan, berhenti disuatu tempat. Gadis itu keluar dari mobilnya dan menuju sebuah toko yang tampak mewah. Beberapa saat gadis tersebut keluar dengan kantong ker
Sepeninggal awan yang berlalu, bulan bintang bertukar rindu. Gelapnya malam seakan bercengkrama dengan deru ombak suara jalan raya kota. Rumah-rumah mulai dikunci, suara tiang-tiang listrik berdengung berkali-kali, orang-orang sibuk menata lelah yang akan disulap menjadi lelap. Malam ini tampak lebih tenang dan lebih senang dari malam-malam sebelumnya. Dimana banyak penasaran yang menghinggapi seorang pria yang kala itu disibukkan tentang seorang gadis yang tanpa sengaja dia temui di kedai kopi tempo hari. Kini dia rebahkan semua rasa penasaran itu sejenak ke tempat lain, dan malam ini dia lebih ingin merawat tawa yang sudah lama tidak hadir di hari-harinya. Di ruang studionya, mereka saling bercerita tentang masa kecilnya masing-masing. Mereka juga saling bertukar beberapa rahasia konyol, seperti pernah pipis di celana sewaktu menaiki wahana kereta cepat, tentang ketakutan pria itu pada ketinggian, peristiwa dikejar-kejar seekor anjing penjaga rumah dan lain-lain yang serin
Burung-burung mulai berkicau, melompat dari ranting ke ranting. Daun-daun berguguran, suara klakson dari pedagang roti mulai berbunyi riang. Pagi yang cerah dan sinar matahari yang mulai mengambang di ufuknya. Burung gereja bertengger di jendela seakan menatap sesosok tubuh yang terselimuti bahagia. Seorang gadis menulis pada secarik kertas, lalu bergegas pergi meninggalkan tubuh pria yang masih berselimut mimpi. Garasi dibuka lalu dikeluarkannya mobil putih itu dan menutup pagarnya kembali. Dari dalam mobil, dia tersenyum bahagia seperti orang yang mendapatkan kemenangannya setelah berkali-kali gagal mencalonkan diri menjadi pejabat. Dia seakan-akan terlahir kembali, harinya pasti akan bahagia. Perasaannya harum dengan bunga-bunga yang bermekaran. Kini dia mulai meninggalkan tempat tersebut dengan perasaan yang lebih bahagia lagi. Mobil putih lama-kelamaan hilang ditelan jalan. Pagi kian cerah, langit pun sudah menyala. Sinar matahari pun mencoba
Cahaya masuk melalui celah-celah jendela, tanpa permisi membelah korden yang baru saja dibeli di toko kain India. Cahaya itu langsung mengecup kedua mata seorang pria yang sedang asyik meramu mimpi di antara bantal dan guling. Alarm berbunyi berkali-kali, mulai dari suara ayam berkokok, anjing menggonggong, dan dering musik telepon yang sekilas mirip dengan orang sedang marah-marah di tanggal tua."Iya, halo", jawab pria yang masih menutup matanya.Telepon itu masih meneriakinya, lagi dan lagi. Pria itu mengintip di sela-sela kelopak matanya dan melihat seonggok jam yang tergantung di dinding. "Astaga!", suaran
Di kedai tersebut sudah ada seorang pria yang bertengger. Mungkin sedikit kesal. Meski kesal dia tampak lega. Buktinya nafasnya tak lagi tersengal-sengal. Perlahan amarahnya mulai menurun, seperti pasang air laut pada pantai yang mulai surut kembali ke laut. “Dari mana aja? Seratus kali aku telpon, wahai seniman muda yang amat terhormat!”, kata si pria berkacamata. Tanpa menjawab perkataannya, pria itu hanya berlari kecil melewati pria berkacamata dengan sedikit tawa. Mereka memasuki kedai tersebut. Beberapa karyawan di sana menyapa pria itu. Sambil membalas beberapa sapaan orang-orang di sana, pria itu mempersiapkan diri u
Burung-burung mulai berkicau, melompat dari ranting ke ranting. Daun-daun berguguran, suara klakson dari pedagang roti mulai berbunyi riang. Pagi yang cerah dan sinar matahari yang mulai mengambang di ufuknya. Burung gereja bertengger di jendela seakan menatap sesosok tubuh yang terselimuti bahagia. Seorang gadis menulis pada secarik kertas, lalu bergegas pergi meninggalkan tubuh pria yang masih berselimut mimpi. Garasi dibuka lalu dikeluarkannya mobil putih itu dan menutup pagarnya kembali. Dari dalam mobil, dia tersenyum bahagia seperti orang yang mendapatkan kemenangannya setelah berkali-kali gagal mencalonkan diri menjadi pejabat. Dia seakan-akan terlahir kembali, harinya pasti akan bahagia. Perasaannya harum dengan bunga-bunga yang bermekaran. Kini dia mulai meninggalkan tempat tersebut dengan perasaan yang lebih bahagia lagi. Mobil putih lama-kelamaan hilang ditelan jalan. Pagi kian cerah, langit pun sudah menyala. Sinar matahari pun mencoba
Sepeninggal awan yang berlalu, bulan bintang bertukar rindu. Gelapnya malam seakan bercengkrama dengan deru ombak suara jalan raya kota. Rumah-rumah mulai dikunci, suara tiang-tiang listrik berdengung berkali-kali, orang-orang sibuk menata lelah yang akan disulap menjadi lelap. Malam ini tampak lebih tenang dan lebih senang dari malam-malam sebelumnya. Dimana banyak penasaran yang menghinggapi seorang pria yang kala itu disibukkan tentang seorang gadis yang tanpa sengaja dia temui di kedai kopi tempo hari. Kini dia rebahkan semua rasa penasaran itu sejenak ke tempat lain, dan malam ini dia lebih ingin merawat tawa yang sudah lama tidak hadir di hari-harinya. Di ruang studionya, mereka saling bercerita tentang masa kecilnya masing-masing. Mereka juga saling bertukar beberapa rahasia konyol, seperti pernah pipis di celana sewaktu menaiki wahana kereta cepat, tentang ketakutan pria itu pada ketinggian, peristiwa dikejar-kejar seekor anjing penjaga rumah dan lain-lain yang serin
Malam ini bulan sedang berselimut bintang yang bermekaran. Jalan-jalan sesak dipenuhi bola-bola lampu kendaraan berlalu-lalang, seperti belalang yang hendak bermigrasi ke tempat yang lebih hijau. Suara-suara merdu bertautan, saling mengisi tiap sudut jalan. Beberapanya lagi terlihat petugas sedang sibuk untuk kerja lembur mengecat tembok-tembok kota dari gambar-gambar lukis yang dianggap provokatif. Menurutnya gambar tersebut merusak pemandangan, dan terkesan kotor. Baliho-baliho kampanye mungkin terlalu bersih dan sulit untuk ditertibkan.Kembali masuk ke dalam mobil ada tawa yang menghindar untuk berhenti, meski lampu merah di depan mata. Kedua pasang mata bebrapa kali saling tangkap, lalu timbul tawa kembali. Mereka berdua menemukan teman lain yang sangat dirindukan.Mobil itu melaju menjauh sedikit ke tujuan, berhenti disuatu tempat. Gadis itu keluar dari mobilnya dan menuju sebuah toko yang tampak mewah. Beberapa saat gadis tersebut keluar dengan kantong ker
Setelah beberapa hari dia mengurung diri di dalam studionya. Beberapa lukisan sudah selesai di lahirkan. Persalinan antara harapan dan takdir yang belum merestuinya untuk bertemu dengan seorang gadis yang sangat dia harapkan untuk bertemu. Lukisan-lukisan itu semuanya berwajah sama dengan bermacam-macam tokoh, seperti gadis tersebut ingin hadir disetiap peristiwa. Wajah tersebut sangat haru, bisa juga sangat indah, bisa juga sangat menyedihkan. Gambaran negeri tersebut terwakilkan oleh seorang gadis yang mampu menyilap mata. Cahaya masuk tanpa permisi, menyilaukan mata pria yang sedari tadi tertidur diantara lukisan-lukisan, kuas yang bergeletakan dan bercak-bercak cat yang jatuh ke lantai. Sinar matahari seakan mengelus pipinya dan mencoba membangunkan pria tersebut. Pria tersebut terbangun. Melakukan hal-hal yang menjadi rutinitas masyarakat pada umumnya. Menggosok gigi, lalu pergi untuk mandi. Pria itu pergi untuk sekedar mampir meminum kopi. H
Seekor burung memasukan dirinya ke air, menangkap ikan-ikan kecil lalu membawanya ke sarang, tak jauh dari pemandang itu lautan menawarkan ke mesraan lain. Layar putih yang ditiup angin samudera menghantarkan perahu itu ke semenanjung rindu. Seorang gadis duduk di ujung perahu, seraya menyulam senyum yang merekah pelan-pelan, terlihat seorang pria yang asik mengagumi senyum itu dari tempat kemudi. Tak mau kalah, ikan-ikan berjingkrakan mengambil buih-buih senyum yang di sulamnya. Perahu itu dikelilingi lompatan-lompatan cahaya yang berkejaran, mengitari perahu. Seakan-akan mengiringi pelayaran perahu itu. Layar pun mengembang ditiup samudera. Keindahan yang tak kunjung usai dihempaskan begitu saja dari gadis yang berbalut mimpi keanggunan hakiki, perlahan-lahan perahu pun merayap mendekati bibir pantai, langit pun kian gelap, suara lagu pun kian mengeras, lagu yang terdengar tak asing lagi. Lagu yang berasal dari grup band terkenal yaitu Dead Squad.Pria itu terbangun, sediki
Suara pedagang kaki lima penjual empek-empek adalah tanda waktu yang pasti, setelahnya akan disusul suara siar suar-suar di sekitar komplek perumahan dan tempat tinggal di gubuk-gubuk liar. Parade klakson juga kadang konvoi gelombangnya sampai di telinga meski pintu depan sudah tertutup, pintu kamar sedikit terbuka. Ramai-ramai lampu rumah berlarian menyala. Sepeda yang ia gunakan dia sandarkan di garasi. Nanti malam adalah waktu yang tepat untuk memijakkan mimpinya kepada orang-orang yang tepat dalam hal menghargai karya yang ia lahirkan. Mandi yang bersih, memilih parfum yang baik serta busana yang rapi menjadi prioritas pencariannya saat ini. Pria itu bergegas untuk siapkan diri karena dering nada panggilan dari gawainya yang ia tengok berasal dari sahabatnya sekaligus juru
Pagi itu mulai lebih cerah lagi, matahari mengambang dengan sendirinya. Di taman mereka berdua asik bercengkrama. Obrolan tersebut terlihat menyenangkan, sesekali Lintang menebar senyumnya pada pria itu, sesekali pula ada tawa yang timbul di antara sela-sela obrolan menjelang siang itu. Tangan si pria memanggil seorang pedagang yang berada di pojok taman, tempat tersebut memang menjadi lokasi untuk para pedagang kaki lima. Obrolan panjang menguras energi mereka, membuat keduanya merasa lapar. "Pak, pesan dua porsi ya." "Siap, Mas dan Mbak yang
Pagi yang cerah, burung-burung saling berkelakar tentang caranya berenang jika terjadi banjir di kota ini. Daun-daun kering berlarian mengitari batang pohon yang berdiri kokoh di taman kota. Seorang pria duduk dengan memegang pensil yang dia gunakan untuk membentuk sebuah gambar sketsa. Perlahan-lahan gambar itu terlihat seperti seorang gadis yang berada di pojok ruangan dekat jendela. Rambut hitam yang tergerai mengombak seperti ombak laut selatan, indah dan berkilau. Asap kopi yang menipis pertanda kopi mulai kedinginan, pria itu melihat cup kopi yang mulai menggigil, lalu menangkapnya dalam genggaman, dan “sruput!” suara yang terdengar dari pria itu pada kopi yang sekarang sudah habis. Gadis itu mulai menyembulkan senyumnya, pria itu tersenyum p
Hari itu memang sangat cerah, matahari tampak hangat sehangat sayur sup buatan ibu. Semangat Rudra sangat bergelora untuk bertemu gadis yang menarik perhatiannya di kedai itu. Dengan langkah mantap, pria itu memasuki kedai dengan harapan bisa melihat dan menemui gadis yang memenuhi pikirannya akhir-akhir ini. Saat ini, yang terpenting bukanlah berdiskusi persoalan proyeknya dengan kurator. Bagi Rudra, proyek itu hanyalah proyek yang biasa saja yang sudah sering ia lalui dan menjadi sebuah kebiasaan. Tepat ketika Rudra masuk ke dalam kedai itu, fokus utamanya tidak langsung menuju pria berdasi atau pria berkacamata, baginya mereka hanyalah angin yang tak berbentuk. Ia berdiri agak lama membelakangi pintu melihat ke sekelilingnya. Rudra sangat berharap gadis itu sudah berada lebi