Hari itu memang sangat cerah, matahari tampak hangat sehangat sayur sup buatan ibu. Semangat Rudra sangat bergelora untuk bertemu gadis yang menarik perhatiannya di kedai itu. Dengan langkah mantap, pria itu memasuki kedai dengan harapan bisa melihat dan menemui gadis yang memenuhi pikirannya akhir-akhir ini. Saat ini, yang terpenting bukanlah berdiskusi persoalan proyeknya dengan kurator. Bagi Rudra, proyek itu hanyalah proyek yang biasa saja yang sudah sering ia lalui dan menjadi sebuah kebiasaan.
Tepat ketika Rudra masuk ke dalam kedai itu, fokus utamanya tidak langsung menuju pria berdasi atau pria berkacamata, baginya mereka hanyalah angin yang tak berbentuk. Ia berdiri agak lama membelakangi pintu melihat ke sekelilingnya. Rudra sangat berharap gadis itu sudah berada lebih dahulu di kedai tersebut, menanti kedatangannya sambil duduk manis di bangku kedai ditemani secangkir kopi pesanannya.
Pria itu mencoba mencari-cari dimana gadis itu berada. Ingatan yang sejak kemarin dipenuhi oleh gadis itu seketika menghilang begitu saja, entah berceceran ke mana. Rudra mencoba merangkai memori dengan mata yang berlarian kian kemari, memastikan salah satu perempuan yang datang ke kedai itu adalah gadis yang sama di pikirannya. Tapi sayang, entah mengapa tak ada satu pun perempuan yang ada di situ sama seperti gadis yang memenuhi pikirannya akhir-akhir ini.
Pencarian pria itu pun menjadi pecah ketika ia mendengar suara teriakan dari seorang pria memanggil namanya,
“RUDRA!” panggil pria berkacamata sambil melambaikan tangannya dari salah satu meja yang tak jauh dari pintu masuk kedai tersebut.
Rudra kecewa tak menemukan sosok gadis itu. Dengan pikiran yang sudah pecah dan harapan yang sirna, Ia pun berjalan menghampiri pria berkacamata dan pria berdasi yang sudah bersiap untuk memulai pertemuan.
“Dari mana saja kau wahai Rudra si seniman muda? Jam berapa ini?” tanya Gofani.
“Maaf saya bangu...” belum selesai menjawab, pria berdasi menyahutnya.
“Sudah mari kita mulai pertemuan hari ini!” sahut Pak Kuntardi sambil mempersilakan duduk pria itu.
Rudra duduk dengan memposisikan dirinya agar dapat melihat pintu masuk kedai. Ia masih memiliki keyakinan bahwa gadis itu akan datang. Walau sempat putus asa karena tidak ada satu pun perempuan yang sama dengan wajah gadis yang selalu memenuhi pikirannya. Ia berusaha berharap, meski sedikit kemungkinan seperti keyakinannya pada takdir yang sudah dirangkai. Pak Kuntardi dan Gofani akan memulai diskusi dengan mengeluarkan buku catatan dari saku mereka masing-masing, tapi pria itu tak mengeluarkan apa-apa kecuali harapan akan hadirnya gadis itu.
“Kau tak pesan apa pun Rudra?” tanya Pak Kuntardi, namun tak ada tanggapan. Rudra masih saja fokus memperhatikan setiap orang yang datang ke kedai.
“Rudra?” tanya Gofani sambil menepuk pundak pria itu.
“Eh...” Rudra terkejut.
“Kamu mau pesan apa? Aku tau kamu pasti belum sarapan.” tawar pria berkacamata kepada Rudra.
“Hehe, tau saja kamu.” jawab pria itu sambil menggaruk-garuk kepalanya. Kemudian Gofani pun melambaikan tangan, isyarat untuk memesan kepada pelayan kedai.
“Tulislah apa saja yang ingin kau pesan, soal bayar membayar pikir belakangan.” kata pria berdasi sambil meminum kopi yang sudah ia pesan sebelum kedatangan Rudra.
Rudra memilih menu sambil menebak-nebak apa yang biasa gadis itu pesan. Sekiranya pilihan mereka sama, bisa saja menjadi sebuah awal obrolan ketika bertemu. Perutnya bergemuruh seakan memberi tanda bahwa ia butuh segera makan dan tak peduli dengan khayalan yang Rudra bangun. Akhirnya, ia pesan sepiring nasi goreng dan secangkir kopi gayo.
"Kau tidak ingin mencoba menu yang lebih mahal?"
"Tidak, Pak. Ini saja. Lagipula apa artinya makanan mahal bila tak cocok dengan selera."
Pesanan Rudra sudah datang, namun gadis yang dinantikannya tak kunjung hadir. Pria itu sudah hilang harapan, keyakinannya pun pudar sepudar warna daun pisang yang menguning di tengah lahan yang dibeli untuk membangun gedung swalayan. Walau harapannya telah gugur, pria itu masih memperhatikan setiap orang yang berdatang ke kedai itu sampai sarapannya habis sehabis kesabarannya akan keyakinan yang dibuatnya sendiri.
Diskusi pun dimulai, Gofani mengeluarkan berkas-berkas, Pak Kuntardi mengeluarkan laptopnya dan Rudra masih berkecamuk akan pupusnya harapan. Diskusi tentang proyek kesenian ini menjadi panjang dan membosankan bagi Rudra. Diskusi ini hanya membuang-buang umur saja, dari menawarkan strategi promosi, katalog, dan pencarian sponsor yang belum pasti. Hingga diskusi itu sampai ke pembahasan tentang seniman senior yang akan memberikan tanggapan.
“Apa kau akan menjadikan Hendra Koesno Dono sebagai seniman senior yang akan memberikan tanggapan tentang karyamu?”
Seusai pria berdasi itu bertanya, tiba-tiba terdengar suara “krincing” isyarat ada orang yang masuk ke kedai itu. Sontak Rudra langsung mengalihkan perhatiannya. Pria itu tak menyangka bahwa pengunjung itu adalah gadis yang selalu memenuhi pikirannya akhir-akhir ini.
Perasaan bahagia, canggung, dan bingung saling bercampur carut marut. Pandangan pria itu hanya tertuju kepada gadis yang baru saja masuk ke kedai, yang selalu menghantui pikirannya. Dia memastikan jika gadis itu duduk tepat di ujung kedai. Perhatiannya kemudian pecah karena perut pria itu tiba-tiba mengalami kesakitan yang tampaknya harus ada hajat yang dibuang.
“Bagaimana saudara Rudra? Apakah kau ingin menjadikan Hendra Koesno Dono sebagai seseorang yang memberikan kata pengantarnya padamu?” tanya pria berdasi sekali lagi.
“Maaf tampaknya saya harus ke kamar mandi.” kata Rudra dengan raut wajah yang sudah pucat sambil kedua tangan memegang perutnya yang sakit. Kemudian pria itu melangkah menuju kamar mandi.
Suara air terguyur di kamar mandi pertanda pria itu sudah menyelesaikan kewajibannya, kembalilah pria itu ke tempat pria berdasi dan pria berkacamata yang sedang melakukan diskusi. Rudra kembali memperhatikan ujung kedai tepat dimana wanitagadis itu duduk. Tak disangka bahwa gadis itu telah lenyap kembali, pria itu sangat menyesali apa yang telah ia lakukan. Harapan dan keyakinan yang ia bangun hancur karena dirinya sendiri.
“Satu detik itu adalah serangkaian waktu yang bisa meluluh lantahkan kerajaan tatapku.”
Pagi yang cerah, burung-burung saling berkelakar tentang caranya berenang jika terjadi banjir di kota ini. Daun-daun kering berlarian mengitari batang pohon yang berdiri kokoh di taman kota. Seorang pria duduk dengan memegang pensil yang dia gunakan untuk membentuk sebuah gambar sketsa. Perlahan-lahan gambar itu terlihat seperti seorang gadis yang berada di pojok ruangan dekat jendela. Rambut hitam yang tergerai mengombak seperti ombak laut selatan, indah dan berkilau. Asap kopi yang menipis pertanda kopi mulai kedinginan, pria itu melihat cup kopi yang mulai menggigil, lalu menangkapnya dalam genggaman, dan “sruput!” suara yang terdengar dari pria itu pada kopi yang sekarang sudah habis. Gadis itu mulai menyembulkan senyumnya, pria itu tersenyum p
Pagi itu mulai lebih cerah lagi, matahari mengambang dengan sendirinya. Di taman mereka berdua asik bercengkrama. Obrolan tersebut terlihat menyenangkan, sesekali Lintang menebar senyumnya pada pria itu, sesekali pula ada tawa yang timbul di antara sela-sela obrolan menjelang siang itu. Tangan si pria memanggil seorang pedagang yang berada di pojok taman, tempat tersebut memang menjadi lokasi untuk para pedagang kaki lima. Obrolan panjang menguras energi mereka, membuat keduanya merasa lapar. "Pak, pesan dua porsi ya." "Siap, Mas dan Mbak yang
Suara pedagang kaki lima penjual empek-empek adalah tanda waktu yang pasti, setelahnya akan disusul suara siar suar-suar di sekitar komplek perumahan dan tempat tinggal di gubuk-gubuk liar. Parade klakson juga kadang konvoi gelombangnya sampai di telinga meski pintu depan sudah tertutup, pintu kamar sedikit terbuka. Ramai-ramai lampu rumah berlarian menyala. Sepeda yang ia gunakan dia sandarkan di garasi. Nanti malam adalah waktu yang tepat untuk memijakkan mimpinya kepada orang-orang yang tepat dalam hal menghargai karya yang ia lahirkan. Mandi yang bersih, memilih parfum yang baik serta busana yang rapi menjadi prioritas pencariannya saat ini. Pria itu bergegas untuk siapkan diri karena dering nada panggilan dari gawainya yang ia tengok berasal dari sahabatnya sekaligus juru
Seekor burung memasukan dirinya ke air, menangkap ikan-ikan kecil lalu membawanya ke sarang, tak jauh dari pemandang itu lautan menawarkan ke mesraan lain. Layar putih yang ditiup angin samudera menghantarkan perahu itu ke semenanjung rindu. Seorang gadis duduk di ujung perahu, seraya menyulam senyum yang merekah pelan-pelan, terlihat seorang pria yang asik mengagumi senyum itu dari tempat kemudi. Tak mau kalah, ikan-ikan berjingkrakan mengambil buih-buih senyum yang di sulamnya. Perahu itu dikelilingi lompatan-lompatan cahaya yang berkejaran, mengitari perahu. Seakan-akan mengiringi pelayaran perahu itu. Layar pun mengembang ditiup samudera. Keindahan yang tak kunjung usai dihempaskan begitu saja dari gadis yang berbalut mimpi keanggunan hakiki, perlahan-lahan perahu pun merayap mendekati bibir pantai, langit pun kian gelap, suara lagu pun kian mengeras, lagu yang terdengar tak asing lagi. Lagu yang berasal dari grup band terkenal yaitu Dead Squad.Pria itu terbangun, sediki
Setelah beberapa hari dia mengurung diri di dalam studionya. Beberapa lukisan sudah selesai di lahirkan. Persalinan antara harapan dan takdir yang belum merestuinya untuk bertemu dengan seorang gadis yang sangat dia harapkan untuk bertemu. Lukisan-lukisan itu semuanya berwajah sama dengan bermacam-macam tokoh, seperti gadis tersebut ingin hadir disetiap peristiwa. Wajah tersebut sangat haru, bisa juga sangat indah, bisa juga sangat menyedihkan. Gambaran negeri tersebut terwakilkan oleh seorang gadis yang mampu menyilap mata. Cahaya masuk tanpa permisi, menyilaukan mata pria yang sedari tadi tertidur diantara lukisan-lukisan, kuas yang bergeletakan dan bercak-bercak cat yang jatuh ke lantai. Sinar matahari seakan mengelus pipinya dan mencoba membangunkan pria tersebut. Pria tersebut terbangun. Melakukan hal-hal yang menjadi rutinitas masyarakat pada umumnya. Menggosok gigi, lalu pergi untuk mandi. Pria itu pergi untuk sekedar mampir meminum kopi. H
Malam ini bulan sedang berselimut bintang yang bermekaran. Jalan-jalan sesak dipenuhi bola-bola lampu kendaraan berlalu-lalang, seperti belalang yang hendak bermigrasi ke tempat yang lebih hijau. Suara-suara merdu bertautan, saling mengisi tiap sudut jalan. Beberapanya lagi terlihat petugas sedang sibuk untuk kerja lembur mengecat tembok-tembok kota dari gambar-gambar lukis yang dianggap provokatif. Menurutnya gambar tersebut merusak pemandangan, dan terkesan kotor. Baliho-baliho kampanye mungkin terlalu bersih dan sulit untuk ditertibkan.Kembali masuk ke dalam mobil ada tawa yang menghindar untuk berhenti, meski lampu merah di depan mata. Kedua pasang mata bebrapa kali saling tangkap, lalu timbul tawa kembali. Mereka berdua menemukan teman lain yang sangat dirindukan.Mobil itu melaju menjauh sedikit ke tujuan, berhenti disuatu tempat. Gadis itu keluar dari mobilnya dan menuju sebuah toko yang tampak mewah. Beberapa saat gadis tersebut keluar dengan kantong ker
Sepeninggal awan yang berlalu, bulan bintang bertukar rindu. Gelapnya malam seakan bercengkrama dengan deru ombak suara jalan raya kota. Rumah-rumah mulai dikunci, suara tiang-tiang listrik berdengung berkali-kali, orang-orang sibuk menata lelah yang akan disulap menjadi lelap. Malam ini tampak lebih tenang dan lebih senang dari malam-malam sebelumnya. Dimana banyak penasaran yang menghinggapi seorang pria yang kala itu disibukkan tentang seorang gadis yang tanpa sengaja dia temui di kedai kopi tempo hari. Kini dia rebahkan semua rasa penasaran itu sejenak ke tempat lain, dan malam ini dia lebih ingin merawat tawa yang sudah lama tidak hadir di hari-harinya. Di ruang studionya, mereka saling bercerita tentang masa kecilnya masing-masing. Mereka juga saling bertukar beberapa rahasia konyol, seperti pernah pipis di celana sewaktu menaiki wahana kereta cepat, tentang ketakutan pria itu pada ketinggian, peristiwa dikejar-kejar seekor anjing penjaga rumah dan lain-lain yang serin
Burung-burung mulai berkicau, melompat dari ranting ke ranting. Daun-daun berguguran, suara klakson dari pedagang roti mulai berbunyi riang. Pagi yang cerah dan sinar matahari yang mulai mengambang di ufuknya. Burung gereja bertengger di jendela seakan menatap sesosok tubuh yang terselimuti bahagia. Seorang gadis menulis pada secarik kertas, lalu bergegas pergi meninggalkan tubuh pria yang masih berselimut mimpi. Garasi dibuka lalu dikeluarkannya mobil putih itu dan menutup pagarnya kembali. Dari dalam mobil, dia tersenyum bahagia seperti orang yang mendapatkan kemenangannya setelah berkali-kali gagal mencalonkan diri menjadi pejabat. Dia seakan-akan terlahir kembali, harinya pasti akan bahagia. Perasaannya harum dengan bunga-bunga yang bermekaran. Kini dia mulai meninggalkan tempat tersebut dengan perasaan yang lebih bahagia lagi. Mobil putih lama-kelamaan hilang ditelan jalan. Pagi kian cerah, langit pun sudah menyala. Sinar matahari pun mencoba
Burung-burung mulai berkicau, melompat dari ranting ke ranting. Daun-daun berguguran, suara klakson dari pedagang roti mulai berbunyi riang. Pagi yang cerah dan sinar matahari yang mulai mengambang di ufuknya. Burung gereja bertengger di jendela seakan menatap sesosok tubuh yang terselimuti bahagia. Seorang gadis menulis pada secarik kertas, lalu bergegas pergi meninggalkan tubuh pria yang masih berselimut mimpi. Garasi dibuka lalu dikeluarkannya mobil putih itu dan menutup pagarnya kembali. Dari dalam mobil, dia tersenyum bahagia seperti orang yang mendapatkan kemenangannya setelah berkali-kali gagal mencalonkan diri menjadi pejabat. Dia seakan-akan terlahir kembali, harinya pasti akan bahagia. Perasaannya harum dengan bunga-bunga yang bermekaran. Kini dia mulai meninggalkan tempat tersebut dengan perasaan yang lebih bahagia lagi. Mobil putih lama-kelamaan hilang ditelan jalan. Pagi kian cerah, langit pun sudah menyala. Sinar matahari pun mencoba
Sepeninggal awan yang berlalu, bulan bintang bertukar rindu. Gelapnya malam seakan bercengkrama dengan deru ombak suara jalan raya kota. Rumah-rumah mulai dikunci, suara tiang-tiang listrik berdengung berkali-kali, orang-orang sibuk menata lelah yang akan disulap menjadi lelap. Malam ini tampak lebih tenang dan lebih senang dari malam-malam sebelumnya. Dimana banyak penasaran yang menghinggapi seorang pria yang kala itu disibukkan tentang seorang gadis yang tanpa sengaja dia temui di kedai kopi tempo hari. Kini dia rebahkan semua rasa penasaran itu sejenak ke tempat lain, dan malam ini dia lebih ingin merawat tawa yang sudah lama tidak hadir di hari-harinya. Di ruang studionya, mereka saling bercerita tentang masa kecilnya masing-masing. Mereka juga saling bertukar beberapa rahasia konyol, seperti pernah pipis di celana sewaktu menaiki wahana kereta cepat, tentang ketakutan pria itu pada ketinggian, peristiwa dikejar-kejar seekor anjing penjaga rumah dan lain-lain yang serin
Malam ini bulan sedang berselimut bintang yang bermekaran. Jalan-jalan sesak dipenuhi bola-bola lampu kendaraan berlalu-lalang, seperti belalang yang hendak bermigrasi ke tempat yang lebih hijau. Suara-suara merdu bertautan, saling mengisi tiap sudut jalan. Beberapanya lagi terlihat petugas sedang sibuk untuk kerja lembur mengecat tembok-tembok kota dari gambar-gambar lukis yang dianggap provokatif. Menurutnya gambar tersebut merusak pemandangan, dan terkesan kotor. Baliho-baliho kampanye mungkin terlalu bersih dan sulit untuk ditertibkan.Kembali masuk ke dalam mobil ada tawa yang menghindar untuk berhenti, meski lampu merah di depan mata. Kedua pasang mata bebrapa kali saling tangkap, lalu timbul tawa kembali. Mereka berdua menemukan teman lain yang sangat dirindukan.Mobil itu melaju menjauh sedikit ke tujuan, berhenti disuatu tempat. Gadis itu keluar dari mobilnya dan menuju sebuah toko yang tampak mewah. Beberapa saat gadis tersebut keluar dengan kantong ker
Setelah beberapa hari dia mengurung diri di dalam studionya. Beberapa lukisan sudah selesai di lahirkan. Persalinan antara harapan dan takdir yang belum merestuinya untuk bertemu dengan seorang gadis yang sangat dia harapkan untuk bertemu. Lukisan-lukisan itu semuanya berwajah sama dengan bermacam-macam tokoh, seperti gadis tersebut ingin hadir disetiap peristiwa. Wajah tersebut sangat haru, bisa juga sangat indah, bisa juga sangat menyedihkan. Gambaran negeri tersebut terwakilkan oleh seorang gadis yang mampu menyilap mata. Cahaya masuk tanpa permisi, menyilaukan mata pria yang sedari tadi tertidur diantara lukisan-lukisan, kuas yang bergeletakan dan bercak-bercak cat yang jatuh ke lantai. Sinar matahari seakan mengelus pipinya dan mencoba membangunkan pria tersebut. Pria tersebut terbangun. Melakukan hal-hal yang menjadi rutinitas masyarakat pada umumnya. Menggosok gigi, lalu pergi untuk mandi. Pria itu pergi untuk sekedar mampir meminum kopi. H
Seekor burung memasukan dirinya ke air, menangkap ikan-ikan kecil lalu membawanya ke sarang, tak jauh dari pemandang itu lautan menawarkan ke mesraan lain. Layar putih yang ditiup angin samudera menghantarkan perahu itu ke semenanjung rindu. Seorang gadis duduk di ujung perahu, seraya menyulam senyum yang merekah pelan-pelan, terlihat seorang pria yang asik mengagumi senyum itu dari tempat kemudi. Tak mau kalah, ikan-ikan berjingkrakan mengambil buih-buih senyum yang di sulamnya. Perahu itu dikelilingi lompatan-lompatan cahaya yang berkejaran, mengitari perahu. Seakan-akan mengiringi pelayaran perahu itu. Layar pun mengembang ditiup samudera. Keindahan yang tak kunjung usai dihempaskan begitu saja dari gadis yang berbalut mimpi keanggunan hakiki, perlahan-lahan perahu pun merayap mendekati bibir pantai, langit pun kian gelap, suara lagu pun kian mengeras, lagu yang terdengar tak asing lagi. Lagu yang berasal dari grup band terkenal yaitu Dead Squad.Pria itu terbangun, sediki
Suara pedagang kaki lima penjual empek-empek adalah tanda waktu yang pasti, setelahnya akan disusul suara siar suar-suar di sekitar komplek perumahan dan tempat tinggal di gubuk-gubuk liar. Parade klakson juga kadang konvoi gelombangnya sampai di telinga meski pintu depan sudah tertutup, pintu kamar sedikit terbuka. Ramai-ramai lampu rumah berlarian menyala. Sepeda yang ia gunakan dia sandarkan di garasi. Nanti malam adalah waktu yang tepat untuk memijakkan mimpinya kepada orang-orang yang tepat dalam hal menghargai karya yang ia lahirkan. Mandi yang bersih, memilih parfum yang baik serta busana yang rapi menjadi prioritas pencariannya saat ini. Pria itu bergegas untuk siapkan diri karena dering nada panggilan dari gawainya yang ia tengok berasal dari sahabatnya sekaligus juru
Pagi itu mulai lebih cerah lagi, matahari mengambang dengan sendirinya. Di taman mereka berdua asik bercengkrama. Obrolan tersebut terlihat menyenangkan, sesekali Lintang menebar senyumnya pada pria itu, sesekali pula ada tawa yang timbul di antara sela-sela obrolan menjelang siang itu. Tangan si pria memanggil seorang pedagang yang berada di pojok taman, tempat tersebut memang menjadi lokasi untuk para pedagang kaki lima. Obrolan panjang menguras energi mereka, membuat keduanya merasa lapar. "Pak, pesan dua porsi ya." "Siap, Mas dan Mbak yang
Pagi yang cerah, burung-burung saling berkelakar tentang caranya berenang jika terjadi banjir di kota ini. Daun-daun kering berlarian mengitari batang pohon yang berdiri kokoh di taman kota. Seorang pria duduk dengan memegang pensil yang dia gunakan untuk membentuk sebuah gambar sketsa. Perlahan-lahan gambar itu terlihat seperti seorang gadis yang berada di pojok ruangan dekat jendela. Rambut hitam yang tergerai mengombak seperti ombak laut selatan, indah dan berkilau. Asap kopi yang menipis pertanda kopi mulai kedinginan, pria itu melihat cup kopi yang mulai menggigil, lalu menangkapnya dalam genggaman, dan “sruput!” suara yang terdengar dari pria itu pada kopi yang sekarang sudah habis. Gadis itu mulai menyembulkan senyumnya, pria itu tersenyum p
Hari itu memang sangat cerah, matahari tampak hangat sehangat sayur sup buatan ibu. Semangat Rudra sangat bergelora untuk bertemu gadis yang menarik perhatiannya di kedai itu. Dengan langkah mantap, pria itu memasuki kedai dengan harapan bisa melihat dan menemui gadis yang memenuhi pikirannya akhir-akhir ini. Saat ini, yang terpenting bukanlah berdiskusi persoalan proyeknya dengan kurator. Bagi Rudra, proyek itu hanyalah proyek yang biasa saja yang sudah sering ia lalui dan menjadi sebuah kebiasaan. Tepat ketika Rudra masuk ke dalam kedai itu, fokus utamanya tidak langsung menuju pria berdasi atau pria berkacamata, baginya mereka hanyalah angin yang tak berbentuk. Ia berdiri agak lama membelakangi pintu melihat ke sekelilingnya. Rudra sangat berharap gadis itu sudah berada lebi