Beranda / Romansa / Gadis Di Ujung Cangkir / Chapter 8: Tamu penting 

Share

Chapter 8: Tamu penting 

last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-21 10:52:31

Suara pedagang kaki lima penjual empek-empek adalah tanda waktu yang pasti, setelahnya akan disusul suara siar suar-suar di sekitar komplek perumahan dan tempat tinggal di gubuk-gubuk liar. Parade klakson juga kadang konvoi gelombangnya sampai di telinga meski pintu depan sudah tertutup, pintu kamar sedikit terbuka. Ramai-ramai lampu rumah berlarian menyala.

Sepeda yang ia gunakan dia sandarkan di garasi. Nanti malam adalah waktu yang tepat untuk memijakkan mimpinya kepada orang-orang yang tepat dalam hal menghargai karya yang ia lahirkan. Mandi yang bersih, memilih parfum yang baik serta busana yang rapi menjadi prioritas pencariannya saat ini. Pria itu bergegas untuk siapkan diri karena dering nada panggilan dari gawainya yang ia tengok berasal dari sahabatnya sekaligus juru bicaranya terus menerus berbunyi. Ia yakin sahabatnya itu sudah menjelma menjadi ibu yang mengomel pada anaknya sesaat akan berangkat sekolah.

Malam mulai menjulang gelap, Rudra sudah siap dengan setelan kemeja rapi dan celana bahan lengkap dengan sepatu hitam mengkilap. Sedikit menggosok sepatu yang diwariskan ayahnya, pria tersebut tampil dengan percaya diri menunggu jemputan di depan rumah. Beberapa pasang mata wanita melemparkan senyum kepadanya. Awalnya senyum tersebut dibalas dengan baik, lama kelamaan pria tersebut merasa tidak nyaman, dan memilih masuk kembali ke dalam rumah.

“Kalau sudah sampai depan rumah kabari saja.” 

Isi sebuah pesan singkat yang ia kirimkan kepada kawannya.

Tin! Tin!” bunyi klakson mobil yang baru saja datang. 

Mobil jemputan pria itu sudah datang. Memang bukan sebuah mobil mewah seperti Limousine atau Alphard, hanya mobil subsidi berwarna putih, itu saja kurang dua bulan lagi untuk lunas dibayarkan. Supirnya tidak terlalu istimewa, bukan perawakan layaknya pasukan pengawal presiden, hanya lelaki tambun yang masih bimbang lantaran kekasihnya menuntut untuk dinikahi.

“Iya, sabar.” kata seorang pria dari dalam rumahnya.

Brug!” suara pintu mobil. Seorang pria masuk ke mobil tersebut.

“Ya ampun masa sih calon seniman muda yang akan gemilang karirnya hanya menggunakan kemeja saja sih? Tuh ambil bingkisan di kursi belakang, Nisa membelikannya untukmu karena dia tau hari ini adalah hari yang penting untuk karir kita berdua. Lihat. Nisa saja lebih memperdulikan kamu ketimbang aku pacarnya. Dah sana kamu kenakan itu” jelas si Gofano lengkap dengan setelan rapi ala borjuis.

Gofano segera melajukan mobilnya menuju sebuah restoran yang berada di hotel bintang lima di dekat kawasan elit dekat pantai. Malam itu tidak terlalu ramai seperti malam biasanya yang terjadi di kota metropolis ini. Melalui jendela kaca mobil, matanya menelusuri pinggir jalan, di sana terlihat seorang anak yang berlarian dengan koran yang menempel pada pundaknya. Seakan-akan anak itu adalah pahlawan layaknya di buku komik yang bisa terbang, tak jauh dari situ ibunya memasak makanan di dapur darurat. Bagaimana tidak mereka berada di sebuah tenda dengan atap terbuat dari baliho bekas partai yang sudah tidak terpakai. Dari baliho-baliho itu terlihat senyum-senyum calon pejabat yang khas dan kharismatik yang siap menebar janji-janji palsu.

Laju mobil terhenti, tatkala lampu merah yang menyala di pojok kanan jalan. Sebentar lagi mereka akan segera sampai menuju tempat pertemuan. Mobil berhenti kembali dengan suara ketukan di jendela mobil. Seorang valet parkir hotel tersebut langsung menawarkan jasanya untuk memparkirkan mobil tersebut, karena tamu restoran dan tamu hotel berbeda lokasi parkirnya.

Mereka keluar dari mobil dan memasuki ruangan restoran. Sepanjang perjalanan menuju restoran, Rudra asyik menikmati suasana mewah dengan banyak lukisan besar dipajang. Di tengah ruangan terlihat seorang pria dengan dasi merah bermotif bunga mawar melambaikan tangannya ke arah mereka. Mereka berjalan menelusuri meja-meja di sana, beberapa orang di sana langsung bangkit berdiri ketika mereka mulai mendekati meja.

Setelah memesan makanan, perbincang seru mulai timbul di meja itu.

"Saya sudah lama tahu karya-karyamu sungguh menyejukkan ketika dipandangi terus-menerus, dan dilihat berkali-kali pun saya semakin terbawa ke sebuah nostalgia lama yang saya yakin saya sangat merindukan saat itu", ungkap seorang kolektor memulai obrolan di meja tersebut.

"Kemarin Kuncoro menghubungiku, nampaknya akan ada yang ingin bergabung di lingkaran ini. Nah, kau lihat bukan. Banyak orang yang menginginkan karyamu lahir, Nak. karyamu itu mengingatkan kami pada sosok maestro bangsa yang sudah lama meninggalkan negeri ini, Affandi", kata seorang investor menambahkan.

"Tuan Schmidt von Luberg menunggu karya-karyamu lahir, dia berani dan tak segan-segan menyediakan kastilnya untuk kau pameran di sana" kata seorang investor yang memulai pembahasan baru.

Obrolan serta pujian menjadi menu penting dalam pertemuan tersebut, beberapa makanan mulai tersaji di meja tersebut, mulai dari pembukaan makanan ala orang Perancis, menu utama khas negara Turki, hidangan penutup dari Italia.

Senyum lebar terpancar dari wajah Gofano si pria berkacamata. Rudra yang malam ini menjadi bintang utama topik pembicaraan pun tak luput pula melemparkan senyum untuk ikut turut serta dalam euforia kebahagiaan.

Sekilas bayangan sesosok gadis yang pernah ia temui di kedai tempo hari muncul di seberang mejanya. Gadis itu hadir dengan gaun merah yang tampak seperti putri mawar yang berjalan menuju altar kerajaan. Rambutnya disanggul modern, membuat wajah mempesonanya dapat terlihat jelas. Pria itu tertegun. Dia hendak bangkit untuk mengejarnya, namun terhenti ketika sang kolektor mengajaknya berbicara. Sekali lagi dia kehilangan kesempatan untuk bertanya kepada gadis itu demi mengetahui siapa namanya.

Pertemuan ini diakhiri dengan saling sulang antara pria di meja itu. “Cring” bunyi gelas dengan air anggur merah yang pasti harganya tidak murah itu karena tertera tanggal pembuatan yang jika dihitung berusia lebih dari dua abad. Kali ini senyum dari si pria calon seniman tidak terlihat sumringah. Di otaknya masih menumpuk rasa penasaran yang semakin meninggi, karena sudah berhari-hari masih tidak punya penyelesaiannya. Sebelum pria si calon seniman muda itu melangkah untuk menjauhi meja, sang kolektor tersebut menepuk bahunya.

“Jaga kesehatanmu, Nak, dunia harus melihat karyamu. Perkara negeri ini? Kau tidak usah larut untuk berpikir. Bangsa ini belum mampu mendidik rakyatnya untuk menghargai senimu. Biarkan saya yang mewakili bangsa ini untuk menghargainya” kata si kolektor yang langsung menghampiri orang-orang berbusana hitam-hitam berbadan kekar di dekat pintu keluar.

Sebuah kalimat yang dapat mengalihkan pikirannya dari seorang gadis yang sudah bersemayam di otaknya cukup lama. Dalam perjalanan pulang pun, jalan raya yang sepi seperti sedang memunculkan sosok gadis itu, tepat di tiap bawah lampu-lampu jalan. Sementara  si supir yang juga adalah sahabatnya itu tertidur di kursi belakang.

“Rindu kali ini berbentuk bulat karena rindu tersebut tak ingin menyudutkan siapapun”

Bab terkait

  • Gadis Di Ujung Cangkir   Chapter 9: Tutup

    Seekor burung memasukan dirinya ke air, menangkap ikan-ikan kecil lalu membawanya ke sarang, tak jauh dari pemandang itu lautan menawarkan ke mesraan lain. Layar putih yang ditiup angin samudera menghantarkan perahu itu ke semenanjung rindu. Seorang gadis duduk di ujung perahu, seraya menyulam senyum yang merekah pelan-pelan, terlihat seorang pria yang asik mengagumi senyum itu dari tempat kemudi. Tak mau kalah, ikan-ikan berjingkrakan mengambil buih-buih senyum yang di sulamnya. Perahu itu dikelilingi lompatan-lompatan cahaya yang berkejaran, mengitari perahu. Seakan-akan mengiringi pelayaran perahu itu. Layar pun mengembang ditiup samudera. Keindahan yang tak kunjung usai dihempaskan begitu saja dari gadis yang berbalut mimpi keanggunan hakiki, perlahan-lahan perahu pun merayap mendekati bibir pantai, langit pun kian gelap, suara lagu pun kian mengeras, lagu yang terdengar tak asing lagi. Lagu yang berasal dari grup band terkenal yaitu Dead Squad.Pria itu terbangun, sediki

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-22
  • Gadis Di Ujung Cangkir   Chapter 10: Terlukiskan

    Setelah beberapa hari dia mengurung diri di dalam studionya. Beberapa lukisan sudah selesai di lahirkan. Persalinan antara harapan dan takdir yang belum merestuinya untuk bertemu dengan seorang gadis yang sangat dia harapkan untuk bertemu. Lukisan-lukisan itu semuanya berwajah sama dengan bermacam-macam tokoh, seperti gadis tersebut ingin hadir disetiap peristiwa. Wajah tersebut sangat haru, bisa juga sangat indah, bisa juga sangat menyedihkan. Gambaran negeri tersebut terwakilkan oleh seorang gadis yang mampu menyilap mata. Cahaya masuk tanpa permisi, menyilaukan mata pria yang sedari tadi tertidur diantara lukisan-lukisan, kuas yang bergeletakan dan bercak-bercak cat yang jatuh ke lantai. Sinar matahari seakan mengelus pipinya dan mencoba membangunkan pria tersebut. Pria tersebut terbangun. Melakukan hal-hal yang menjadi rutinitas masyarakat pada umumnya. Menggosok gigi, lalu pergi untuk mandi. Pria itu pergi untuk sekedar mampir meminum kopi. H

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-24
  • Gadis Di Ujung Cangkir   Chapter 11: Terbuka

    Malam ini bulan sedang berselimut bintang yang bermekaran. Jalan-jalan sesak dipenuhi bola-bola lampu kendaraan berlalu-lalang, seperti belalang yang hendak bermigrasi ke tempat yang lebih hijau. Suara-suara merdu bertautan, saling mengisi tiap sudut jalan. Beberapanya lagi terlihat petugas sedang sibuk untuk kerja lembur mengecat tembok-tembok kota dari gambar-gambar lukis yang dianggap provokatif. Menurutnya gambar tersebut merusak pemandangan, dan terkesan kotor. Baliho-baliho kampanye mungkin terlalu bersih dan sulit untuk ditertibkan.Kembali masuk ke dalam mobil ada tawa yang menghindar untuk berhenti, meski lampu merah di depan mata. Kedua pasang mata bebrapa kali saling tangkap, lalu timbul tawa kembali. Mereka berdua menemukan teman lain yang sangat dirindukan.Mobil itu melaju menjauh sedikit ke tujuan, berhenti disuatu tempat. Gadis itu keluar dari mobilnya dan menuju sebuah toko yang tampak mewah. Beberapa saat gadis tersebut keluar dengan kantong ker

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-24
  • Gadis Di Ujung Cangkir   Chapter 12: Tubuh

    Sepeninggal awan yang berlalu, bulan bintang bertukar rindu. Gelapnya malam seakan bercengkrama dengan deru ombak suara jalan raya kota. Rumah-rumah mulai dikunci, suara tiang-tiang listrik berdengung berkali-kali, orang-orang sibuk menata lelah yang akan disulap menjadi lelap. Malam ini tampak lebih tenang dan lebih senang dari malam-malam sebelumnya. Dimana banyak penasaran yang menghinggapi seorang pria yang kala itu disibukkan tentang seorang gadis yang tanpa sengaja dia temui di kedai kopi tempo hari. Kini dia rebahkan semua rasa penasaran itu sejenak ke tempat lain, dan malam ini dia lebih ingin merawat tawa yang sudah lama tidak hadir di hari-harinya. Di ruang studionya, mereka saling bercerita tentang masa kecilnya masing-masing. Mereka juga saling bertukar beberapa rahasia konyol, seperti pernah pipis di celana sewaktu menaiki wahana kereta cepat, tentang ketakutan pria itu pada ketinggian, peristiwa dikejar-kejar seekor anjing penjaga rumah dan lain-lain yang serin

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-24
  • Gadis Di Ujung Cangkir   Chapter 13: Tiga belas

    Burung-burung mulai berkicau, melompat dari ranting ke ranting. Daun-daun berguguran, suara klakson dari pedagang roti mulai berbunyi riang. Pagi yang cerah dan sinar matahari yang mulai mengambang di ufuknya. Burung gereja bertengger di jendela seakan menatap sesosok tubuh yang terselimuti bahagia. Seorang gadis menulis pada secarik kertas, lalu bergegas pergi meninggalkan tubuh pria yang masih berselimut mimpi. Garasi dibuka lalu dikeluarkannya mobil putih itu dan menutup pagarnya kembali. Dari dalam mobil, dia tersenyum bahagia seperti orang yang mendapatkan kemenangannya setelah berkali-kali gagal mencalonkan diri menjadi pejabat. Dia seakan-akan terlahir kembali, harinya pasti akan bahagia. Perasaannya harum dengan bunga-bunga yang bermekaran. Kini dia mulai meninggalkan tempat tersebut dengan perasaan yang lebih bahagia lagi. Mobil putih lama-kelamaan hilang ditelan jalan. Pagi kian cerah, langit pun sudah menyala. Sinar matahari pun mencoba

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-26
  • Gadis Di Ujung Cangkir   Chapter 1 : Titik awal 

    Cahaya masuk melalui celah-celah jendela, tanpa permisi membelah korden yang baru saja dibeli di toko kain India. Cahaya itu langsung mengecup kedua mata seorang pria yang sedang asyik meramu mimpi di antara bantal dan guling. Alarm berbunyi berkali-kali, mulai dari suara ayam berkokok, anjing menggonggong, dan dering musik telepon yang sekilas mirip dengan orang sedang marah-marah di tanggal tua."Iya, halo", jawab pria yang masih menutup matanya.Telepon itu masih meneriakinya, lagi dan lagi. Pria itu mengintip di sela-sela kelopak matanya dan melihat seonggok jam yang tergantung di dinding. "Astaga!", suaran

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-21
  • Gadis Di Ujung Cangkir   Chapter 2: Terima 

    Di kedai tersebut sudah ada seorang pria yang bertengger. Mungkin sedikit kesal. Meski kesal dia tampak lega. Buktinya nafasnya tak lagi tersengal-sengal. Perlahan amarahnya mulai menurun, seperti pasang air laut pada pantai yang mulai surut kembali ke laut. “Dari mana aja? Seratus kali aku telpon, wahai seniman muda yang amat terhormat!”, kata si pria berkacamata. Tanpa menjawab perkataannya, pria itu hanya berlari kecil melewati pria berkacamata dengan sedikit tawa. Mereka memasuki kedai tersebut. Beberapa karyawan di sana menyapa pria itu. Sambil membalas beberapa sapaan orang-orang di sana, pria itu mempersiapkan diri u

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-21
  • Gadis Di Ujung Cangkir   Chapter 3: Temu 

    Kedai di tengah kota memang menawarkan ribuan tempat untuk menghilangkan penat. Mulai dari kedai kopi dengan tema industrial atau kopi dengan tema ramah lingkungan. Kedai kopi yang sekarang mereka singgahi punya nilai yang paling beda hari ini, hampir seperti kejatuhan durian runtuh. Mereka memberikan racikan kopi yang istimewa dengan rasa yang sangat otentik, tak khayal banyak pengunjung yang datang berkali-kali ke tempat ini.Suara pengunjung yang bersinambungan dengan riuhnya kota dihaluskan dengan tawa dan desir angin pohon-pohon hijau yang ditanam di sekitar kedai tersebut.“krincing”sua

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-21

Bab terbaru

  • Gadis Di Ujung Cangkir   Chapter 13: Tiga belas

    Burung-burung mulai berkicau, melompat dari ranting ke ranting. Daun-daun berguguran, suara klakson dari pedagang roti mulai berbunyi riang. Pagi yang cerah dan sinar matahari yang mulai mengambang di ufuknya. Burung gereja bertengger di jendela seakan menatap sesosok tubuh yang terselimuti bahagia. Seorang gadis menulis pada secarik kertas, lalu bergegas pergi meninggalkan tubuh pria yang masih berselimut mimpi. Garasi dibuka lalu dikeluarkannya mobil putih itu dan menutup pagarnya kembali. Dari dalam mobil, dia tersenyum bahagia seperti orang yang mendapatkan kemenangannya setelah berkali-kali gagal mencalonkan diri menjadi pejabat. Dia seakan-akan terlahir kembali, harinya pasti akan bahagia. Perasaannya harum dengan bunga-bunga yang bermekaran. Kini dia mulai meninggalkan tempat tersebut dengan perasaan yang lebih bahagia lagi. Mobil putih lama-kelamaan hilang ditelan jalan. Pagi kian cerah, langit pun sudah menyala. Sinar matahari pun mencoba

  • Gadis Di Ujung Cangkir   Chapter 12: Tubuh

    Sepeninggal awan yang berlalu, bulan bintang bertukar rindu. Gelapnya malam seakan bercengkrama dengan deru ombak suara jalan raya kota. Rumah-rumah mulai dikunci, suara tiang-tiang listrik berdengung berkali-kali, orang-orang sibuk menata lelah yang akan disulap menjadi lelap. Malam ini tampak lebih tenang dan lebih senang dari malam-malam sebelumnya. Dimana banyak penasaran yang menghinggapi seorang pria yang kala itu disibukkan tentang seorang gadis yang tanpa sengaja dia temui di kedai kopi tempo hari. Kini dia rebahkan semua rasa penasaran itu sejenak ke tempat lain, dan malam ini dia lebih ingin merawat tawa yang sudah lama tidak hadir di hari-harinya. Di ruang studionya, mereka saling bercerita tentang masa kecilnya masing-masing. Mereka juga saling bertukar beberapa rahasia konyol, seperti pernah pipis di celana sewaktu menaiki wahana kereta cepat, tentang ketakutan pria itu pada ketinggian, peristiwa dikejar-kejar seekor anjing penjaga rumah dan lain-lain yang serin

  • Gadis Di Ujung Cangkir   Chapter 11: Terbuka

    Malam ini bulan sedang berselimut bintang yang bermekaran. Jalan-jalan sesak dipenuhi bola-bola lampu kendaraan berlalu-lalang, seperti belalang yang hendak bermigrasi ke tempat yang lebih hijau. Suara-suara merdu bertautan, saling mengisi tiap sudut jalan. Beberapanya lagi terlihat petugas sedang sibuk untuk kerja lembur mengecat tembok-tembok kota dari gambar-gambar lukis yang dianggap provokatif. Menurutnya gambar tersebut merusak pemandangan, dan terkesan kotor. Baliho-baliho kampanye mungkin terlalu bersih dan sulit untuk ditertibkan.Kembali masuk ke dalam mobil ada tawa yang menghindar untuk berhenti, meski lampu merah di depan mata. Kedua pasang mata bebrapa kali saling tangkap, lalu timbul tawa kembali. Mereka berdua menemukan teman lain yang sangat dirindukan.Mobil itu melaju menjauh sedikit ke tujuan, berhenti disuatu tempat. Gadis itu keluar dari mobilnya dan menuju sebuah toko yang tampak mewah. Beberapa saat gadis tersebut keluar dengan kantong ker

  • Gadis Di Ujung Cangkir   Chapter 10: Terlukiskan

    Setelah beberapa hari dia mengurung diri di dalam studionya. Beberapa lukisan sudah selesai di lahirkan. Persalinan antara harapan dan takdir yang belum merestuinya untuk bertemu dengan seorang gadis yang sangat dia harapkan untuk bertemu. Lukisan-lukisan itu semuanya berwajah sama dengan bermacam-macam tokoh, seperti gadis tersebut ingin hadir disetiap peristiwa. Wajah tersebut sangat haru, bisa juga sangat indah, bisa juga sangat menyedihkan. Gambaran negeri tersebut terwakilkan oleh seorang gadis yang mampu menyilap mata. Cahaya masuk tanpa permisi, menyilaukan mata pria yang sedari tadi tertidur diantara lukisan-lukisan, kuas yang bergeletakan dan bercak-bercak cat yang jatuh ke lantai. Sinar matahari seakan mengelus pipinya dan mencoba membangunkan pria tersebut. Pria tersebut terbangun. Melakukan hal-hal yang menjadi rutinitas masyarakat pada umumnya. Menggosok gigi, lalu pergi untuk mandi. Pria itu pergi untuk sekedar mampir meminum kopi. H

  • Gadis Di Ujung Cangkir   Chapter 9: Tutup

    Seekor burung memasukan dirinya ke air, menangkap ikan-ikan kecil lalu membawanya ke sarang, tak jauh dari pemandang itu lautan menawarkan ke mesraan lain. Layar putih yang ditiup angin samudera menghantarkan perahu itu ke semenanjung rindu. Seorang gadis duduk di ujung perahu, seraya menyulam senyum yang merekah pelan-pelan, terlihat seorang pria yang asik mengagumi senyum itu dari tempat kemudi. Tak mau kalah, ikan-ikan berjingkrakan mengambil buih-buih senyum yang di sulamnya. Perahu itu dikelilingi lompatan-lompatan cahaya yang berkejaran, mengitari perahu. Seakan-akan mengiringi pelayaran perahu itu. Layar pun mengembang ditiup samudera. Keindahan yang tak kunjung usai dihempaskan begitu saja dari gadis yang berbalut mimpi keanggunan hakiki, perlahan-lahan perahu pun merayap mendekati bibir pantai, langit pun kian gelap, suara lagu pun kian mengeras, lagu yang terdengar tak asing lagi. Lagu yang berasal dari grup band terkenal yaitu Dead Squad.Pria itu terbangun, sediki

  • Gadis Di Ujung Cangkir   Chapter 8: Tamu penting 

    Suara pedagang kaki lima penjual empek-empek adalah tanda waktu yang pasti, setelahnya akan disusul suara siar suar-suar di sekitar komplek perumahan dan tempat tinggal di gubuk-gubuk liar. Parade klakson juga kadang konvoi gelombangnya sampai di telinga meski pintu depan sudah tertutup, pintu kamar sedikit terbuka. Ramai-ramai lampu rumah berlarian menyala. Sepeda yang ia gunakan dia sandarkan di garasi. Nanti malam adalah waktu yang tepat untuk memijakkan mimpinya kepada orang-orang yang tepat dalam hal menghargai karya yang ia lahirkan. Mandi yang bersih, memilih parfum yang baik serta busana yang rapi menjadi prioritas pencariannya saat ini. Pria itu bergegas untuk siapkan diri karena dering nada panggilan dari gawainya yang ia tengok berasal dari sahabatnya sekaligus juru

  • Gadis Di Ujung Cangkir   Chapter 7: Tang Tang

    Pagi itu mulai lebih cerah lagi, matahari mengambang dengan sendirinya. Di taman mereka berdua asik bercengkrama. Obrolan tersebut terlihat menyenangkan, sesekali Lintang menebar senyumnya pada pria itu, sesekali pula ada tawa yang timbul di antara sela-sela obrolan menjelang siang itu. Tangan si pria memanggil seorang pedagang yang berada di pojok taman, tempat tersebut memang menjadi lokasi untuk para pedagang kaki lima. Obrolan panjang menguras energi mereka, membuat keduanya merasa lapar. "Pak, pesan dua porsi ya." "Siap, Mas dan Mbak yang

  • Gadis Di Ujung Cangkir   Chapter 6: Tepat 

    Pagi yang cerah, burung-burung saling berkelakar tentang caranya berenang jika terjadi banjir di kota ini. Daun-daun kering berlarian mengitari batang pohon yang berdiri kokoh di taman kota. Seorang pria duduk dengan memegang pensil yang dia gunakan untuk membentuk sebuah gambar sketsa. Perlahan-lahan gambar itu terlihat seperti seorang gadis yang berada di pojok ruangan dekat jendela. Rambut hitam yang tergerai mengombak seperti ombak laut selatan, indah dan berkilau. Asap kopi yang menipis pertanda kopi mulai kedinginan, pria itu melihat cup kopi yang mulai menggigil, lalu menangkapnya dalam genggaman, dan “sruput!” suara yang terdengar dari pria itu pada kopi yang sekarang sudah habis. Gadis itu mulai menyembulkan senyumnya, pria itu tersenyum p

  • Gadis Di Ujung Cangkir   Chapter 5: Terus kejar 

    Hari itu memang sangat cerah, matahari tampak hangat sehangat sayur sup buatan ibu. Semangat Rudra sangat bergelora untuk bertemu gadis yang menarik perhatiannya di kedai itu. Dengan langkah mantap, pria itu memasuki kedai dengan harapan bisa melihat dan menemui gadis yang memenuhi pikirannya akhir-akhir ini. Saat ini, yang terpenting bukanlah berdiskusi persoalan proyeknya dengan kurator. Bagi Rudra, proyek itu hanyalah proyek yang biasa saja yang sudah sering ia lalui dan menjadi sebuah kebiasaan. Tepat ketika Rudra masuk ke dalam kedai itu, fokus utamanya tidak langsung menuju pria berdasi atau pria berkacamata, baginya mereka hanyalah angin yang tak berbentuk. Ia berdiri agak lama membelakangi pintu melihat ke sekelilingnya. Rudra sangat berharap gadis itu sudah berada lebi

DMCA.com Protection Status