Setelah beberapa hari dia mengurung diri di dalam studionya. Beberapa lukisan sudah selesai di lahirkan. Persalinan antara harapan dan takdir yang belum merestuinya untuk bertemu dengan seorang gadis yang sangat dia harapkan untuk bertemu. Lukisan-lukisan itu semuanya berwajah sama dengan bermacam-macam tokoh, seperti gadis tersebut ingin hadir disetiap peristiwa. Wajah tersebut sangat haru, bisa juga sangat indah, bisa juga sangat menyedihkan. Gambaran negeri tersebut terwakilkan oleh seorang gadis yang mampu menyilap mata.
Cahaya masuk tanpa permisi, menyilaukan mata pria yang sedari tadi tertidur diantara lukisan-lukisan, kuas yang bergeletakan dan bercak-bercak cat yang jatuh ke lantai. Sinar matahari seakan mengelus pipinya dan mencoba membangunkan pria tersebut.
Pria tersebut terbangun. Melakukan hal-hal yang menjadi rutinitas masyarakat pada umumnya. Menggosok gigi, lalu pergi untuk mandi.
Pria itu pergi untuk sekedar mampir meminum kopi. Hari itu, panas tidak terlalu membuat macet jalan raya kota. Pergi ke kedai kopi kemarin menjadi pilihannya, Daun-daun yang hijau, dan pohon yang rindang menjadi alasan utama mengapa para karyawan atau pekerja kantoran datang ke tempat itu.
"Cring" suara bel depan pintu kedai berbunyi.
Pria tersebut masuk dan langsung melemparkan pandangannya ke pojok meja arah selatan, tepat di samping jendela besar yang mengambang.
Lalu melangkahkan kakinya kembali untuk menghadapkan wajahnya di depan pramusaji.
"Selamat pagi, ingin pesan apa kak?" tanya seorang wanita dengan apron coklat ala barista.
"Saya pesan V60 gayo, bisa menggunakan gula aren?" jawab pria tersebut.
Pria itu memilih kursi yang bisa memandang langsung kearah sebrang meja yang tadi dia lihat. Berharap bahwa nanti akan bertemu dengan gadis yang kemarin mampu membuatnya terpesona, bahkan terngiang-ngiang hingga hari ini.
"Permisi kak, ini pesanannya (seraya menaruh secangkir kopi dengan filter v60 diatasnya), apa ada pesanan lainnya kak?" tanya pramusaji.
"Sepertinya belum dulu, terima kasih, nanti kalau ada saya akan langsung ke sana (menunjuk arah kasir kedai)" jawab pria tersebut.
Kedai tersebut terlihat ramai, tapi sepi bagi pria tersebut karena dia masih berharap semisal nanti gadis tersebut datang kembali.
Sambil membuat sketsa dan beberapa tulisan tentang karya-karyanya. Suara pintu kali ini tidak dia hiraukan. Semenjak duduk tadi dia selalu memperhatikan orang-orang yang memasuki pintu tersebut dengan harapan gadis itu datang.
"Rudra!" Suara dari seorang gadis yang perlahan-lahan berjalan menuju mejanya. Suara tersebut sempat mengalihkan pandangan semua orang. karena terdengar sangat nyaring.
Gadis itu terlihat sedikit malu. Lalu menundukan kepalanya untuk tetap melanjutkan langkahnya ke arah seorang pria yang sedang duduk sendiri dan sibuk dengan laptopnya.
"Rudra, hei.. Ngapain kamu disini? sendiri aja?" tanya seorang gadis yang tadi sempat mencuri perhatian para pengunjung.
"Loh kamu, kamu sedang apa disini?" tanya pria tersebut sambil menyingkirkan laptopnya.
"Sini duduk saja disini, aku sendirian kok ..." Belum selsai dia berkata gadis tersebut langsung membalasanya.
"Beneran? apa tidak mengganggumu? kamu terlihat tampak sibuk" balas gadis itu.
"Sungguh tidak, santai saja. Kamu dari mana? sengaja kemari atau baru saja berkunjung ke kedai ini?" tanya pria itu seraya mengambil gelas kopi dan meminumnya.
"Tentu saja sengaja dong, karena tempat ini cukup menarik dan sangat asri sehingga otakku yang panas ini bisa langsung di teduhkan dengan seduhan kopi yang menurutku paling pas dari rasa dan aromanya, Haha" Balas gadis itu sambil melirik kearah pramusaji, tampaknya gadis tersebut sudah tidak sabar menunggu pesanannya datang.
"Permisi kak, pesanan atas nama Lintang (sambil menaruh kopi dan beberapa kudapan) ada yang bisa saya bantu lagi kak?" tanya pramusaji tersebut.
"Oh, terima kasih. Sudah cukup" balas gadis itu.
"Baik kak, silahkan menikmati hidangan kami" jawab pramusaji tersebut yang tak lupa memberi senyum lalu berbalik menuju meja kasir.
"Sedang sibuk apa kamu? beberapa hari ku kirim pesan kamu tidak membaca atau membalasnya, sesibuk itu kah sang seniman muda harapan bangsa?" kata gadis itu dengan sedikit meledek pria di depannya.
"Ah, maaf aku sedikit malas membuka gawaiku karena ketika melukis pasti kucurahkan perhatianku pada lukisan-lukisanku" jawabnya.
"Sekarang ada niatan untuk membalas pesanku?" jawab gadis tersebut dengan memajukan badannya dan tersenyum lebih lebar lagi.
"Apakah aku harus membalasnya saat orang tersebut ada di depan mataku?" balas pria tersebut dengan meninggikan kepalanya lagi.
"Harus dong, soalnya yang memberimu pesan adalah aku, seorang wanita yang paling manis diantara gula-gula, haha" jawabnya dengan merubah posisi tangannya menjadi menopang dagu tersebut.
Senyum yang terpancar di gadis itu membuat pria tersebut tertawa, mungkin dalam beberapa bulan pria tersebut belum pernah tertawa selepas ini.
Obrolan akrab mereka kembali lagi, namun dengan situasi hari ini yang sangat syahdu lagi.
Senja mulai permai di pelupuk awan. Suasana tropical ocean, seperti di hawai atau kuta bali. Sesekali mereka berdua dalam kebisuan tatkala dua pasang mata bertemu tanpa sengaja membuat kuadanya saling tersipu.
"Jadi kapan aku bisa kamu lukis Rud?" kata gadis itu.
"Sangat terburu-buru? atau bagaimana?" jawab pria tersebut sambil menyandarkan badannya.
"Iya, sangat mendesak dan terburu-buru sekali. haha" balas gadis tersebut dengan membuka matanya lebih lebar lagi.
"Aduh aku sibuk sekali nih, bagaimana dong, haha" jawab pria tersebut meledek.
"Kalau tuan putri meminta segera ya kamu sebagai pelukis istana harus segera menututinya dong" gadis itu membalas.
"Brag!" suara meja dipukul.
Pria itu terkaget, dan sekali lagi para pengunjung kedai tersebut teralihkan lagi perhatiannya.
"Ups! maaf, aduh aku membuat malu saja. Malam ini kamu sibuk? temani aku ya? tolong" kata gadis itu mencoba mencari alasan untuk tidak malu kembali.
"Tidak ada sepertinya" jawab pria itu.
"Sepedamu bisa dilipatkan?" tanya gadis tersebut.
"Bisa, memang ada ap.. ", tanya pria itu sedikit bingung.
Belum selesai menjawab gadis itu lalu memberkata,
"Baiklah, ayo segera kita pergi dari sini ...", kata gadis yang langsung menarik tangan pria tersebut, membawanya keluar dari kedai dan langsung bertanya dimana letak sepedanya berada. Tanpa pikir panjang sepeda tersebut lalu dilipat dan dimasukan kedalam bagasi belakang mobil.
Mereka berdua lalu pergi meninggalkan kedai tersebut. Pria itu masih kebingungan dan sesekali menatap gadis yang sedang mengendarai mobil tersebut. Malam itu memcahkan keramaian jalan koota dengan sesuatu hal yang sangat tidak biasanya. Mereka berdua menahan kata-kata yang menggumpal di pelupuk lidah mereka masing-masing.
Mereka saling tatap. Lalu, gadis itu membuka jendela mobilnya.
"AAAAAAA!", gadis itu berteriak seperti seorang singa yang dilepas ke hutan dari kebun binatang. Ada sesuatu yang membuat pria tersebut tersenyum. Entah cinta, entah rindu dengan sesosok teman, entah. Mereka tanpa sengaja membuat kaget pengendara sepeda motor yang melintas berlawanan.
Mereka terdiam.
Mereka saling tatap kembali.
Mereka tertawa bersamaan.
"Sesuatu hal yang datang tanpa rencana adalah rencana tuhan yang paling matang"
Malam ini bulan sedang berselimut bintang yang bermekaran. Jalan-jalan sesak dipenuhi bola-bola lampu kendaraan berlalu-lalang, seperti belalang yang hendak bermigrasi ke tempat yang lebih hijau. Suara-suara merdu bertautan, saling mengisi tiap sudut jalan. Beberapanya lagi terlihat petugas sedang sibuk untuk kerja lembur mengecat tembok-tembok kota dari gambar-gambar lukis yang dianggap provokatif. Menurutnya gambar tersebut merusak pemandangan, dan terkesan kotor. Baliho-baliho kampanye mungkin terlalu bersih dan sulit untuk ditertibkan.Kembali masuk ke dalam mobil ada tawa yang menghindar untuk berhenti, meski lampu merah di depan mata. Kedua pasang mata bebrapa kali saling tangkap, lalu timbul tawa kembali. Mereka berdua menemukan teman lain yang sangat dirindukan.Mobil itu melaju menjauh sedikit ke tujuan, berhenti disuatu tempat. Gadis itu keluar dari mobilnya dan menuju sebuah toko yang tampak mewah. Beberapa saat gadis tersebut keluar dengan kantong ker
Sepeninggal awan yang berlalu, bulan bintang bertukar rindu. Gelapnya malam seakan bercengkrama dengan deru ombak suara jalan raya kota. Rumah-rumah mulai dikunci, suara tiang-tiang listrik berdengung berkali-kali, orang-orang sibuk menata lelah yang akan disulap menjadi lelap. Malam ini tampak lebih tenang dan lebih senang dari malam-malam sebelumnya. Dimana banyak penasaran yang menghinggapi seorang pria yang kala itu disibukkan tentang seorang gadis yang tanpa sengaja dia temui di kedai kopi tempo hari. Kini dia rebahkan semua rasa penasaran itu sejenak ke tempat lain, dan malam ini dia lebih ingin merawat tawa yang sudah lama tidak hadir di hari-harinya. Di ruang studionya, mereka saling bercerita tentang masa kecilnya masing-masing. Mereka juga saling bertukar beberapa rahasia konyol, seperti pernah pipis di celana sewaktu menaiki wahana kereta cepat, tentang ketakutan pria itu pada ketinggian, peristiwa dikejar-kejar seekor anjing penjaga rumah dan lain-lain yang serin
Burung-burung mulai berkicau, melompat dari ranting ke ranting. Daun-daun berguguran, suara klakson dari pedagang roti mulai berbunyi riang. Pagi yang cerah dan sinar matahari yang mulai mengambang di ufuknya. Burung gereja bertengger di jendela seakan menatap sesosok tubuh yang terselimuti bahagia. Seorang gadis menulis pada secarik kertas, lalu bergegas pergi meninggalkan tubuh pria yang masih berselimut mimpi. Garasi dibuka lalu dikeluarkannya mobil putih itu dan menutup pagarnya kembali. Dari dalam mobil, dia tersenyum bahagia seperti orang yang mendapatkan kemenangannya setelah berkali-kali gagal mencalonkan diri menjadi pejabat. Dia seakan-akan terlahir kembali, harinya pasti akan bahagia. Perasaannya harum dengan bunga-bunga yang bermekaran. Kini dia mulai meninggalkan tempat tersebut dengan perasaan yang lebih bahagia lagi. Mobil putih lama-kelamaan hilang ditelan jalan. Pagi kian cerah, langit pun sudah menyala. Sinar matahari pun mencoba
Cahaya masuk melalui celah-celah jendela, tanpa permisi membelah korden yang baru saja dibeli di toko kain India. Cahaya itu langsung mengecup kedua mata seorang pria yang sedang asyik meramu mimpi di antara bantal dan guling. Alarm berbunyi berkali-kali, mulai dari suara ayam berkokok, anjing menggonggong, dan dering musik telepon yang sekilas mirip dengan orang sedang marah-marah di tanggal tua."Iya, halo", jawab pria yang masih menutup matanya.Telepon itu masih meneriakinya, lagi dan lagi. Pria itu mengintip di sela-sela kelopak matanya dan melihat seonggok jam yang tergantung di dinding. "Astaga!", suaran
Di kedai tersebut sudah ada seorang pria yang bertengger. Mungkin sedikit kesal. Meski kesal dia tampak lega. Buktinya nafasnya tak lagi tersengal-sengal. Perlahan amarahnya mulai menurun, seperti pasang air laut pada pantai yang mulai surut kembali ke laut. “Dari mana aja? Seratus kali aku telpon, wahai seniman muda yang amat terhormat!”, kata si pria berkacamata. Tanpa menjawab perkataannya, pria itu hanya berlari kecil melewati pria berkacamata dengan sedikit tawa. Mereka memasuki kedai tersebut. Beberapa karyawan di sana menyapa pria itu. Sambil membalas beberapa sapaan orang-orang di sana, pria itu mempersiapkan diri u
Kedai di tengah kota memang menawarkan ribuan tempat untuk menghilangkan penat. Mulai dari kedai kopi dengan tema industrial atau kopi dengan tema ramah lingkungan. Kedai kopi yang sekarang mereka singgahi punya nilai yang paling beda hari ini, hampir seperti kejatuhan durian runtuh. Mereka memberikan racikan kopi yang istimewa dengan rasa yang sangat otentik, tak khayal banyak pengunjung yang datang berkali-kali ke tempat ini.Suara pengunjung yang bersinambungan dengan riuhnya kota dihaluskan dengan tawa dan desir angin pohon-pohon hijau yang ditanam di sekitar kedai tersebut.“krincing”sua
Para pengunjung kedai pun mulai pergi termasuk pria berdasi dan pria berkacamata, mungkin ada urusan lain yang lebih penting bagi mereka atau mungkin sudah bosan dengan ruangan yang disajikan kedai tersebut. Tampak pria berbaju kotak-kotak masih bergeming di meja kedai bekas diskusi yang tidaklah penting baginya setelah melihat gadis itu. Hingga tak sadar hanya tinggal dia seorang ditemani secangkir kopi gayo yang dari tadi tak disentuhnya.“Maaf, Kak, kami akan segara tutup.” kata pelayan kedai sambil menepuk pundak pria berbaju kotak-kotak itu. Pria itu terkejut karena kehadiran pelayan kedai.“Boleh saya a
Hari itu memang sangat cerah, matahari tampak hangat sehangat sayur sup buatan ibu. Semangat Rudra sangat bergelora untuk bertemu gadis yang menarik perhatiannya di kedai itu. Dengan langkah mantap, pria itu memasuki kedai dengan harapan bisa melihat dan menemui gadis yang memenuhi pikirannya akhir-akhir ini. Saat ini, yang terpenting bukanlah berdiskusi persoalan proyeknya dengan kurator. Bagi Rudra, proyek itu hanyalah proyek yang biasa saja yang sudah sering ia lalui dan menjadi sebuah kebiasaan. Tepat ketika Rudra masuk ke dalam kedai itu, fokus utamanya tidak langsung menuju pria berdasi atau pria berkacamata, baginya mereka hanyalah angin yang tak berbentuk. Ia berdiri agak lama membelakangi pintu melihat ke sekelilingnya. Rudra sangat berharap gadis itu sudah berada lebi
Burung-burung mulai berkicau, melompat dari ranting ke ranting. Daun-daun berguguran, suara klakson dari pedagang roti mulai berbunyi riang. Pagi yang cerah dan sinar matahari yang mulai mengambang di ufuknya. Burung gereja bertengger di jendela seakan menatap sesosok tubuh yang terselimuti bahagia. Seorang gadis menulis pada secarik kertas, lalu bergegas pergi meninggalkan tubuh pria yang masih berselimut mimpi. Garasi dibuka lalu dikeluarkannya mobil putih itu dan menutup pagarnya kembali. Dari dalam mobil, dia tersenyum bahagia seperti orang yang mendapatkan kemenangannya setelah berkali-kali gagal mencalonkan diri menjadi pejabat. Dia seakan-akan terlahir kembali, harinya pasti akan bahagia. Perasaannya harum dengan bunga-bunga yang bermekaran. Kini dia mulai meninggalkan tempat tersebut dengan perasaan yang lebih bahagia lagi. Mobil putih lama-kelamaan hilang ditelan jalan. Pagi kian cerah, langit pun sudah menyala. Sinar matahari pun mencoba
Sepeninggal awan yang berlalu, bulan bintang bertukar rindu. Gelapnya malam seakan bercengkrama dengan deru ombak suara jalan raya kota. Rumah-rumah mulai dikunci, suara tiang-tiang listrik berdengung berkali-kali, orang-orang sibuk menata lelah yang akan disulap menjadi lelap. Malam ini tampak lebih tenang dan lebih senang dari malam-malam sebelumnya. Dimana banyak penasaran yang menghinggapi seorang pria yang kala itu disibukkan tentang seorang gadis yang tanpa sengaja dia temui di kedai kopi tempo hari. Kini dia rebahkan semua rasa penasaran itu sejenak ke tempat lain, dan malam ini dia lebih ingin merawat tawa yang sudah lama tidak hadir di hari-harinya. Di ruang studionya, mereka saling bercerita tentang masa kecilnya masing-masing. Mereka juga saling bertukar beberapa rahasia konyol, seperti pernah pipis di celana sewaktu menaiki wahana kereta cepat, tentang ketakutan pria itu pada ketinggian, peristiwa dikejar-kejar seekor anjing penjaga rumah dan lain-lain yang serin
Malam ini bulan sedang berselimut bintang yang bermekaran. Jalan-jalan sesak dipenuhi bola-bola lampu kendaraan berlalu-lalang, seperti belalang yang hendak bermigrasi ke tempat yang lebih hijau. Suara-suara merdu bertautan, saling mengisi tiap sudut jalan. Beberapanya lagi terlihat petugas sedang sibuk untuk kerja lembur mengecat tembok-tembok kota dari gambar-gambar lukis yang dianggap provokatif. Menurutnya gambar tersebut merusak pemandangan, dan terkesan kotor. Baliho-baliho kampanye mungkin terlalu bersih dan sulit untuk ditertibkan.Kembali masuk ke dalam mobil ada tawa yang menghindar untuk berhenti, meski lampu merah di depan mata. Kedua pasang mata bebrapa kali saling tangkap, lalu timbul tawa kembali. Mereka berdua menemukan teman lain yang sangat dirindukan.Mobil itu melaju menjauh sedikit ke tujuan, berhenti disuatu tempat. Gadis itu keluar dari mobilnya dan menuju sebuah toko yang tampak mewah. Beberapa saat gadis tersebut keluar dengan kantong ker
Setelah beberapa hari dia mengurung diri di dalam studionya. Beberapa lukisan sudah selesai di lahirkan. Persalinan antara harapan dan takdir yang belum merestuinya untuk bertemu dengan seorang gadis yang sangat dia harapkan untuk bertemu. Lukisan-lukisan itu semuanya berwajah sama dengan bermacam-macam tokoh, seperti gadis tersebut ingin hadir disetiap peristiwa. Wajah tersebut sangat haru, bisa juga sangat indah, bisa juga sangat menyedihkan. Gambaran negeri tersebut terwakilkan oleh seorang gadis yang mampu menyilap mata. Cahaya masuk tanpa permisi, menyilaukan mata pria yang sedari tadi tertidur diantara lukisan-lukisan, kuas yang bergeletakan dan bercak-bercak cat yang jatuh ke lantai. Sinar matahari seakan mengelus pipinya dan mencoba membangunkan pria tersebut. Pria tersebut terbangun. Melakukan hal-hal yang menjadi rutinitas masyarakat pada umumnya. Menggosok gigi, lalu pergi untuk mandi. Pria itu pergi untuk sekedar mampir meminum kopi. H
Seekor burung memasukan dirinya ke air, menangkap ikan-ikan kecil lalu membawanya ke sarang, tak jauh dari pemandang itu lautan menawarkan ke mesraan lain. Layar putih yang ditiup angin samudera menghantarkan perahu itu ke semenanjung rindu. Seorang gadis duduk di ujung perahu, seraya menyulam senyum yang merekah pelan-pelan, terlihat seorang pria yang asik mengagumi senyum itu dari tempat kemudi. Tak mau kalah, ikan-ikan berjingkrakan mengambil buih-buih senyum yang di sulamnya. Perahu itu dikelilingi lompatan-lompatan cahaya yang berkejaran, mengitari perahu. Seakan-akan mengiringi pelayaran perahu itu. Layar pun mengembang ditiup samudera. Keindahan yang tak kunjung usai dihempaskan begitu saja dari gadis yang berbalut mimpi keanggunan hakiki, perlahan-lahan perahu pun merayap mendekati bibir pantai, langit pun kian gelap, suara lagu pun kian mengeras, lagu yang terdengar tak asing lagi. Lagu yang berasal dari grup band terkenal yaitu Dead Squad.Pria itu terbangun, sediki
Suara pedagang kaki lima penjual empek-empek adalah tanda waktu yang pasti, setelahnya akan disusul suara siar suar-suar di sekitar komplek perumahan dan tempat tinggal di gubuk-gubuk liar. Parade klakson juga kadang konvoi gelombangnya sampai di telinga meski pintu depan sudah tertutup, pintu kamar sedikit terbuka. Ramai-ramai lampu rumah berlarian menyala. Sepeda yang ia gunakan dia sandarkan di garasi. Nanti malam adalah waktu yang tepat untuk memijakkan mimpinya kepada orang-orang yang tepat dalam hal menghargai karya yang ia lahirkan. Mandi yang bersih, memilih parfum yang baik serta busana yang rapi menjadi prioritas pencariannya saat ini. Pria itu bergegas untuk siapkan diri karena dering nada panggilan dari gawainya yang ia tengok berasal dari sahabatnya sekaligus juru
Pagi itu mulai lebih cerah lagi, matahari mengambang dengan sendirinya. Di taman mereka berdua asik bercengkrama. Obrolan tersebut terlihat menyenangkan, sesekali Lintang menebar senyumnya pada pria itu, sesekali pula ada tawa yang timbul di antara sela-sela obrolan menjelang siang itu. Tangan si pria memanggil seorang pedagang yang berada di pojok taman, tempat tersebut memang menjadi lokasi untuk para pedagang kaki lima. Obrolan panjang menguras energi mereka, membuat keduanya merasa lapar. "Pak, pesan dua porsi ya." "Siap, Mas dan Mbak yang
Pagi yang cerah, burung-burung saling berkelakar tentang caranya berenang jika terjadi banjir di kota ini. Daun-daun kering berlarian mengitari batang pohon yang berdiri kokoh di taman kota. Seorang pria duduk dengan memegang pensil yang dia gunakan untuk membentuk sebuah gambar sketsa. Perlahan-lahan gambar itu terlihat seperti seorang gadis yang berada di pojok ruangan dekat jendela. Rambut hitam yang tergerai mengombak seperti ombak laut selatan, indah dan berkilau. Asap kopi yang menipis pertanda kopi mulai kedinginan, pria itu melihat cup kopi yang mulai menggigil, lalu menangkapnya dalam genggaman, dan “sruput!” suara yang terdengar dari pria itu pada kopi yang sekarang sudah habis. Gadis itu mulai menyembulkan senyumnya, pria itu tersenyum p
Hari itu memang sangat cerah, matahari tampak hangat sehangat sayur sup buatan ibu. Semangat Rudra sangat bergelora untuk bertemu gadis yang menarik perhatiannya di kedai itu. Dengan langkah mantap, pria itu memasuki kedai dengan harapan bisa melihat dan menemui gadis yang memenuhi pikirannya akhir-akhir ini. Saat ini, yang terpenting bukanlah berdiskusi persoalan proyeknya dengan kurator. Bagi Rudra, proyek itu hanyalah proyek yang biasa saja yang sudah sering ia lalui dan menjadi sebuah kebiasaan. Tepat ketika Rudra masuk ke dalam kedai itu, fokus utamanya tidak langsung menuju pria berdasi atau pria berkacamata, baginya mereka hanyalah angin yang tak berbentuk. Ia berdiri agak lama membelakangi pintu melihat ke sekelilingnya. Rudra sangat berharap gadis itu sudah berada lebi