Beranda / Romansa / Gadis Di Ujung Cangkir / Chapter 6: Tepat 

Share

Chapter 6: Tepat 

Penulis: Hemlock & Luther
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Pagi yang cerah, burung-burung saling berkelakar tentang caranya berenang jika terjadi banjir di kota ini. Daun-daun kering berlarian mengitari batang pohon yang berdiri kokoh di taman kota. Seorang pria duduk dengan memegang pensil yang dia gunakan untuk membentuk sebuah gambar sketsa. Perlahan-lahan gambar itu terlihat seperti seorang gadis yang berada di pojok ruangan dekat jendela. Rambut hitam yang tergerai mengombak seperti ombak laut selatan, indah dan berkilau. Asap kopi yang menipis pertanda kopi mulai kedinginan, pria itu melihat cup kopi yang mulai menggigil, lalu menangkapnya dalam genggaman, dan “sruput!” suara yang terdengar dari pria itu pada kopi yang sekarang sudah habis.

Gadis itu mulai menyembulkan senyumnya, pria itu tersenyum pada seorang gadis yang ia lukis di kertas itu. Pria itu diam berpikir, pikirannya kalut dan tak pelak beberapa menit lalu sedikit luput. Lamunannya pecah ketika ada seorang pesepeda yang tanpa sengaja terjatuh tepat di hadapannya karena menabrak tempat sampah yang berada di dekat kursi taman tempatnya duduk. Pria itu lalu bangkit dan bergegas menghampiri pesepeda yang jatuh tersebut, beberapa pejalan kaki juga ada yang bergegas menghampiri. Semua orang kalah cepat untuk menanggapinya. Pria itu terlihat seperti pahlawan bagi pesepeda. Disingkirkannya sepeda itu, lalu dia mulai membopong pesepeda tersebut ke kursi taman.

“Apakah ada yang terluka selain lututmu yang sudah lecet ini?” tanya pria yang membopongnya.

Sebelum pesepeda tersebut menjawab, sesorang memberikan teh hangat kepada pesepeda itu, dan seseorang lagi memberikan gawai yang terjatuh di sekitar lokasi kejadian. Pria itu mengambil sesuatu di tasnya, kotak pertolongan pertama pada kecelakaan.

“Tahan sebentar saja ya, saya yakin ini perih” kata pria tersebut yang meminta izin kepada pesepeda. Pesepeda itu hanya menganggukan kepalanya lalu menutup matanya, mungkin dia tau kalau itu sangat menyakitkan melihat lukanya yang banyak meski hanya lecet saja.

“Aw!” teriak pesepeda.

“Maaf, sedikit lagi, lalu saya memberikan perban ini, tahan sedikit lagi” sambung pria itu sambil memberikan obat cair kepada lukanya.

Beberapa orang yang sedari tadi mengerumuni tempat tersebut, perlahan menyingkir karena dirasa luka yang diderita pesepeda tersebut tidak terlalu parah, dan lagi pula sudah tertolong oleh seorang pria yang sedang mengobati lukanya.

“Baiklah sudah selesai, sekarang kamu bisa beristirahat sejenak di sini, duduk saja, dan minum itu. Biar saya memeriksa sepedamu.” kata pria tersebut seraya bangkit dari kursinya dan menghampiri sepeda yang terjatuh tadi.

“Sepertinya ban sepedamu rusak cukup parah, dan kabel rem kamu juga terputus, saya yakin karena tadi kamu menggunakannya dengan sangat keras. Sehingga terputus dan kamu tidak dapat mengendalikannya dengan baik, saya tahu bengkel sepeda di dekat sini jika kamu mau.” kata si pria itu.

Sebelum pesepeda itu menjawab pria itu mengulurkan tangannya,

“Saya Rudra, supaya kamu tidak mengganggapku sebagai orang asing lagi. Tenang, saya tidak akan mengambil sepedamu, satu sepeda saja sudah cukup” sambil menunjuk ke utara tepat ke sepedanya yang ia sandarkan dekat dengan tiang lampu taman.

“Saya Lintang, terimakasih sudah menolong saya. Mungkin setelah ini saya akan membawa sepeda saya ke rumah saja biar besok diurus oleh karyawan saya saja. Maaf sudah merepotkan.” jawab pesepeda itu sambil melemparkan senyum manis ke pria tersebut. Jika dilihat pesepeda tersebut sangatlah manis. Untung saja kecelakaan tersebut tidak menggores wajahnya, dan kepalanya juga aman-aman saja karena menggunakan helm sepeda.

“Kalau boleh saya tahu, kenapa bisa terjatuh?” tanya si pria tersebut.

“Tadi ketika bersepeda ada seekor kucing yang berlari melintas di depan sepeda saya. Saya langsung membuang arah sepada menjauhi kucing tersebut. Saya rem dengan sangat kuat karena ketika saya membuang arah setir saya, ada seorang anak kecil yang sedang berdiri. Dengan sangat kuat saya rem dan kemudian saya pasrahkan diri saya untuk menabrakan sepeda saya ke tempat sampah, karena saya juga dalam keaadaan tidak bisa berhenti. Untung saja saya menggunakan helm jadi saya sempat berpikir kalau saya aman saja. Ternyata belum rejeki, lutut saya belum saya lengkapi dengan protector” jelas si pesepeda sambil sesekali meringis menahan sakit di lututnya.

“Wow, gambarmu bagus juga. Apakah itu untuk kekasihmu?” tanya pesepeda itu yang sekarang kita tahu dia bernama Lintang.

“Oh, ini? Bukan, dia hanya seorang gadis yang saya ciptakan sendiri. Saya masih belajar membuat sketsa wajah.” tukasnya pria yang langsung merapikan alat-alat lukisnya dan ia masukkan ke dalam tasnya. Tetapi gadis tersebut menahannya dan segera meminta buku sketsa tersebut untuk dilihatnya. Timbul ketertarikan untuk melihat beberapa lembar dari buku tersebut. Mereka memulai obrolan tersebut tepat di gambar sebuah burung kenari yang terbang melintang diantara kedua ranting pohon.

“Masa silam yang sengaja ditemui takdir punya rencana yang matang untuk menggoreskan kembali cinta yang pernah terukir” 

Bab terkait

  • Gadis Di Ujung Cangkir   Chapter 7: Tang Tang

    Pagi itu mulai lebih cerah lagi, matahari mengambang dengan sendirinya. Di taman mereka berdua asik bercengkrama. Obrolan tersebut terlihat menyenangkan, sesekali Lintang menebar senyumnya pada pria itu, sesekali pula ada tawa yang timbul di antara sela-sela obrolan menjelang siang itu. Tangan si pria memanggil seorang pedagang yang berada di pojok taman, tempat tersebut memang menjadi lokasi untuk para pedagang kaki lima. Obrolan panjang menguras energi mereka, membuat keduanya merasa lapar. "Pak, pesan dua porsi ya." "Siap, Mas dan Mbak yang

  • Gadis Di Ujung Cangkir   Chapter 8: Tamu penting 

    Suara pedagang kaki lima penjual empek-empek adalah tanda waktu yang pasti, setelahnya akan disusul suara siar suar-suar di sekitar komplek perumahan dan tempat tinggal di gubuk-gubuk liar. Parade klakson juga kadang konvoi gelombangnya sampai di telinga meski pintu depan sudah tertutup, pintu kamar sedikit terbuka. Ramai-ramai lampu rumah berlarian menyala. Sepeda yang ia gunakan dia sandarkan di garasi. Nanti malam adalah waktu yang tepat untuk memijakkan mimpinya kepada orang-orang yang tepat dalam hal menghargai karya yang ia lahirkan. Mandi yang bersih, memilih parfum yang baik serta busana yang rapi menjadi prioritas pencariannya saat ini. Pria itu bergegas untuk siapkan diri karena dering nada panggilan dari gawainya yang ia tengok berasal dari sahabatnya sekaligus juru

  • Gadis Di Ujung Cangkir   Chapter 9: Tutup

    Seekor burung memasukan dirinya ke air, menangkap ikan-ikan kecil lalu membawanya ke sarang, tak jauh dari pemandang itu lautan menawarkan ke mesraan lain. Layar putih yang ditiup angin samudera menghantarkan perahu itu ke semenanjung rindu. Seorang gadis duduk di ujung perahu, seraya menyulam senyum yang merekah pelan-pelan, terlihat seorang pria yang asik mengagumi senyum itu dari tempat kemudi. Tak mau kalah, ikan-ikan berjingkrakan mengambil buih-buih senyum yang di sulamnya. Perahu itu dikelilingi lompatan-lompatan cahaya yang berkejaran, mengitari perahu. Seakan-akan mengiringi pelayaran perahu itu. Layar pun mengembang ditiup samudera. Keindahan yang tak kunjung usai dihempaskan begitu saja dari gadis yang berbalut mimpi keanggunan hakiki, perlahan-lahan perahu pun merayap mendekati bibir pantai, langit pun kian gelap, suara lagu pun kian mengeras, lagu yang terdengar tak asing lagi. Lagu yang berasal dari grup band terkenal yaitu Dead Squad.Pria itu terbangun, sediki

  • Gadis Di Ujung Cangkir   Chapter 10: Terlukiskan

    Setelah beberapa hari dia mengurung diri di dalam studionya. Beberapa lukisan sudah selesai di lahirkan. Persalinan antara harapan dan takdir yang belum merestuinya untuk bertemu dengan seorang gadis yang sangat dia harapkan untuk bertemu. Lukisan-lukisan itu semuanya berwajah sama dengan bermacam-macam tokoh, seperti gadis tersebut ingin hadir disetiap peristiwa. Wajah tersebut sangat haru, bisa juga sangat indah, bisa juga sangat menyedihkan. Gambaran negeri tersebut terwakilkan oleh seorang gadis yang mampu menyilap mata. Cahaya masuk tanpa permisi, menyilaukan mata pria yang sedari tadi tertidur diantara lukisan-lukisan, kuas yang bergeletakan dan bercak-bercak cat yang jatuh ke lantai. Sinar matahari seakan mengelus pipinya dan mencoba membangunkan pria tersebut. Pria tersebut terbangun. Melakukan hal-hal yang menjadi rutinitas masyarakat pada umumnya. Menggosok gigi, lalu pergi untuk mandi. Pria itu pergi untuk sekedar mampir meminum kopi. H

  • Gadis Di Ujung Cangkir   Chapter 11: Terbuka

    Malam ini bulan sedang berselimut bintang yang bermekaran. Jalan-jalan sesak dipenuhi bola-bola lampu kendaraan berlalu-lalang, seperti belalang yang hendak bermigrasi ke tempat yang lebih hijau. Suara-suara merdu bertautan, saling mengisi tiap sudut jalan. Beberapanya lagi terlihat petugas sedang sibuk untuk kerja lembur mengecat tembok-tembok kota dari gambar-gambar lukis yang dianggap provokatif. Menurutnya gambar tersebut merusak pemandangan, dan terkesan kotor. Baliho-baliho kampanye mungkin terlalu bersih dan sulit untuk ditertibkan.Kembali masuk ke dalam mobil ada tawa yang menghindar untuk berhenti, meski lampu merah di depan mata. Kedua pasang mata bebrapa kali saling tangkap, lalu timbul tawa kembali. Mereka berdua menemukan teman lain yang sangat dirindukan.Mobil itu melaju menjauh sedikit ke tujuan, berhenti disuatu tempat. Gadis itu keluar dari mobilnya dan menuju sebuah toko yang tampak mewah. Beberapa saat gadis tersebut keluar dengan kantong ker

  • Gadis Di Ujung Cangkir   Chapter 12: Tubuh

    Sepeninggal awan yang berlalu, bulan bintang bertukar rindu. Gelapnya malam seakan bercengkrama dengan deru ombak suara jalan raya kota. Rumah-rumah mulai dikunci, suara tiang-tiang listrik berdengung berkali-kali, orang-orang sibuk menata lelah yang akan disulap menjadi lelap. Malam ini tampak lebih tenang dan lebih senang dari malam-malam sebelumnya. Dimana banyak penasaran yang menghinggapi seorang pria yang kala itu disibukkan tentang seorang gadis yang tanpa sengaja dia temui di kedai kopi tempo hari. Kini dia rebahkan semua rasa penasaran itu sejenak ke tempat lain, dan malam ini dia lebih ingin merawat tawa yang sudah lama tidak hadir di hari-harinya. Di ruang studionya, mereka saling bercerita tentang masa kecilnya masing-masing. Mereka juga saling bertukar beberapa rahasia konyol, seperti pernah pipis di celana sewaktu menaiki wahana kereta cepat, tentang ketakutan pria itu pada ketinggian, peristiwa dikejar-kejar seekor anjing penjaga rumah dan lain-lain yang serin

  • Gadis Di Ujung Cangkir   Chapter 13: Tiga belas

    Burung-burung mulai berkicau, melompat dari ranting ke ranting. Daun-daun berguguran, suara klakson dari pedagang roti mulai berbunyi riang. Pagi yang cerah dan sinar matahari yang mulai mengambang di ufuknya. Burung gereja bertengger di jendela seakan menatap sesosok tubuh yang terselimuti bahagia. Seorang gadis menulis pada secarik kertas, lalu bergegas pergi meninggalkan tubuh pria yang masih berselimut mimpi. Garasi dibuka lalu dikeluarkannya mobil putih itu dan menutup pagarnya kembali. Dari dalam mobil, dia tersenyum bahagia seperti orang yang mendapatkan kemenangannya setelah berkali-kali gagal mencalonkan diri menjadi pejabat. Dia seakan-akan terlahir kembali, harinya pasti akan bahagia. Perasaannya harum dengan bunga-bunga yang bermekaran. Kini dia mulai meninggalkan tempat tersebut dengan perasaan yang lebih bahagia lagi. Mobil putih lama-kelamaan hilang ditelan jalan. Pagi kian cerah, langit pun sudah menyala. Sinar matahari pun mencoba

  • Gadis Di Ujung Cangkir   Chapter 1 : Titik awal 

    Cahaya masuk melalui celah-celah jendela, tanpa permisi membelah korden yang baru saja dibeli di toko kain India. Cahaya itu langsung mengecup kedua mata seorang pria yang sedang asyik meramu mimpi di antara bantal dan guling. Alarm berbunyi berkali-kali, mulai dari suara ayam berkokok, anjing menggonggong, dan dering musik telepon yang sekilas mirip dengan orang sedang marah-marah di tanggal tua."Iya, halo", jawab pria yang masih menutup matanya.Telepon itu masih meneriakinya, lagi dan lagi. Pria itu mengintip di sela-sela kelopak matanya dan melihat seonggok jam yang tergantung di dinding. "Astaga!", suaran

Bab terbaru

  • Gadis Di Ujung Cangkir   Chapter 13: Tiga belas

    Burung-burung mulai berkicau, melompat dari ranting ke ranting. Daun-daun berguguran, suara klakson dari pedagang roti mulai berbunyi riang. Pagi yang cerah dan sinar matahari yang mulai mengambang di ufuknya. Burung gereja bertengger di jendela seakan menatap sesosok tubuh yang terselimuti bahagia. Seorang gadis menulis pada secarik kertas, lalu bergegas pergi meninggalkan tubuh pria yang masih berselimut mimpi. Garasi dibuka lalu dikeluarkannya mobil putih itu dan menutup pagarnya kembali. Dari dalam mobil, dia tersenyum bahagia seperti orang yang mendapatkan kemenangannya setelah berkali-kali gagal mencalonkan diri menjadi pejabat. Dia seakan-akan terlahir kembali, harinya pasti akan bahagia. Perasaannya harum dengan bunga-bunga yang bermekaran. Kini dia mulai meninggalkan tempat tersebut dengan perasaan yang lebih bahagia lagi. Mobil putih lama-kelamaan hilang ditelan jalan. Pagi kian cerah, langit pun sudah menyala. Sinar matahari pun mencoba

  • Gadis Di Ujung Cangkir   Chapter 12: Tubuh

    Sepeninggal awan yang berlalu, bulan bintang bertukar rindu. Gelapnya malam seakan bercengkrama dengan deru ombak suara jalan raya kota. Rumah-rumah mulai dikunci, suara tiang-tiang listrik berdengung berkali-kali, orang-orang sibuk menata lelah yang akan disulap menjadi lelap. Malam ini tampak lebih tenang dan lebih senang dari malam-malam sebelumnya. Dimana banyak penasaran yang menghinggapi seorang pria yang kala itu disibukkan tentang seorang gadis yang tanpa sengaja dia temui di kedai kopi tempo hari. Kini dia rebahkan semua rasa penasaran itu sejenak ke tempat lain, dan malam ini dia lebih ingin merawat tawa yang sudah lama tidak hadir di hari-harinya. Di ruang studionya, mereka saling bercerita tentang masa kecilnya masing-masing. Mereka juga saling bertukar beberapa rahasia konyol, seperti pernah pipis di celana sewaktu menaiki wahana kereta cepat, tentang ketakutan pria itu pada ketinggian, peristiwa dikejar-kejar seekor anjing penjaga rumah dan lain-lain yang serin

  • Gadis Di Ujung Cangkir   Chapter 11: Terbuka

    Malam ini bulan sedang berselimut bintang yang bermekaran. Jalan-jalan sesak dipenuhi bola-bola lampu kendaraan berlalu-lalang, seperti belalang yang hendak bermigrasi ke tempat yang lebih hijau. Suara-suara merdu bertautan, saling mengisi tiap sudut jalan. Beberapanya lagi terlihat petugas sedang sibuk untuk kerja lembur mengecat tembok-tembok kota dari gambar-gambar lukis yang dianggap provokatif. Menurutnya gambar tersebut merusak pemandangan, dan terkesan kotor. Baliho-baliho kampanye mungkin terlalu bersih dan sulit untuk ditertibkan.Kembali masuk ke dalam mobil ada tawa yang menghindar untuk berhenti, meski lampu merah di depan mata. Kedua pasang mata bebrapa kali saling tangkap, lalu timbul tawa kembali. Mereka berdua menemukan teman lain yang sangat dirindukan.Mobil itu melaju menjauh sedikit ke tujuan, berhenti disuatu tempat. Gadis itu keluar dari mobilnya dan menuju sebuah toko yang tampak mewah. Beberapa saat gadis tersebut keluar dengan kantong ker

  • Gadis Di Ujung Cangkir   Chapter 10: Terlukiskan

    Setelah beberapa hari dia mengurung diri di dalam studionya. Beberapa lukisan sudah selesai di lahirkan. Persalinan antara harapan dan takdir yang belum merestuinya untuk bertemu dengan seorang gadis yang sangat dia harapkan untuk bertemu. Lukisan-lukisan itu semuanya berwajah sama dengan bermacam-macam tokoh, seperti gadis tersebut ingin hadir disetiap peristiwa. Wajah tersebut sangat haru, bisa juga sangat indah, bisa juga sangat menyedihkan. Gambaran negeri tersebut terwakilkan oleh seorang gadis yang mampu menyilap mata. Cahaya masuk tanpa permisi, menyilaukan mata pria yang sedari tadi tertidur diantara lukisan-lukisan, kuas yang bergeletakan dan bercak-bercak cat yang jatuh ke lantai. Sinar matahari seakan mengelus pipinya dan mencoba membangunkan pria tersebut. Pria tersebut terbangun. Melakukan hal-hal yang menjadi rutinitas masyarakat pada umumnya. Menggosok gigi, lalu pergi untuk mandi. Pria itu pergi untuk sekedar mampir meminum kopi. H

  • Gadis Di Ujung Cangkir   Chapter 9: Tutup

    Seekor burung memasukan dirinya ke air, menangkap ikan-ikan kecil lalu membawanya ke sarang, tak jauh dari pemandang itu lautan menawarkan ke mesraan lain. Layar putih yang ditiup angin samudera menghantarkan perahu itu ke semenanjung rindu. Seorang gadis duduk di ujung perahu, seraya menyulam senyum yang merekah pelan-pelan, terlihat seorang pria yang asik mengagumi senyum itu dari tempat kemudi. Tak mau kalah, ikan-ikan berjingkrakan mengambil buih-buih senyum yang di sulamnya. Perahu itu dikelilingi lompatan-lompatan cahaya yang berkejaran, mengitari perahu. Seakan-akan mengiringi pelayaran perahu itu. Layar pun mengembang ditiup samudera. Keindahan yang tak kunjung usai dihempaskan begitu saja dari gadis yang berbalut mimpi keanggunan hakiki, perlahan-lahan perahu pun merayap mendekati bibir pantai, langit pun kian gelap, suara lagu pun kian mengeras, lagu yang terdengar tak asing lagi. Lagu yang berasal dari grup band terkenal yaitu Dead Squad.Pria itu terbangun, sediki

  • Gadis Di Ujung Cangkir   Chapter 8: Tamu penting 

    Suara pedagang kaki lima penjual empek-empek adalah tanda waktu yang pasti, setelahnya akan disusul suara siar suar-suar di sekitar komplek perumahan dan tempat tinggal di gubuk-gubuk liar. Parade klakson juga kadang konvoi gelombangnya sampai di telinga meski pintu depan sudah tertutup, pintu kamar sedikit terbuka. Ramai-ramai lampu rumah berlarian menyala. Sepeda yang ia gunakan dia sandarkan di garasi. Nanti malam adalah waktu yang tepat untuk memijakkan mimpinya kepada orang-orang yang tepat dalam hal menghargai karya yang ia lahirkan. Mandi yang bersih, memilih parfum yang baik serta busana yang rapi menjadi prioritas pencariannya saat ini. Pria itu bergegas untuk siapkan diri karena dering nada panggilan dari gawainya yang ia tengok berasal dari sahabatnya sekaligus juru

  • Gadis Di Ujung Cangkir   Chapter 7: Tang Tang

    Pagi itu mulai lebih cerah lagi, matahari mengambang dengan sendirinya. Di taman mereka berdua asik bercengkrama. Obrolan tersebut terlihat menyenangkan, sesekali Lintang menebar senyumnya pada pria itu, sesekali pula ada tawa yang timbul di antara sela-sela obrolan menjelang siang itu. Tangan si pria memanggil seorang pedagang yang berada di pojok taman, tempat tersebut memang menjadi lokasi untuk para pedagang kaki lima. Obrolan panjang menguras energi mereka, membuat keduanya merasa lapar. "Pak, pesan dua porsi ya." "Siap, Mas dan Mbak yang

  • Gadis Di Ujung Cangkir   Chapter 6: Tepat 

    Pagi yang cerah, burung-burung saling berkelakar tentang caranya berenang jika terjadi banjir di kota ini. Daun-daun kering berlarian mengitari batang pohon yang berdiri kokoh di taman kota. Seorang pria duduk dengan memegang pensil yang dia gunakan untuk membentuk sebuah gambar sketsa. Perlahan-lahan gambar itu terlihat seperti seorang gadis yang berada di pojok ruangan dekat jendela. Rambut hitam yang tergerai mengombak seperti ombak laut selatan, indah dan berkilau. Asap kopi yang menipis pertanda kopi mulai kedinginan, pria itu melihat cup kopi yang mulai menggigil, lalu menangkapnya dalam genggaman, dan “sruput!” suara yang terdengar dari pria itu pada kopi yang sekarang sudah habis. Gadis itu mulai menyembulkan senyumnya, pria itu tersenyum p

  • Gadis Di Ujung Cangkir   Chapter 5: Terus kejar 

    Hari itu memang sangat cerah, matahari tampak hangat sehangat sayur sup buatan ibu. Semangat Rudra sangat bergelora untuk bertemu gadis yang menarik perhatiannya di kedai itu. Dengan langkah mantap, pria itu memasuki kedai dengan harapan bisa melihat dan menemui gadis yang memenuhi pikirannya akhir-akhir ini. Saat ini, yang terpenting bukanlah berdiskusi persoalan proyeknya dengan kurator. Bagi Rudra, proyek itu hanyalah proyek yang biasa saja yang sudah sering ia lalui dan menjadi sebuah kebiasaan. Tepat ketika Rudra masuk ke dalam kedai itu, fokus utamanya tidak langsung menuju pria berdasi atau pria berkacamata, baginya mereka hanyalah angin yang tak berbentuk. Ia berdiri agak lama membelakangi pintu melihat ke sekelilingnya. Rudra sangat berharap gadis itu sudah berada lebi

DMCA.com Protection Status