“ Boleh, tapi aku izin dulu ya sama orang rumah.”“Ok, sip.”Setelah mengirim kan pesan untuk minta izin menginap dirumah Anasya, ternyata jawaban Batara adalah tidak. Karena itu Ardella tidak jadi menginap***Beberapa bulan telah berlalu. Ardella mulai terbiasa dengan kehidupan di kampus.Menjadi seorang mahasiswa tak seindah di drama sinetron, dimana mahasiswa pergi menonton, belanja, nongkrong-nongkrong, bertemu cowok ganteng keren, tapi kenyataannya menjadi mahasiswa ditumpuk dengan tugas-tugas dari dosen hingga terkadang para mahasiswa jarang tidur dan makan tepat waktu.Di perpustakaan.Ardella yang bersama Nina menunggu teman sekelompoknya untuk mengerjakan tugas makalah yang diberikan dosen.Nina teman satu jurusan Ardella, berpenampilan cupu, bicara terbata-bata dan selalu menjadi bahan ejekan orang.Tak,,, tak,,, tak jari jemari Ardella yang sibuk mengetik."Nin, tolong kabari teman yang lain supaya datang keperpustakaan,” ucap Ardella pada Nina."Iya." Nina terbata-bata.K
Sore hari mulai terpanjar awan gelap, rumah yang tadinya sepi kini ramai, Lisa kakak ipar Ardella baru datang dari pasar bersama bik Ami, diikuti dengan kedatangan Robin dan Batara.Mendengar langkah kaki yang begitu ramai, Anasya dan Ardella keluar menggendong Edward dan Erwin menyambut kedatangan orang rumah."Udah pulang dek?" tanya Batara duduk membuka kaos kakinya di sofa ruang tengah."Iya kak, hari ini gak banyak jadwal masuk." Menghampiri Batara duduk diruang tengah.Dilihatnya Ardella bersama seorang gadis, Batara merasa tak kenal."Siapa dek? Teman?" Tanya Batara kembali.Anasya orang yang ramah tanpa ragu langsung menyapa kakak Ardella dengan sopan."Hai kak, saya Anasya Fritsch teman Ardella di kampus." Sapa Anasya memberi salam senyum.Anasya yang memberitahukan nama lengkapnya membuat Robin terkejut, wajah mulai berubah, pandangannya melekat pada Anasya, dia yang juga berada di ruang tengah memperhatikan Anasya yang menggendong Edward.Fritsch, namanya terlihat tak asi
Pagi hari di kampus.Di Ruang kelas terdapat kursi berdekatan, para mahasiswa mulai duduk dan menunggu kedatangan dosen, begitu juga dengan Ardella, duduk diam dengan tenang.Yanti melihat Ardella duduk dikursi deretan baris tiga menghampiri. "Maaf kemarin aku gak bisa datang." Ucap Yanti memasang wajah menyesal."Gak apa kok,” saut Ardella biasa aja.Ardella tidak terlalu mempermasalahkan, pikirnya keadaanlah membuat Yanti tak bisa ikut mengerjakan tugas kelompok. Pelajaran hampir dimulai, Yanti juga bergegas duduk di belakang Ardella. Bimo dan Rima menghampiri Ardella dan meminta maaf bersamaan.Ketika dosen hampir datang, Ardella malah dicemaskan dengan Anasya yang belum juga datang. Sebelum berangkat ke kampus Anasya lah yang membuat cover tugas makalah kelompok Ardella. Yanti yang dari belakang menyentuh Ardella meminta untuk melihat makalah yang telah siap. Ardella mencoba menjelaskan bahwa tugas mereka ada ditangan Anasya.Yanti, Rima dan Bimo punya firasat buruk ketika Ardell
Desa di kampung halaman Ardella.Uhuk,,,Suara batuk dan tubuh terbaring, dia tak lain adalah ayah Dyra. Kepergiaan Dyra memberikan luka bagi ayahnya hingga mengalami stroke ringan. Dari kamar ayah Dyra memandang keluar lewat jendela sesekali ingatannya kembali pada saat istri pertamanya masih hidup, rasa bersalah yang tertanam dihatinya membuat air matanya terjatuh. Dipanggilnya Niko anaknya bersama Rossy dan menyuruhnya ke rumah Robin untuk mencari kontak Batara dan Dyra.Anak yang kini beranjak remaja berjalan menuju ke rumah orangtua Robin. Dengan polos dia menemui ibu Robin."Tante!" Panggil Niko dengan suara keras.Ibu Robin mendengar Niko keluar dari rumah dan bertanya ada hal apa yang membuatnya datang. Niko menceritakan pesan ayahnya."Nanti tante kabari." Ucap ibu Robin dengan senyum mengelus kepala Niko.Setelah sekian lama ibu Robin tak pernah berpikir untuk menghubungi Robin dan Dyra, tapi melihat ayah Dyra sedang sakit. Ibu Robin memutuskan untuk menghubungi Robin dan
“Masih di kantor,” saut Anasya.Ayu berencana mengajak Aoran balik ke desa bersamanya, karena itu, ia mendatangi ke kantor Aoran.Setibanya di sana, Ayu langsung menuju ruangan kerja Aoran.“Hai, sayang,” ucap Ayu menghampiri Aoran.“Kenapa kamu bisa ada disini?” tanya Aoran.Ayu tidak memberi kabar kepulangannya agar Aoran terkejut.“Kejutan,” ucap Ayu memeluk Aoran.“Bagaimana dengan Mama, apa dia tidak ikut?” “Tidak, sebenarnya dia yang memintaku untuk mengejar kamu sampai disini,” tersenyum lebar.Aoran hanya memasang wajah datar, lalu kembali bekerja, dia mengambil beberapa dokumen, kemudian membacanya dengan serius..“Aku sibuk, kalau kamu butuh sesuatu, katakan saja pada sekretarisku,” ucap Aoran.“Rencananya aku akan kembali ke desa untuk mengunjungi orang tuaku, apa kamu mau ikut?” Tangan Aoran langsung berhenti membolak-balik dokumen itu, mendengar desa, Aoran langsung teringat tentang gadis yang dia cintai.“Kapan kamu pergi?” tanyanya serius.“Besok.”“Baiklah, aku akan
Flashback.Saat Dyra dan Raka pergi.Pagi hari ketika Dyra dan Raka pergi meninggalkan rumah. Ayah mereka yang tak berkata sepatah kata beranjak masuk kedalam rumah saat melihat kedua anaknya itu pergi. Langkahnya menuju ke kamar, dikuncinya kamar hingga Rossy istrinya tak bisa masuk kedalam. Ayah Dyra mulai termenung, pikirannya kosong. Semua kejadiaan membuatnya syok dan masih perlu menerima keadaan.Terlelap dalam tidurnya, dia selalu bermimpi berkumpul bersama istri pertamanya, Raka dan Dyra. Perlahan dilihatnya istrinya pergi menjauh darinya, diikuti oleh Batara yang melangkah pergi jauh dan Dyra juga ikut pergi meninggalkannya sendiri. Mereka terlihat senyum bahagia tanpanya. Dia berusaha memanggil mereka dengan suara keras."Jangan tinggal aku, maafkan aku." Teriaknya dalam mimpi.Bangun dari tidurnya, perasaan sedihnya membuatnya merindukan Dyra. Dia melangkah menuju kamar Dyra. Kamar terlihat rapi, buku-buku masih tertata rapi di meja belajarnya, nuansa kamar yang masih seju
Sementara Aoran dan Ayu disambut dengan hangat oleh kedua orang tua Ayu. “Putriku sudah kembali,” ucap ibu Ayu dengan hangat. “Nak silahkan masuk, kalian pasti lelah di perjalanan,” ucap ayah Ayu pada Aoran. Ayu dan Aoran diajak masuk ke dalam rumah. Orangtua Ayu bercengkrama panjang lebar dengan Aoran. Aoran menanggapi dengan sedikit berbicara, pikirannya malah kepada seseorang yang ditemuinya. *** Kembali ke Ardella yang sedang berjalan bersama Robin. Ardella dan Robin tampak menikmati pemandangan pulau, rasa hangat membuat mereka bungkam dan tak berbicara. Ketika langkah mereka tepat berada di tengah desa, Sarianti tak sengaja melihat seseorang yang dikenalnya dalam kejauhan. Itukan Robin. ucap Sarianti membatin. Masih tak percaya dengan penglihatannya Sarianti memastikan dengan memanggil Robin. "Rob." Teriak Sarianti dari kejauhan. Ardella menoleh bersamaan dengan Robin, perasaan mereka seakan tak asing dengan suara yang didengarnya, melihat Sarinti hendak mend
Dyra menoleh. Melihat Aoran dengan wajah kesal. “Dek, ayo pulang,” ucap Raka.“Iya kak.”Aoran hendak mengejar. “Dyr,,” Kemudian Ayu langsung menarik tangan Aoran.Setelah itu, mereka kembali masuk ke rumah, Aoran sendiri merasa gelisah.“Apa itu benar-benar Dyra Pak?” tanya Ibu Ayu pada suaminya.“Tidak salah lagi, itu memang Dyra.”“Lalu anaknya dimana?” Ibu Ayu berpikir.Ayu mendengar perbincangan itu bertanya. “Anak siapa Bu?” tanyanya.“Itu, Dyra. Empat tahun lalu Dyra hamil diluar nikah, tapi tidak tahu siapa ayah dari bayinya, jadi dia diusir dari desa.”“Apa!” Ayu terkejut. Sama dengan Orang terkejut mendengar cerita itu, Akan merasa hatinya hancur berkeping-keping. Ayu pucat, pastinya Ayu tahu siapa yang menghamili Dyra. “Terus bagaimana Bu?” Singkat cerita Ibu Ayu menceritakan semuanya. Aoran yang mendengar cerita itu sudah tidak tahan langsung berdiri dan bergegas pergi.“Sayang,” panggil Ayu mengejar Aoran.Aoran terus berjalan keluar dari rumah. Rasanya Aoran ingin
"Aoran."Aoran menyebutkan namanya sendiri. Mendengar Ardella memanggil namanya dengan langsung, Aoran sangat tidak suka.Ardella yang tengah terlentang di sofa dibawah tubuh Aoran yang kekar meronta-ronta, dia berusaha untuk terlepas dari genggaman Aoran.Ardella meronta hingga memukul dada bidang Aoran, tetap saja pukulan Ardella tidak membuat Aoran melepaskan dirinya. Semakin Ardella melawan semakin membuat Aoran bertambah agresif. Secepat kilat Aoran menggerakan mulutnya ke bibir Ardella.Dikejutkan dengan serangan Aoran, mata Ardella terbelalak lebar, mulutnya terbungkam oleh lidah Aoran. "Mum." Masih dalam keadaan berontak, Ardella mendorong Aoran.Aoran sama sekali tidak peduli dengan perlawanan Ardella, ciuman di bibir Aoran terasa kasar di mulut Ardella."Auh!" Seru Aoran menyentuh bibirnya. Ardella menggigit Aoran. Dengan tatapan acuh, Aoran kembali menyerang Ardella.Tidak hanya sampai disitu, satu persatu Aoran membuka kancing baju Ardella."Aoran! kau gila. Aku akan mel
Di tengah perjalanan menuju pulang. Aoran menyetir dengan cepat. Sepanjang jalan Aoran hanya memikirkan Ardella yang dibencinya.Ckitt.Tiba dirumah Aoran langsung melangkah masuk kedalam rumah."Kak Aoran." Panggil Anasya dari bawah tangga. Kebetulan Anasya yang belum tidur melihat Aoran melangkah dengan terburu-buru naik keatas lantai dua.Mendengar panggilan Anasya Aoran berbalik. "Kenapa belum tidur jam segini?" Aoran melirik jam tangannya."Aku terbangun karena haus kak." Anasya mendekat kearah Aoran. "Kak Aoran bau alkohol." Mencium bau alkohol, Anasya menutup hidungnya."Kembali lah tidur, kakak ingin istirahat juga," ucap Aoran tanpa melanjutkan pembicaraan lagi."Iya kak,” saut Anasya dengan lembut.Aoran masih dalam suasana hati marah, dia melemparkan dirinya ke atas tempat tidur. Dengan posisi tengkurap Aoran terbaring diatas kasur. "Ardella aku lelah, aku ingin berhenti. " Sangat melelahkan untuk membenci orang yang kita pernah cintai, seandainya bisa memilih Aoran lebih
Dengan memainkan gelas yang berisikan wine, Aoran melirik Ardella yang berdiri di depannya."Aku merasa bosan, berikan aku hiburan." Ucapnya meneguk minumannya."Hiburan. Siapa kamu yang mewajibkan aku menghiburmu. Sungguh menyebalkan. " Kata Ardella dalam hati."Maaf tuan, saya tidak bisa menghibur anda." Suara Ardella sungguh ramah dan manis didengar. "Kalau mau dihibur cari saja wanita seksi yang bisa menghiburmu." Gumamnya menyeret suaranya.Meski mendengar ucapan Ardella, tetap saja Aoran bersikeras mau dihibur. "Ayolah, kamu bisa menari, kalau tidak menyanyi untuk menghiburku." Saut Aoran meminta.Menari? aku tidak mau menari dihadapan cowok rese ini, sepertinya menyanyi lebih baik. Ardella membatin."Baiklah, aku akan menyanyi. Tapi kamu tidak boleh tertawa." Memastikan bahwa Aoran tidak akan tertawa. Bakat Ardella sangat terpancar jika menari, tapi menyanyi bisa dikatakan kurang memenuhi syarat."Ok." Senyum Aoran yakin.Ardella mengambil mikrofon yang ada di sudut meja, mikr
Flashback.Sebelum melihat dengan mata kepala sendiri, Aoran merasa tidak tenang, dia memastikan sendiri Ardella aman bekerja di bar."Apa ini barnya?" tanya Aoran pada Parto."Iya Bos," saut Parto yakin.Pupil mata Aoran mengerut ketika melihat ke arah bar. Alis matanya terangkat tajam menandakan hatinya dalam suasana suram.Parto yang berdiri di samping Aoran merasa merinding. Mungkin sebentar lagi akan ada kejadian buruk. Mengenal sifat Aoran dengan tempramental buruk, tanpa sadar dia menggelengkan kepalanya."Parto." Panggil Aoran dengan tatapan mematikan. "Apa maksudnya kamu menggelengkan kepala," tanya Aoran dengan suara bergetar."Aku yakin Bos, sebentar lagi akan ada kekacauan disini,” sautnya tanpa menyaring perkataannya. Parto tertawa menunjukkan giginya.Raut muka Aoran berubah menjadi mengkerut. "Berhentilah bercanda denganku, sebelum kurontokkan semua gigimu." Nada datar tapi bermakna dari suara berat Aoran."Maaf Bos." Secepatnya Parto merapatkan bibirnya.Pertama kali m
Pagi hari.Terdengar suara langkah ribut dari kejauhan.Srek.Edward naik ke atas kasur Ardella. Menatap tantenya masih tidur dia menggelengkan kepala."Tante bangun." Edward membangunkan Ardella, dengan tangan kecilnya di menggoyang-goyang tubuh Ardella yang masih tidur dibawah selimut.Akibat lembur dari semalaman kelopak mata Ardella masih berat, dia menarik tubuh Edward kepelukannya. "Sepuluh menit lagi. Tante masih mengantuk." Ardella masih memejamkan matanya dengan rapat.Edward membalas pelukan Ardella, dengan tenang dia menunggu tantenya untuk bangun. "Ok. Waktunya bangun." Ardella menendang selimutnya, ketika membuka matanya terbuka lebar dia melihat tatapan Edward yang sangat menggemaskan."Aduhh, keponakan tante yang satu ini." Ardella mencium pipi Edward dengan gemes. "Ayo, bangun,” ucap Ardella ketika masih melihat Edward berbaring dengan santai di atas kasurnya."Huh, beratnya. " Menggendong Edward di pangkuannya."Aku tidak suka tante pulang malam." Kata Edward menunj
Malam hari.Ketika tiba dirumah Ardella disambut oleh kakak iparnya. Dengan wajah tersenyum Lisa menghampiri Ardella. "Dek, suruhan Aoran datang lagi." "Apalagi yang diinginkan cowok bre*ngsek itu." Gumamnya pelan. Ardella mengitari tubuh Lisa."Ada apa dek?" tanya Lisa ketika melihat Ardella membalikkan tubuhnya."Untung kakak ipar baik-baik saja, aku hanya takut mereka melukai kakak ipar." Suara lega terdengar dari hembusan nafas Ardella.Teringat dengan amplop yang diberikan oleh Parto. "Orang itu juga menitipkan ini." Amplop yang masih berada diatas meja diserahkan pada Ardella.Tidak lama kemudian Lisa juga membahas masalah kontrak rumah yang ditawarkan oleh Parto. Penjelasan Lisa sangat panjang dan detail."Sungguh kak." Terkejut mendengar penjelasan kakak iparnya."Iya dek, bahkan surat kontraknya sudah dibuat." Lisa menunjukkan isi kontrak pada Ardella.Membaca isi surat kontrak sepertinya tidak ada masalah, Ardella juga memikirkan betapa rumitnya mereka harus berkemas dan
Mencari pekerjaan di kota metropolitan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Berjalan kesana kemari untuk mencari kerja tapi masih saja belum mendapatkan pekerjaan. Rasa frustasi sedikit tersirat di benak Ardella yang sedang mencari pekerjaan.Sudah beberapa kali Ardella menerima penolakan dari perusahaan lain. Kakinya begitu lelah dan sulit untuk berjalan, dia menghembuskan nafas dengan pelan. "Huh. Lelah sekali." Gumamnya.Karena merasa kakinya sedikit pegal, Ardella ingin beristirahat terlebih dahulu sebelum melanjutkan perjalanannya. Ardella yang sedang berdiri dipinggir jalan melihat ke arah sekitarnya, melihat warung kecil di depannya dengan langkah kecil Ardella beranjak ke arah warung.Setibanya di warung Ardella duduk dengan meluruskan kakinya lebih condong ke depan. Melihat pemilik warung yang sedang berjualan Ardella merasa tidak enak hati hanya menumpang duduk, dia pun membeli beberapa cemilan kecil untuk dimakan.Sambil duduk Ardella melihat kembali sekelilingnya, di
Hari berikutnya.Semua kembali seperti semula. Menjalani kehidupan masing-masing. Pepatah mengatakan jika karena mengalami hal terpuruk membuat dirimu lebih kuat, maka bagi Ardella merasa semuanya tidak masalah, asalkan dia masih berada dekat dengan orang dia sayangi.Jika untuk sementara diriku kehilanganmu, maka aku akan terima dengan lapang dada. Tapi kumohon jangan pergi lebih lama lagi. Mungkin aku akan berubah lebih buruk dari ini. Aoran membiarkan Ardella bernafas untuk sejenak, dia tidak mengganggu Ardella untuk sementara waktu.***Pagi hari.Tak,, tak,,, tak. Suara langkah Aoran mengitari lapangan golf.Seperti biasa Aoran selalu melakukan olahraga kecil. Halaman taman di kediaman Aoran begitu luas, di sekitar pekarangan rumah terdapat lapangan golf seluas tiga ribu meter. Lapangan beralaskan rumput hijau dan beratapkan langit biru menjadi tempat santai bagi Aoran. Terkadang Aoran menghabiskan waktu bermain golf ketika waktunya senggang. Dipagi hari Aoran selalu memanjakan
Aoran sendiri tertegun dengan ucapan Ardella. Memperhatikan Ardella yang saat ini berdiri di hadapannya, Aoran masih merasa hatinya bergetar untuk Ardella. Tetapi sekarang dia berusaha menolak hatinya untuk menerima Ardella kembali.Disisi lain, Ardella merasa dirinya bagaikan sebuah bayangan untuk Aoran. Mungkin kah bayangan wanita itu menjadikan alasan semua perbuatan Aoran terhadapnya.Keduanya berbicara didalam hati masing-masing. Di Ruangan sunyi tanpa suara, detak jantung terdengar di telinga mereka sendiri. Aoran dan Ardella kini saling menatap, sesama melihat ke arah mata masing-masing. Keduanya hanya membentuk pola pikiran rumit."Jika saja aku wanita itu, maka sekarang aku akan melihatmu dengan rasa jijik,” ucap Ardella dingin. Dirinya masih dalam keadaan tidak terima Aoran menganggapnya sebagai wanita mainan."Mungkinkah kamu sendiri yang meninggalkan wanita itu, atau sebenarnya dari awal kamu memang tidak mencintainya,” ucap Ardella sembarangan menebak. Mungkin diantara m