Hari demi hari berlalu.
Tak menyangka semakin hari Sinta yang semakin gencar mendekati Marvin kembali, tak lelah ia merayu dan menggoda mantan suaminya yang telah beristri lagi itu.Kali ini Sinta melangkahkan kakinya memasuki ruangan Marvin Marcello, setelah mengetuk pintu dan mendengar pemilik ruangan mengizinkannya masuk, kini Sinta pun membuka pintunya.Penampilan modis wanita ber-dress selutut itu membuat pandangan Marvin berpaling dari layar laptopnya. Ia dapati Sinta yang berdiri seolah menggoda disana."Ada apa?" tanya Marvin dengan pandangan menunduk kembali.Tak ingin berlama lama memperhatikan gerak tubuh yang mungkin akan membuatnya tergoda itu, kini Marvin kembali memperhatikan layar laptopnya.Belum menjawab, Sinta yang lebih dulu berjalan mendekat, bukannya terduduk justru Sinta mendekati Marvin dan melihat aktivitas apa yang sedang ia kerjakan.Tangannya dengan lincah meraih bahu Marvin yang ia jadikan seDitengah tengah kebersamaannya, tiba tiba..Dreet dreet!Ponsel Ginda berdering hingga membuat Marvin kini melepas genggamannya, nama Teddy menari nari dilayar benda pipih tersebut."Assalamualaikum, Pak. Ada apa? Oh sekarang ya? baik lah saya kesana sekarang," ucap Ginda pada seseorang dibalik ponselnya tersebut.Mendengar percakapan itu Marvin pun bertanya siapa yang menelponnya, Ginda pun menjawab jika yang menelponnya adalah pemimpin perusahaan tempatnya bekerja."Aku harus kembali ke kantor sekarang, Mas!""Yasudah, saya antar!"Tak menunggu lama Ginda dan Marvin kini melangkah meninggalkan tempat dan melaju menuju perusahaan Fashion Ted. Beberapa menit kemudian.Marvin menghentikan mobilnya dihalaman perusahaan tersebut, Sementara Teddy yang sedang berdiri tampak sedang memperhatikan mobil yang baru saja datang.Melihat itu Marvin pun mengangkat alis sebelah kirinya, mengapa Teddy ada di
Dirumah.Marvin yang kini melangkah mendekati Ginda yang sedang terduduk seorang diri dihalaman belakang rumahnya.Wanita hamil tersebut tampak sedang memperhatikan penghijauan sekitar, semilir angin yang membelai tubuhnya membuatnya merasa tenang."Ginda."Tiba tiba terdengar panggilan itu yang membuat Ginda seketika menoleh pada sumber suara. Marvin disana yang kini terduduk sejajar dengan sang istri."Ada apa, Mas?"Terdiam sejenak, tampaknya Marvin sedang memikirkan hendak mulai percakapannya dari mana? "Saya ingin bertanya, apa maksud Teddy tadi, mengapa dia menganggap kamu istrinya Lian?"Pertanyaan itu membuat Ginda tersenyum samar, yang kemudian mengarahkan pandangannya kedepan kembali.Perlahan Ginda pun menjelaskan pada Marvin apa yang membuat Teddy mengira jika ia adalah istrinya Lian."Jadi begitu ceritanya, Mas. Mungkin Pak Lian melakukan itu juga karena biar aku diterima disana,
Ditengah tengah kebersamaanya, tiba tiba...Drreet drreet!Ponsel Ginda berdering, hingga membuatnya dengan cepat meraih ponselnya, nama Rumi menari nari dilayar benda pipih tersebut."Assalamualaikum, Bu.""Walaikum salam, Ginda. Ibu... Ibu.." ucap Rumi yang terdengar begitu lemah, hingga membuat Ginda melebarkan mata. "Ibu kenapa? Ibu sakit ya?" tanya Ginda cemas."Kepala Ibu sakit banget, Nak."Mendengar ucapan lemah itu seketika ekspresi Ginda berubah, ia merasa ada yang tidak baik dengan Ibunya."Ibu, bertahan ya. Sabar sebentar aku pulang sekarang," ucap Ginda yang kemudian mengakhiri panggilannya.Lalu memperhatikan Marvin dengan mata berkaca kaca."Mas, sepertinya Ibu sedang sakit, dia mendesak kesakitan. Mas, apa aku boleh berkunjung kerumah Ibu? aku khawatir Mas terjadi apa apa sama Ibu," ucap Ginda meraih tanga Marvin dengan penuh harap.Ia berharap untuk diizinkan pergi, m
Sesampainya dirumah sakit.dengan cepat Rumi dibawa oleh tim medis ke dalam ruang penanganan, Ginda dan Marvin yang dilarang masuk dan harus menunggu diruang tunggu.Saat ini Ginda benar benar panik, raut wajahnya kalut yang membuatnya tak tenang, ia terus berjalan kesana kemari bak sebuah setrika baju, melihat itu Marvin pun beranjak dan lalu menghampiri Ginda.Ia meraih tangannya dan membawa Ginda terduduk, perlahan Marvin merengkuh tubuh wanita berhijab itu hingga membuatnya kini menyandarkan kepala."Aku takut Ibu kenapa napa, Mas.""Sudah lah, berdoa saja tidak terjadi apa apa pada Ibu," jawab Marvin yang tangannya terus membelai kepala Ginda yang terbalut hijab.Meski hatinya sedang kalut, namun berada dalam pelukan Marvin membuatnya merasa tenang, kehangatan yang dirasa membuat otaknya serasa jernih kembali.Tak ingin melepas dekapan itu, Marvin yang berulang kali mencium pucuk kepala Ginda dengan penuh rasa sayan
Ditengah tengah kesedihannya tiba tiba..Dreet dreet!Ponsel Ginda berdering, nama Teddy menari nari dilayar benda pipih tersebut. Sedikit berat untuk menjawab panggilan itu, Ginda yang hanya memperhatikan layar ponselnya hingga kini Marvin yang meraihnya.Ia yang menjawab panggilan itu, sekaligus mengizinkan Ginda untuk tidak masuk beberapa hari ini, mendengar alasan Marvin, akhirnya Teddy pun mengizinkannya.Sementara raut wajah Ginda yang penuh dengan kebingungan, ia tak tahu harus bagaimana sekarang, ia yang sebentar lagi dapat meraih cita citanya, namun hatinya terbebani oleh keadaan sang Ibu yang harus ia rawat."Apa aku resign aja ya dari perusahaan Pak Teddy?" gumam Ginda yang terdengar ditelinga Marvin."Kenapa, Nda? kamu yakin mau resign?""Ngga ada pilihan lain, Mas. Aku harus merawat Ibu dirumah, ngga mungkin kan aku biarin Ibu tinggal sendiri dirumahnya.""Masalah itu, kamu tidak perlu khawatir, bia
"Nda, kamu kenapa?" tanya Rumi setelah mendapati sang anak merenung.Tak menjawab Ginda yang masih terdiam dihadapan Rumi, dan tak menghiraukan pertanyaannya."Ginda."Panggilan itu akhirnya membuyarkan lamunan Ginda."Iya, Bu.""Kamu melamun, ada apa?""Oh ngga papa kok, Bu. Yaudah sekarang Ibu istirahat dulu yah, aku keluar dulu," ucap Ginda yang kemudian meraih selimut untuk menutupi tubuh sang Ibu.Kini Ginda pun melangkah keluar, berpapasan dengan Marvin yang sudah berpenampilan rapi kembali."Mas," panggil Ginda yang membuat langkah kebut Marvin seketika terhenti."Mau kemana, Mas?""Ada meeting mendadak, saya harus kekantor sekarang," jawab Marvin yang membuat Ginda perlahan mengangguk."Saya berangkat ya."Kini Marvin pun melangkah kembali, namun tiba tiba langkahnya terhenti yang membuat Ginda mengerutkan dahi.Ada apa lagi? mengapa langkahnya berhenti lagi?
Ditengah tengah kebersamaannya, tiba tiba terdengar seseorang mengetuk pintu, hingga membuat Sinta dengan cepat melepas tubuh Marvin dan terduduk kembali membiarkan Marvin berdiri sendiri."Masuk."Perlahan pintu itupun terbuka, Yahya disana, yang datang bersama Teddy sahabat lamanya, melihat kedatangan tamunya saat ini seketika wajah Marvin berubah, ia tersenyum dan mempersilahkan Teddy masuk.Namun Teddy yang kini terkejut kala ia dapati Sinta berada didalam ruangan sahabatnya tersebut."Sinta," gumam Teddy yang ternyata ia mengenalnya.Begitu pun Sinta yang juga terbelalak kala ia dapati Teddy dihadapannya."Teddy.""Kalian saling mengenal?" tanya Marvin memperhatikan keduanya."Apa kalian sedang meeting? apa saya mengganggu?" tanya Teddy yang membuat Marvin dengan cepat menggelengkan kepala.Dalam hati Teddy yang terus berpikir bukankah Marvin adalah suaminya Ginda, lalu mengapa Marvin berduaan deng
Ditengah tengah Ginda menyuapi Rumi, tiba tiba sebuah pertanyaan terlontar yang membuat Ginda seketika terdiam."Nda, apa kamu sudah bertemu dengan laki laki pelaku tabrak lari itu?"Pertanyaan itu membuat Ginda terkejut, tak tahu ia harus menjawab apa? tidak mungkin ia memberi tahu pada sang Ibu jika penabrak lari itu adalah suaminya sendiri."Kenapa Ibu bertanya seperti itu? bukankah Ibu sendiri yang bilang aku ngga perlu mencari laki laki itu?""Ngga papa, Nda. Ibu cuma pengen tau aja tapi kalau pun kamu ngga mau mencari dia Ibu ngga papa kok," ucap Rumi yang membuat Ginda terdiam.Ia menunduk tak dapat lagi berkata kata. Entahlah mengapa Rumi tiba tiba menanyakan hal itu, padahal sebelumnya ia selalu melarang Ginda berbalas dendam.Cukup lama terdiam tanpa kata, kini akhirnya Ginda kembali bersuara namun tidak untuk membahas penabrak lari itu, Ginda justru mengalihkan pembicaraan."Bu, besok aku harus kuliah, sepulan