Sesampainya dirumah sakit.
dengan cepat Rumi dibawa oleh tim medis ke dalam ruang penanganan, Ginda dan Marvin yang dilarang masuk dan harus menunggu diruang tunggu.Saat ini Ginda benar benar panik, raut wajahnya kalut yang membuatnya tak tenang, ia terus berjalan kesana kemari bak sebuah setrika baju, melihat itu Marvin pun beranjak dan lalu menghampiri Ginda.Ia meraih tangannya dan membawa Ginda terduduk, perlahan Marvin merengkuh tubuh wanita berhijab itu hingga membuatnya kini menyandarkan kepala."Aku takut Ibu kenapa napa, Mas.""Sudah lah, berdoa saja tidak terjadi apa apa pada Ibu," jawab Marvin yang tangannya terus membelai kepala Ginda yang terbalut hijab.Meski hatinya sedang kalut, namun berada dalam pelukan Marvin membuatnya merasa tenang, kehangatan yang dirasa membuat otaknya serasa jernih kembali.Tak ingin melepas dekapan itu, Marvin yang berulang kali mencium pucuk kepala Ginda dengan penuh rasa sayanDitengah tengah kesedihannya tiba tiba..Dreet dreet!Ponsel Ginda berdering, nama Teddy menari nari dilayar benda pipih tersebut. Sedikit berat untuk menjawab panggilan itu, Ginda yang hanya memperhatikan layar ponselnya hingga kini Marvin yang meraihnya.Ia yang menjawab panggilan itu, sekaligus mengizinkan Ginda untuk tidak masuk beberapa hari ini, mendengar alasan Marvin, akhirnya Teddy pun mengizinkannya.Sementara raut wajah Ginda yang penuh dengan kebingungan, ia tak tahu harus bagaimana sekarang, ia yang sebentar lagi dapat meraih cita citanya, namun hatinya terbebani oleh keadaan sang Ibu yang harus ia rawat."Apa aku resign aja ya dari perusahaan Pak Teddy?" gumam Ginda yang terdengar ditelinga Marvin."Kenapa, Nda? kamu yakin mau resign?""Ngga ada pilihan lain, Mas. Aku harus merawat Ibu dirumah, ngga mungkin kan aku biarin Ibu tinggal sendiri dirumahnya.""Masalah itu, kamu tidak perlu khawatir, bia
"Nda, kamu kenapa?" tanya Rumi setelah mendapati sang anak merenung.Tak menjawab Ginda yang masih terdiam dihadapan Rumi, dan tak menghiraukan pertanyaannya."Ginda."Panggilan itu akhirnya membuyarkan lamunan Ginda."Iya, Bu.""Kamu melamun, ada apa?""Oh ngga papa kok, Bu. Yaudah sekarang Ibu istirahat dulu yah, aku keluar dulu," ucap Ginda yang kemudian meraih selimut untuk menutupi tubuh sang Ibu.Kini Ginda pun melangkah keluar, berpapasan dengan Marvin yang sudah berpenampilan rapi kembali."Mas," panggil Ginda yang membuat langkah kebut Marvin seketika terhenti."Mau kemana, Mas?""Ada meeting mendadak, saya harus kekantor sekarang," jawab Marvin yang membuat Ginda perlahan mengangguk."Saya berangkat ya."Kini Marvin pun melangkah kembali, namun tiba tiba langkahnya terhenti yang membuat Ginda mengerutkan dahi.Ada apa lagi? mengapa langkahnya berhenti lagi?
Ditengah tengah kebersamaannya, tiba tiba terdengar seseorang mengetuk pintu, hingga membuat Sinta dengan cepat melepas tubuh Marvin dan terduduk kembali membiarkan Marvin berdiri sendiri."Masuk."Perlahan pintu itupun terbuka, Yahya disana, yang datang bersama Teddy sahabat lamanya, melihat kedatangan tamunya saat ini seketika wajah Marvin berubah, ia tersenyum dan mempersilahkan Teddy masuk.Namun Teddy yang kini terkejut kala ia dapati Sinta berada didalam ruangan sahabatnya tersebut."Sinta," gumam Teddy yang ternyata ia mengenalnya.Begitu pun Sinta yang juga terbelalak kala ia dapati Teddy dihadapannya."Teddy.""Kalian saling mengenal?" tanya Marvin memperhatikan keduanya."Apa kalian sedang meeting? apa saya mengganggu?" tanya Teddy yang membuat Marvin dengan cepat menggelengkan kepala.Dalam hati Teddy yang terus berpikir bukankah Marvin adalah suaminya Ginda, lalu mengapa Marvin berduaan deng
Ditengah tengah Ginda menyuapi Rumi, tiba tiba sebuah pertanyaan terlontar yang membuat Ginda seketika terdiam."Nda, apa kamu sudah bertemu dengan laki laki pelaku tabrak lari itu?"Pertanyaan itu membuat Ginda terkejut, tak tahu ia harus menjawab apa? tidak mungkin ia memberi tahu pada sang Ibu jika penabrak lari itu adalah suaminya sendiri."Kenapa Ibu bertanya seperti itu? bukankah Ibu sendiri yang bilang aku ngga perlu mencari laki laki itu?""Ngga papa, Nda. Ibu cuma pengen tau aja tapi kalau pun kamu ngga mau mencari dia Ibu ngga papa kok," ucap Rumi yang membuat Ginda terdiam.Ia menunduk tak dapat lagi berkata kata. Entahlah mengapa Rumi tiba tiba menanyakan hal itu, padahal sebelumnya ia selalu melarang Ginda berbalas dendam.Cukup lama terdiam tanpa kata, kini akhirnya Ginda kembali bersuara namun tidak untuk membahas penabrak lari itu, Ginda justru mengalihkan pembicaraan."Bu, besok aku harus kuliah, sepulan
Beberapa hari kemudian.Ginda yang kini telah menjalankan tugasnya dari Lian, untuk bekerja sama dengan Teddy mengurus perusahaannya. Ginda berusaha menjalankan tugas dengan baik, bekerja sama secara profesional pada laki laki yang biasa ia panggil 'Pak' itu.Hari ini mereka yang harus keluar berdua untuk menemui klien pentingnya disebuah restoran yang saat ini mereka telah berada."Sudah disiapkan semuanya, Nda?""Oh sudah, Pak. Semua sudah ada didalam laptop ini," jawab Ginda tersenyum.Wanita berhijab yang berpenampilan elegan itu tampak begitu ayu, siapa yang terpesona melihatnya, jangan kan para laki laki yang berkunjung ke restoran, bahkan Teddy sendiri pun pandangannya tak jarang tertuju pada Ginda.Mungkin batinnya berkata, kalau saja Ginda bukan istri dari sahabatnya sudah pasti ia tak akan menyia nyiakan kedekatannya ini. Ditengah tengah kebersamaannya, tiba tiba..Dreet dreet!Ponsel Ginda berdering,
Bruuaakkk!Sebuah tendangan mendarah di punggung lakiaki tersebut, hingga membuatnya seketika menjauh. Ekspresi wajahnya meringis kesakitan, setelah ternyata Teddy melayangkan tendangannya.Beruntung, Ginda akhirnya dapat terbebas dari kungkungan laki laki brengsek tersebut, hingga membuatnya dapat bernafas lega."Berani beraninya kamu macam macam dengan dia, laki laki tak berakhlak," ucap Teddy dengan pandangan tajam dan rahang mengeras.Dengan ekspresi wajah kesakitan, laki laki itu mendongakkan wajahnya, namun entahlah apakah laki laki tersebut memang gila, hingga kini ia tertawa terbahak bahak."Sudah kuduga kamu bukan wanita baik baik, kamu pasti sudah pernah bersenang senang dengan bos kamu ini kan? hingga dia membelamu seperti ini agar kamu tak jatuh dalam pelukanku," ucapnya yang membuat Teddy terbelalak.Sementara Ginda yang saat ini masih menyudut karena ketakutan, ia tak habis pikir dan tak tahu apa yang akan terjadi j
Sinta yang kini melangkah memasuki ruangan Marvin dengan leluasa, bak memasuki ruangan suaminya sendiri, tanpa mengetuk pintu terlebih dulu Sinta masuk begitu saja.Hingga membuat pandangan Marvin yang tertuju pada layar laptop itu seketika tertuju padanya."Apa apaan kamu? masuk tanpa mengetuk pintu dulu," tegur Marvin pada wanita modis yang kini melangkah mendekat itu."Sayang." panggilnya aleman, yang kemudian meraih tubuh Marvin dari belakang, melingkarkan kedua tangannya pada bahu tegap itu."Apa apaan sih? lepas!""Sayang, kamu harus tau sesuatu deh, ini tuh urgent banget," ucap Sinta setelah melepas dekapannya.Kini ia melangkah terduduk dihadapan Marvin. Sementara Marvin yang tak menghiraukan Sinta malah ia kembali pada layar laptopnya."Ini tentang Ginda, istri kamu," tambah Sinta yang membuat gerak tangan Marvin seketika terhenti.Kini pandangannya menatap tajam kearah Sinta, yang baru saja mengucap na
Sore ini, Ginda melangkahkan kaki memasuki rumahnya, sementara Marvin yang sedari tadi sudah menunggu kepulangan sang istri.Ia yang sudah tak sabar ingin mempertanyakan hal yang tadi ia dengan dari Sinta, Marvin terduduk dengan tegang, seolah siap menerkam mangsanya yang seketika melintas.Kini Ginda pun mulai mendekat tak lupa mengucapkan salam sebelum memasuki rumah. Langkah kebut Ginda seketika terhenti kala ia dapati Marvin yang sudah terduduk di sofa ruang tamunya."Mas, udah pulang?" sapa Ginda yang kini mendekat, mengulurkan tangan ke hadapan Marvin namun tak dihiraukan.Melihat itu Ginda sejenak terdiam bingung, mengapa sikap suaminya dingin sekali? padahal sebelum berangkat tadi pagi ia masih baik baik saja."Mas, ada apa?" tambah Ginda yang membuat Marvin kali ini mendongakkan wajahnya, ia menatap wajah Ginda dengan tajam.Matanya memerah dan rahang mengeras, membuat Ginda yang memperhatikannya bergidik ngeri.