Ditengah tengah kebersamaannya, tiba tiba terdengar seseorang mengetuk pintu, hingga membuat Sinta dengan cepat melepas tubuh Marvin dan terduduk kembali membiarkan Marvin berdiri sendiri.
"Masuk."Perlahan pintu itupun terbuka, Yahya disana, yang datang bersama Teddy sahabat lamanya, melihat kedatangan tamunya saat ini seketika wajah Marvin berubah, ia tersenyum dan mempersilahkan Teddy masuk.Namun Teddy yang kini terkejut kala ia dapati Sinta berada didalam ruangan sahabatnya tersebut."Sinta," gumam Teddy yang ternyata ia mengenalnya.Begitu pun Sinta yang juga terbelalak kala ia dapati Teddy dihadapannya."Teddy.""Kalian saling mengenal?" tanya Marvin memperhatikan keduanya."Apa kalian sedang meeting? apa saya mengganggu?" tanya Teddy yang membuat Marvin dengan cepat menggelengkan kepala.Dalam hati Teddy yang terus berpikir bukankah Marvin adalah suaminya Ginda, lalu mengapa Marvin berduaan dengDitengah tengah Ginda menyuapi Rumi, tiba tiba sebuah pertanyaan terlontar yang membuat Ginda seketika terdiam."Nda, apa kamu sudah bertemu dengan laki laki pelaku tabrak lari itu?"Pertanyaan itu membuat Ginda terkejut, tak tahu ia harus menjawab apa? tidak mungkin ia memberi tahu pada sang Ibu jika penabrak lari itu adalah suaminya sendiri."Kenapa Ibu bertanya seperti itu? bukankah Ibu sendiri yang bilang aku ngga perlu mencari laki laki itu?""Ngga papa, Nda. Ibu cuma pengen tau aja tapi kalau pun kamu ngga mau mencari dia Ibu ngga papa kok," ucap Rumi yang membuat Ginda terdiam.Ia menunduk tak dapat lagi berkata kata. Entahlah mengapa Rumi tiba tiba menanyakan hal itu, padahal sebelumnya ia selalu melarang Ginda berbalas dendam.Cukup lama terdiam tanpa kata, kini akhirnya Ginda kembali bersuara namun tidak untuk membahas penabrak lari itu, Ginda justru mengalihkan pembicaraan."Bu, besok aku harus kuliah, sepulan
Beberapa hari kemudian.Ginda yang kini telah menjalankan tugasnya dari Lian, untuk bekerja sama dengan Teddy mengurus perusahaannya. Ginda berusaha menjalankan tugas dengan baik, bekerja sama secara profesional pada laki laki yang biasa ia panggil 'Pak' itu.Hari ini mereka yang harus keluar berdua untuk menemui klien pentingnya disebuah restoran yang saat ini mereka telah berada."Sudah disiapkan semuanya, Nda?""Oh sudah, Pak. Semua sudah ada didalam laptop ini," jawab Ginda tersenyum.Wanita berhijab yang berpenampilan elegan itu tampak begitu ayu, siapa yang terpesona melihatnya, jangan kan para laki laki yang berkunjung ke restoran, bahkan Teddy sendiri pun pandangannya tak jarang tertuju pada Ginda.Mungkin batinnya berkata, kalau saja Ginda bukan istri dari sahabatnya sudah pasti ia tak akan menyia nyiakan kedekatannya ini. Ditengah tengah kebersamaannya, tiba tiba..Dreet dreet!Ponsel Ginda berdering,
Bruuaakkk!Sebuah tendangan mendarah di punggung lakiaki tersebut, hingga membuatnya seketika menjauh. Ekspresi wajahnya meringis kesakitan, setelah ternyata Teddy melayangkan tendangannya.Beruntung, Ginda akhirnya dapat terbebas dari kungkungan laki laki brengsek tersebut, hingga membuatnya dapat bernafas lega."Berani beraninya kamu macam macam dengan dia, laki laki tak berakhlak," ucap Teddy dengan pandangan tajam dan rahang mengeras.Dengan ekspresi wajah kesakitan, laki laki itu mendongakkan wajahnya, namun entahlah apakah laki laki tersebut memang gila, hingga kini ia tertawa terbahak bahak."Sudah kuduga kamu bukan wanita baik baik, kamu pasti sudah pernah bersenang senang dengan bos kamu ini kan? hingga dia membelamu seperti ini agar kamu tak jatuh dalam pelukanku," ucapnya yang membuat Teddy terbelalak.Sementara Ginda yang saat ini masih menyudut karena ketakutan, ia tak habis pikir dan tak tahu apa yang akan terjadi j
Sinta yang kini melangkah memasuki ruangan Marvin dengan leluasa, bak memasuki ruangan suaminya sendiri, tanpa mengetuk pintu terlebih dulu Sinta masuk begitu saja.Hingga membuat pandangan Marvin yang tertuju pada layar laptop itu seketika tertuju padanya."Apa apaan kamu? masuk tanpa mengetuk pintu dulu," tegur Marvin pada wanita modis yang kini melangkah mendekat itu."Sayang." panggilnya aleman, yang kemudian meraih tubuh Marvin dari belakang, melingkarkan kedua tangannya pada bahu tegap itu."Apa apaan sih? lepas!""Sayang, kamu harus tau sesuatu deh, ini tuh urgent banget," ucap Sinta setelah melepas dekapannya.Kini ia melangkah terduduk dihadapan Marvin. Sementara Marvin yang tak menghiraukan Sinta malah ia kembali pada layar laptopnya."Ini tentang Ginda, istri kamu," tambah Sinta yang membuat gerak tangan Marvin seketika terhenti.Kini pandangannya menatap tajam kearah Sinta, yang baru saja mengucap na
Sore ini, Ginda melangkahkan kaki memasuki rumahnya, sementara Marvin yang sedari tadi sudah menunggu kepulangan sang istri.Ia yang sudah tak sabar ingin mempertanyakan hal yang tadi ia dengan dari Sinta, Marvin terduduk dengan tegang, seolah siap menerkam mangsanya yang seketika melintas.Kini Ginda pun mulai mendekat tak lupa mengucapkan salam sebelum memasuki rumah. Langkah kebut Ginda seketika terhenti kala ia dapati Marvin yang sudah terduduk di sofa ruang tamunya."Mas, udah pulang?" sapa Ginda yang kini mendekat, mengulurkan tangan ke hadapan Marvin namun tak dihiraukan.Melihat itu Ginda sejenak terdiam bingung, mengapa sikap suaminya dingin sekali? padahal sebelum berangkat tadi pagi ia masih baik baik saja."Mas, ada apa?" tambah Ginda yang membuat Marvin kali ini mendongakkan wajahnya, ia menatap wajah Ginda dengan tajam.Matanya memerah dan rahang mengeras, membuat Ginda yang memperhatikannya bergidik ngeri.
"Ibu, Ibu mau kemana?" tanya Ginda pada Rumi yang kini memasukan pakaiannya kedalam tas ransel."Ibu mau pulang kerumah Ibu. Ibu malu disini, karena tingkah kamu yang aneh itu," jawab Rumi tanpa memandang."Bukannya berterimakasih malah seenaknya mengkhianati suamimu, ingat Ginda dia itu suami yang baik tidak seharusnya kamu perlakukan Marvin seperti itu.""Tapi, Bu. Aku ngga melakukan semua itu, Ibu sa...""Sudahlah Ginda, daripada Ibu harus menahan malu disini, lebih baik Ibu pergi sekarang," sambar Rumi memutuskan ucapan Ginda yang belum usai, yang kemudian melangkah meninggalkan tempat.Panggilan sang anak kini tak lagi dihiraukan, permohonan untuk tidak pergi ditolak mentah mentah, entahlah harus bagaimana Ginda menghadapi masalahnya kali ini?Tampaknya terasa begitu berat, dan kali ini tak hanya menyangkut suaminya namun Ibunya pun turut kecewa."Ibu, aku mohon, Bu. Dengerin dulu penjelasanku, ini ngga seperti yang
"Ibu, Ibu bertahan ya. Ibu yang kuat, Ibu pasti sembuh kok, biar kata dokter usia Ibu ngga akan lama lagi, tapi yang menentukan usia seseorang itu cuma Allah, Bu. Ibu yang tenang, ada aku disini yang akan selalu ada buat Ibu," ucap Ginda dengan suara bergetar.Menggenggam tangan sang Ibu yang belum sadarkan diri dibed rumah sakit. Cukup lama Ginda menangisi, sebelum akhirnya perlahan Rumi membuka mata, hingga membuat Ginda dengan cepat menghapus air matanya dan memperhatikan wajah Rumi dengan seksama."Ibu, alhamdulillah Ibu udah bangun," ucap Ginda pada wanita paruh baya yang masih tampak lemah tersebut."Nda.""Iya, Bu. Ini aku, aku minta maaf ya, Bu. Aku minta maaf sama Ibu, aku ngga bermaksud buat Ibu kecewa," ucap Ginda menggenggam tangan Rumi lebih erat."Minta maaf pada suamimu, Nda. Karena kamu sudah menyakiti dia," jawab lemah Rumi yang membuat Ginda hanya bisa diam.Percuma ia terus membela diri namun Rumi masih tak per
Keesokan harinya, Ginda yang kembali beraktifitas diperusahaan. Langkah kebut Ginda seketika terhenti kala Teddy memanggilnya, dengan cepat Ginda pun menoleh."Pak Teddy.""Kamu keliatan terburu buru, ada apa?""Saya mau cari bapak," jawab Ginda yang membuat Teddy mengerutkan dahi."Mencari saya ada apa, Ginda?""Boleh saya bicara didalam?"Mendengar ucapan itu Teddy pun mengangguk yang lalu mengikuti Ginda yang sudah lebih dulu melangkah. Tampaknya Ginda begitu serius dengan pembahasan apa yang hendak ia katakan pada Teddy saat ini?Kini keduanya telah duduk dalam satu ruangan yang sama, sejenak terdiam Teddy yang terus memperhatikan wajah Ginda yang tampaknya sedang berpikir."Ginda, ada apa sebenarnya?""Suami saya marah, Pak," ucap Ginda yang membuat Teddy mengerutkan dahi."Marah?""Iya, Pak. Karena ucapan Bapak di restoran kemarin sampai ditelinganya, dia mengira ucapan Bapak bah