Sinta yang kini melangkah memasuki ruangan Marvin dengan leluasa, bak memasuki ruangan suaminya sendiri, tanpa mengetuk pintu terlebih dulu Sinta masuk begitu saja.
Hingga membuat pandangan Marvin yang tertuju pada layar laptop itu seketika tertuju padanya."Apa apaan kamu? masuk tanpa mengetuk pintu dulu," tegur Marvin pada wanita modis yang kini melangkah mendekat itu."Sayang." panggilnya aleman, yang kemudian meraih tubuh Marvin dari belakang, melingkarkan kedua tangannya pada bahu tegap itu."Apa apaan sih? lepas!""Sayang, kamu harus tau sesuatu deh, ini tuh urgent banget," ucap Sinta setelah melepas dekapannya.Kini ia melangkah terduduk dihadapan Marvin. Sementara Marvin yang tak menghiraukan Sinta malah ia kembali pada layar laptopnya."Ini tentang Ginda, istri kamu," tambah Sinta yang membuat gerak tangan Marvin seketika terhenti.Kini pandangannya menatap tajam kearah Sinta, yang baru saja mengucap naSore ini, Ginda melangkahkan kaki memasuki rumahnya, sementara Marvin yang sedari tadi sudah menunggu kepulangan sang istri.Ia yang sudah tak sabar ingin mempertanyakan hal yang tadi ia dengan dari Sinta, Marvin terduduk dengan tegang, seolah siap menerkam mangsanya yang seketika melintas.Kini Ginda pun mulai mendekat tak lupa mengucapkan salam sebelum memasuki rumah. Langkah kebut Ginda seketika terhenti kala ia dapati Marvin yang sudah terduduk di sofa ruang tamunya."Mas, udah pulang?" sapa Ginda yang kini mendekat, mengulurkan tangan ke hadapan Marvin namun tak dihiraukan.Melihat itu Ginda sejenak terdiam bingung, mengapa sikap suaminya dingin sekali? padahal sebelum berangkat tadi pagi ia masih baik baik saja."Mas, ada apa?" tambah Ginda yang membuat Marvin kali ini mendongakkan wajahnya, ia menatap wajah Ginda dengan tajam.Matanya memerah dan rahang mengeras, membuat Ginda yang memperhatikannya bergidik ngeri.
"Ibu, Ibu mau kemana?" tanya Ginda pada Rumi yang kini memasukan pakaiannya kedalam tas ransel."Ibu mau pulang kerumah Ibu. Ibu malu disini, karena tingkah kamu yang aneh itu," jawab Rumi tanpa memandang."Bukannya berterimakasih malah seenaknya mengkhianati suamimu, ingat Ginda dia itu suami yang baik tidak seharusnya kamu perlakukan Marvin seperti itu.""Tapi, Bu. Aku ngga melakukan semua itu, Ibu sa...""Sudahlah Ginda, daripada Ibu harus menahan malu disini, lebih baik Ibu pergi sekarang," sambar Rumi memutuskan ucapan Ginda yang belum usai, yang kemudian melangkah meninggalkan tempat.Panggilan sang anak kini tak lagi dihiraukan, permohonan untuk tidak pergi ditolak mentah mentah, entahlah harus bagaimana Ginda menghadapi masalahnya kali ini?Tampaknya terasa begitu berat, dan kali ini tak hanya menyangkut suaminya namun Ibunya pun turut kecewa."Ibu, aku mohon, Bu. Dengerin dulu penjelasanku, ini ngga seperti yang
"Ibu, Ibu bertahan ya. Ibu yang kuat, Ibu pasti sembuh kok, biar kata dokter usia Ibu ngga akan lama lagi, tapi yang menentukan usia seseorang itu cuma Allah, Bu. Ibu yang tenang, ada aku disini yang akan selalu ada buat Ibu," ucap Ginda dengan suara bergetar.Menggenggam tangan sang Ibu yang belum sadarkan diri dibed rumah sakit. Cukup lama Ginda menangisi, sebelum akhirnya perlahan Rumi membuka mata, hingga membuat Ginda dengan cepat menghapus air matanya dan memperhatikan wajah Rumi dengan seksama."Ibu, alhamdulillah Ibu udah bangun," ucap Ginda pada wanita paruh baya yang masih tampak lemah tersebut."Nda.""Iya, Bu. Ini aku, aku minta maaf ya, Bu. Aku minta maaf sama Ibu, aku ngga bermaksud buat Ibu kecewa," ucap Ginda menggenggam tangan Rumi lebih erat."Minta maaf pada suamimu, Nda. Karena kamu sudah menyakiti dia," jawab lemah Rumi yang membuat Ginda hanya bisa diam.Percuma ia terus membela diri namun Rumi masih tak per
Keesokan harinya, Ginda yang kembali beraktifitas diperusahaan. Langkah kebut Ginda seketika terhenti kala Teddy memanggilnya, dengan cepat Ginda pun menoleh."Pak Teddy.""Kamu keliatan terburu buru, ada apa?""Saya mau cari bapak," jawab Ginda yang membuat Teddy mengerutkan dahi."Mencari saya ada apa, Ginda?""Boleh saya bicara didalam?"Mendengar ucapan itu Teddy pun mengangguk yang lalu mengikuti Ginda yang sudah lebih dulu melangkah. Tampaknya Ginda begitu serius dengan pembahasan apa yang hendak ia katakan pada Teddy saat ini?Kini keduanya telah duduk dalam satu ruangan yang sama, sejenak terdiam Teddy yang terus memperhatikan wajah Ginda yang tampaknya sedang berpikir."Ginda, ada apa sebenarnya?""Suami saya marah, Pak," ucap Ginda yang membuat Teddy mengerutkan dahi."Marah?""Iya, Pak. Karena ucapan Bapak di restoran kemarin sampai ditelinganya, dia mengira ucapan Bapak bah
Setelah kepergian Teddy, Marvin pun dengan cepat beranjak menjauh dari Sinta yang sejak tadi menggodanya."Pergi kamu!" ucap Marvin tanpa basa basi.Membuat ekspresi Sinta seketika berubah, ia pikir Marvin mulai bersikap lembut dengannya namun ternyata ia salah."Dasar aneh, dari tadi kenapa kamu diem aja, giliran sekarang berubah jadi kaya singa," gerutu Sinta seraya meraih tasnya.Tak menunggu lama, Sinta pun melangkahkan kakinya meninggalkan tempat, membuat Marvin memandangnya dengan tajam, seolah begitu membenci mantan istrinya itu."Kalau aja aku ngga cinta sama dia, ngga akan aku deket deket sama laki laki garang yang dingin kaya Marvin," ucap Sinta yang terus menggerutu sepanjang perjalanannya.Sesampainya Teddy di perusahaan, ia bertemu dengan Ginda, dengan cepat Ginda menyambut kedatangan Marvin untuk menanyakan apakah ia sudah menjelaskan semuanya pada Marvin?Hanya menggeleng lemah Teddy menjawab pertanyaan da
Kini Marvin yang sedang duduk seorang diri dihalaman belakang rumahnya, Ginda yang melihatnya pun perlahan menghampiri, ingin sekali rasanya ia menjelaskan apa yang telah terjadi sebenarnya.Dengan ragu Ginda pun melangkah mendekati Marvin, berharap permasalahannya kali ini dapat terselesaikan."Mas," panggil Ginda yang membuat Marvin perlahan menoleh.Hanya melirik, seolah ia tak sudi memperhatikan Ginda dengan jelas. Perasaannya mungkin begitu sakit, Marvin merasa telah dipatahkan hatinya."Mas, aku mau minta maaf," tambah Ginda yang kini terduduk tepat disebelah Marvin.Tak langsung menjawab Marvin yang lebih dulu mengernyitkan bibirnya, ia merasa ucapan Ginda adalah ucapan yang lucu."Bisa bisanya minta maaf, kamu pikir permasalahan ini akan selesai begitu saja hanya dengan kamu minta maaf? tidak Ginda, jangan kamu pikir hanya dengan kamu meminta maaf permasalahan ini akan selesai.""Tapi, Mas. Aku bisa jelasin semua
Sesampainya dirumah sakit dengan cepat Ginda dilarikan diruang IGD untuk segera mendapat penanganan. Sementara Marvin dan Teddy yang kini menunggu didepan ruangan dengan penuh kegelisahan.Berharap agar wanita ayu itu baik baik saja, lalu bagaimana dengan janinnya? tentu saja Marvin berharap janinnya akan baik baik saja, karena janin dalam kandungan itu adalah buah hatinya.Tak lama kemudian. Sukma dan Rumi yang datang berdua dengan wajah panik, langkahnya tergopoh gopoh yang kini semakin mendekati Marvin dan Teddy."Marvin," panggil Sukma yang membuat laki laki berpenampilan kantoran itu seketika menoleh.Matanya memerah raut wajahnya tampak sekali rasa penyesalan. Ya, ia menyesal mengapa tadi ia harus pergi meninggalkan Ginda hingga ia mengejarnya. Mungkin jika hal itu tidak ia lakukan Ginda akan baik baik saja saat ini."Apa yang terjadi, Vin? kenapa Ginda sampai seperti ini?" tanya Sukma membuat hati Marvin semakin tak karua
"Pasien, koma."Terbelalak kala mendengar ucapan dokter tentang Ginda, tak menyangka keadaan Ginda akan seperti ini.Berada diantara hidup dan mati, tidak akan mudah, Ginda harus berjuang bertahan untuk Dunianya atau malah akan kembali ke sang pencipta?"Apa Ginda koma, dok?" ucap Marvin tak percaya. Ia yang tampak pasrah dengan keadaan istrinya tersebut.Tak menunggu lama, kini Marvin melangkah memasuki ruangan dimana Ginda terbaring lemah. Ia pandangi wajah pucat pasi yang jiwanya terombang ambing itu."Bangun Ginda, aku ada disini untukmu! ayolah bertahan, bangkit aku tidak ingin kehilangan kamu," ucap Marvin setelah kini menggenggam tangan Ginda dengan erat.Entahlah jika sudah seperti ini apa yang akan dilakukan Marvin? meminta maaf? menyesali dan bersedih? sepertinya semua itu akan percuma, Ginda tak akan mengerti semua penyesalannya.Sebagai rasa penebus kesalahan, Marvin berjanji akan setia bersama Ginda meski ko
Hari demi hari berlalu, membawa perubahan yang luar biasa dalam kehidupan Ginda. Kini, dengan bantuan setia Marvin, Ginda mampu berjalan kembali meskipun masih perlu bantuan. Suasana bahagia pun terasa di antara keduanya. "Alhamdulillah, Mas, akhirnya aku bisa jalan lagi," ucap Ginda penuh kebahagiaan, senyumnya merekah di wajahnya yang berseri.Marvin tersenyum lembut, "Kamu hebat, kamu bisa melalui cobaan ini."Ginda menatap Marvin dengan penuh rasa syukur, "Ini semua 'kan juga berkat Mas, kalau ngga ada Mas Marvin mungkin aku ngga menjadi Ginda yang setegar ini. Terimakasih, ya, Mas, untuk semua kebaikan kamu, kamu yang udah menerima aku apa adanya, sampai aku bisa jalan lagi seperti sekarang."Marvin tersenyum hangat, "Ini tugasku, Nda. Sebagai suami, sudah seharusnya aku mendampingi kamu, dalam suka maupun duka."Ucapan Marvin membuat Ginda tersenyum bahagia, merasa bersyukur memiliki seorang suami yang selalu ada untuknya, dalam se
Marvin memasuki hutan dengan hati penuh kekhawatiran, mencari jejak yang bisa mengantarkannya pada keberadaan istrinya, Ginda. Namun, semakin lama ia berada di dalam hutan yang lebat, semakin redup harapan yang ia sandarkan. Setiap langkah yang diambilnya terasa begitu berat, dipenuhi kegelapan dan ketakutan. "Ginda!" teriak Marvin dengan suara gemetar. Namun, tak ada jawaban yang terdengar kecuali desiran angin dan hiruk pikuk hutan yang sunyi. Ia meraba setiap sudut hutan, memanggil nama istrinya tanpa henti. Namun, waktu terus berlalu tanpa kehadiran Ginda yang dicarinya. Kesedihan merayapi hati Marvin, merangkulnya dalam kehampaan yang tak terperi. Pikirannya melayang jauh, membayangkan hal-hal mengerikan yang mungkin terjadi pada Ginda. Dan pada suatu titik, rasa putus asa itu mengubah energinya, membuatnya merasa tak berdaya, hampir tak sanggup melangkahkan kakinya lagi. Dengan langkah tertatih, Marvin berbalik ara
Hari semakin hari Berlalu, Marvin yang semakin curiga pada Dinda karena terdapat keanehan dan kejanggalan pada wanita yang ia anggap istrinya itu. Hari ini Dinda yang duduk menyilangkan kaki di tepi kolam renang tangannya terus menggenggam ponsel sambil tertawa-tertiwi, melihat itu Marvin pun heran rasanya Ini bukan sikap Ginda, pasalnya sejak menjadi istri Ginda tak pernah berperilaku demikian. "Ginda, aku mau bicara sebentar," ucap Marvin yang membuat wanita itu dengan cepat menurunkan kakinya. "Kenapa sih, Mas? mau bicara apa? kalau ngga penting lebih baik ngga udah deh, aku lagi sibuk," jawab Dinda yang membuat Marvin melebarkan mata. Kini rasa curiga semakin memenuhi hatinya, Marvin mengira jika Ginda yang ada dihadapannya saat ini bukanlah Ginda istrinya. Tak menunggu lama, kini Marvin pun mendekat meraih tangan Dinda hingga membuatnya terkejut. "Apa-apaan sih kamu, Mas? kenapa kamu kasar sama aku?"
Niat Dinda untuk menggantikan posisi Honda telah berhasil, hatinya bahagia serta puas melihat keberhasilannya saat ini. Karena wajah dan penampilan yang sama persis, hingga Sukma yang tak sadar jika wanita yang ada dihadapannya saat ini bukanlah menantunya. Dinda merasa jantungnya berdegup kencang ketika Marvin tiba-tiba muncul di tengah-tengah kebersamaannya dengan Sukma. Dengan wajah serius, Marvin menyapa mereka, "Assalamu'alaikum.""Walaikumsalam," jawab Dinda dengan cemas, berusaha menjaga ketenangan meskipun hatinya berdebar-debar.Marvin, tanpa menyadari keberadaan sebenarnya, bertanya dengan heran, "Lagi pada bahas apa sih? Serius banget kayanya."Sukma, tanpa sadar memperburuk situasi, menjawab dengan semangat, "Ini loh, Vin, kita lagi bahas Dinda, masa tadi Dinda ninggalin istrimu sendirian, untung dia bisa pulang sendiri kalau ngga gimana coba?"Mendengar ucapan itu, Marvin pun terbelalak. Matanya terbuka lebar, mencari kebena
Didalam ruang kamar Dinda. Ia yang kini terduduk dengan raut wajah serius. Setelah memasuki kamar dan mengunci pintunya kini Dinda terduduk memperhatikan pemandangan luar. "Aku harus mulai rencanaku secepatnya, sebelum Ginda bisa jalan lagi dan buat aku susah melakukan rencanaku," gumam Dinda lirih. "Maafkan aku, Ginda. Bukan maksud ingin menjadi saudara yang kejam, tapi takdir yang membuatku tega melakukan ini padamu," batin Dinda dengan pandangan tajam. Setelah memikirkan apa yang hendak ia rencanakan kini Dinda pun beranjak, keluar kamar dan menemui Ginda yang sedang berada di halaman belakang rumahnya. "Ginda," panggil Dinda yang membuat Ginda seketika menoleh. "Dinda, ada apa?""Bisa antar aku ke suatu tempat? aku mau ketemu temenku, tapi aku ngga tau tempat itu dimana alamatnya.""Temen?"Sejenak Ginda terdiam, hatinya sedikit merasa tak tenang ada sesuatu yang mengganjal dibalik ajakan saud
"Sesuai rencana," batin Dinda setelah memasuki rumah. Apa maksud ucapannya barusan? rencana apa yang bersarang diotaknya? bahkan ekspresi wajahnya pun menunjukan arti kepuasan. "Akhirnya aku bisa masuk rumah ini dengan begitu mudah," tambah batin Dinda tertawa. Ya, ternyata amnesia yang Dinda alami hanya sebagai sandiwara belaka, demi mewujudkan keinginan dan ambisinya untuk dapat masuk ditengah tengah rumah tangga Marvin Marcello. Benar benar jahat, wanita tak punya hati sudah ditolong malah ingin menikam. Saudara kandung macam apa Dinda ini? mengapa ia begitu tega? "Setelah ini aku akan merebut semuanya dari kamu, Ginda. Aku yang akan menjadi ratu dirumah ini," tambah Dinda tertawa dalam hati. Melihat ekspresi Dinda rasanya Sukma mulai curiga, lantaran ia yang tak menyukai Dinda sejak dulu, ditambah lagi Sukma mengetahui bagaimana perlakuan Dinda pada Ginda menantunya. "Apa yang sedang direncanakan wanita itu? a
Tak lama kemudian. Seorang dokter keluar dari ruangan, dengan cepat Ginda dan Marvin mendekatinya untuk menanyakan keadaan Dinda saat ini. "Bagaimana, Dok, keadaan Dinda?"Tak langsung menjawa dokter yang sejenak terdiam memperhatikan wajah Marvin dan Ginda. Pandangannya membuat semakin penasaran. "Pasien sudah sadarkan diri," jawab dokter yang membuat Ginda dan Marvin seketika menghela nafas lega. "Pasien bisa dijenguk setelah nanti dipindahkan ke ruang rawat yah, kalau begitu saya permisi," tambah dokter yang lalu melangkah meninggalkan tempat.Tak lama kemudian, Dinda yang kini dipindahkan ke ruang rawat oleh beberapa suster yang mendorongnya. Marvin dan Ginda pun mengikutinya. Melihat adanya Marvin dan Ginda pandangan Dinda tampak aneh, ia yang tak berkedip dan seakan sedang memikirkan sesuatu. Setelah kini beberapa suster meninggalkan tempat, Ginda pun mendekat, ia pandangi waja wanita yang mirip deng
Sesampainya di rumah, Sukma yang menyambut kedatangan Ginda dan Marvin pun dengan cepat menghampiri, ia menyambut dengan wajah penuh penasaran. "Ginda, Marvin. Bagaimana hasilnya?" tanya Sukma yang memperhatikan dengan seksama. Tak langsung menjawab Marvin dan Dinda yang lebih dulu terdiam, hingga membuat Sukma semakin penasaran. Cukup lama terdiam, sebelum akhirnya Marvin membantu Ginda untuk terduduk di sofa, menghela nafas berat dan mengeluarkan sebuah surat dari dalam tasnya. Lalu perlahan memberikannya pada Sukma dengan berkata, "Ini, Bu. Hasilnya."Sukma meraih kertas itu perlahan, dengan rasa takut dan ragu untuk membaca, berharap tak terjadi apa-apa pada menantunya tersebut. Kini Sukma pun membaca tulisan dalam surat itu, setelah beberapa detik kemudian akhirnya Sukma pun menghela nafas lega, setelah tahun jika hasilnya adalah baik-baik saja, tidak ada masalah dalam kandungan Ginda sang menantu. "Aku baik-b
Keesokan harinya, Ginda yang terduduk di kursi roda, dengan gerak tangan yang terus menyiram bunga, ia menyiram bunga dengan wajah ceria. Namun wajah cerianya seketika menghilang kala sebuah suara datang menyapanya. "Ekhemm."Deheman itu membuat Ginda seketika memutar wajahnya, ia dapati Dinda disana, yang berdiri memperhatikannya dengan pandangan megintimidasi. "Dinda.""Kasihan ya kamu, hanya untuk emnyiram bunga saja kamu harus terduduk seperti ini," ucap Dinda yang mengarah pada penghinaan."Apa maksudmu?"Tak langsung menjawab, Dinda yang kini terkekeh dan memutar tubuhnya, membelakangi Ginda hingga membuat pandangan Ginda menatap tubuh bagian belakang Dinda. "Ginda, Ginda. Apa kamu ngga sadar apa yang terjadi sama kamu saat ini adalah balasan buat kamu. Selama ini kamu bahagia, sedangkan aku menderita. Selama ini kamu hidup enak dan aku hidup susah. Dan sekarang kamu dapat balasannya, kamu lumpuh dan kamu... Man