Setelah kepergian Teddy, Marvin pun dengan cepat beranjak menjauh dari Sinta yang sejak tadi menggodanya.
"Pergi kamu!" ucap Marvin tanpa basa basi.Membuat ekspresi Sinta seketika berubah, ia pikir Marvin mulai bersikap lembut dengannya namun ternyata ia salah."Dasar aneh, dari tadi kenapa kamu diem aja, giliran sekarang berubah jadi kaya singa," gerutu Sinta seraya meraih tasnya.Tak menunggu lama, Sinta pun melangkahkan kakinya meninggalkan tempat, membuat Marvin memandangnya dengan tajam, seolah begitu membenci mantan istrinya itu."Kalau aja aku ngga cinta sama dia, ngga akan aku deket deket sama laki laki garang yang dingin kaya Marvin," ucap Sinta yang terus menggerutu sepanjang perjalanannya.Sesampainya Teddy di perusahaan, ia bertemu dengan Ginda, dengan cepat Ginda menyambut kedatangan Marvin untuk menanyakan apakah ia sudah menjelaskan semuanya pada Marvin?Hanya menggeleng lemah Teddy menjawab pertanyaan daKini Marvin yang sedang duduk seorang diri dihalaman belakang rumahnya, Ginda yang melihatnya pun perlahan menghampiri, ingin sekali rasanya ia menjelaskan apa yang telah terjadi sebenarnya.Dengan ragu Ginda pun melangkah mendekati Marvin, berharap permasalahannya kali ini dapat terselesaikan."Mas," panggil Ginda yang membuat Marvin perlahan menoleh.Hanya melirik, seolah ia tak sudi memperhatikan Ginda dengan jelas. Perasaannya mungkin begitu sakit, Marvin merasa telah dipatahkan hatinya."Mas, aku mau minta maaf," tambah Ginda yang kini terduduk tepat disebelah Marvin.Tak langsung menjawab Marvin yang lebih dulu mengernyitkan bibirnya, ia merasa ucapan Ginda adalah ucapan yang lucu."Bisa bisanya minta maaf, kamu pikir permasalahan ini akan selesai begitu saja hanya dengan kamu minta maaf? tidak Ginda, jangan kamu pikir hanya dengan kamu meminta maaf permasalahan ini akan selesai.""Tapi, Mas. Aku bisa jelasin semua
Sesampainya dirumah sakit dengan cepat Ginda dilarikan diruang IGD untuk segera mendapat penanganan. Sementara Marvin dan Teddy yang kini menunggu didepan ruangan dengan penuh kegelisahan.Berharap agar wanita ayu itu baik baik saja, lalu bagaimana dengan janinnya? tentu saja Marvin berharap janinnya akan baik baik saja, karena janin dalam kandungan itu adalah buah hatinya.Tak lama kemudian. Sukma dan Rumi yang datang berdua dengan wajah panik, langkahnya tergopoh gopoh yang kini semakin mendekati Marvin dan Teddy."Marvin," panggil Sukma yang membuat laki laki berpenampilan kantoran itu seketika menoleh.Matanya memerah raut wajahnya tampak sekali rasa penyesalan. Ya, ia menyesal mengapa tadi ia harus pergi meninggalkan Ginda hingga ia mengejarnya. Mungkin jika hal itu tidak ia lakukan Ginda akan baik baik saja saat ini."Apa yang terjadi, Vin? kenapa Ginda sampai seperti ini?" tanya Sukma membuat hati Marvin semakin tak karua
"Pasien, koma."Terbelalak kala mendengar ucapan dokter tentang Ginda, tak menyangka keadaan Ginda akan seperti ini.Berada diantara hidup dan mati, tidak akan mudah, Ginda harus berjuang bertahan untuk Dunianya atau malah akan kembali ke sang pencipta?"Apa Ginda koma, dok?" ucap Marvin tak percaya. Ia yang tampak pasrah dengan keadaan istrinya tersebut.Tak menunggu lama, kini Marvin melangkah memasuki ruangan dimana Ginda terbaring lemah. Ia pandangi wajah pucat pasi yang jiwanya terombang ambing itu."Bangun Ginda, aku ada disini untukmu! ayolah bertahan, bangkit aku tidak ingin kehilangan kamu," ucap Marvin setelah kini menggenggam tangan Ginda dengan erat.Entahlah jika sudah seperti ini apa yang akan dilakukan Marvin? meminta maaf? menyesali dan bersedih? sepertinya semua itu akan percuma, Ginda tak akan mengerti semua penyesalannya.Sebagai rasa penebus kesalahan, Marvin berjanji akan setia bersama Ginda meski ko
Sementara Marvin yang kini telah tiba di perusahaanya, ia yang kini terduduk di singgasananya setelah beberapa hari tak ia dekati.Laki laki yang pandangannya terus sibuk dengan layar ponsel itu kini menghubungi sekretarisnya, Yahya. Dan memberitahu jika ia sudah berada diruangan."Baik, Tuan. Saya keruangan sekarang!"Bukannya Yahya yang datang malah kini Sinta yang tiba tiba membuka pintu ruangan Marvin Marcello, membuat pandangannya seketika memperhatikan tubuh molek yang kini berjalan mendekat.Apa yang akan Sinta lakukan saat ini? setelah beberapa hari tak bertemu, apakah ulah Sinta akan sama seperti hari sebelumnya?"Ada apa kamu kemari?" tanya Marvin dingin, tanpa memandang dan terus sibuk dengan beberapa berkas yang sudah menumpuk dimeja tugasnya."Ya aku kangen lah sama kamu, Vin. Kan udah lama ngga ketemu kamu," jawab Sinta dengan santai.Sama seperti hari hari sebelumnya, Sinta yang selalu berlaku kemayu dan m
Hari semakin hari, kondisi Ginda masih tetap sama masih tak ada perubahan atau tanda tanda akan tersadar.Wanita ayu itu masih terbaring lemah dibed rumah sakit, dengan rona wajah pucat pasi dan mata yang terus terpejam. Banyaknya alat medis yang menempel ditubuhnya membuat Marvin memandangnya dengan iba.Tak hanya Marvin, Sukma pun serupa, yang juga memandang Ginda dengan pilu. Apalagi dengan Rumi, seorang Ibu kandung yang saat ini juga sedang sakit sakitan, tak kuasa menahan rasa sedih melihat sang anak dalam keadaan seperti ini.Hanya sebuah doa dan harapan, yang saat ini Marvin, Sukma dan Rumi dapat lakukan, tak ada tindakan apapun selain hanya berpasrah dan berharap yang terbaik.Sementara Inggit yang juga tak kunjung sembuh dari sakitnya, setiap hari selalu nama Ginda yang ia sebut sebut, bukannya hendak mempertemukan namun Sinta justru terdiam dan tetap tak menginginkan sang anak bertemu dengan Ginda.Setelah hari ini kembali Inggi
Setelah kini semua terbukti Ginda tak bersalah, bahwa tak pernah ada pernikahan antaranya dan Teddy, kali ini Marvin memandangnya dengan penuh rasa iba, merasa bersalah karena telah membuat Ginda seperti ini."Jadi kalian tidak pernah mengkhianati aku? aku benar benar bodoh, terpengaruh oleh egoku dan tak percaya ucapanmu, Ginda. Aku minta maaf, benar benar minta maaf," ucap Marvin dihadapan tubuh Ginda yang masih tak berdaya.Pandangannya menatap pilu, penuh penyesalan yang tak dapat ditutupi. Baginya melihat Ginda terbaring tak sadarkan diri seperti ini adalah hal menyakitkan untuknya, perkara tindakan bodohnya hingga membuat sang istri harus berjuang untuk hidupnya.Hari demi hari berlalu, cukup lama sudah Ginda terbaring koma, satu tahun berlalu Ginda lalui hidupnya dengan alat bantuan medis, masih berjuang untuk hidup karena sepertinya Ginda belum iklas meninggalkan kehidupan dunianya.Begitupun Marvin yang jua melalui hari harinya seorang di
Kini Marvin melangkahkan kakinya memasuki ruangan dimana Ginda berada, dengan cepat Marvin membuka pintu ruangan itu untuk memastikan bahwa Ginda masih berada disana, dan ternyata benar, Ginda yang masih terbaring dan terpejam."Berarti benar, wanita tadi bukan Ginda. Tapi kenapa wajahnya mirip sekali?" gumam Marvin kala memperhatikan wajah sang istri."Apa Ginda punya kembaran? tapi kenapa aku tidak pernah tau?" tambahnya lagi, masih dengan pandangan terdiam, memperhatikan wanita berhijab yang tak sadarkan diri itu.Setelah cukup lama berada bersama Ginda, kini Marvin pun kembali kerumah. Saat perjalanannya menuju pulang, kembali ia melihat sosok Ginda bernyanyi nyanyi dipinggir jalan.Sepertinya ia pengamen jalanan, penampilannya pun sederhana sekali, hanya celana panjang jins dengan kaos berwarna putih dan kemeja yang tak terkancing, sejenak terhenti untuk memperhatikan aktifitas wanita yang wajahnya benar benar sama dengan istrinya itu.
Hari ini seperti apa yang diucapkan Marvin sebelumnya, bahwa ia akan menemukan saudara kembar Ginda dan membawanya Bertemu dengan wanita yang sedang terbaring koma tersebut.Di tempat di mana awal Marvin bertemu Dinda kini ia berada, pandangannya terus mencari ke sana kemari dan memperhatikan setiap pengamen wanita yang melintasinya, namun entah mengapa Dinda tak jua ia temukan?Dimana sebenarnya Dinda kini berada? Mengapa di saat Marvin membutuhkannya, ingin meminta pertolongan padanya justru ia menghilang?Cukup lama terdiam di tempat sebelum akhirnya Marvin pun melangkah pergi, langkahnya begitu perlahan, masih dengan harapan dapat menemukan Dinda di tempat ini.Dan ternyata benar kala kini Marvin memutar tubuhnya, seorang wanita dengan rambut terikat satu itu berdiri di hadapannya, hingga membuat Marvin memperhatikan yang tak berkedip, begitupun dengan Dinda yang juga memperhatikannya dengan pandangan tajam."Akhirnya ya saya menemuka
Hari demi hari berlalu, membawa perubahan yang luar biasa dalam kehidupan Ginda. Kini, dengan bantuan setia Marvin, Ginda mampu berjalan kembali meskipun masih perlu bantuan. Suasana bahagia pun terasa di antara keduanya. "Alhamdulillah, Mas, akhirnya aku bisa jalan lagi," ucap Ginda penuh kebahagiaan, senyumnya merekah di wajahnya yang berseri.Marvin tersenyum lembut, "Kamu hebat, kamu bisa melalui cobaan ini."Ginda menatap Marvin dengan penuh rasa syukur, "Ini semua 'kan juga berkat Mas, kalau ngga ada Mas Marvin mungkin aku ngga menjadi Ginda yang setegar ini. Terimakasih, ya, Mas, untuk semua kebaikan kamu, kamu yang udah menerima aku apa adanya, sampai aku bisa jalan lagi seperti sekarang."Marvin tersenyum hangat, "Ini tugasku, Nda. Sebagai suami, sudah seharusnya aku mendampingi kamu, dalam suka maupun duka."Ucapan Marvin membuat Ginda tersenyum bahagia, merasa bersyukur memiliki seorang suami yang selalu ada untuknya, dalam se
Marvin memasuki hutan dengan hati penuh kekhawatiran, mencari jejak yang bisa mengantarkannya pada keberadaan istrinya, Ginda. Namun, semakin lama ia berada di dalam hutan yang lebat, semakin redup harapan yang ia sandarkan. Setiap langkah yang diambilnya terasa begitu berat, dipenuhi kegelapan dan ketakutan. "Ginda!" teriak Marvin dengan suara gemetar. Namun, tak ada jawaban yang terdengar kecuali desiran angin dan hiruk pikuk hutan yang sunyi. Ia meraba setiap sudut hutan, memanggil nama istrinya tanpa henti. Namun, waktu terus berlalu tanpa kehadiran Ginda yang dicarinya. Kesedihan merayapi hati Marvin, merangkulnya dalam kehampaan yang tak terperi. Pikirannya melayang jauh, membayangkan hal-hal mengerikan yang mungkin terjadi pada Ginda. Dan pada suatu titik, rasa putus asa itu mengubah energinya, membuatnya merasa tak berdaya, hampir tak sanggup melangkahkan kakinya lagi. Dengan langkah tertatih, Marvin berbalik ara
Hari semakin hari Berlalu, Marvin yang semakin curiga pada Dinda karena terdapat keanehan dan kejanggalan pada wanita yang ia anggap istrinya itu. Hari ini Dinda yang duduk menyilangkan kaki di tepi kolam renang tangannya terus menggenggam ponsel sambil tertawa-tertiwi, melihat itu Marvin pun heran rasanya Ini bukan sikap Ginda, pasalnya sejak menjadi istri Ginda tak pernah berperilaku demikian. "Ginda, aku mau bicara sebentar," ucap Marvin yang membuat wanita itu dengan cepat menurunkan kakinya. "Kenapa sih, Mas? mau bicara apa? kalau ngga penting lebih baik ngga udah deh, aku lagi sibuk," jawab Dinda yang membuat Marvin melebarkan mata. Kini rasa curiga semakin memenuhi hatinya, Marvin mengira jika Ginda yang ada dihadapannya saat ini bukanlah Ginda istrinya. Tak menunggu lama, kini Marvin pun mendekat meraih tangan Dinda hingga membuatnya terkejut. "Apa-apaan sih kamu, Mas? kenapa kamu kasar sama aku?"
Niat Dinda untuk menggantikan posisi Honda telah berhasil, hatinya bahagia serta puas melihat keberhasilannya saat ini. Karena wajah dan penampilan yang sama persis, hingga Sukma yang tak sadar jika wanita yang ada dihadapannya saat ini bukanlah menantunya. Dinda merasa jantungnya berdegup kencang ketika Marvin tiba-tiba muncul di tengah-tengah kebersamaannya dengan Sukma. Dengan wajah serius, Marvin menyapa mereka, "Assalamu'alaikum.""Walaikumsalam," jawab Dinda dengan cemas, berusaha menjaga ketenangan meskipun hatinya berdebar-debar.Marvin, tanpa menyadari keberadaan sebenarnya, bertanya dengan heran, "Lagi pada bahas apa sih? Serius banget kayanya."Sukma, tanpa sadar memperburuk situasi, menjawab dengan semangat, "Ini loh, Vin, kita lagi bahas Dinda, masa tadi Dinda ninggalin istrimu sendirian, untung dia bisa pulang sendiri kalau ngga gimana coba?"Mendengar ucapan itu, Marvin pun terbelalak. Matanya terbuka lebar, mencari kebena
Didalam ruang kamar Dinda. Ia yang kini terduduk dengan raut wajah serius. Setelah memasuki kamar dan mengunci pintunya kini Dinda terduduk memperhatikan pemandangan luar. "Aku harus mulai rencanaku secepatnya, sebelum Ginda bisa jalan lagi dan buat aku susah melakukan rencanaku," gumam Dinda lirih. "Maafkan aku, Ginda. Bukan maksud ingin menjadi saudara yang kejam, tapi takdir yang membuatku tega melakukan ini padamu," batin Dinda dengan pandangan tajam. Setelah memikirkan apa yang hendak ia rencanakan kini Dinda pun beranjak, keluar kamar dan menemui Ginda yang sedang berada di halaman belakang rumahnya. "Ginda," panggil Dinda yang membuat Ginda seketika menoleh. "Dinda, ada apa?""Bisa antar aku ke suatu tempat? aku mau ketemu temenku, tapi aku ngga tau tempat itu dimana alamatnya.""Temen?"Sejenak Ginda terdiam, hatinya sedikit merasa tak tenang ada sesuatu yang mengganjal dibalik ajakan saud
"Sesuai rencana," batin Dinda setelah memasuki rumah. Apa maksud ucapannya barusan? rencana apa yang bersarang diotaknya? bahkan ekspresi wajahnya pun menunjukan arti kepuasan. "Akhirnya aku bisa masuk rumah ini dengan begitu mudah," tambah batin Dinda tertawa. Ya, ternyata amnesia yang Dinda alami hanya sebagai sandiwara belaka, demi mewujudkan keinginan dan ambisinya untuk dapat masuk ditengah tengah rumah tangga Marvin Marcello. Benar benar jahat, wanita tak punya hati sudah ditolong malah ingin menikam. Saudara kandung macam apa Dinda ini? mengapa ia begitu tega? "Setelah ini aku akan merebut semuanya dari kamu, Ginda. Aku yang akan menjadi ratu dirumah ini," tambah Dinda tertawa dalam hati. Melihat ekspresi Dinda rasanya Sukma mulai curiga, lantaran ia yang tak menyukai Dinda sejak dulu, ditambah lagi Sukma mengetahui bagaimana perlakuan Dinda pada Ginda menantunya. "Apa yang sedang direncanakan wanita itu? a
Tak lama kemudian. Seorang dokter keluar dari ruangan, dengan cepat Ginda dan Marvin mendekatinya untuk menanyakan keadaan Dinda saat ini. "Bagaimana, Dok, keadaan Dinda?"Tak langsung menjawa dokter yang sejenak terdiam memperhatikan wajah Marvin dan Ginda. Pandangannya membuat semakin penasaran. "Pasien sudah sadarkan diri," jawab dokter yang membuat Ginda dan Marvin seketika menghela nafas lega. "Pasien bisa dijenguk setelah nanti dipindahkan ke ruang rawat yah, kalau begitu saya permisi," tambah dokter yang lalu melangkah meninggalkan tempat.Tak lama kemudian, Dinda yang kini dipindahkan ke ruang rawat oleh beberapa suster yang mendorongnya. Marvin dan Ginda pun mengikutinya. Melihat adanya Marvin dan Ginda pandangan Dinda tampak aneh, ia yang tak berkedip dan seakan sedang memikirkan sesuatu. Setelah kini beberapa suster meninggalkan tempat, Ginda pun mendekat, ia pandangi waja wanita yang mirip deng
Sesampainya di rumah, Sukma yang menyambut kedatangan Ginda dan Marvin pun dengan cepat menghampiri, ia menyambut dengan wajah penuh penasaran. "Ginda, Marvin. Bagaimana hasilnya?" tanya Sukma yang memperhatikan dengan seksama. Tak langsung menjawab Marvin dan Dinda yang lebih dulu terdiam, hingga membuat Sukma semakin penasaran. Cukup lama terdiam, sebelum akhirnya Marvin membantu Ginda untuk terduduk di sofa, menghela nafas berat dan mengeluarkan sebuah surat dari dalam tasnya. Lalu perlahan memberikannya pada Sukma dengan berkata, "Ini, Bu. Hasilnya."Sukma meraih kertas itu perlahan, dengan rasa takut dan ragu untuk membaca, berharap tak terjadi apa-apa pada menantunya tersebut. Kini Sukma pun membaca tulisan dalam surat itu, setelah beberapa detik kemudian akhirnya Sukma pun menghela nafas lega, setelah tahun jika hasilnya adalah baik-baik saja, tidak ada masalah dalam kandungan Ginda sang menantu. "Aku baik-b
Keesokan harinya, Ginda yang terduduk di kursi roda, dengan gerak tangan yang terus menyiram bunga, ia menyiram bunga dengan wajah ceria. Namun wajah cerianya seketika menghilang kala sebuah suara datang menyapanya. "Ekhemm."Deheman itu membuat Ginda seketika memutar wajahnya, ia dapati Dinda disana, yang berdiri memperhatikannya dengan pandangan megintimidasi. "Dinda.""Kasihan ya kamu, hanya untuk emnyiram bunga saja kamu harus terduduk seperti ini," ucap Dinda yang mengarah pada penghinaan."Apa maksudmu?"Tak langsung menjawab, Dinda yang kini terkekeh dan memutar tubuhnya, membelakangi Ginda hingga membuat pandangan Ginda menatap tubuh bagian belakang Dinda. "Ginda, Ginda. Apa kamu ngga sadar apa yang terjadi sama kamu saat ini adalah balasan buat kamu. Selama ini kamu bahagia, sedangkan aku menderita. Selama ini kamu hidup enak dan aku hidup susah. Dan sekarang kamu dapat balasannya, kamu lumpuh dan kamu... Man