Ditengah tengah kesedihannya tiba tiba..
Dreet dreet!Ponsel Ginda berdering, nama Teddy menari nari dilayar benda pipih tersebut. Sedikit berat untuk menjawab panggilan itu, Ginda yang hanya memperhatikan layar ponselnya hingga kini Marvin yang meraihnya.Ia yang menjawab panggilan itu, sekaligus mengizinkan Ginda untuk tidak masuk beberapa hari ini, mendengar alasan Marvin, akhirnya Teddy pun mengizinkannya.Sementara raut wajah Ginda yang penuh dengan kebingungan, ia tak tahu harus bagaimana sekarang, ia yang sebentar lagi dapat meraih cita citanya, namun hatinya terbebani oleh keadaan sang Ibu yang harus ia rawat."Apa aku resign aja ya dari perusahaan Pak Teddy?" gumam Ginda yang terdengar ditelinga Marvin."Kenapa, Nda? kamu yakin mau resign?""Ngga ada pilihan lain, Mas. Aku harus merawat Ibu dirumah, ngga mungkin kan aku biarin Ibu tinggal sendiri dirumahnya.""Masalah itu, kamu tidak perlu khawatir, bia"Nda, kamu kenapa?" tanya Rumi setelah mendapati sang anak merenung.Tak menjawab Ginda yang masih terdiam dihadapan Rumi, dan tak menghiraukan pertanyaannya."Ginda."Panggilan itu akhirnya membuyarkan lamunan Ginda."Iya, Bu.""Kamu melamun, ada apa?""Oh ngga papa kok, Bu. Yaudah sekarang Ibu istirahat dulu yah, aku keluar dulu," ucap Ginda yang kemudian meraih selimut untuk menutupi tubuh sang Ibu.Kini Ginda pun melangkah keluar, berpapasan dengan Marvin yang sudah berpenampilan rapi kembali."Mas," panggil Ginda yang membuat langkah kebut Marvin seketika terhenti."Mau kemana, Mas?""Ada meeting mendadak, saya harus kekantor sekarang," jawab Marvin yang membuat Ginda perlahan mengangguk."Saya berangkat ya."Kini Marvin pun melangkah kembali, namun tiba tiba langkahnya terhenti yang membuat Ginda mengerutkan dahi.Ada apa lagi? mengapa langkahnya berhenti lagi?
Ditengah tengah kebersamaannya, tiba tiba terdengar seseorang mengetuk pintu, hingga membuat Sinta dengan cepat melepas tubuh Marvin dan terduduk kembali membiarkan Marvin berdiri sendiri."Masuk."Perlahan pintu itupun terbuka, Yahya disana, yang datang bersama Teddy sahabat lamanya, melihat kedatangan tamunya saat ini seketika wajah Marvin berubah, ia tersenyum dan mempersilahkan Teddy masuk.Namun Teddy yang kini terkejut kala ia dapati Sinta berada didalam ruangan sahabatnya tersebut."Sinta," gumam Teddy yang ternyata ia mengenalnya.Begitu pun Sinta yang juga terbelalak kala ia dapati Teddy dihadapannya."Teddy.""Kalian saling mengenal?" tanya Marvin memperhatikan keduanya."Apa kalian sedang meeting? apa saya mengganggu?" tanya Teddy yang membuat Marvin dengan cepat menggelengkan kepala.Dalam hati Teddy yang terus berpikir bukankah Marvin adalah suaminya Ginda, lalu mengapa Marvin berduaan deng
Ditengah tengah Ginda menyuapi Rumi, tiba tiba sebuah pertanyaan terlontar yang membuat Ginda seketika terdiam."Nda, apa kamu sudah bertemu dengan laki laki pelaku tabrak lari itu?"Pertanyaan itu membuat Ginda terkejut, tak tahu ia harus menjawab apa? tidak mungkin ia memberi tahu pada sang Ibu jika penabrak lari itu adalah suaminya sendiri."Kenapa Ibu bertanya seperti itu? bukankah Ibu sendiri yang bilang aku ngga perlu mencari laki laki itu?""Ngga papa, Nda. Ibu cuma pengen tau aja tapi kalau pun kamu ngga mau mencari dia Ibu ngga papa kok," ucap Rumi yang membuat Ginda terdiam.Ia menunduk tak dapat lagi berkata kata. Entahlah mengapa Rumi tiba tiba menanyakan hal itu, padahal sebelumnya ia selalu melarang Ginda berbalas dendam.Cukup lama terdiam tanpa kata, kini akhirnya Ginda kembali bersuara namun tidak untuk membahas penabrak lari itu, Ginda justru mengalihkan pembicaraan."Bu, besok aku harus kuliah, sepulan
Beberapa hari kemudian.Ginda yang kini telah menjalankan tugasnya dari Lian, untuk bekerja sama dengan Teddy mengurus perusahaannya. Ginda berusaha menjalankan tugas dengan baik, bekerja sama secara profesional pada laki laki yang biasa ia panggil 'Pak' itu.Hari ini mereka yang harus keluar berdua untuk menemui klien pentingnya disebuah restoran yang saat ini mereka telah berada."Sudah disiapkan semuanya, Nda?""Oh sudah, Pak. Semua sudah ada didalam laptop ini," jawab Ginda tersenyum.Wanita berhijab yang berpenampilan elegan itu tampak begitu ayu, siapa yang terpesona melihatnya, jangan kan para laki laki yang berkunjung ke restoran, bahkan Teddy sendiri pun pandangannya tak jarang tertuju pada Ginda.Mungkin batinnya berkata, kalau saja Ginda bukan istri dari sahabatnya sudah pasti ia tak akan menyia nyiakan kedekatannya ini. Ditengah tengah kebersamaannya, tiba tiba..Dreet dreet!Ponsel Ginda berdering,
Bruuaakkk!Sebuah tendangan mendarah di punggung lakiaki tersebut, hingga membuatnya seketika menjauh. Ekspresi wajahnya meringis kesakitan, setelah ternyata Teddy melayangkan tendangannya.Beruntung, Ginda akhirnya dapat terbebas dari kungkungan laki laki brengsek tersebut, hingga membuatnya dapat bernafas lega."Berani beraninya kamu macam macam dengan dia, laki laki tak berakhlak," ucap Teddy dengan pandangan tajam dan rahang mengeras.Dengan ekspresi wajah kesakitan, laki laki itu mendongakkan wajahnya, namun entahlah apakah laki laki tersebut memang gila, hingga kini ia tertawa terbahak bahak."Sudah kuduga kamu bukan wanita baik baik, kamu pasti sudah pernah bersenang senang dengan bos kamu ini kan? hingga dia membelamu seperti ini agar kamu tak jatuh dalam pelukanku," ucapnya yang membuat Teddy terbelalak.Sementara Ginda yang saat ini masih menyudut karena ketakutan, ia tak habis pikir dan tak tahu apa yang akan terjadi j
Sinta yang kini melangkah memasuki ruangan Marvin dengan leluasa, bak memasuki ruangan suaminya sendiri, tanpa mengetuk pintu terlebih dulu Sinta masuk begitu saja.Hingga membuat pandangan Marvin yang tertuju pada layar laptop itu seketika tertuju padanya."Apa apaan kamu? masuk tanpa mengetuk pintu dulu," tegur Marvin pada wanita modis yang kini melangkah mendekat itu."Sayang." panggilnya aleman, yang kemudian meraih tubuh Marvin dari belakang, melingkarkan kedua tangannya pada bahu tegap itu."Apa apaan sih? lepas!""Sayang, kamu harus tau sesuatu deh, ini tuh urgent banget," ucap Sinta setelah melepas dekapannya.Kini ia melangkah terduduk dihadapan Marvin. Sementara Marvin yang tak menghiraukan Sinta malah ia kembali pada layar laptopnya."Ini tentang Ginda, istri kamu," tambah Sinta yang membuat gerak tangan Marvin seketika terhenti.Kini pandangannya menatap tajam kearah Sinta, yang baru saja mengucap na
Sore ini, Ginda melangkahkan kaki memasuki rumahnya, sementara Marvin yang sedari tadi sudah menunggu kepulangan sang istri.Ia yang sudah tak sabar ingin mempertanyakan hal yang tadi ia dengan dari Sinta, Marvin terduduk dengan tegang, seolah siap menerkam mangsanya yang seketika melintas.Kini Ginda pun mulai mendekat tak lupa mengucapkan salam sebelum memasuki rumah. Langkah kebut Ginda seketika terhenti kala ia dapati Marvin yang sudah terduduk di sofa ruang tamunya."Mas, udah pulang?" sapa Ginda yang kini mendekat, mengulurkan tangan ke hadapan Marvin namun tak dihiraukan.Melihat itu Ginda sejenak terdiam bingung, mengapa sikap suaminya dingin sekali? padahal sebelum berangkat tadi pagi ia masih baik baik saja."Mas, ada apa?" tambah Ginda yang membuat Marvin kali ini mendongakkan wajahnya, ia menatap wajah Ginda dengan tajam.Matanya memerah dan rahang mengeras, membuat Ginda yang memperhatikannya bergidik ngeri.
"Ibu, Ibu mau kemana?" tanya Ginda pada Rumi yang kini memasukan pakaiannya kedalam tas ransel."Ibu mau pulang kerumah Ibu. Ibu malu disini, karena tingkah kamu yang aneh itu," jawab Rumi tanpa memandang."Bukannya berterimakasih malah seenaknya mengkhianati suamimu, ingat Ginda dia itu suami yang baik tidak seharusnya kamu perlakukan Marvin seperti itu.""Tapi, Bu. Aku ngga melakukan semua itu, Ibu sa...""Sudahlah Ginda, daripada Ibu harus menahan malu disini, lebih baik Ibu pergi sekarang," sambar Rumi memutuskan ucapan Ginda yang belum usai, yang kemudian melangkah meninggalkan tempat.Panggilan sang anak kini tak lagi dihiraukan, permohonan untuk tidak pergi ditolak mentah mentah, entahlah harus bagaimana Ginda menghadapi masalahnya kali ini?Tampaknya terasa begitu berat, dan kali ini tak hanya menyangkut suaminya namun Ibunya pun turut kecewa."Ibu, aku mohon, Bu. Dengerin dulu penjelasanku, ini ngga seperti yang
Hari demi hari berlalu, membawa perubahan yang luar biasa dalam kehidupan Ginda. Kini, dengan bantuan setia Marvin, Ginda mampu berjalan kembali meskipun masih perlu bantuan. Suasana bahagia pun terasa di antara keduanya. "Alhamdulillah, Mas, akhirnya aku bisa jalan lagi," ucap Ginda penuh kebahagiaan, senyumnya merekah di wajahnya yang berseri.Marvin tersenyum lembut, "Kamu hebat, kamu bisa melalui cobaan ini."Ginda menatap Marvin dengan penuh rasa syukur, "Ini semua 'kan juga berkat Mas, kalau ngga ada Mas Marvin mungkin aku ngga menjadi Ginda yang setegar ini. Terimakasih, ya, Mas, untuk semua kebaikan kamu, kamu yang udah menerima aku apa adanya, sampai aku bisa jalan lagi seperti sekarang."Marvin tersenyum hangat, "Ini tugasku, Nda. Sebagai suami, sudah seharusnya aku mendampingi kamu, dalam suka maupun duka."Ucapan Marvin membuat Ginda tersenyum bahagia, merasa bersyukur memiliki seorang suami yang selalu ada untuknya, dalam se
Marvin memasuki hutan dengan hati penuh kekhawatiran, mencari jejak yang bisa mengantarkannya pada keberadaan istrinya, Ginda. Namun, semakin lama ia berada di dalam hutan yang lebat, semakin redup harapan yang ia sandarkan. Setiap langkah yang diambilnya terasa begitu berat, dipenuhi kegelapan dan ketakutan. "Ginda!" teriak Marvin dengan suara gemetar. Namun, tak ada jawaban yang terdengar kecuali desiran angin dan hiruk pikuk hutan yang sunyi. Ia meraba setiap sudut hutan, memanggil nama istrinya tanpa henti. Namun, waktu terus berlalu tanpa kehadiran Ginda yang dicarinya. Kesedihan merayapi hati Marvin, merangkulnya dalam kehampaan yang tak terperi. Pikirannya melayang jauh, membayangkan hal-hal mengerikan yang mungkin terjadi pada Ginda. Dan pada suatu titik, rasa putus asa itu mengubah energinya, membuatnya merasa tak berdaya, hampir tak sanggup melangkahkan kakinya lagi. Dengan langkah tertatih, Marvin berbalik ara
Hari semakin hari Berlalu, Marvin yang semakin curiga pada Dinda karena terdapat keanehan dan kejanggalan pada wanita yang ia anggap istrinya itu. Hari ini Dinda yang duduk menyilangkan kaki di tepi kolam renang tangannya terus menggenggam ponsel sambil tertawa-tertiwi, melihat itu Marvin pun heran rasanya Ini bukan sikap Ginda, pasalnya sejak menjadi istri Ginda tak pernah berperilaku demikian. "Ginda, aku mau bicara sebentar," ucap Marvin yang membuat wanita itu dengan cepat menurunkan kakinya. "Kenapa sih, Mas? mau bicara apa? kalau ngga penting lebih baik ngga udah deh, aku lagi sibuk," jawab Dinda yang membuat Marvin melebarkan mata. Kini rasa curiga semakin memenuhi hatinya, Marvin mengira jika Ginda yang ada dihadapannya saat ini bukanlah Ginda istrinya. Tak menunggu lama, kini Marvin pun mendekat meraih tangan Dinda hingga membuatnya terkejut. "Apa-apaan sih kamu, Mas? kenapa kamu kasar sama aku?"
Niat Dinda untuk menggantikan posisi Honda telah berhasil, hatinya bahagia serta puas melihat keberhasilannya saat ini. Karena wajah dan penampilan yang sama persis, hingga Sukma yang tak sadar jika wanita yang ada dihadapannya saat ini bukanlah menantunya. Dinda merasa jantungnya berdegup kencang ketika Marvin tiba-tiba muncul di tengah-tengah kebersamaannya dengan Sukma. Dengan wajah serius, Marvin menyapa mereka, "Assalamu'alaikum.""Walaikumsalam," jawab Dinda dengan cemas, berusaha menjaga ketenangan meskipun hatinya berdebar-debar.Marvin, tanpa menyadari keberadaan sebenarnya, bertanya dengan heran, "Lagi pada bahas apa sih? Serius banget kayanya."Sukma, tanpa sadar memperburuk situasi, menjawab dengan semangat, "Ini loh, Vin, kita lagi bahas Dinda, masa tadi Dinda ninggalin istrimu sendirian, untung dia bisa pulang sendiri kalau ngga gimana coba?"Mendengar ucapan itu, Marvin pun terbelalak. Matanya terbuka lebar, mencari kebena
Didalam ruang kamar Dinda. Ia yang kini terduduk dengan raut wajah serius. Setelah memasuki kamar dan mengunci pintunya kini Dinda terduduk memperhatikan pemandangan luar. "Aku harus mulai rencanaku secepatnya, sebelum Ginda bisa jalan lagi dan buat aku susah melakukan rencanaku," gumam Dinda lirih. "Maafkan aku, Ginda. Bukan maksud ingin menjadi saudara yang kejam, tapi takdir yang membuatku tega melakukan ini padamu," batin Dinda dengan pandangan tajam. Setelah memikirkan apa yang hendak ia rencanakan kini Dinda pun beranjak, keluar kamar dan menemui Ginda yang sedang berada di halaman belakang rumahnya. "Ginda," panggil Dinda yang membuat Ginda seketika menoleh. "Dinda, ada apa?""Bisa antar aku ke suatu tempat? aku mau ketemu temenku, tapi aku ngga tau tempat itu dimana alamatnya.""Temen?"Sejenak Ginda terdiam, hatinya sedikit merasa tak tenang ada sesuatu yang mengganjal dibalik ajakan saud
"Sesuai rencana," batin Dinda setelah memasuki rumah. Apa maksud ucapannya barusan? rencana apa yang bersarang diotaknya? bahkan ekspresi wajahnya pun menunjukan arti kepuasan. "Akhirnya aku bisa masuk rumah ini dengan begitu mudah," tambah batin Dinda tertawa. Ya, ternyata amnesia yang Dinda alami hanya sebagai sandiwara belaka, demi mewujudkan keinginan dan ambisinya untuk dapat masuk ditengah tengah rumah tangga Marvin Marcello. Benar benar jahat, wanita tak punya hati sudah ditolong malah ingin menikam. Saudara kandung macam apa Dinda ini? mengapa ia begitu tega? "Setelah ini aku akan merebut semuanya dari kamu, Ginda. Aku yang akan menjadi ratu dirumah ini," tambah Dinda tertawa dalam hati. Melihat ekspresi Dinda rasanya Sukma mulai curiga, lantaran ia yang tak menyukai Dinda sejak dulu, ditambah lagi Sukma mengetahui bagaimana perlakuan Dinda pada Ginda menantunya. "Apa yang sedang direncanakan wanita itu? a
Tak lama kemudian. Seorang dokter keluar dari ruangan, dengan cepat Ginda dan Marvin mendekatinya untuk menanyakan keadaan Dinda saat ini. "Bagaimana, Dok, keadaan Dinda?"Tak langsung menjawa dokter yang sejenak terdiam memperhatikan wajah Marvin dan Ginda. Pandangannya membuat semakin penasaran. "Pasien sudah sadarkan diri," jawab dokter yang membuat Ginda dan Marvin seketika menghela nafas lega. "Pasien bisa dijenguk setelah nanti dipindahkan ke ruang rawat yah, kalau begitu saya permisi," tambah dokter yang lalu melangkah meninggalkan tempat.Tak lama kemudian, Dinda yang kini dipindahkan ke ruang rawat oleh beberapa suster yang mendorongnya. Marvin dan Ginda pun mengikutinya. Melihat adanya Marvin dan Ginda pandangan Dinda tampak aneh, ia yang tak berkedip dan seakan sedang memikirkan sesuatu. Setelah kini beberapa suster meninggalkan tempat, Ginda pun mendekat, ia pandangi waja wanita yang mirip deng
Sesampainya di rumah, Sukma yang menyambut kedatangan Ginda dan Marvin pun dengan cepat menghampiri, ia menyambut dengan wajah penuh penasaran. "Ginda, Marvin. Bagaimana hasilnya?" tanya Sukma yang memperhatikan dengan seksama. Tak langsung menjawab Marvin dan Dinda yang lebih dulu terdiam, hingga membuat Sukma semakin penasaran. Cukup lama terdiam, sebelum akhirnya Marvin membantu Ginda untuk terduduk di sofa, menghela nafas berat dan mengeluarkan sebuah surat dari dalam tasnya. Lalu perlahan memberikannya pada Sukma dengan berkata, "Ini, Bu. Hasilnya."Sukma meraih kertas itu perlahan, dengan rasa takut dan ragu untuk membaca, berharap tak terjadi apa-apa pada menantunya tersebut. Kini Sukma pun membaca tulisan dalam surat itu, setelah beberapa detik kemudian akhirnya Sukma pun menghela nafas lega, setelah tahun jika hasilnya adalah baik-baik saja, tidak ada masalah dalam kandungan Ginda sang menantu. "Aku baik-b
Keesokan harinya, Ginda yang terduduk di kursi roda, dengan gerak tangan yang terus menyiram bunga, ia menyiram bunga dengan wajah ceria. Namun wajah cerianya seketika menghilang kala sebuah suara datang menyapanya. "Ekhemm."Deheman itu membuat Ginda seketika memutar wajahnya, ia dapati Dinda disana, yang berdiri memperhatikannya dengan pandangan megintimidasi. "Dinda.""Kasihan ya kamu, hanya untuk emnyiram bunga saja kamu harus terduduk seperti ini," ucap Dinda yang mengarah pada penghinaan."Apa maksudmu?"Tak langsung menjawab, Dinda yang kini terkekeh dan memutar tubuhnya, membelakangi Ginda hingga membuat pandangan Ginda menatap tubuh bagian belakang Dinda. "Ginda, Ginda. Apa kamu ngga sadar apa yang terjadi sama kamu saat ini adalah balasan buat kamu. Selama ini kamu bahagia, sedangkan aku menderita. Selama ini kamu hidup enak dan aku hidup susah. Dan sekarang kamu dapat balasannya, kamu lumpuh dan kamu... Man