Kini Ginda yang hendak menuju toilet seorang diri tiba tiba ia melihat Lian yang melintas berlawanan arah dengannya hingga membuatnya dengan cepat memanggil.
"Pak Lian."Mendengar panggilan itu langkah kebut Lian seketika terhenti yang lalu dengan cepat menoleh, membuat Ginda kini menghampirinya.Namun seketika Ginda melebarkan mata kala ia melihat bekas memar yang masih terlihat dibeberapa sudut wajah Lian."Loh, Pak. Wajah Bapak kenapa memar begitu? Bapak dipukul orang?" tanya Ginda yang membuat Lian sejenak terdiam dan kemudian menjawab,"Tidak papa, luka kecil saja," jawab Lian yang sengaja menutupi jika Marvin lah yang menghajarnya saat itu.Tak mungkin ia berkata apa yang terjadi, karena sepertinya hubungan Ginda dan Marvin mulai membaik, jadi ia tak akan merusaknya lagi."Ginda, syukurlah kamu sudah sembuh, dan sudah bisa kembali masuk kuliah," tambah Lian yang membuat Ginda tersenyum dan mengangguk."AlhHari demi hari berlalu.Tak menyangka semakin hari Sinta yang semakin gencar mendekati Marvin kembali, tak lelah ia merayu dan menggoda mantan suaminya yang telah beristri lagi itu.Kali ini Sinta melangkahkan kakinya memasuki ruangan Marvin Marcello, setelah mengetuk pintu dan mendengar pemilik ruangan mengizinkannya masuk, kini Sinta pun membuka pintunya.Penampilan modis wanita ber-dress selutut itu membuat pandangan Marvin berpaling dari layar laptopnya. Ia dapati Sinta yang berdiri seolah menggoda disana."Ada apa?" tanya Marvin dengan pandangan menunduk kembali.Tak ingin berlama lama memperhatikan gerak tubuh yang mungkin akan membuatnya tergoda itu, kini Marvin kembali memperhatikan layar laptopnya.Belum menjawab, Sinta yang lebih dulu berjalan mendekat, bukannya terduduk justru Sinta mendekati Marvin dan melihat aktivitas apa yang sedang ia kerjakan.Tangannya dengan lincah meraih bahu Marvin yang ia jadikan se
Ditengah tengah kebersamaannya, tiba tiba..Dreet dreet!Ponsel Ginda berdering hingga membuat Marvin kini melepas genggamannya, nama Teddy menari nari dilayar benda pipih tersebut."Assalamualaikum, Pak. Ada apa? Oh sekarang ya? baik lah saya kesana sekarang," ucap Ginda pada seseorang dibalik ponselnya tersebut.Mendengar percakapan itu Marvin pun bertanya siapa yang menelponnya, Ginda pun menjawab jika yang menelponnya adalah pemimpin perusahaan tempatnya bekerja."Aku harus kembali ke kantor sekarang, Mas!""Yasudah, saya antar!"Tak menunggu lama Ginda dan Marvin kini melangkah meninggalkan tempat dan melaju menuju perusahaan Fashion Ted. Beberapa menit kemudian.Marvin menghentikan mobilnya dihalaman perusahaan tersebut, Sementara Teddy yang sedang berdiri tampak sedang memperhatikan mobil yang baru saja datang.Melihat itu Marvin pun mengangkat alis sebelah kirinya, mengapa Teddy ada di
Dirumah.Marvin yang kini melangkah mendekati Ginda yang sedang terduduk seorang diri dihalaman belakang rumahnya.Wanita hamil tersebut tampak sedang memperhatikan penghijauan sekitar, semilir angin yang membelai tubuhnya membuatnya merasa tenang."Ginda."Tiba tiba terdengar panggilan itu yang membuat Ginda seketika menoleh pada sumber suara. Marvin disana yang kini terduduk sejajar dengan sang istri."Ada apa, Mas?"Terdiam sejenak, tampaknya Marvin sedang memikirkan hendak mulai percakapannya dari mana? "Saya ingin bertanya, apa maksud Teddy tadi, mengapa dia menganggap kamu istrinya Lian?"Pertanyaan itu membuat Ginda tersenyum samar, yang kemudian mengarahkan pandangannya kedepan kembali.Perlahan Ginda pun menjelaskan pada Marvin apa yang membuat Teddy mengira jika ia adalah istrinya Lian."Jadi begitu ceritanya, Mas. Mungkin Pak Lian melakukan itu juga karena biar aku diterima disana,
Ditengah tengah kebersamaanya, tiba tiba...Drreet drreet!Ponsel Ginda berdering, hingga membuatnya dengan cepat meraih ponselnya, nama Rumi menari nari dilayar benda pipih tersebut."Assalamualaikum, Bu.""Walaikum salam, Ginda. Ibu... Ibu.." ucap Rumi yang terdengar begitu lemah, hingga membuat Ginda melebarkan mata. "Ibu kenapa? Ibu sakit ya?" tanya Ginda cemas."Kepala Ibu sakit banget, Nak."Mendengar ucapan lemah itu seketika ekspresi Ginda berubah, ia merasa ada yang tidak baik dengan Ibunya."Ibu, bertahan ya. Sabar sebentar aku pulang sekarang," ucap Ginda yang kemudian mengakhiri panggilannya.Lalu memperhatikan Marvin dengan mata berkaca kaca."Mas, sepertinya Ibu sedang sakit, dia mendesak kesakitan. Mas, apa aku boleh berkunjung kerumah Ibu? aku khawatir Mas terjadi apa apa sama Ibu," ucap Ginda meraih tanga Marvin dengan penuh harap.Ia berharap untuk diizinkan pergi, m
Sesampainya dirumah sakit.dengan cepat Rumi dibawa oleh tim medis ke dalam ruang penanganan, Ginda dan Marvin yang dilarang masuk dan harus menunggu diruang tunggu.Saat ini Ginda benar benar panik, raut wajahnya kalut yang membuatnya tak tenang, ia terus berjalan kesana kemari bak sebuah setrika baju, melihat itu Marvin pun beranjak dan lalu menghampiri Ginda.Ia meraih tangannya dan membawa Ginda terduduk, perlahan Marvin merengkuh tubuh wanita berhijab itu hingga membuatnya kini menyandarkan kepala."Aku takut Ibu kenapa napa, Mas.""Sudah lah, berdoa saja tidak terjadi apa apa pada Ibu," jawab Marvin yang tangannya terus membelai kepala Ginda yang terbalut hijab.Meski hatinya sedang kalut, namun berada dalam pelukan Marvin membuatnya merasa tenang, kehangatan yang dirasa membuat otaknya serasa jernih kembali.Tak ingin melepas dekapan itu, Marvin yang berulang kali mencium pucuk kepala Ginda dengan penuh rasa sayan
Ditengah tengah kesedihannya tiba tiba..Dreet dreet!Ponsel Ginda berdering, nama Teddy menari nari dilayar benda pipih tersebut. Sedikit berat untuk menjawab panggilan itu, Ginda yang hanya memperhatikan layar ponselnya hingga kini Marvin yang meraihnya.Ia yang menjawab panggilan itu, sekaligus mengizinkan Ginda untuk tidak masuk beberapa hari ini, mendengar alasan Marvin, akhirnya Teddy pun mengizinkannya.Sementara raut wajah Ginda yang penuh dengan kebingungan, ia tak tahu harus bagaimana sekarang, ia yang sebentar lagi dapat meraih cita citanya, namun hatinya terbebani oleh keadaan sang Ibu yang harus ia rawat."Apa aku resign aja ya dari perusahaan Pak Teddy?" gumam Ginda yang terdengar ditelinga Marvin."Kenapa, Nda? kamu yakin mau resign?""Ngga ada pilihan lain, Mas. Aku harus merawat Ibu dirumah, ngga mungkin kan aku biarin Ibu tinggal sendiri dirumahnya.""Masalah itu, kamu tidak perlu khawatir, bia
"Nda, kamu kenapa?" tanya Rumi setelah mendapati sang anak merenung.Tak menjawab Ginda yang masih terdiam dihadapan Rumi, dan tak menghiraukan pertanyaannya."Ginda."Panggilan itu akhirnya membuyarkan lamunan Ginda."Iya, Bu.""Kamu melamun, ada apa?""Oh ngga papa kok, Bu. Yaudah sekarang Ibu istirahat dulu yah, aku keluar dulu," ucap Ginda yang kemudian meraih selimut untuk menutupi tubuh sang Ibu.Kini Ginda pun melangkah keluar, berpapasan dengan Marvin yang sudah berpenampilan rapi kembali."Mas," panggil Ginda yang membuat langkah kebut Marvin seketika terhenti."Mau kemana, Mas?""Ada meeting mendadak, saya harus kekantor sekarang," jawab Marvin yang membuat Ginda perlahan mengangguk."Saya berangkat ya."Kini Marvin pun melangkah kembali, namun tiba tiba langkahnya terhenti yang membuat Ginda mengerutkan dahi.Ada apa lagi? mengapa langkahnya berhenti lagi?
Ditengah tengah kebersamaannya, tiba tiba terdengar seseorang mengetuk pintu, hingga membuat Sinta dengan cepat melepas tubuh Marvin dan terduduk kembali membiarkan Marvin berdiri sendiri."Masuk."Perlahan pintu itupun terbuka, Yahya disana, yang datang bersama Teddy sahabat lamanya, melihat kedatangan tamunya saat ini seketika wajah Marvin berubah, ia tersenyum dan mempersilahkan Teddy masuk.Namun Teddy yang kini terkejut kala ia dapati Sinta berada didalam ruangan sahabatnya tersebut."Sinta," gumam Teddy yang ternyata ia mengenalnya.Begitu pun Sinta yang juga terbelalak kala ia dapati Teddy dihadapannya."Teddy.""Kalian saling mengenal?" tanya Marvin memperhatikan keduanya."Apa kalian sedang meeting? apa saya mengganggu?" tanya Teddy yang membuat Marvin dengan cepat menggelengkan kepala.Dalam hati Teddy yang terus berpikir bukankah Marvin adalah suaminya Ginda, lalu mengapa Marvin berduaan deng
Hari demi hari berlalu, membawa perubahan yang luar biasa dalam kehidupan Ginda. Kini, dengan bantuan setia Marvin, Ginda mampu berjalan kembali meskipun masih perlu bantuan. Suasana bahagia pun terasa di antara keduanya. "Alhamdulillah, Mas, akhirnya aku bisa jalan lagi," ucap Ginda penuh kebahagiaan, senyumnya merekah di wajahnya yang berseri.Marvin tersenyum lembut, "Kamu hebat, kamu bisa melalui cobaan ini."Ginda menatap Marvin dengan penuh rasa syukur, "Ini semua 'kan juga berkat Mas, kalau ngga ada Mas Marvin mungkin aku ngga menjadi Ginda yang setegar ini. Terimakasih, ya, Mas, untuk semua kebaikan kamu, kamu yang udah menerima aku apa adanya, sampai aku bisa jalan lagi seperti sekarang."Marvin tersenyum hangat, "Ini tugasku, Nda. Sebagai suami, sudah seharusnya aku mendampingi kamu, dalam suka maupun duka."Ucapan Marvin membuat Ginda tersenyum bahagia, merasa bersyukur memiliki seorang suami yang selalu ada untuknya, dalam se
Marvin memasuki hutan dengan hati penuh kekhawatiran, mencari jejak yang bisa mengantarkannya pada keberadaan istrinya, Ginda. Namun, semakin lama ia berada di dalam hutan yang lebat, semakin redup harapan yang ia sandarkan. Setiap langkah yang diambilnya terasa begitu berat, dipenuhi kegelapan dan ketakutan. "Ginda!" teriak Marvin dengan suara gemetar. Namun, tak ada jawaban yang terdengar kecuali desiran angin dan hiruk pikuk hutan yang sunyi. Ia meraba setiap sudut hutan, memanggil nama istrinya tanpa henti. Namun, waktu terus berlalu tanpa kehadiran Ginda yang dicarinya. Kesedihan merayapi hati Marvin, merangkulnya dalam kehampaan yang tak terperi. Pikirannya melayang jauh, membayangkan hal-hal mengerikan yang mungkin terjadi pada Ginda. Dan pada suatu titik, rasa putus asa itu mengubah energinya, membuatnya merasa tak berdaya, hampir tak sanggup melangkahkan kakinya lagi. Dengan langkah tertatih, Marvin berbalik ara
Hari semakin hari Berlalu, Marvin yang semakin curiga pada Dinda karena terdapat keanehan dan kejanggalan pada wanita yang ia anggap istrinya itu. Hari ini Dinda yang duduk menyilangkan kaki di tepi kolam renang tangannya terus menggenggam ponsel sambil tertawa-tertiwi, melihat itu Marvin pun heran rasanya Ini bukan sikap Ginda, pasalnya sejak menjadi istri Ginda tak pernah berperilaku demikian. "Ginda, aku mau bicara sebentar," ucap Marvin yang membuat wanita itu dengan cepat menurunkan kakinya. "Kenapa sih, Mas? mau bicara apa? kalau ngga penting lebih baik ngga udah deh, aku lagi sibuk," jawab Dinda yang membuat Marvin melebarkan mata. Kini rasa curiga semakin memenuhi hatinya, Marvin mengira jika Ginda yang ada dihadapannya saat ini bukanlah Ginda istrinya. Tak menunggu lama, kini Marvin pun mendekat meraih tangan Dinda hingga membuatnya terkejut. "Apa-apaan sih kamu, Mas? kenapa kamu kasar sama aku?"
Niat Dinda untuk menggantikan posisi Honda telah berhasil, hatinya bahagia serta puas melihat keberhasilannya saat ini. Karena wajah dan penampilan yang sama persis, hingga Sukma yang tak sadar jika wanita yang ada dihadapannya saat ini bukanlah menantunya. Dinda merasa jantungnya berdegup kencang ketika Marvin tiba-tiba muncul di tengah-tengah kebersamaannya dengan Sukma. Dengan wajah serius, Marvin menyapa mereka, "Assalamu'alaikum.""Walaikumsalam," jawab Dinda dengan cemas, berusaha menjaga ketenangan meskipun hatinya berdebar-debar.Marvin, tanpa menyadari keberadaan sebenarnya, bertanya dengan heran, "Lagi pada bahas apa sih? Serius banget kayanya."Sukma, tanpa sadar memperburuk situasi, menjawab dengan semangat, "Ini loh, Vin, kita lagi bahas Dinda, masa tadi Dinda ninggalin istrimu sendirian, untung dia bisa pulang sendiri kalau ngga gimana coba?"Mendengar ucapan itu, Marvin pun terbelalak. Matanya terbuka lebar, mencari kebena
Didalam ruang kamar Dinda. Ia yang kini terduduk dengan raut wajah serius. Setelah memasuki kamar dan mengunci pintunya kini Dinda terduduk memperhatikan pemandangan luar. "Aku harus mulai rencanaku secepatnya, sebelum Ginda bisa jalan lagi dan buat aku susah melakukan rencanaku," gumam Dinda lirih. "Maafkan aku, Ginda. Bukan maksud ingin menjadi saudara yang kejam, tapi takdir yang membuatku tega melakukan ini padamu," batin Dinda dengan pandangan tajam. Setelah memikirkan apa yang hendak ia rencanakan kini Dinda pun beranjak, keluar kamar dan menemui Ginda yang sedang berada di halaman belakang rumahnya. "Ginda," panggil Dinda yang membuat Ginda seketika menoleh. "Dinda, ada apa?""Bisa antar aku ke suatu tempat? aku mau ketemu temenku, tapi aku ngga tau tempat itu dimana alamatnya.""Temen?"Sejenak Ginda terdiam, hatinya sedikit merasa tak tenang ada sesuatu yang mengganjal dibalik ajakan saud
"Sesuai rencana," batin Dinda setelah memasuki rumah. Apa maksud ucapannya barusan? rencana apa yang bersarang diotaknya? bahkan ekspresi wajahnya pun menunjukan arti kepuasan. "Akhirnya aku bisa masuk rumah ini dengan begitu mudah," tambah batin Dinda tertawa. Ya, ternyata amnesia yang Dinda alami hanya sebagai sandiwara belaka, demi mewujudkan keinginan dan ambisinya untuk dapat masuk ditengah tengah rumah tangga Marvin Marcello. Benar benar jahat, wanita tak punya hati sudah ditolong malah ingin menikam. Saudara kandung macam apa Dinda ini? mengapa ia begitu tega? "Setelah ini aku akan merebut semuanya dari kamu, Ginda. Aku yang akan menjadi ratu dirumah ini," tambah Dinda tertawa dalam hati. Melihat ekspresi Dinda rasanya Sukma mulai curiga, lantaran ia yang tak menyukai Dinda sejak dulu, ditambah lagi Sukma mengetahui bagaimana perlakuan Dinda pada Ginda menantunya. "Apa yang sedang direncanakan wanita itu? a
Tak lama kemudian. Seorang dokter keluar dari ruangan, dengan cepat Ginda dan Marvin mendekatinya untuk menanyakan keadaan Dinda saat ini. "Bagaimana, Dok, keadaan Dinda?"Tak langsung menjawa dokter yang sejenak terdiam memperhatikan wajah Marvin dan Ginda. Pandangannya membuat semakin penasaran. "Pasien sudah sadarkan diri," jawab dokter yang membuat Ginda dan Marvin seketika menghela nafas lega. "Pasien bisa dijenguk setelah nanti dipindahkan ke ruang rawat yah, kalau begitu saya permisi," tambah dokter yang lalu melangkah meninggalkan tempat.Tak lama kemudian, Dinda yang kini dipindahkan ke ruang rawat oleh beberapa suster yang mendorongnya. Marvin dan Ginda pun mengikutinya. Melihat adanya Marvin dan Ginda pandangan Dinda tampak aneh, ia yang tak berkedip dan seakan sedang memikirkan sesuatu. Setelah kini beberapa suster meninggalkan tempat, Ginda pun mendekat, ia pandangi waja wanita yang mirip deng
Sesampainya di rumah, Sukma yang menyambut kedatangan Ginda dan Marvin pun dengan cepat menghampiri, ia menyambut dengan wajah penuh penasaran. "Ginda, Marvin. Bagaimana hasilnya?" tanya Sukma yang memperhatikan dengan seksama. Tak langsung menjawab Marvin dan Dinda yang lebih dulu terdiam, hingga membuat Sukma semakin penasaran. Cukup lama terdiam, sebelum akhirnya Marvin membantu Ginda untuk terduduk di sofa, menghela nafas berat dan mengeluarkan sebuah surat dari dalam tasnya. Lalu perlahan memberikannya pada Sukma dengan berkata, "Ini, Bu. Hasilnya."Sukma meraih kertas itu perlahan, dengan rasa takut dan ragu untuk membaca, berharap tak terjadi apa-apa pada menantunya tersebut. Kini Sukma pun membaca tulisan dalam surat itu, setelah beberapa detik kemudian akhirnya Sukma pun menghela nafas lega, setelah tahun jika hasilnya adalah baik-baik saja, tidak ada masalah dalam kandungan Ginda sang menantu. "Aku baik-b
Keesokan harinya, Ginda yang terduduk di kursi roda, dengan gerak tangan yang terus menyiram bunga, ia menyiram bunga dengan wajah ceria. Namun wajah cerianya seketika menghilang kala sebuah suara datang menyapanya. "Ekhemm."Deheman itu membuat Ginda seketika memutar wajahnya, ia dapati Dinda disana, yang berdiri memperhatikannya dengan pandangan megintimidasi. "Dinda.""Kasihan ya kamu, hanya untuk emnyiram bunga saja kamu harus terduduk seperti ini," ucap Dinda yang mengarah pada penghinaan."Apa maksudmu?"Tak langsung menjawab, Dinda yang kini terkekeh dan memutar tubuhnya, membelakangi Ginda hingga membuat pandangan Ginda menatap tubuh bagian belakang Dinda. "Ginda, Ginda. Apa kamu ngga sadar apa yang terjadi sama kamu saat ini adalah balasan buat kamu. Selama ini kamu bahagia, sedangkan aku menderita. Selama ini kamu hidup enak dan aku hidup susah. Dan sekarang kamu dapat balasannya, kamu lumpuh dan kamu... Man