Keesokan harinya, seperti janji Marvin yang akan menyusul Dania yang sedang pergi bersama Indra. Dania telah mengirimkan lokasi saat ini kepada Marvin. Dengan cepat, Marvin pun melaju, rasa tak sabar menggema di dalam hatinya. Ia ingin segera bertemu dengan sang istri tercinta.
"Tunggu aku, Dania. Aku akan menyusulmu sekarang," gumam Marvin pada diri sendiri.Dengan terus fokus mengemudikannya, Marvin melaju dengan kecepatan sedang, hatinya berbunga-bunga, penuh dengan harapan dan kegembiraan.Namun, tak ada yang bisa meramalkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Dalam sekejap, kebahagiaan itu berubah menjadi teror."Astafirullah, yaampun. Aaaaaaa... "Tanpa diduga, terjadi kecelakaan. Lantaran sebuah truk melaju tanpa kendali membuat Marvin kehilangan keseimbangan, dan mobil pun tergelincir dari jalur dan terjun bebas ke jurang.Semua terjadi begitu cepat, hingga Marvin hampir tidak memiliki waktu untuk bereaksi. KecelakaanSesampainya di lokasi dimana Marvin dikabarkan kecelakaan, Ginda menangis histeris. Ia memanggil-manggil nama Marvin dengan harapan bahwa suaminya akan mendengar dan merespon. "Mas Marvin! Mas Marvin!" teriak Ginda dengan suara parau. Ia berharap bahwa suaminya masih hidup dan dapat mendengar teriakannya. Namun, pemandangan mobil terbakar di depannya itu membuatnya tak dapat berdiri tegak. Tubuhnya seketika lunglai, bagai tak bertulang. Ia merasa seolah-olah semua kekuatannya telah hilang. Melihat kehancuran yang terjadi di hati Ginda, Teddy merasa hatinya juga hancur. Ia tahu betapa mendalam rasa sakit dan kehilangan yang dirasakan Ginda. Teddy berusaha untuk menenangkan Ginda, meski ia tahu bahwa tidak ada kata-kata yang dapat benar-benar menghibur Ginda saat ini. "Ginda, aku tahu ini sangat sulit untukmu. Tapi kamu harus tetap kuat. Marvin pasti ingin kamu kuat," ucap Teddy dengan suara lembut. Teddy mencoba memberikan sedikit ke
Setelah cukup lama dalam keadaan tidak sadarkan diri, kini akhirnya Ginda membuka matanya perlahan, setelah Ia membuka mata, seketika ingatannya kembali teringat akan Marvin yang sampai saat ini masih belum ditemukan. "Mas Marvin mana? Mas Marvin ke mana? "Tanya Ginda histeris pada Teddy yang sejak tadi menunggunya."Ginda, tenanglah! Tim SAR sedang berusaha mencari Marvin. Kamu tidak perlu khawatir dan cemas seperti ini. Yang kamu perlu lakukan sekarang adalah mendoakan Marvin agar baik-baik saja," jawab Teddy sambil memperhatikan wajah Ginda dengan seksama. Ginda menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang ingin keluar. "Tapi Teddy, kenapa Mas Marvin belum juga ditemukan? Aku sangat khawatir. Apa yang bisa aku lakukan selain menunggu dan berdoa?"Perlahan Teddy pun menghampiri Ginda, menatap wajah Ginda dengan pandangan sayunya. "Aku tahu ini sulit bagimu, Ginda. Tetapi kita harus tetap kuat dan berharap yang terbaik. Saat ini polisi dan
Hari demi hari berlalu, seperti ombak yang tak henti-hentinya menghempas pantai. Ginda, seorang wanita berhati lembut, menatap jendela kamarnya yang menghadap ke jalan raya. Matanya yang semula berbinar, kini tampak sayu. Ia merindukan Marvin, suaminya yang juga belum ditemukan pasca kecelakaan yang telah terjadi. "Mas Marvin, sudah lima bulan kamu pergi, kamu kemana Mas? kenapa belum juga kembali? " gumam Ginda sambil memegang foto mereka berdua. "Aku masih menunggumu disini, Mas. Ibu dan Inggit juga masih menunggumu, meskipun tak ada kabar darimu, aku selalu berharap agar kamu segera kembali." Dalam diam, Ginda berbicara pada Marvin yang tak ada di sana. Dia merindukan suara Marvin, senyumnya, dan kehangatan pelukannya. Setiap hari adalah penantian, dan setiap malam adalah harapan bahwa esok hari Marvin akan kembali. "Apa kamu tahu, Mas?" Ginda berbicara pada foto Marvin, "Aku merindukanmu. Aku merindukan kita. Aku merindukan segal
Sementara, disebuah pelosok desa. Seorang laki yang berwajah mirip seperti Marvin Marcello, namun penampilannya sangat berubah, pakaiannya sangat sederhana dan tinggal di sebuah rumah kecil berdinding papan. Langkah laki laki tersebut keluar dari dalam rumahnya hendak pergi ke suatu tempat untuk bekerja. Ia memakai topi yang terbuat dari bambu dan membawa sebuah cangkul yang berjalan menuju sebuah persawahan.Namun langkahnya terhenti kala seorang wanita memanggilnya. "Mas Damar," pekik wanita berkepang dia itu yang membuat laki laki berwajah wajah Marvin seketika menoleh. "Dik Sri, ada apa?""Mas Damar, mau ke sawah? aku ikut yo, Mas. Biar aku bisa bantuin," ucap wanita bernama Sri itu dengan logat Jawa. "Loh, ngga usah. Aku bisa sendiri kok, nanti kamu malah capek lagi.""Ndak to, Mas. Justru aku takut Mas yang kecapean. Mas kan baru sembuh, ndak boleh terlalu mempeng. yowes yowes ndak usah bany
"Mas Marvin, ternyata bener feeling ku kalau Mas masih hidup, Mas kenapa ngga pulang, Mas? aku kangen, aku mau sekarang kamu pulang, Mas," cerocos Ginda seraya menggoyang goyangkan lengan kekar laki laki berwajah mirip Marvin tersebut. Melihat itu membuat Sri dan Damar sendiri berekspresi bingung, ia tak mengerti dengan apa yang diucapkan wanita berpenampilan elegan ini? Ginda, dengan ekspresi kegirangan, berbicara dengan semangat kepada seorang pria berwajah mirip Marvin. ia terus menggenggam tangan Damar dan menggoyang-goyangkan lengan kekar pria tersebut, seraya mengatakan betapa dia merindukannya. Melihat adegan ini, Sri dan Damar sendiri pun kebingungan. Mereka tidak mengerti apa yang sedang terjadi dan apa yang sedang Ginda bicarakan. Wanita elegan ini tampak berbicara dengan semangat, tetapi kata-katanya terasa asing bagi mereka. "Mas, kamu harus pulang hari ini. Ibu menunggu kamu, dia juga merindukanmu, Mas. Dia mau kamu kembali keruma
Teddy, dengan nada suara yang penuh kekhawatiran, mencoba menenangkan Ginda. "Ginda, sudahlah. Biarkan laki-laki itu pergi. Dia bukan Marvin. Dia Damar, seperti yang dia bilang tadi." Namun, Ginda tetap pada pendiriannya. Ia yakin bahwa Damar adalah Marvin. "Tapi Teddy, aku yakin dia Mas Marvin. Hati kecilku berkata laki-laki itu Mas Marvin," ucap Ginda dengan penuh keyakinan. Ginda percaya bahwa hati nuraninya sebagai istri tidak akan mungkin salah. Ia merasa ada sesuatu yang menghubungkannya dengan Damar, sesuatu yang ia kenali sebagai cinta dan ikatan dengan suaminya, Marvin. Teddy hanya bisa menghela nafas panjang, merasa bingung dengan keyakinan Ginda. Namun, ia tahu bahwa tidak ada yang bisa mengubah pikiran Ginda saat ini. Teddy memutuskan untuk mendukung Ginda, berharap bahwa kebenaran akan segera terungkap.Teddy melihat Ginda dengan pandangan penuh kekhawatiran. Ia tahu betapa sulitnya bagi Ginda untuk melepaskan keyakinan bahwa Damar
Beberapa hari kemudian.Suasana pagi yang biasanya tenang dan damai di rumah Sukma kini terasa berbeda. Ginda, yang biasanya santai dan tenang, namun tidak untuk hari ini. Ia keluar dari rumah dengan tas jinjing di tangannya, langkahnya cepat dan tergesa-gesa, seolah-olah ada sesuatu yang sangat penting menunggunya. Sukma, yang sedang menikmati secangkir teh di teras rumah, terkejut melihat tingkah laku Ginda. Ia tak berkedip, memperhatikan Ginda yang tampak terburu-buru. Rasa penasaran pun mulai menghantui pikirannya. "Ginda kenapa? dia mau kemana? apa yang hendak dilakukan Ginda? Kenapa sepertinya terburu-buru?" pikir Sukma. "Ginda," panggil Sukma yang membuat langkah kebut Ginda seketika terhenti. Ginda menoleh pada wajah Sukma yang berekspresi seakan bertanya. "Iya, Bu.""Kamu mau kemana, Nda? kenapa buru buru gitu?" tanya Sukma memperhatikan wajah Ginda dengan seksama. "Aku mau ke desa, Bu. Mau ketemu
Keesokan harinya. Damar yang hendak merantau, kini ia telah menggenggam tas ranselnya dan berpamitan dengan Sri. Meski dengan berat hati namun Sri harus melepasnya. "Aku pamit, Sri. Doakan aku agar aku menjadi orang yang sukses," ucap Damar pada wanita yang kini matanya memerah. "Apa Mas Damar bakal lupain aku kalau Mas udah jadi orang kaya?" tanya Sri menatap Damar dengan penuh harap. "Tidak, Sri. Suatu saat nanti aku pasti akan kembali untukmu."Jawaban itu membuat Sri tersenyum, meski hatinya pahit kala setelah ini tidak ada lagi Damar disisinya namun ia merasa lega karena ucapan Damar barusan. Setelah cukup lama berpamitan, kini Damar pun melangkah pergi, lambaian tangan mengiringi kepergian laki laki berwajah Marvin tersebut. "Ati ati yo, Mas disana. Jaga kesehatan dan jangan lupa sholat," pekik Sri pada Damar yang kini semakin menjauh. Ucapan itu hanya membuat Damar tersenyum dan menganggukan kepala