Beberapa hari kemudian.
Suasana pagi yang biasanya tenang dan damai di rumah Sukma kini terasa berbeda. Ginda, yang biasanya santai dan tenang, namun tidak untuk hari ini. Ia keluar dari rumah dengan tas jinjing di tangannya, langkahnya cepat dan tergesa-gesa, seolah-olah ada sesuatu yang sangat penting menunggunya.Sukma, yang sedang menikmati secangkir teh di teras rumah, terkejut melihat tingkah laku Ginda. Ia tak berkedip, memperhatikan Ginda yang tampak terburu-buru. Rasa penasaran pun mulai menghantui pikirannya."Ginda kenapa? dia mau kemana? apa yang hendak dilakukan Ginda? Kenapa sepertinya terburu-buru?" pikir Sukma."Ginda," panggil Sukma yang membuat langkah kebut Ginda seketika terhenti.Ginda menoleh pada wajah Sukma yang berekspresi seakan bertanya."Iya, Bu.""Kamu mau kemana, Nda? kenapa buru buru gitu?" tanya Sukma memperhatikan wajah Ginda dengan seksama."Aku mau ke desa, Bu. Mau ketemuKeesokan harinya. Damar yang hendak merantau, kini ia telah menggenggam tas ranselnya dan berpamitan dengan Sri. Meski dengan berat hati namun Sri harus melepasnya. "Aku pamit, Sri. Doakan aku agar aku menjadi orang yang sukses," ucap Damar pada wanita yang kini matanya memerah. "Apa Mas Damar bakal lupain aku kalau Mas udah jadi orang kaya?" tanya Sri menatap Damar dengan penuh harap. "Tidak, Sri. Suatu saat nanti aku pasti akan kembali untukmu."Jawaban itu membuat Sri tersenyum, meski hatinya pahit kala setelah ini tidak ada lagi Damar disisinya namun ia merasa lega karena ucapan Damar barusan. Setelah cukup lama berpamitan, kini Damar pun melangkah pergi, lambaian tangan mengiringi kepergian laki laki berwajah Marvin tersebut. "Ati ati yo, Mas disana. Jaga kesehatan dan jangan lupa sholat," pekik Sri pada Damar yang kini semakin menjauh. Ucapan itu hanya membuat Damar tersenyum dan menganggukan kepala
"Yasudah maafkan aku kalau aku selalu menganggapmu Mas Marvin," ucap Ginda. Meskipun dalam hatinya ia bertekad untuk terus mencari kebenaran, ia memilih untuk berpura-pura mengalah demi menjaga hubungan yang baik dengan Damar. Dalam keadaan yang lebih rileks, Ginda bertanya pada Damar tentang keperluannya datang ke Jakarta."Ada keperluan apa kamu datang ke Jakarta?" "Aku ingin mencari pekerjaan mba. Aku ingin mengubah nasib, ya siapa tau disini aku punya rezeki yang lebih baik," jawab Damar yang membuat Ginda mengerutkan dahinya. "Pekerjaan, bagaimana kalau kamu bekerja di perusahaan ini?" ucap Ginda yang membuat pandangan Damar kini tertuju pada gedung bertinggakat dihadapannya. Damar terkejut mendengar tawaran tersebut. Ia merasa tidak pantas untuk bekerja di perusahaan tersebut. "Disini?""Ya, ini perusahaan suamiku, dan sekarang aku yang mengelola, kalau kamu mau kamu bisa langsung masuk kerja hari ini," ucap G
"Mar, antar aku ketemu Teddy ya, ada perlu mendadak," pinta Ginda yang membuat Damar seketika beranjak. "Siap, mba!"Kini Ginda pun melangkah lebih dulu yang kemudian didahului oleh Damar karena hendak membukakan pintu mobilnya. "Silahkan, mba.""Terimakasih."Setelah kini keduanya telah berada didalam mobil, Damar pun hendak melaju namun seketika Ginda menghentikan geraknya. "Mar, tunggu sebentar. Ada yang tertinggal didalam," ucap Ginda yang kemudian meletakan tas serta ponsel dalam gengamannya dan lalu keluar kembali dari dalam mobil. Ginda pun berlalu memasuki rumah, tak lama kemudian, sebuah ponsel milik Ginda tiba tiba menyala menanda sebuah notifikasi masuk. Namun yang membuat Damar tak berkedip adalah sebuah gambar yang menjadi wallpaper ponsel Ginda. Gambar Ginda bersama seorang laki laki yang berwajah mirip dengan Damar. Menghadirkan sebuah tanya dalam hati Damar. "Jadi itu sua
Di sebuah rumah yang tenang, hanya terdengar suara langkah kaki Damar yang keluar dari kamarnya. Langkah kebutnya seketika berhenti, kala matanya tertuju pada sebuah foto pernikahan yang menghiasi dinding rumah. Damar memperhatikan foto itu dengan tatapan kosong, seolah sedang berusaha mengingat sesuatu. "Foto ini?" gumam Damar, matanya masih menatap foto itu, mencoba mencari ingatan yang kabur di benaknya. Beberapa saat berlalu, Damar masih terpaku. Tiba-tiba, rasa sakit menusuk pelipisnya. "Aaaghh," teriak Damar, kedua tangannya meremas kepalanya. Rasa sakit itu membuat ingatan yang baru saja muncul kembali menghilang. Ginda dan Sukma yang mendengar teriakan Damar langsung berlari mendekat. "Damar ada apa, kamu kenapa?" tanya Ginda, wajahnya penuh kekhawatiran. "Kepala saya sakit, Mbak," jawab Damar, masih meremas kepalanya. "Sakit? Apa yang kamu lihat?" tanya Ginda, mencoba memahami apa yang terjadi. "Saya melihat itu,"
"Damar, kamu kenapa?" tanya Ginda sekali lagi. Dengan terus memperhatikan Damar yang tak kunjung menjawab pertanyaannya. "Aku ngerasa ada sesuatu yang aku ingat," jawab Damar yang membuat Ginda melebarkan mata. Banyak sekali keajaiban yang Ginda harapkan, keajaiban yang membawa Damar dalam ingatan masa lalunya. Dan ucapan Damar saat ini membuat Ginda merasa bahagia. Dalam momen yang penuh ketegangan antara Damar dan Ginda, pertanyaan Ginda yang terus mengalir mencoba menuntun Damar ke dalam lorong ingatan yang terkunci. Damar, yang merasakan getaran emosi yang tak terlukiskan, mencoba keras untuk mengingat apa yang tersemat dalam memori terdalamnya. "Apa yang kamu ingat?"Belum langsung menjawab, Damar yang lebih dulu terdiam kembali memperhatikan jam tangan dihadapannya tersebut. "Aku seperti tau tentang jam tangan itu, tapi aku ngga inget jelas," jawab Damar dengan suara ragu, menyiratkan keraguan yang menyelimut
Hari-hari berlalu begitu cepat bagi Damar, yang tetap setia dengan pekerjaannya sebagai sopir pribadi Ginda. Meskipun hanya sebagai sopir, dia menjalankan tugasnya dengan penuh dedikasi, siap mengantarkan Ginda ke mana pun dia pergi.Di sisi lain, Ginda, yang masih merindukan Marvin, suaminya yang hilang, terus berharap bahwa Damar adalah Marvin yang dicarinya.Sepanjang perjalanan, Ginda tak bisa melepaskan pandangannya dari wajah Damar yang sedang serius mengemudi. Setiap detailnya, setiap ekspresi, semuanya mengingatkannya pada Marvin, suaminya yang hilang. Namun, meskipun harapannya berkobar, Damar belum juga mengingat siapa dirinya sebenarnya.Dalam keheningan, Damar merasa sepasang mata memperhatikannya dengan intens. Ia menoleh dan menemukan Ginda, sang majikan, yang masih terdiam dengan pandangannya yang penuh harap. Pandangan itu membuat Damar gugup. Meskipun mencoba untuk mengalihkan perhatiannya, Ginda tetap memperhatikannya
Masih belum menjawab, tampaknya Damar seperti seseorang yang selamat dari maut, ia bersyukur dan berterimakasih karena telah diberi kesempatan hidup. Setelah menyeka air matanya kini Damar pun membuka mulutnya, namun ucapan yang terlontar membuat Sukma terkejut. "Ibu."Begitu Damar memanggil Sukma, membut Sukma terbelalak dan tak berkedip memperhatikannya. "Ibu. Ini aku Marvin. Aku udah inget semuanya sekarang, Bu," tambah Damar yang membuat Sukma seketika meneteskan air mata. Ternyata harapannya selama ini benar, jika Damar adalah Marvin, anaknya. "Marvin, kamu udah inget sama Ibu, nak?" tanya Sukma dengan suara bergetar. "Iya udah, Bu. Aku inget sama Ibu."Tak menunggu lama, kini Sukma pun mendekat dan merengkuh tubuh sang anak dengan erat. Betapa bahagia hatinya, mendapat hikmah dari sebuah kecelakaan yang terjadi. Cukup lama larut dalam pelukan rindu anak dan sang Ibu. Kini mereka pun saling
Namun, Ekspresi wajah Ginda seketika berubah kala ia hendak beranjak. Ia merasakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang tidak biasa. Kaki kanannya terasa berat, seolah ada sesuatu yang menahannya. Ia menunduk, melihat ke arah kakinya, mencoba memahami apa yang sedang terjadi."Kenapa, Nda?" tanya Marvin yang memperhatikan aneh pada Ginda. "Mas, kakiku kenapa? kenapa ngga bisa digerakin?" ucap Ginda yang membuat Marvin dan Sukma melebarkan mata. Kembali Ginda mencoba menggerakkan kakinya, namun hasilnya tetap sama ia tak dapat merasakan apa pun, kakinya seperti mati rasa. "Mas, kakiku ngga bisa digerakin, Mas," tambah Ginda mulai panik. Melihat itu dengan cepat Marvin pun memanggil dokter untuk memeriksa apa yang terjadi pada kaki Sang istri? Tak lama kemudian, kembali seorang dokter memaskui ruangan, mencoba memeriksa Ginda seperti apa yang diminta Marvin. Setelah cukup lama memperhatikan kakinya, dokter laki laki itu pun mengdon
Hari demi hari berlalu, membawa perubahan yang luar biasa dalam kehidupan Ginda. Kini, dengan bantuan setia Marvin, Ginda mampu berjalan kembali meskipun masih perlu bantuan. Suasana bahagia pun terasa di antara keduanya. "Alhamdulillah, Mas, akhirnya aku bisa jalan lagi," ucap Ginda penuh kebahagiaan, senyumnya merekah di wajahnya yang berseri.Marvin tersenyum lembut, "Kamu hebat, kamu bisa melalui cobaan ini."Ginda menatap Marvin dengan penuh rasa syukur, "Ini semua 'kan juga berkat Mas, kalau ngga ada Mas Marvin mungkin aku ngga menjadi Ginda yang setegar ini. Terimakasih, ya, Mas, untuk semua kebaikan kamu, kamu yang udah menerima aku apa adanya, sampai aku bisa jalan lagi seperti sekarang."Marvin tersenyum hangat, "Ini tugasku, Nda. Sebagai suami, sudah seharusnya aku mendampingi kamu, dalam suka maupun duka."Ucapan Marvin membuat Ginda tersenyum bahagia, merasa bersyukur memiliki seorang suami yang selalu ada untuknya, dalam se
Marvin memasuki hutan dengan hati penuh kekhawatiran, mencari jejak yang bisa mengantarkannya pada keberadaan istrinya, Ginda. Namun, semakin lama ia berada di dalam hutan yang lebat, semakin redup harapan yang ia sandarkan. Setiap langkah yang diambilnya terasa begitu berat, dipenuhi kegelapan dan ketakutan. "Ginda!" teriak Marvin dengan suara gemetar. Namun, tak ada jawaban yang terdengar kecuali desiran angin dan hiruk pikuk hutan yang sunyi. Ia meraba setiap sudut hutan, memanggil nama istrinya tanpa henti. Namun, waktu terus berlalu tanpa kehadiran Ginda yang dicarinya. Kesedihan merayapi hati Marvin, merangkulnya dalam kehampaan yang tak terperi. Pikirannya melayang jauh, membayangkan hal-hal mengerikan yang mungkin terjadi pada Ginda. Dan pada suatu titik, rasa putus asa itu mengubah energinya, membuatnya merasa tak berdaya, hampir tak sanggup melangkahkan kakinya lagi. Dengan langkah tertatih, Marvin berbalik ara
Hari semakin hari Berlalu, Marvin yang semakin curiga pada Dinda karena terdapat keanehan dan kejanggalan pada wanita yang ia anggap istrinya itu. Hari ini Dinda yang duduk menyilangkan kaki di tepi kolam renang tangannya terus menggenggam ponsel sambil tertawa-tertiwi, melihat itu Marvin pun heran rasanya Ini bukan sikap Ginda, pasalnya sejak menjadi istri Ginda tak pernah berperilaku demikian. "Ginda, aku mau bicara sebentar," ucap Marvin yang membuat wanita itu dengan cepat menurunkan kakinya. "Kenapa sih, Mas? mau bicara apa? kalau ngga penting lebih baik ngga udah deh, aku lagi sibuk," jawab Dinda yang membuat Marvin melebarkan mata. Kini rasa curiga semakin memenuhi hatinya, Marvin mengira jika Ginda yang ada dihadapannya saat ini bukanlah Ginda istrinya. Tak menunggu lama, kini Marvin pun mendekat meraih tangan Dinda hingga membuatnya terkejut. "Apa-apaan sih kamu, Mas? kenapa kamu kasar sama aku?"
Niat Dinda untuk menggantikan posisi Honda telah berhasil, hatinya bahagia serta puas melihat keberhasilannya saat ini. Karena wajah dan penampilan yang sama persis, hingga Sukma yang tak sadar jika wanita yang ada dihadapannya saat ini bukanlah menantunya. Dinda merasa jantungnya berdegup kencang ketika Marvin tiba-tiba muncul di tengah-tengah kebersamaannya dengan Sukma. Dengan wajah serius, Marvin menyapa mereka, "Assalamu'alaikum.""Walaikumsalam," jawab Dinda dengan cemas, berusaha menjaga ketenangan meskipun hatinya berdebar-debar.Marvin, tanpa menyadari keberadaan sebenarnya, bertanya dengan heran, "Lagi pada bahas apa sih? Serius banget kayanya."Sukma, tanpa sadar memperburuk situasi, menjawab dengan semangat, "Ini loh, Vin, kita lagi bahas Dinda, masa tadi Dinda ninggalin istrimu sendirian, untung dia bisa pulang sendiri kalau ngga gimana coba?"Mendengar ucapan itu, Marvin pun terbelalak. Matanya terbuka lebar, mencari kebena
Didalam ruang kamar Dinda. Ia yang kini terduduk dengan raut wajah serius. Setelah memasuki kamar dan mengunci pintunya kini Dinda terduduk memperhatikan pemandangan luar. "Aku harus mulai rencanaku secepatnya, sebelum Ginda bisa jalan lagi dan buat aku susah melakukan rencanaku," gumam Dinda lirih. "Maafkan aku, Ginda. Bukan maksud ingin menjadi saudara yang kejam, tapi takdir yang membuatku tega melakukan ini padamu," batin Dinda dengan pandangan tajam. Setelah memikirkan apa yang hendak ia rencanakan kini Dinda pun beranjak, keluar kamar dan menemui Ginda yang sedang berada di halaman belakang rumahnya. "Ginda," panggil Dinda yang membuat Ginda seketika menoleh. "Dinda, ada apa?""Bisa antar aku ke suatu tempat? aku mau ketemu temenku, tapi aku ngga tau tempat itu dimana alamatnya.""Temen?"Sejenak Ginda terdiam, hatinya sedikit merasa tak tenang ada sesuatu yang mengganjal dibalik ajakan saud
"Sesuai rencana," batin Dinda setelah memasuki rumah. Apa maksud ucapannya barusan? rencana apa yang bersarang diotaknya? bahkan ekspresi wajahnya pun menunjukan arti kepuasan. "Akhirnya aku bisa masuk rumah ini dengan begitu mudah," tambah batin Dinda tertawa. Ya, ternyata amnesia yang Dinda alami hanya sebagai sandiwara belaka, demi mewujudkan keinginan dan ambisinya untuk dapat masuk ditengah tengah rumah tangga Marvin Marcello. Benar benar jahat, wanita tak punya hati sudah ditolong malah ingin menikam. Saudara kandung macam apa Dinda ini? mengapa ia begitu tega? "Setelah ini aku akan merebut semuanya dari kamu, Ginda. Aku yang akan menjadi ratu dirumah ini," tambah Dinda tertawa dalam hati. Melihat ekspresi Dinda rasanya Sukma mulai curiga, lantaran ia yang tak menyukai Dinda sejak dulu, ditambah lagi Sukma mengetahui bagaimana perlakuan Dinda pada Ginda menantunya. "Apa yang sedang direncanakan wanita itu? a
Tak lama kemudian. Seorang dokter keluar dari ruangan, dengan cepat Ginda dan Marvin mendekatinya untuk menanyakan keadaan Dinda saat ini. "Bagaimana, Dok, keadaan Dinda?"Tak langsung menjawa dokter yang sejenak terdiam memperhatikan wajah Marvin dan Ginda. Pandangannya membuat semakin penasaran. "Pasien sudah sadarkan diri," jawab dokter yang membuat Ginda dan Marvin seketika menghela nafas lega. "Pasien bisa dijenguk setelah nanti dipindahkan ke ruang rawat yah, kalau begitu saya permisi," tambah dokter yang lalu melangkah meninggalkan tempat.Tak lama kemudian, Dinda yang kini dipindahkan ke ruang rawat oleh beberapa suster yang mendorongnya. Marvin dan Ginda pun mengikutinya. Melihat adanya Marvin dan Ginda pandangan Dinda tampak aneh, ia yang tak berkedip dan seakan sedang memikirkan sesuatu. Setelah kini beberapa suster meninggalkan tempat, Ginda pun mendekat, ia pandangi waja wanita yang mirip deng
Sesampainya di rumah, Sukma yang menyambut kedatangan Ginda dan Marvin pun dengan cepat menghampiri, ia menyambut dengan wajah penuh penasaran. "Ginda, Marvin. Bagaimana hasilnya?" tanya Sukma yang memperhatikan dengan seksama. Tak langsung menjawab Marvin dan Dinda yang lebih dulu terdiam, hingga membuat Sukma semakin penasaran. Cukup lama terdiam, sebelum akhirnya Marvin membantu Ginda untuk terduduk di sofa, menghela nafas berat dan mengeluarkan sebuah surat dari dalam tasnya. Lalu perlahan memberikannya pada Sukma dengan berkata, "Ini, Bu. Hasilnya."Sukma meraih kertas itu perlahan, dengan rasa takut dan ragu untuk membaca, berharap tak terjadi apa-apa pada menantunya tersebut. Kini Sukma pun membaca tulisan dalam surat itu, setelah beberapa detik kemudian akhirnya Sukma pun menghela nafas lega, setelah tahun jika hasilnya adalah baik-baik saja, tidak ada masalah dalam kandungan Ginda sang menantu. "Aku baik-b
Keesokan harinya, Ginda yang terduduk di kursi roda, dengan gerak tangan yang terus menyiram bunga, ia menyiram bunga dengan wajah ceria. Namun wajah cerianya seketika menghilang kala sebuah suara datang menyapanya. "Ekhemm."Deheman itu membuat Ginda seketika memutar wajahnya, ia dapati Dinda disana, yang berdiri memperhatikannya dengan pandangan megintimidasi. "Dinda.""Kasihan ya kamu, hanya untuk emnyiram bunga saja kamu harus terduduk seperti ini," ucap Dinda yang mengarah pada penghinaan."Apa maksudmu?"Tak langsung menjawab, Dinda yang kini terkekeh dan memutar tubuhnya, membelakangi Ginda hingga membuat pandangan Ginda menatap tubuh bagian belakang Dinda. "Ginda, Ginda. Apa kamu ngga sadar apa yang terjadi sama kamu saat ini adalah balasan buat kamu. Selama ini kamu bahagia, sedangkan aku menderita. Selama ini kamu hidup enak dan aku hidup susah. Dan sekarang kamu dapat balasannya, kamu lumpuh dan kamu... Man