"Mar, antar aku ketemu Teddy ya, ada perlu mendadak," pinta Ginda yang membuat Damar seketika beranjak.
"Siap, mba!"Kini Ginda pun melangkah lebih dulu yang kemudian didahului oleh Damar karena hendak membukakan pintu mobilnya."Silahkan, mba.""Terimakasih."Setelah kini keduanya telah berada didalam mobil, Damar pun hendak melaju namun seketika Ginda menghentikan geraknya."Mar, tunggu sebentar. Ada yang tertinggal didalam," ucap Ginda yang kemudian meletakan tas serta ponsel dalam gengamannya dan lalu keluar kembali dari dalam mobil.Ginda pun berlalu memasuki rumah, tak lama kemudian, sebuah ponsel milik Ginda tiba tiba menyala menanda sebuah notifikasi masuk.Namun yang membuat Damar tak berkedip adalah sebuah gambar yang menjadi wallpaper ponsel Ginda.Gambar Ginda bersama seorang laki laki yang berwajah mirip dengan Damar. Menghadirkan sebuah tanya dalam hati Damar."Jadi itu suaDi sebuah rumah yang tenang, hanya terdengar suara langkah kaki Damar yang keluar dari kamarnya. Langkah kebutnya seketika berhenti, kala matanya tertuju pada sebuah foto pernikahan yang menghiasi dinding rumah. Damar memperhatikan foto itu dengan tatapan kosong, seolah sedang berusaha mengingat sesuatu. "Foto ini?" gumam Damar, matanya masih menatap foto itu, mencoba mencari ingatan yang kabur di benaknya. Beberapa saat berlalu, Damar masih terpaku. Tiba-tiba, rasa sakit menusuk pelipisnya. "Aaaghh," teriak Damar, kedua tangannya meremas kepalanya. Rasa sakit itu membuat ingatan yang baru saja muncul kembali menghilang. Ginda dan Sukma yang mendengar teriakan Damar langsung berlari mendekat. "Damar ada apa, kamu kenapa?" tanya Ginda, wajahnya penuh kekhawatiran. "Kepala saya sakit, Mbak," jawab Damar, masih meremas kepalanya. "Sakit? Apa yang kamu lihat?" tanya Ginda, mencoba memahami apa yang terjadi. "Saya melihat itu,"
"Damar, kamu kenapa?" tanya Ginda sekali lagi. Dengan terus memperhatikan Damar yang tak kunjung menjawab pertanyaannya. "Aku ngerasa ada sesuatu yang aku ingat," jawab Damar yang membuat Ginda melebarkan mata. Banyak sekali keajaiban yang Ginda harapkan, keajaiban yang membawa Damar dalam ingatan masa lalunya. Dan ucapan Damar saat ini membuat Ginda merasa bahagia. Dalam momen yang penuh ketegangan antara Damar dan Ginda, pertanyaan Ginda yang terus mengalir mencoba menuntun Damar ke dalam lorong ingatan yang terkunci. Damar, yang merasakan getaran emosi yang tak terlukiskan, mencoba keras untuk mengingat apa yang tersemat dalam memori terdalamnya. "Apa yang kamu ingat?"Belum langsung menjawab, Damar yang lebih dulu terdiam kembali memperhatikan jam tangan dihadapannya tersebut. "Aku seperti tau tentang jam tangan itu, tapi aku ngga inget jelas," jawab Damar dengan suara ragu, menyiratkan keraguan yang menyelimut
Hari-hari berlalu begitu cepat bagi Damar, yang tetap setia dengan pekerjaannya sebagai sopir pribadi Ginda. Meskipun hanya sebagai sopir, dia menjalankan tugasnya dengan penuh dedikasi, siap mengantarkan Ginda ke mana pun dia pergi.Di sisi lain, Ginda, yang masih merindukan Marvin, suaminya yang hilang, terus berharap bahwa Damar adalah Marvin yang dicarinya.Sepanjang perjalanan, Ginda tak bisa melepaskan pandangannya dari wajah Damar yang sedang serius mengemudi. Setiap detailnya, setiap ekspresi, semuanya mengingatkannya pada Marvin, suaminya yang hilang. Namun, meskipun harapannya berkobar, Damar belum juga mengingat siapa dirinya sebenarnya.Dalam keheningan, Damar merasa sepasang mata memperhatikannya dengan intens. Ia menoleh dan menemukan Ginda, sang majikan, yang masih terdiam dengan pandangannya yang penuh harap. Pandangan itu membuat Damar gugup. Meskipun mencoba untuk mengalihkan perhatiannya, Ginda tetap memperhatikannya
Masih belum menjawab, tampaknya Damar seperti seseorang yang selamat dari maut, ia bersyukur dan berterimakasih karena telah diberi kesempatan hidup. Setelah menyeka air matanya kini Damar pun membuka mulutnya, namun ucapan yang terlontar membuat Sukma terkejut. "Ibu."Begitu Damar memanggil Sukma, membut Sukma terbelalak dan tak berkedip memperhatikannya. "Ibu. Ini aku Marvin. Aku udah inget semuanya sekarang, Bu," tambah Damar yang membuat Sukma seketika meneteskan air mata. Ternyata harapannya selama ini benar, jika Damar adalah Marvin, anaknya. "Marvin, kamu udah inget sama Ibu, nak?" tanya Sukma dengan suara bergetar. "Iya udah, Bu. Aku inget sama Ibu."Tak menunggu lama, kini Sukma pun mendekat dan merengkuh tubuh sang anak dengan erat. Betapa bahagia hatinya, mendapat hikmah dari sebuah kecelakaan yang terjadi. Cukup lama larut dalam pelukan rindu anak dan sang Ibu. Kini mereka pun saling
Namun, Ekspresi wajah Ginda seketika berubah kala ia hendak beranjak. Ia merasakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang tidak biasa. Kaki kanannya terasa berat, seolah ada sesuatu yang menahannya. Ia menunduk, melihat ke arah kakinya, mencoba memahami apa yang sedang terjadi."Kenapa, Nda?" tanya Marvin yang memperhatikan aneh pada Ginda. "Mas, kakiku kenapa? kenapa ngga bisa digerakin?" ucap Ginda yang membuat Marvin dan Sukma melebarkan mata. Kembali Ginda mencoba menggerakkan kakinya, namun hasilnya tetap sama ia tak dapat merasakan apa pun, kakinya seperti mati rasa. "Mas, kakiku ngga bisa digerakin, Mas," tambah Ginda mulai panik. Melihat itu dengan cepat Marvin pun memanggil dokter untuk memeriksa apa yang terjadi pada kaki Sang istri? Tak lama kemudian, kembali seorang dokter memaskui ruangan, mencoba memeriksa Ginda seperti apa yang diminta Marvin. Setelah cukup lama memperhatikan kakinya, dokter laki laki itu pun mengdon
"Bagaimana mau mengurus anak, kalau mengurus diri sendiri saja dia ngga bisa."Tiba tiba terdengar suara itu dari seorang wanita yang kini muncul di hadapan Ginda, Marvin, Sukma dan Inggit. Dinda rupanya, yang kedatangannya membuat semua mata terbelalak.Suara tajamnya memecah keheningan ruangan, membuat semua mata terbelalak dan perhatian tertuju padanya. "Dinda, apa maksudmu?" tegur Ginda dengan pandangan serius, mencoba memahami alasan di balik kata-kata tajam yang baru saja dilontarkan. "Apa aku salah ngomong? kayanya ngga deh. Aku bilang kalau kamu hamil nanti, apa kamu bakal bisa ngurus anak? Sementara buat ngurus diri kamu sendiri aja kayanya ngga akan bisa, kalau kamu lumpuh seperti ini," ucap Dinda dengan tegas, suaranya terdengar jelas ditelinga. Ginda terdiam sejenak, terkejut dengan keberanian Dinda dalam mengungkapkan pikirannya. Marvin, Sukma, bahkan Inggit yang juga terlihat tercengang dengan pernyataan tajam tersebut.
Kala Sukma yang masih bingung sikap Ginda, kini Marvin pun berjalan keluar dari dalam ruang kamarnya, membuat pandangan Sukma seketika menoleh dan dengan cepat menghampiri sang anak, untuk menanyakan apa yang sedang terjadi. "Kalian lagi ada masalah? ada apa sama Ginda?" tanya Sukma yang memperhatikan aajah Marvin dengan seksama. Gak langsung menjawab sejenak Marvin terdiam, sebelum akhirnya melangkah terduduk disofa ruang tengahnya, lebih dulu menghela nafas berat dan berkata, "Ucapanku ternyata buat dia tersinggung, Bu.""Ucapan Apa, Vin?""Aku ajak dia pergi kedokter, agar kita tau apa alasannya kita belum juga punya anak, tapi ternyata dia malah marah, dia anggap aku meragukan dia."Penjelasan itu membuat Sukma terdiam, dan memalingkan pandangannya. Ekspresi wajahnya tampak berubah setelah mendengar ucapan yang baru saja Marvin lontarkan. Entah apa yang ada dalam pikiran Sukma saat ini, atau jangan jangan justru Sukma lah
Keesokan harinya, Ginda yang terduduk di kursi roda, dengan gerak tangan yang terus menyiram bunga, ia menyiram bunga dengan wajah ceria. Namun wajah cerianya seketika menghilang kala sebuah suara datang menyapanya. "Ekhemm."Deheman itu membuat Ginda seketika memutar wajahnya, ia dapati Dinda disana, yang berdiri memperhatikannya dengan pandangan megintimidasi. "Dinda.""Kasihan ya kamu, hanya untuk emnyiram bunga saja kamu harus terduduk seperti ini," ucap Dinda yang mengarah pada penghinaan."Apa maksudmu?"Tak langsung menjawab, Dinda yang kini terkekeh dan memutar tubuhnya, membelakangi Ginda hingga membuat pandangan Ginda menatap tubuh bagian belakang Dinda. "Ginda, Ginda. Apa kamu ngga sadar apa yang terjadi sama kamu saat ini adalah balasan buat kamu. Selama ini kamu bahagia, sedangkan aku menderita. Selama ini kamu hidup enak dan aku hidup susah. Dan sekarang kamu dapat balasannya, kamu lumpuh dan kamu... Man