Teddy, dengan nada suara yang penuh kekhawatiran, mencoba menenangkan Ginda. "Ginda, sudahlah. Biarkan laki-laki itu pergi. Dia bukan Marvin. Dia Damar, seperti yang dia bilang tadi."
Namun, Ginda tetap pada pendiriannya. Ia yakin bahwa Damar adalah Marvin. "Tapi Teddy, aku yakin dia Mas Marvin. Hati kecilku berkata laki-laki itu Mas Marvin," ucap Ginda dengan penuh keyakinan.Ginda percaya bahwa hati nuraninya sebagai istri tidak akan mungkin salah. Ia merasa ada sesuatu yang menghubungkannya dengan Damar, sesuatu yang ia kenali sebagai cinta dan ikatan dengan suaminya, Marvin.Teddy hanya bisa menghela nafas panjang, merasa bingung dengan keyakinan Ginda. Namun, ia tahu bahwa tidak ada yang bisa mengubah pikiran Ginda saat ini. Teddy memutuskan untuk mendukung Ginda, berharap bahwa kebenaran akan segera terungkap.Teddy melihat Ginda dengan pandangan penuh kekhawatiran. Ia tahu betapa sulitnya bagi Ginda untuk melepaskan keyakinan bahwa DamarBeberapa hari kemudian.Suasana pagi yang biasanya tenang dan damai di rumah Sukma kini terasa berbeda. Ginda, yang biasanya santai dan tenang, namun tidak untuk hari ini. Ia keluar dari rumah dengan tas jinjing di tangannya, langkahnya cepat dan tergesa-gesa, seolah-olah ada sesuatu yang sangat penting menunggunya. Sukma, yang sedang menikmati secangkir teh di teras rumah, terkejut melihat tingkah laku Ginda. Ia tak berkedip, memperhatikan Ginda yang tampak terburu-buru. Rasa penasaran pun mulai menghantui pikirannya. "Ginda kenapa? dia mau kemana? apa yang hendak dilakukan Ginda? Kenapa sepertinya terburu-buru?" pikir Sukma. "Ginda," panggil Sukma yang membuat langkah kebut Ginda seketika terhenti. Ginda menoleh pada wajah Sukma yang berekspresi seakan bertanya. "Iya, Bu.""Kamu mau kemana, Nda? kenapa buru buru gitu?" tanya Sukma memperhatikan wajah Ginda dengan seksama. "Aku mau ke desa, Bu. Mau ketemu
Keesokan harinya. Damar yang hendak merantau, kini ia telah menggenggam tas ranselnya dan berpamitan dengan Sri. Meski dengan berat hati namun Sri harus melepasnya. "Aku pamit, Sri. Doakan aku agar aku menjadi orang yang sukses," ucap Damar pada wanita yang kini matanya memerah. "Apa Mas Damar bakal lupain aku kalau Mas udah jadi orang kaya?" tanya Sri menatap Damar dengan penuh harap. "Tidak, Sri. Suatu saat nanti aku pasti akan kembali untukmu."Jawaban itu membuat Sri tersenyum, meski hatinya pahit kala setelah ini tidak ada lagi Damar disisinya namun ia merasa lega karena ucapan Damar barusan. Setelah cukup lama berpamitan, kini Damar pun melangkah pergi, lambaian tangan mengiringi kepergian laki laki berwajah Marvin tersebut. "Ati ati yo, Mas disana. Jaga kesehatan dan jangan lupa sholat," pekik Sri pada Damar yang kini semakin menjauh. Ucapan itu hanya membuat Damar tersenyum dan menganggukan kepala
"Yasudah maafkan aku kalau aku selalu menganggapmu Mas Marvin," ucap Ginda. Meskipun dalam hatinya ia bertekad untuk terus mencari kebenaran, ia memilih untuk berpura-pura mengalah demi menjaga hubungan yang baik dengan Damar. Dalam keadaan yang lebih rileks, Ginda bertanya pada Damar tentang keperluannya datang ke Jakarta."Ada keperluan apa kamu datang ke Jakarta?" "Aku ingin mencari pekerjaan mba. Aku ingin mengubah nasib, ya siapa tau disini aku punya rezeki yang lebih baik," jawab Damar yang membuat Ginda mengerutkan dahinya. "Pekerjaan, bagaimana kalau kamu bekerja di perusahaan ini?" ucap Ginda yang membuat pandangan Damar kini tertuju pada gedung bertinggakat dihadapannya. Damar terkejut mendengar tawaran tersebut. Ia merasa tidak pantas untuk bekerja di perusahaan tersebut. "Disini?""Ya, ini perusahaan suamiku, dan sekarang aku yang mengelola, kalau kamu mau kamu bisa langsung masuk kerja hari ini," ucap G
"Mar, antar aku ketemu Teddy ya, ada perlu mendadak," pinta Ginda yang membuat Damar seketika beranjak. "Siap, mba!"Kini Ginda pun melangkah lebih dulu yang kemudian didahului oleh Damar karena hendak membukakan pintu mobilnya. "Silahkan, mba.""Terimakasih."Setelah kini keduanya telah berada didalam mobil, Damar pun hendak melaju namun seketika Ginda menghentikan geraknya. "Mar, tunggu sebentar. Ada yang tertinggal didalam," ucap Ginda yang kemudian meletakan tas serta ponsel dalam gengamannya dan lalu keluar kembali dari dalam mobil. Ginda pun berlalu memasuki rumah, tak lama kemudian, sebuah ponsel milik Ginda tiba tiba menyala menanda sebuah notifikasi masuk. Namun yang membuat Damar tak berkedip adalah sebuah gambar yang menjadi wallpaper ponsel Ginda. Gambar Ginda bersama seorang laki laki yang berwajah mirip dengan Damar. Menghadirkan sebuah tanya dalam hati Damar. "Jadi itu sua
Di sebuah rumah yang tenang, hanya terdengar suara langkah kaki Damar yang keluar dari kamarnya. Langkah kebutnya seketika berhenti, kala matanya tertuju pada sebuah foto pernikahan yang menghiasi dinding rumah. Damar memperhatikan foto itu dengan tatapan kosong, seolah sedang berusaha mengingat sesuatu. "Foto ini?" gumam Damar, matanya masih menatap foto itu, mencoba mencari ingatan yang kabur di benaknya. Beberapa saat berlalu, Damar masih terpaku. Tiba-tiba, rasa sakit menusuk pelipisnya. "Aaaghh," teriak Damar, kedua tangannya meremas kepalanya. Rasa sakit itu membuat ingatan yang baru saja muncul kembali menghilang. Ginda dan Sukma yang mendengar teriakan Damar langsung berlari mendekat. "Damar ada apa, kamu kenapa?" tanya Ginda, wajahnya penuh kekhawatiran. "Kepala saya sakit, Mbak," jawab Damar, masih meremas kepalanya. "Sakit? Apa yang kamu lihat?" tanya Ginda, mencoba memahami apa yang terjadi. "Saya melihat itu,"
"Damar, kamu kenapa?" tanya Ginda sekali lagi. Dengan terus memperhatikan Damar yang tak kunjung menjawab pertanyaannya. "Aku ngerasa ada sesuatu yang aku ingat," jawab Damar yang membuat Ginda melebarkan mata. Banyak sekali keajaiban yang Ginda harapkan, keajaiban yang membawa Damar dalam ingatan masa lalunya. Dan ucapan Damar saat ini membuat Ginda merasa bahagia. Dalam momen yang penuh ketegangan antara Damar dan Ginda, pertanyaan Ginda yang terus mengalir mencoba menuntun Damar ke dalam lorong ingatan yang terkunci. Damar, yang merasakan getaran emosi yang tak terlukiskan, mencoba keras untuk mengingat apa yang tersemat dalam memori terdalamnya. "Apa yang kamu ingat?"Belum langsung menjawab, Damar yang lebih dulu terdiam kembali memperhatikan jam tangan dihadapannya tersebut. "Aku seperti tau tentang jam tangan itu, tapi aku ngga inget jelas," jawab Damar dengan suara ragu, menyiratkan keraguan yang menyelimut
Hari-hari berlalu begitu cepat bagi Damar, yang tetap setia dengan pekerjaannya sebagai sopir pribadi Ginda. Meskipun hanya sebagai sopir, dia menjalankan tugasnya dengan penuh dedikasi, siap mengantarkan Ginda ke mana pun dia pergi.Di sisi lain, Ginda, yang masih merindukan Marvin, suaminya yang hilang, terus berharap bahwa Damar adalah Marvin yang dicarinya.Sepanjang perjalanan, Ginda tak bisa melepaskan pandangannya dari wajah Damar yang sedang serius mengemudi. Setiap detailnya, setiap ekspresi, semuanya mengingatkannya pada Marvin, suaminya yang hilang. Namun, meskipun harapannya berkobar, Damar belum juga mengingat siapa dirinya sebenarnya.Dalam keheningan, Damar merasa sepasang mata memperhatikannya dengan intens. Ia menoleh dan menemukan Ginda, sang majikan, yang masih terdiam dengan pandangannya yang penuh harap. Pandangan itu membuat Damar gugup. Meskipun mencoba untuk mengalihkan perhatiannya, Ginda tetap memperhatikannya
Masih belum menjawab, tampaknya Damar seperti seseorang yang selamat dari maut, ia bersyukur dan berterimakasih karena telah diberi kesempatan hidup. Setelah menyeka air matanya kini Damar pun membuka mulutnya, namun ucapan yang terlontar membuat Sukma terkejut. "Ibu."Begitu Damar memanggil Sukma, membut Sukma terbelalak dan tak berkedip memperhatikannya. "Ibu. Ini aku Marvin. Aku udah inget semuanya sekarang, Bu," tambah Damar yang membuat Sukma seketika meneteskan air mata. Ternyata harapannya selama ini benar, jika Damar adalah Marvin, anaknya. "Marvin, kamu udah inget sama Ibu, nak?" tanya Sukma dengan suara bergetar. "Iya udah, Bu. Aku inget sama Ibu."Tak menunggu lama, kini Sukma pun mendekat dan merengkuh tubuh sang anak dengan erat. Betapa bahagia hatinya, mendapat hikmah dari sebuah kecelakaan yang terjadi. Cukup lama larut dalam pelukan rindu anak dan sang Ibu. Kini mereka pun saling