Hari demi hari berlalu, seperti ombak yang tak henti-hentinya menghempas pantai. Ginda, seorang wanita berhati lembut, menatap jendela kamarnya yang menghadap ke jalan raya.
Matanya yang semula berbinar, kini tampak sayu. Ia merindukan Marvin, suaminya yang juga belum ditemukan pasca kecelakaan yang telah terjadi."Mas Marvin, sudah lima bulan kamu pergi, kamu kemana Mas? kenapa belum juga kembali? " gumam Ginda sambil memegang foto mereka berdua."Aku masih menunggumu disini, Mas. Ibu dan Inggit juga masih menunggumu, meskipun tak ada kabar darimu, aku selalu berharap agar kamu segera kembali."Dalam diam, Ginda berbicara pada Marvin yang tak ada di sana. Dia merindukan suara Marvin, senyumnya, dan kehangatan pelukannya. Setiap hari adalah penantian, dan setiap malam adalah harapan bahwa esok hari Marvin akan kembali."Apa kamu tahu, Mas?" Ginda berbicara pada foto Marvin, "Aku merindukanmu. Aku merindukan kita. Aku merindukan segalSementara, disebuah pelosok desa. Seorang laki yang berwajah mirip seperti Marvin Marcello, namun penampilannya sangat berubah, pakaiannya sangat sederhana dan tinggal di sebuah rumah kecil berdinding papan. Langkah laki laki tersebut keluar dari dalam rumahnya hendak pergi ke suatu tempat untuk bekerja. Ia memakai topi yang terbuat dari bambu dan membawa sebuah cangkul yang berjalan menuju sebuah persawahan.Namun langkahnya terhenti kala seorang wanita memanggilnya. "Mas Damar," pekik wanita berkepang dia itu yang membuat laki laki berwajah wajah Marvin seketika menoleh. "Dik Sri, ada apa?""Mas Damar, mau ke sawah? aku ikut yo, Mas. Biar aku bisa bantuin," ucap wanita bernama Sri itu dengan logat Jawa. "Loh, ngga usah. Aku bisa sendiri kok, nanti kamu malah capek lagi.""Ndak to, Mas. Justru aku takut Mas yang kecapean. Mas kan baru sembuh, ndak boleh terlalu mempeng. yowes yowes ndak usah bany
"Mas Marvin, ternyata bener feeling ku kalau Mas masih hidup, Mas kenapa ngga pulang, Mas? aku kangen, aku mau sekarang kamu pulang, Mas," cerocos Ginda seraya menggoyang goyangkan lengan kekar laki laki berwajah mirip Marvin tersebut. Melihat itu membuat Sri dan Damar sendiri berekspresi bingung, ia tak mengerti dengan apa yang diucapkan wanita berpenampilan elegan ini? Ginda, dengan ekspresi kegirangan, berbicara dengan semangat kepada seorang pria berwajah mirip Marvin. ia terus menggenggam tangan Damar dan menggoyang-goyangkan lengan kekar pria tersebut, seraya mengatakan betapa dia merindukannya. Melihat adegan ini, Sri dan Damar sendiri pun kebingungan. Mereka tidak mengerti apa yang sedang terjadi dan apa yang sedang Ginda bicarakan. Wanita elegan ini tampak berbicara dengan semangat, tetapi kata-katanya terasa asing bagi mereka. "Mas, kamu harus pulang hari ini. Ibu menunggu kamu, dia juga merindukanmu, Mas. Dia mau kamu kembali keruma
Teddy, dengan nada suara yang penuh kekhawatiran, mencoba menenangkan Ginda. "Ginda, sudahlah. Biarkan laki-laki itu pergi. Dia bukan Marvin. Dia Damar, seperti yang dia bilang tadi." Namun, Ginda tetap pada pendiriannya. Ia yakin bahwa Damar adalah Marvin. "Tapi Teddy, aku yakin dia Mas Marvin. Hati kecilku berkata laki-laki itu Mas Marvin," ucap Ginda dengan penuh keyakinan. Ginda percaya bahwa hati nuraninya sebagai istri tidak akan mungkin salah. Ia merasa ada sesuatu yang menghubungkannya dengan Damar, sesuatu yang ia kenali sebagai cinta dan ikatan dengan suaminya, Marvin. Teddy hanya bisa menghela nafas panjang, merasa bingung dengan keyakinan Ginda. Namun, ia tahu bahwa tidak ada yang bisa mengubah pikiran Ginda saat ini. Teddy memutuskan untuk mendukung Ginda, berharap bahwa kebenaran akan segera terungkap.Teddy melihat Ginda dengan pandangan penuh kekhawatiran. Ia tahu betapa sulitnya bagi Ginda untuk melepaskan keyakinan bahwa Damar
Beberapa hari kemudian.Suasana pagi yang biasanya tenang dan damai di rumah Sukma kini terasa berbeda. Ginda, yang biasanya santai dan tenang, namun tidak untuk hari ini. Ia keluar dari rumah dengan tas jinjing di tangannya, langkahnya cepat dan tergesa-gesa, seolah-olah ada sesuatu yang sangat penting menunggunya. Sukma, yang sedang menikmati secangkir teh di teras rumah, terkejut melihat tingkah laku Ginda. Ia tak berkedip, memperhatikan Ginda yang tampak terburu-buru. Rasa penasaran pun mulai menghantui pikirannya. "Ginda kenapa? dia mau kemana? apa yang hendak dilakukan Ginda? Kenapa sepertinya terburu-buru?" pikir Sukma. "Ginda," panggil Sukma yang membuat langkah kebut Ginda seketika terhenti. Ginda menoleh pada wajah Sukma yang berekspresi seakan bertanya. "Iya, Bu.""Kamu mau kemana, Nda? kenapa buru buru gitu?" tanya Sukma memperhatikan wajah Ginda dengan seksama. "Aku mau ke desa, Bu. Mau ketemu
Keesokan harinya. Damar yang hendak merantau, kini ia telah menggenggam tas ranselnya dan berpamitan dengan Sri. Meski dengan berat hati namun Sri harus melepasnya. "Aku pamit, Sri. Doakan aku agar aku menjadi orang yang sukses," ucap Damar pada wanita yang kini matanya memerah. "Apa Mas Damar bakal lupain aku kalau Mas udah jadi orang kaya?" tanya Sri menatap Damar dengan penuh harap. "Tidak, Sri. Suatu saat nanti aku pasti akan kembali untukmu."Jawaban itu membuat Sri tersenyum, meski hatinya pahit kala setelah ini tidak ada lagi Damar disisinya namun ia merasa lega karena ucapan Damar barusan. Setelah cukup lama berpamitan, kini Damar pun melangkah pergi, lambaian tangan mengiringi kepergian laki laki berwajah Marvin tersebut. "Ati ati yo, Mas disana. Jaga kesehatan dan jangan lupa sholat," pekik Sri pada Damar yang kini semakin menjauh. Ucapan itu hanya membuat Damar tersenyum dan menganggukan kepala
"Yasudah maafkan aku kalau aku selalu menganggapmu Mas Marvin," ucap Ginda. Meskipun dalam hatinya ia bertekad untuk terus mencari kebenaran, ia memilih untuk berpura-pura mengalah demi menjaga hubungan yang baik dengan Damar. Dalam keadaan yang lebih rileks, Ginda bertanya pada Damar tentang keperluannya datang ke Jakarta."Ada keperluan apa kamu datang ke Jakarta?" "Aku ingin mencari pekerjaan mba. Aku ingin mengubah nasib, ya siapa tau disini aku punya rezeki yang lebih baik," jawab Damar yang membuat Ginda mengerutkan dahinya. "Pekerjaan, bagaimana kalau kamu bekerja di perusahaan ini?" ucap Ginda yang membuat pandangan Damar kini tertuju pada gedung bertinggakat dihadapannya. Damar terkejut mendengar tawaran tersebut. Ia merasa tidak pantas untuk bekerja di perusahaan tersebut. "Disini?""Ya, ini perusahaan suamiku, dan sekarang aku yang mengelola, kalau kamu mau kamu bisa langsung masuk kerja hari ini," ucap G
"Mar, antar aku ketemu Teddy ya, ada perlu mendadak," pinta Ginda yang membuat Damar seketika beranjak. "Siap, mba!"Kini Ginda pun melangkah lebih dulu yang kemudian didahului oleh Damar karena hendak membukakan pintu mobilnya. "Silahkan, mba.""Terimakasih."Setelah kini keduanya telah berada didalam mobil, Damar pun hendak melaju namun seketika Ginda menghentikan geraknya. "Mar, tunggu sebentar. Ada yang tertinggal didalam," ucap Ginda yang kemudian meletakan tas serta ponsel dalam gengamannya dan lalu keluar kembali dari dalam mobil. Ginda pun berlalu memasuki rumah, tak lama kemudian, sebuah ponsel milik Ginda tiba tiba menyala menanda sebuah notifikasi masuk. Namun yang membuat Damar tak berkedip adalah sebuah gambar yang menjadi wallpaper ponsel Ginda. Gambar Ginda bersama seorang laki laki yang berwajah mirip dengan Damar. Menghadirkan sebuah tanya dalam hati Damar. "Jadi itu sua
Di sebuah rumah yang tenang, hanya terdengar suara langkah kaki Damar yang keluar dari kamarnya. Langkah kebutnya seketika berhenti, kala matanya tertuju pada sebuah foto pernikahan yang menghiasi dinding rumah. Damar memperhatikan foto itu dengan tatapan kosong, seolah sedang berusaha mengingat sesuatu. "Foto ini?" gumam Damar, matanya masih menatap foto itu, mencoba mencari ingatan yang kabur di benaknya. Beberapa saat berlalu, Damar masih terpaku. Tiba-tiba, rasa sakit menusuk pelipisnya. "Aaaghh," teriak Damar, kedua tangannya meremas kepalanya. Rasa sakit itu membuat ingatan yang baru saja muncul kembali menghilang. Ginda dan Sukma yang mendengar teriakan Damar langsung berlari mendekat. "Damar ada apa, kamu kenapa?" tanya Ginda, wajahnya penuh kekhawatiran. "Kepala saya sakit, Mbak," jawab Damar, masih meremas kepalanya. "Sakit? Apa yang kamu lihat?" tanya Ginda, mencoba memahami apa yang terjadi. "Saya melihat itu,"