"Aduh, kak! Kau mau membawaku kemana?" Sean menggandeng tangan Natasya dan membawanya ke ruang kerja.
"Kamu lihat? Berangkasku sudah terbuka!""Iya tapi aku tidak tau!"Tanpa basa basi Sean membuka laptopnya pada rekaman CCTV dan memperlihatkan seseorang masuk mengenakan jaket hitam dan memakai penutup kepalanya."Lihat! Siapa lagi kalau bukan kau yang masuk!""Tapi itu bukan aku, Kak!" Masih saya Natasya mengelak yang membuat Sean mengangguk heran. Tapi dia tidak kehilangan akal untuk mengungkap kalau Natasya lah yang bener-benar mencuri."Oh, ok!""Kak, kau mau kemana?""Kakak!" Gadis itu mengejar Sean yang berjalan cepat menuju kamarnya, dia menyalip dan menghalangi di ambang pintu mencegah Sean untuk masuk."Mau apa kau ke kamarku?""Kalau kau tidak bersalah, untuk apa kau takut? Minggir!" Hanya dengan satu gerakan tubuh mungil itu berhasil menyingkir dari pintu. Sean masuk dan mencari buGadis itu menunduk sambil menangis tak bisa menjawab pertanyaan Sean karena Natasya sadar dia bersalah. Tak mau menambah beban pikiran adik sepupunya maka Sean memutuskan untuk diam dan berhenti menanyakan tentang dia.Sampai mereka turun dari mobil, tanpa bicara dengan kakaknya, Natasya berjalan cepat masuk ke dalam kamarnya. Perasaannya benar-benar hancur. Dia tengkurap sambil menangis sejadi-jadinya.Lelah membuat dia tanpa sadar memejamkan matanya sampai tertidur dalam tangis.* * *"Selamat pagi, Nona.""Kamu, untuk apa kamu datang ke sini?" tanya Naura yang baru saja keluar dari rumahnya dan mendapati Jhoni yang sudah menunggu di luar."Untuk mengantar Nona Naura ke tempat tujuan.""Nggak perlu! Dia pasti yang menyuruh kamu kan?" Jhoni terdiam."Bilang padanya, aku bisa pergi sendiri, jadi kamu tidak perlu mengikuti aku!""Tapi nyawa Nona sedang dalam bahaya.""Maksud kamu?" Naura masih b
"Astaghfirullah, hal adzim, Sya. Buka pintunya."Tak ada cara lain selain mendobrak pintu tersebut. "Oh, shit! Kau minggir." Sean mengambil ancang-ancang saat Naura menjauh dari pintu itu."Hiiiaaattt!"Brak!Kokohnya pintu tersebut membuat Sean gagal untuk yang pertama kali. Dia terhuyung sambil memegangi lengan tangannya yang sakit.Naura meringis seolah merasakan rasa sakit itu. "Kak!" Sean mengangkat tangannya seolah mengatakan dia tidak baik-baik saja.Kedua kalinya Sean mencoba sambil mengatur nafasnya dan fokus. "Hiiiaaatt!"Brak!Grompang!"Ya Allah, Natasya!" Gadis itu terlihat duduk sambil memeluk lututnya sendiri, penampilannya yang mulai urakan dengan pelipis mata yang mulai menghitam, Naura menghampiri temannya."Astagfirullah hal adzim! Kenapa seperti ini! Kamu kenapa?" Naura berusaha memeluk Natasya tapi dia menepis sambil menangis."Pergi kau! Brengsek! Aarrgghh!"
"Aku pulang dulu yah, kamu baik-baik. Ingat, kamu nggak sendiri, masih banyak orang yang sayang sama kamu," ucap Naura setelah berhasil membuat Natasya bangkit kembali. Walau belum sepenuh jiwa Natasya kembali tapi setidaknya dia lega temannya itu mau mendengarkannya. "Terima kasih, Nau. Kau mau mendengarkan keluh kesahku.""Iya, sama-sama. Aku pulang yah."Baru saja sampai di depan rumah, Naura berpapasan dengan Sean yang baru pulang dari markas, mereka berdua berhenti sejenak dengan perasaan kikuk.Sean bertanya. "Kau mau kemana?""Pulang," jawab Naura ketus."Biar aku antar kau pulang.""Tidak perlu! Aku bisa pulang sendiri." Wanita itu bersungut-sungut pergi dari hadapan Sean.Tak mungkin membiarkan si gadis pulang sendirian, Sean mengambil mobilnya dan mengejar, karena dia tau di waktu seperti ini tidak mudah untuk mencari taksi.Bib!Bib!"Berhenti!" Tapi Naura cuma me
"Pagi, Kak.""Hem, pagi," jawab Sean sambil mengoles selai coklat di rotinya. Begitu dia hampir menggigit roti tersebut, Sean terpana melihat penampilan Natasya yang berubah.Gadis berambut pirang ini memakai hijab walau dandanannya belum terlalu sempurna. "Tasya, apa yang kau lakukan?" Sean seketika bangun dari duduknya terkejut."Aku mau seperti Naura, Kak. Dengan penampilanku yang seperti ini jiwaku jauh lebih tenang." Memang sudah lama Natasya tertarik dengan penampilan Naura, dari semenjak dia memberikan baju untuk gadis itu, sebenarnya Natasya beli untuk dirinya sendiri.Namun dirasa belum cocok, dia memberikannya pada Naura."Iya tapi ..." Sungguh tidak Sean sangka kalau si gadis bercadar sangat mempengaruhi sepupunya.Natasya tau kalau apa yang dilakukannya saat ini akan menuai pro dan kontra dalam keluarganya yang berbeda agama. Tapi dia sudah memikirkannya secara matang-matang."Aku tau itu, Kak. Tapi keputusan
"Ke mana sih, kenapa Adnan belum juga datang," ucap Naura sesekali melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya, sebal menunggu sang tunangan yang tak kunjung datang. Padahal Adnan sendiri yang meminta dia untuk ketemuan di sebuah cafe. Tapi lama menunggu pemuda tampan itu tak kunjung menampakan batang hidungnya. "Kalau tau gini aku juga nggak mau datang! Percuma kan, cuma buang-buang waktu. Aku juga jadi terlambat berangkat ke kampus!" Dengan kesal Naura beranjak dari tempat duduknya untuk pergi. Namun sial. Dirinya yang berjalan tanpa memandang ke depan tak sengaja menabrak seseorang bertubuh besar yang membuat dia sedikit terpental ke belakang. "Eh, aduh!" Pria berusia sekitar 30 tahun itu tak juga melepas ponsel di telinganya sambil menelepon seseorang dan itu membuat Naura semakin kesal. "Astagfirullah! Pelan-pelan bisa nggak kalau jalan?" Tapi pria itu tak perduli dengan ucapan itu, dia terus saja berjalan ke depan. Merasa tidak dihiraukan, Naura kembali meng
"Sial! Apa itu bujang lapuk. Kalau semuanya sudah bisa aku dapatkan, untuk apa aku menikah!" "Wanita hanya bisa membuatku pusing. Lebih baik aku beli setelah itu aku bisa membuangnya!" Tapi perasaannya tak bisa dibohongi, semakin di mengelak semakin yakin kalau Sean memang jatuh cinta pada Naura. Dia memikirkan sesuatu. "Aku harus mencari sesuatu." Pria gagah itu mengendap-endap masuk ke dalam kamar Natasya dan mencari petunjuk yang mengarah pada gadis itu. Sean membuka lemari bufet dan menemukan sebuah foto terselip di tengah lembaran buku tebal perlahan dia mengambilnya. Ditatap lah wajah cantik yang hanya terlihat matanya saja. Manik mata coklat dengan bulu mata lentik membuat dia tanpa sadar tersenyum pada foto itu. Suara bising Natasya yang semakin mendekat membuat dia segera menyimpan foto tersebut di balik saku jasnya. Guprak! "Na_Natasya!" "Kakak, sedang apa kau di sini?" Sean segera mencari alasan. "Em, aku ..., aku mencari changer hand phone apa kau mel
"Mau apa juragan datang kemari?""Mana ayahmu? Ayahmu punya utang kepadaku. Bayar sekarang atau aku hancurkan rumah ini!"Naura bertanya-tanya dalam hati untuk apa ayahnya memiliki hutang pada juragan Sastra. Juragan yang tamak dan kerap menikah dengan beberapa wanita.Usai mengatakan itu juragan Sastra seolah menemukan berlian. Memandang Naura dengan tatapan nakal, dia semakin mendekat. "Oh, sepertinya aku tau. Kamu lebih menarik untuk dijadikan jaminan hutang ayahmu.""Jangan ganggu dia!" Adnan seketika merentangkan kedua tangannya di depan Naura mencegah agar juragan Sastra berhenti melangkah. "Siapa kamu? Minggir! Aku nggak punya urusan denganmu!"Tiba-tiba saja bu Ningrum keluar dari rumahnya. Wanita tua itu berlari dan menghentikan posisi Adnan di depan putrinya. "Jangan, Juragan. Saya mohon jangan sakiti putri saya." Juragan Sastra memicingkan matanya."Tolong beri kami sedikit waktu. Kami pasti bisa melunasi semua hutang itu, Juragan."Juragan Sastra tersenyum miring. "Bayar?
Bertepatan Naura menutup teleponnya, dari arah seberang Sean mengangkat. "Nggak, rasanya kurang sopan jika aku bicara dengan Natasya lewat telepon. Lebih baik aku bicara langsung dengannya."Bunyi tut tut yang menandakan panggilan itu terputus membuat Sean mengerutkan alisnya. Hampir saja dia mendengar suara jernih dari si gadis bercadar tapi ternyata panggilan itu telah berakhir. Naura bergegas ke kampus dan menemui Natasya yang kini tengah makan di kantin, gadis berambut pirang itu dengan lahapnya makan sambil mengangkat satu kakinya ke kursi. "Hem, Nau. kau baru datang?" Naura mengangguk lesu. "Kau kenapa? Sepertinya ada yang sedang kau pikirkan?" "Sya. Aku mau ngomong sesuatu sama kamu." "Mau ngomong apa? Ngomong aja." Tapi Naura ragu untuk bicara, dia justru terdiam walau Naura sendiri yakin kalau Natasya pasti bisa membantunya. "Hei kenapa kau diam! Apa yang mau kamu katakan?" "Aku ..., em aku ..." "Iya, aku?" Ucapan Naura yang tak kunjung usai membuat Natasya semakin