Ingin rasanya Sean menjauhi Naura demi keselamatannya karena saat ini nyawanya akan terancam kalau saja tuan Gultaf tau kalau dialah wanita yang Sean suka. Tapi perasaannya tak bisa dibohongi.
Semakin dia berusaha menjauh, hatinya gelisah tak tentu arah. Bahkan perasaannya ingin melindungi wanita itu dari marabahaya."Tidak, aku tidak bisa seperti ini! Aku tak bisa jauh darinya." Sean bergegas menaiki mobil menuju kampus untuk memastikan Naura baik-baik saja, karena bukan hal yang sulit untuk tuan Gultaf mencari sebuah informasi.Natasya yang baru keluar dari kampus memutar bola matanya malas saat melihat mobil Sean yang sudah berhenti di area parkiran. Dia mengira kalau sepupunya itu datang menghampirinya."Mau apa kau datang kemari?""Aku tidak ada urusan denganmu?" Jawaban Sean membuat Natasya melongo. Lirikan matanya menunjuk pada Naura yang kini berdiri di samping Natasya.Sean berdiri di depan Naura. Perlahan Naura mendong"Aduh, kak! Kau mau membawaku kemana?" Sean menggandeng tangan Natasya dan membawanya ke ruang kerja."Kamu lihat? Berangkasku sudah terbuka!""Iya tapi aku tidak tau!"Tanpa basa basi Sean membuka laptopnya pada rekaman CCTV dan memperlihatkan seseorang masuk mengenakan jaket hitam dan memakai penutup kepalanya."Lihat! Siapa lagi kalau bukan kau yang masuk!""Tapi itu bukan aku, Kak!" Masih saya Natasya mengelak yang membuat Sean mengangguk heran. Tapi dia tidak kehilangan akal untuk mengungkap kalau Natasya lah yang bener-benar mencuri."Oh, ok!""Kak, kau mau kemana?" "Kakak!" Gadis itu mengejar Sean yang berjalan cepat menuju kamarnya, dia menyalip dan menghalangi di ambang pintu mencegah Sean untuk masuk."Mau apa kau ke kamarku?""Kalau kau tidak bersalah, untuk apa kau takut? Minggir!" Hanya dengan satu gerakan tubuh mungil itu berhasil menyingkir dari pintu. Sean masuk dan mencari bu
Gadis itu menunduk sambil menangis tak bisa menjawab pertanyaan Sean karena Natasya sadar dia bersalah. Tak mau menambah beban pikiran adik sepupunya maka Sean memutuskan untuk diam dan berhenti menanyakan tentang dia.Sampai mereka turun dari mobil, tanpa bicara dengan kakaknya, Natasya berjalan cepat masuk ke dalam kamarnya. Perasaannya benar-benar hancur. Dia tengkurap sambil menangis sejadi-jadinya.Lelah membuat dia tanpa sadar memejamkan matanya sampai tertidur dalam tangis.* * *"Selamat pagi, Nona.""Kamu, untuk apa kamu datang ke sini?" tanya Naura yang baru saja keluar dari rumahnya dan mendapati Jhoni yang sudah menunggu di luar."Untuk mengantar Nona Naura ke tempat tujuan.""Nggak perlu! Dia pasti yang menyuruh kamu kan?" Jhoni terdiam."Bilang padanya, aku bisa pergi sendiri, jadi kamu tidak perlu mengikuti aku!""Tapi nyawa Nona sedang dalam bahaya.""Maksud kamu?" Naura masih b
"Astaghfirullah, hal adzim, Sya. Buka pintunya."Tak ada cara lain selain mendobrak pintu tersebut. "Oh, shit! Kau minggir." Sean mengambil ancang-ancang saat Naura menjauh dari pintu itu."Hiiiaaattt!"Brak!Kokohnya pintu tersebut membuat Sean gagal untuk yang pertama kali. Dia terhuyung sambil memegangi lengan tangannya yang sakit.Naura meringis seolah merasakan rasa sakit itu. "Kak!" Sean mengangkat tangannya seolah mengatakan dia tidak baik-baik saja.Kedua kalinya Sean mencoba sambil mengatur nafasnya dan fokus. "Hiiiaaatt!"Brak!Grompang!"Ya Allah, Natasya!" Gadis itu terlihat duduk sambil memeluk lututnya sendiri, penampilannya yang mulai urakan dengan pelipis mata yang mulai menghitam, Naura menghampiri temannya."Astagfirullah hal adzim! Kenapa seperti ini! Kamu kenapa?" Naura berusaha memeluk Natasya tapi dia menepis sambil menangis."Pergi kau! Brengsek! Aarrgghh!"
"Aku pulang dulu yah, kamu baik-baik. Ingat, kamu nggak sendiri, masih banyak orang yang sayang sama kamu," ucap Naura setelah berhasil membuat Natasya bangkit kembali. Walau belum sepenuh jiwa Natasya kembali tapi setidaknya dia lega temannya itu mau mendengarkannya. "Terima kasih, Nau. Kau mau mendengarkan keluh kesahku.""Iya, sama-sama. Aku pulang yah."Baru saja sampai di depan rumah, Naura berpapasan dengan Sean yang baru pulang dari markas, mereka berdua berhenti sejenak dengan perasaan kikuk.Sean bertanya. "Kau mau kemana?""Pulang," jawab Naura ketus."Biar aku antar kau pulang.""Tidak perlu! Aku bisa pulang sendiri." Wanita itu bersungut-sungut pergi dari hadapan Sean.Tak mungkin membiarkan si gadis pulang sendirian, Sean mengambil mobilnya dan mengejar, karena dia tau di waktu seperti ini tidak mudah untuk mencari taksi.Bib!Bib!"Berhenti!" Tapi Naura cuma me
"Pagi, Kak.""Hem, pagi," jawab Sean sambil mengoles selai coklat di rotinya. Begitu dia hampir menggigit roti tersebut, Sean terpana melihat penampilan Natasya yang berubah.Gadis berambut pirang ini memakai hijab walau dandanannya belum terlalu sempurna. "Tasya, apa yang kau lakukan?" Sean seketika bangun dari duduknya terkejut."Aku mau seperti Naura, Kak. Dengan penampilanku yang seperti ini jiwaku jauh lebih tenang." Memang sudah lama Natasya tertarik dengan penampilan Naura, dari semenjak dia memberikan baju untuk gadis itu, sebenarnya Natasya beli untuk dirinya sendiri.Namun dirasa belum cocok, dia memberikannya pada Naura."Iya tapi ..." Sungguh tidak Sean sangka kalau si gadis bercadar sangat mempengaruhi sepupunya.Natasya tau kalau apa yang dilakukannya saat ini akan menuai pro dan kontra dalam keluarganya yang berbeda agama. Tapi dia sudah memikirkannya secara matang-matang."Aku tau itu, Kak. Tapi keputusan
"Memangnya kenapa kalau aku memakai kerudung ini? Apa ada yang salah denganku?" Natasya menanggapi dengan santai ketika dua teman kampusnya mencibir penampilannya."Gue heran aja sama Lo! Lo kan non muslim, kenapa Lo pakai hijab." Hesti tertawa mengejek hingga banyak mahasiswa lain yang melihat perdebatan mereka, memandang sebelah mata bagi mahasiswa yang tidak suka pada Natasya."Hei, itu bukan urusanmu! Dan jaga bicaramu!"Melihat keributan di tengah kerumunan banyak orang membuat Naura yang baru sampai kampus penasaran. "Ada apa itu." Wanita yang kini membawa tumpukan buku menghampiri mereka untuk melihat apa yang terjadi."Permisi, permisi," ujarnya menerobos kerumunan banyak mahasiswa.Matanya membulat kala melihat temannya yang terlihat anggun."Masya Allah, Sya. Kamu ...""Nau, dia ..." tunjuk Natasya pada Hesti dan Sinta.Tapi justru Hesti kembali bicara. "Nah ini dia temannya yang sok alim! Bisa-bisanya
"Nau, apa saja sih yang dilakukan dalam agamamu?" Mereka duduk di taman kampus.Naura tersenyum. "Kamu sungguh-sungguh dengan semua ini?" Natasya mengangguk."Iya, aku sungguh-sungguh ingin memperdalam ajaran agamamu, Nau.""Kalau begitu pulang nanti kamu ikut denganku!" Natasya mengangguk nurut.Sepulang kuliah Naura membawa Natasya ke rumahnya untuk membicarakan niat temannya yang ingin menjadi mualaf.Mereka menemui pak Danu yang masih dzikir di mushola rumah. "Kita tunggu Ayah sampai selesai dzikir yah.""Apa itu dzikir, Nau." Naura lalu memberitahu sedikit demi sedikit makna dan arti bacaan dalam ibadahnya."Jadi aku harus melakukan sholat lima waktu, begitu?" Naura mengangguk."Benar, Sya. Sholat itu tiang agama. Wajib bagi kita kaum muslim, jika kita bisa menjaga sholat, maka kita akan senantiasa dijaga oleh Allah ta'alla.""Siapa itu Allah ta'alla?" Naura tertawa karena pertanyaan temannya itu t
"Hadiah untuk orang special, semoga kau menyukainya, Tuan Sean Alexander!"Hanya kalimat itu yang tertulis dalam selembar kertas putih berukuran kecil yang memerah akibat terkena darah bangkai ayam di dalam kotak.Tiada nama si pengirim bangkai tersebut, Bertha mendadak mual-mual. Dia berlari masuk ke toilet lalu muntah-muntah di dalamnya."Kalian bereskan semua ini.""Siap, Tuan," jawab Gordon dan Dolgo serentak.Sean masuk ke dalam ruang kerja dan berfikir, satu persatu nama musuhnya dia seleksi ternyata bukan hanya satu orang yang dia curigai."Kau lihat, Bily! Barang kita telah diproduksi banyak sekali, aku tinggal mengekspor ke luar negeri, dan konsumen pasti suka setelah tau siapa yang memproduksi senjata api ini." Tuan Erdo tertawa lepas dengan beberapa anak buah di belakanganya.Pengusaha yang kini berada di gudang miliknya, terdapat banyak senjata api dari berbagai jenis tertata rapi di dalam sebuah etalase besa