Dugaan Fatma sangat salah karena Amira tidak akan pernah menjual harga dirinya demi uang walau itu sempat akan terjadi karena rencana busuk yang diatur ibunya sendiri. Kini, bahkan Amira sedang diajari berbagai macam hal tentang fashion dan juga cara bermake up. Riska memberikan bimbingannya dengan sangat telaten karena gadis di hadapannya masih sangat polos bahkan Amira baru saja mengenal day cream dan bedak serta lipstik saja.Jadi, hari ini Amira dibuat sibuk dengan penampilan dan tubuhnya karena Riska juga memberikan perawatan kuku serta mencabuti bulu-bulu halus yang tumbuh di tangan dan kaki Amira. Tepat saat tengah hari, telepon rumah berdering. Amira yang mengangkatnya karena di sini dirinya adalah tuan rumah di mata Riska. “Iya, halo? Siapa ya?” ragu dan canggungnya.“Ini aku.” Suara bariton Erzhan segera menggema, “bagaimana, apa kedewasaanmu sudah mulai tumbuh?” Seringai genitnya karena fantasinya sudah bermain, membayangkan Amira menjadi seperti wanita matang.“Tuan jangan
Sekitar pukul tiga sore, Alisha dan Erzhan membuat janji di sebuah cafe privasi karena wanita ini memaksa. Jika tidak dipaksa, maka Erzhan tidak akan pernah menemuinya, untuk apa? Pria ini tidak pernah berminat pada Alisha. “Kenapa kamu membatalkan pertunangan kita? Jelaskan padaku!” desak wanita matang di hadapan Erzhan. Usia Alisha kini menginjak dua puluh enam tahun, sudah saatnya untuknya menikah. Maka, saat keluarganya menjodohkannya dengan Erzhan-pria super sempurna di matanya, wanita ini tidak menolak sama sekali. Justru perjodohan ini dianggap sebagai mujijat.“Bukankah kita tidak saling mencintai.” Datar Erzhan dengan tatapan tenangnya yang bak danau di dalam hutan terpencil, tidak terkontaminasi apapun, tetapi di dalamnya penuh dengan riak dan entah hal berbahaya apa yang tersembunyi di bagian dasarnya.“Apa, tidak saling mencintai!” Kedua mata Alisha membelalak sesaat bersama gelengan kepala, “aku mencintaimu, Erzhan, karena alasan itu aku bersedia dinikahkan denganmu.”Erz
Sekitar pukul enam, Erzhan kembali ke villa. Tentu saja Riska sudah tidak di sana karena jam kerjanya sudah berakhir. Kini, hanya tersisa Amira yang penampilannya sudah berbeda dari biasanya. Dirinya memakai pakaian yang lebih dewasa serta menggunakan make up yang menunjukan usianya. “Malam, sudah pulang,” sambutnya disertai senyuman hangat. Ini adalah salah satu pelajaran yang diberikan Riska.Erzhan membentuk senyuman. “Malam,” ramahnya karena menyukai sambutan serta sikap Amira yang berbeda.“Sini, aku bawakan tasnya.” Masih hangat Amira seiring meminta tas kerja milik Erzhan hingga pria itu memberikannya. Kini, keduanya masuk ke dalam rumah. Amira duduk di seberang tuan rumah. “Ka-eu, Tuan mau minum apa?” tawarannya dengan sikap santun.“Panggil kamu, itu sudah cukup karena kamu akan sering aku bawa ke hadapan mama dan papa. Jadi mulai sekarang panggil saja aku dengan panggilan akrab,” pinta Erzhan dengan santai, pun wajah teduh dipasang.“Baiklah,” jawab Amira dengan tenang diser
Maka saat Zulaiha tiba di lokasi, yang dilihatnya Fatma dan Tasya masih menunggu Amira. Segera, dirinya mengajak ipar serta keponakannya pulang karena keponakan kesayangannya tidak akan pulang.“Ami membuat cemas saja,” ungkapan palsu Fatma.“Mungkin perusahaannya memang sangat jauh, jadi tidak memungkinkan pulang.” Zulaiha mencoba menerka.“Sepertinya begitu ..., Ami tidak punya handphone sih. Apa daya saya walaupun ingin membelikannya handphone, tetapi uangnya mana ada untuk handphone, bisa makan saja sudah sangat beruntung,” desah memelas Fatma. Padahal sejak dirinya menerima uang sepuluh juta dari madam, hidupnya berkecukupan bahkan bisa berlibur bersama Tasya.“Saya ada handphone tidak terpakai sih, tapi mau diberikan pada Ami takutnya Ami malah malu karena handphone dulu, bukan android, hanya bisa telepon dan sms saja.”“Sudah, tidak usah!” Fatma mengibaskan satu tangannya, “pasti nanti Ami akan membeli handphone dari hasil kerjanya, sedangkan sekarang selama bisa menghubungi pa
Amira membeli banyak sekali bahan makanan karena uang yang diberikan Erzhan berjumlah beberapa lembar. Wanita tua yang sering menyapanya hingga menanyakan perihal belanjaannya yang terkesan sangat banyak padahal rumah hanya diisi oleh dua orang saja. Amira memberikan jawaban jika ini persedian untuk beberapa hari.Sekembalinya Amira, Erzhan sedang membuka koran hari ini. Ternyata kabar anjloknya saham perusahaan masuk ke dalam artikel. “Ck, siapa yang membocorkan hal ini, padahal kemarin aku barusaja mengatakan agar anjloknya saham tidak bocor kemana pun!” berangnya bersama dengusan.Amira mendengar semuanya karena kalimat Erzhan sangat jelas. “Permisi ....” Senyuman canggungnya saat melewati Erzhan yang sedang duduk di ruang tamu.“Amira,” panggil Erzhan hingga menghentikan langkah si gadis.“Iya?”“Mungkin malam ini aku tidak akan pulang. Kalau mau pulang, pulanglah sendiri.” Tidak ada sikap dingin, justru raut wajah Erzhan sangat semrawut, dirinya berdiri memandangi Amira, “malam i
Amira kembali ke kediamannya saat memasuki waktu tidur, Zulaiha mengantarnya karena terlalu khawatir keponakannya akan digoda oleh para pemuda. “Tante pulang lagi ya, Sayang,” pamit Zulaiha saat tiba di halaman.“Loh, Tante tidak akan masuk?” heran Amira karena dia pikir Zulaiha akan mampir.“Tidak usah, sudah terlalu malam. Mungkin mama kamu dan Tasya akan tidur, takutnya Tante menganggu.” Senyuman lembut menyertai.“Iya sudah deh, terimakasih ya Tante bekal uang sama makanannya. Hihi ....” Amira menenteng paper bag berisi makanan kering.“Sama-sama. Nanti kalau Ami pergi lagi jangan terlalu lama ya, sering-seringlah pulang.” Belaian lembut Zulaiha di lengan Amira.“Akan Ami usahakan, Tante.” Karena yang menjadi penentu dirinya pulang atau tidak adalah sikap kedewasaannya. Kini, Amira sudah masuk ke dalam rumah. Fatma dan Tasya sedang menyaksikan acara televisi, keduanya sedang bergembira. Saat Amira tiba, ibunya menyambut sangat hangat.“Apa saja yang Ami lakukan di rumah tante, la
Hari berganti, pagi ini Fatma sibuk memersiapkan keperluan Tasya yang akan kembali ke tempat latihan bernyanyi. Pakaian bagus, sepatu dan semua hal yang dibutuhkannya disediakan oleh Fatma yang selalu memanjakannya, sedangkan putri tersayangnya menghampiri Amira di dalam kamarnya. “Kak, ini Tasya.” Suara kecilnya di depan pintu kamar kakaknya.Segera, Amira membukakan pintu saat mendengar suara adiknya. “Tasya, kamu mau pergi ya?” Raut wajah bangga dan ceria dipasangnya, tetapi justru raut wajah adiknya berbeda, tampak sendu. Tanpa aba-aba Tasya memeluk kakaknya.“Kak, Tasya mewakilkan mama minta maaf sama Kakak ..., tapi kalau Kakak tidak maafkan mama, Tasya tidak maksa kok, karena pasti hari-hari yang Kakak jalani sangat berat ....” Dalam kepalanya masih tertanam ucapan Fatma yang menjadikan Amira sebagai pekerja sexual, itulah yang mendasari kalimatnya ini.Namun, Amira dibuat tidak mengerti. Pelukan Tasya tidak dilepaskan, tetapi kalimatnya sangat menunjukan kebingungannya, “Mama
Jadi, saat di dalam rumah Fatma segera berkata lembut, “Kamu kan bekerja pada Madam. Nah, pekerjaan kamu adalah melayani dan memuaskan nafsu para pria di sana. Lalu tadi kenapa saat salah satu pelanggan menghubungi sikap Ami sangat kaku? Jangan seperti itu Sayang ... kamu harus tetap bisa menggoda para pria itu walaupun hanya lewat telepon.” Belaian lembut Fatma selaras dengan kalimatnya.Namun, selembut apapun penyampaian Fatma setiap kalimat yang keluar dari mulutnya menjadi luka untuk Amira. “Iya, Ma ....” Suara kecilnya dan seakan hampir habis karena sedang menahan pilu. ‘Ternyata mama bukan khilaf, ternyata mama memang sengaja menjualku.’ Kenyataan ini memukulnya, tetapi Amira tetap mengumbar senyuman dan berdiri tegap bahkan jemuran yang masih sangat banyak diteruskan seiring menahan air mata.Sementara, di dalam sana Fatma sangat bangga pada Amira yang mudah menyerap nasihat kotornya. “Kamu adalah sumber keuangan mama, jadi mama harus banyak menjejal kamu dengan pengatahuan kot