Maka saat Zulaiha tiba di lokasi, yang dilihatnya Fatma dan Tasya masih menunggu Amira. Segera, dirinya mengajak ipar serta keponakannya pulang karena keponakan kesayangannya tidak akan pulang.“Ami membuat cemas saja,” ungkapan palsu Fatma.“Mungkin perusahaannya memang sangat jauh, jadi tidak memungkinkan pulang.” Zulaiha mencoba menerka.“Sepertinya begitu ..., Ami tidak punya handphone sih. Apa daya saya walaupun ingin membelikannya handphone, tetapi uangnya mana ada untuk handphone, bisa makan saja sudah sangat beruntung,” desah memelas Fatma. Padahal sejak dirinya menerima uang sepuluh juta dari madam, hidupnya berkecukupan bahkan bisa berlibur bersama Tasya.“Saya ada handphone tidak terpakai sih, tapi mau diberikan pada Ami takutnya Ami malah malu karena handphone dulu, bukan android, hanya bisa telepon dan sms saja.”“Sudah, tidak usah!” Fatma mengibaskan satu tangannya, “pasti nanti Ami akan membeli handphone dari hasil kerjanya, sedangkan sekarang selama bisa menghubungi pa
Amira membeli banyak sekali bahan makanan karena uang yang diberikan Erzhan berjumlah beberapa lembar. Wanita tua yang sering menyapanya hingga menanyakan perihal belanjaannya yang terkesan sangat banyak padahal rumah hanya diisi oleh dua orang saja. Amira memberikan jawaban jika ini persedian untuk beberapa hari.Sekembalinya Amira, Erzhan sedang membuka koran hari ini. Ternyata kabar anjloknya saham perusahaan masuk ke dalam artikel. “Ck, siapa yang membocorkan hal ini, padahal kemarin aku barusaja mengatakan agar anjloknya saham tidak bocor kemana pun!” berangnya bersama dengusan.Amira mendengar semuanya karena kalimat Erzhan sangat jelas. “Permisi ....” Senyuman canggungnya saat melewati Erzhan yang sedang duduk di ruang tamu.“Amira,” panggil Erzhan hingga menghentikan langkah si gadis.“Iya?”“Mungkin malam ini aku tidak akan pulang. Kalau mau pulang, pulanglah sendiri.” Tidak ada sikap dingin, justru raut wajah Erzhan sangat semrawut, dirinya berdiri memandangi Amira, “malam i
Amira kembali ke kediamannya saat memasuki waktu tidur, Zulaiha mengantarnya karena terlalu khawatir keponakannya akan digoda oleh para pemuda. “Tante pulang lagi ya, Sayang,” pamit Zulaiha saat tiba di halaman.“Loh, Tante tidak akan masuk?” heran Amira karena dia pikir Zulaiha akan mampir.“Tidak usah, sudah terlalu malam. Mungkin mama kamu dan Tasya akan tidur, takutnya Tante menganggu.” Senyuman lembut menyertai.“Iya sudah deh, terimakasih ya Tante bekal uang sama makanannya. Hihi ....” Amira menenteng paper bag berisi makanan kering.“Sama-sama. Nanti kalau Ami pergi lagi jangan terlalu lama ya, sering-seringlah pulang.” Belaian lembut Zulaiha di lengan Amira.“Akan Ami usahakan, Tante.” Karena yang menjadi penentu dirinya pulang atau tidak adalah sikap kedewasaannya. Kini, Amira sudah masuk ke dalam rumah. Fatma dan Tasya sedang menyaksikan acara televisi, keduanya sedang bergembira. Saat Amira tiba, ibunya menyambut sangat hangat.“Apa saja yang Ami lakukan di rumah tante, la
Hari berganti, pagi ini Fatma sibuk memersiapkan keperluan Tasya yang akan kembali ke tempat latihan bernyanyi. Pakaian bagus, sepatu dan semua hal yang dibutuhkannya disediakan oleh Fatma yang selalu memanjakannya, sedangkan putri tersayangnya menghampiri Amira di dalam kamarnya. “Kak, ini Tasya.” Suara kecilnya di depan pintu kamar kakaknya.Segera, Amira membukakan pintu saat mendengar suara adiknya. “Tasya, kamu mau pergi ya?” Raut wajah bangga dan ceria dipasangnya, tetapi justru raut wajah adiknya berbeda, tampak sendu. Tanpa aba-aba Tasya memeluk kakaknya.“Kak, Tasya mewakilkan mama minta maaf sama Kakak ..., tapi kalau Kakak tidak maafkan mama, Tasya tidak maksa kok, karena pasti hari-hari yang Kakak jalani sangat berat ....” Dalam kepalanya masih tertanam ucapan Fatma yang menjadikan Amira sebagai pekerja sexual, itulah yang mendasari kalimatnya ini.Namun, Amira dibuat tidak mengerti. Pelukan Tasya tidak dilepaskan, tetapi kalimatnya sangat menunjukan kebingungannya, “Mama
Jadi, saat di dalam rumah Fatma segera berkata lembut, “Kamu kan bekerja pada Madam. Nah, pekerjaan kamu adalah melayani dan memuaskan nafsu para pria di sana. Lalu tadi kenapa saat salah satu pelanggan menghubungi sikap Ami sangat kaku? Jangan seperti itu Sayang ... kamu harus tetap bisa menggoda para pria itu walaupun hanya lewat telepon.” Belaian lembut Fatma selaras dengan kalimatnya.Namun, selembut apapun penyampaian Fatma setiap kalimat yang keluar dari mulutnya menjadi luka untuk Amira. “Iya, Ma ....” Suara kecilnya dan seakan hampir habis karena sedang menahan pilu. ‘Ternyata mama bukan khilaf, ternyata mama memang sengaja menjualku.’ Kenyataan ini memukulnya, tetapi Amira tetap mengumbar senyuman dan berdiri tegap bahkan jemuran yang masih sangat banyak diteruskan seiring menahan air mata.Sementara, di dalam sana Fatma sangat bangga pada Amira yang mudah menyerap nasihat kotornya. “Kamu adalah sumber keuangan mama, jadi mama harus banyak menjejal kamu dengan pengatahuan kot
Kini, yang dilakukan Erzhan hanya memerhatikan Amira walaupun hanya bisa melihat punggungnya saja. Hingga segelas teh hangat tersaji. “Silakan ....” Amira masih melukiskan keceriaannya hingga membuat Erzhan tidak bisa menahan diri. “Apa yang terjadi di rumahmu, apa kamu menemukan kebahagiaan yang membuatmu sangat melayang?” Sebelah alis Erzhan terangkat. “Hihi ....” Amira tersipu seiring menutup bibirnya menggunakan sebelah telapak tangannya. “Kenapa menanyakan itu ..., bukankah itu privasi?” Amira sedikit merajuk, kemudian kembali menunduk kecil karena mungkin sikapnya tidak sopan. Namun, Erzhan bersikap santai dan hangat demi mencari tahu apa yang telah terjadi hingga gadis yang duduk di hadapannya tampak sangat aneh, “Ceritakan saja, aku akan mendengarnya.” Senyuman ditambahkan hingga kehangatannya berlipat. Kini Amira mendesah pelan, tetapi sejurus kemudian kembali melukis senyuman. “Aku hanya sedang berusaha membuka lembaran baru. Aku tidak tahu apakah lembaran baru di hidupk
Hari berganti, Amira kembali ditinggalkan oleh Erzhan karena pria itu harus tetap berada di AB Gruf, berusaha mengembalikan saham perusahaan sekaligus mencoba mengembangkan merk dagang mereka di pasaran besar, di kalangan atas.Cakwala sudah menunggu kedatangan putranya sejak dua puluh menit yang lalu. “Kenapa kamu selalu pulang ke villa? Padahal ada banyak hal yang ingin Papa bahas.” Dinginnya seperti biasanya. Sikap Cakrawala tidak pernah menunjukan kehangatan sedikit pun.“Maaf Pa, Erzhan butuh menenangkan diri,” santun Erzhan yang bahkan belum mendudukan dirinya.“Apakah rumah tidak cukup tenang untukmu. Hm?” Yang dilakukan Cakrawala semenjak saham perusahaan anjlok hanya mendesak Erzhan dalam beberapa bidang, salah satunya privasi putranya. Cakrawala berusaha mengatur privasi Erzhan, tetapi bukan niatnya ingin mengganggu, pria ini hanya inginkan putranya jauh lebih baik, dirinya berniat mengajarkan jika privasi yang tidak begitu penting bisa dikesampingkan demi fokus mengembalika
Sore harinya Riska menyudahi pelajarannya, wanita ini berpesan hangat, “Tunjukan hasil belajarmu pada Erzhan.”“Iya ....” Anggukan patuh Amira yang mengantar Riska hingga ke halaman. Saat mobil wanita itu berlalu, grasah-grusuh dirinya menghubungi Tasya. Sebenarnya sudah sejak tadi siang mulutnya gatal ingin menanyakan kabar adiknya, tetapi karena pelajaran sedang berlangsung, maka Amira menahan keinginannya karena takut dianggap tidak menghargai Riska, hingga akhirnya kini panggilannya tersambung. “Tasya, kamu masih di tempat latihan, kan?”“Iya Kak ... kenapa?” Tasya sedang berkumpul dengan sesama trainee.“Tidak apa-apa, Kakak cuma mau tahu saja dan ingin mendengar kamu baik-baik saja,” aku Amira, tetapi tidak dengan alasan utamanya.“Kakak lucu deh. Hihi ....” Sikap Tasya sangat manis, “Tasya baik-baik saja. Oh iya, sekarang Kakak di mana?” Sebenarnya pertanyaan ini mengganjal di hatinya karena bisa saja Amira sedang berada di tempat madam, wanita yang pernah disebutkan ibunya.“K