Sore harinya Riska menyudahi pelajarannya, wanita ini berpesan hangat, “Tunjukan hasil belajarmu pada Erzhan.”“Iya ....” Anggukan patuh Amira yang mengantar Riska hingga ke halaman. Saat mobil wanita itu berlalu, grasah-grusuh dirinya menghubungi Tasya. Sebenarnya sudah sejak tadi siang mulutnya gatal ingin menanyakan kabar adiknya, tetapi karena pelajaran sedang berlangsung, maka Amira menahan keinginannya karena takut dianggap tidak menghargai Riska, hingga akhirnya kini panggilannya tersambung. “Tasya, kamu masih di tempat latihan, kan?”“Iya Kak ... kenapa?” Tasya sedang berkumpul dengan sesama trainee.“Tidak apa-apa, Kakak cuma mau tahu saja dan ingin mendengar kamu baik-baik saja,” aku Amira, tetapi tidak dengan alasan utamanya.“Kakak lucu deh. Hihi ....” Sikap Tasya sangat manis, “Tasya baik-baik saja. Oh iya, sekarang Kakak di mana?” Sebenarnya pertanyaan ini mengganjal di hatinya karena bisa saja Amira sedang berada di tempat madam, wanita yang pernah disebutkan ibunya.“K
Erzhan segera berdiri meninggalkan duduknya. “Tidurlah, sudah malam.” Pria ini berlalu karena tidak ingin kesedihannya disaksikan Amira. Namun, setibanya di dalam kamar dia sangat lemah. Perasaan membunuhnya untuk kedua kalinya. “Dulu kamu meninggalkanku karena alasan perjodohanku dan Alisha, lalu kamu menikah dengan pria lain. Sekarang kamu muncul dengan pria itu. Apa kamu pikir aku masih bisa bertahan saat kamu menyakitiku berulang kali.”Erzhan si pria dingin di hadapan Amira ternyata memiliki sisi lemah jika dihadapkan pada perasaan. Dia meringkuk bak anak kecil yang membutuhkan pelukan hangat, Erzhan yang biasanya bersikap gagah kini sangat berbeda.Sementara, Amira masih selalu merisaukan Tasya. “Lambat laun aku harus mengatakan pada Tasya. Tasya tidak boleh menjadi korban mama yang selanjutnya walau mungkin kemungkinannya sangat minim karena Tasya anak kandung mama. Tapi ... kapan aku akan mengatakannya, apa bulan depan saat Tasya akan pulang ke rumah?”Selain memikirkan waktu
Riska tiba, tetapi kali ini tidak banyak yang disampaikannya karena Amira sudah lumayan pintar dalam hal kedewasaan, terutama dari sikap dan cara bicaranya, sebenarnya itu sudah cukup menjadi modal dirinya di hadapan Cakrawala. Hanya tinggal make up dan cara berpakaiannya, tetapi ini adalah bagian paling mudah menurutnya karena andaipun Amira masih belum bisa merias diri, itu bisa dilakukan di salon.“Mungkin ini hari terakhir aku datang kesini,” ucap Riska bersama senyuman lembut.“Apa aku sudah bisa disebut dewasa?” Amira menggunakan sikap kedewasaan yang diajarkan Riska.“Sudah, kamu bisa memakai ilmu yang aku berikan di hadapan orangtuanya Erzhan,” kekeh Riska.“Jadi Kak Riska tahu semua ya, tentang aku dan Erzhan?” Amira tidak memanggil dirinya Ami karena panggilan kecil itu seolah berkesan kekanak-kanakan.“Ya, Erzhan menceritakannya. Kami cukup dekat, maka Erzhan tidak sungkan meminta bantuanku,” kekeh Riska lagi.Amira tersenyum kecil menanggapi kalimat Riska. “Terimakasih ata
Malam ini bisa dikatakan Erzhan lolos dari desakan Cakrawala karena ayahnya tidak membahas penuruanan saham sama sekali. Hingga pagi tiba, susana tetap hangat. Satu keluarga menjalani sarapan penuh kehangatan, tetapi bagaimanapun suasana yang tercipta, pikiran Erzhan tetap tidak tenang karena ini hari ketiga dari waktu satu minggu yang diberikan Cakrawala.‘Papa memang tidak bertanya apapun, tapi pasti papa sedang menunggu hasil baik.’ Desah penuh keluhan Erzhan karena waktu yang mengalir cukup menyiksanya. Saat dalam perjalanan menuju AB Gruf, sambungan dihubungankan pada Amira, “Sekarang kamu di mana? Jangan meninggalkan villa, apalagi kembali pada ibu kamu!” tegasnya karena akan sangat sulit meminta Amira kembali saat gadis itu kembali ke kediamananya walau itu terbilang mustahil. Amira seolah telah kehilangan minat pada ibunya.“Aku di villa ..., aku baru saja mengisi kulkas, tadi ada kang sayur, sekalian aku juga dapat banyak sayuran dari bu Melinda.” Amira sedang menyapu halaman
Amira masih berdiri di hadapan daun pintu. “Apa tadi Erzhan sempat pulang ya dan mencariku?” prasangkan baiknya, “sepertinya begitu. Aku harus segera mengabarinya sebelum dia marah dan menyuruhku kembali memperlajari menjadi dewasa.”Handphone segera dirogoh. [Sekarang kamu di mana? Maaf tadi aku pergi sebentar, aku berolahraga bersama bu Melinda dan kak Cindy. Ada apa mencariku, sampai masuk ke kamarku segala?] Dengan sengaja dirinya membongkar rahasia kecilnya jika gadis ini akan mengetahui saat Erzhan memasuki kamarnya supaya pria itu tidak melakukannya lagi karena kamar adalah daerah privasinya.Erzhan sedang dibuat memutar kepala oleh keadaan saham yang belum menunjukan perubahan baik walau dua cara dari hasil rapat telah dilakukan. “Ok, Erzhan. Bersabarlah sebentar lagi, semua membutuhkan proses dan semua tidak akan instan, seinstan seperti yang kamu inginkan.” Pria ini harus memotivasi dirinya sendiri karena siapa lagi yang akan melakukannya karena yang dulunya ini adalah tugas
Kali ini Erzhan memutuskan kembali ke villa walaupun Cindy masih menjadi tetangganya karena dia tidak bisa membiarkan Amira tinggal sendiri lebih lama. Apa yang akan terjadi selain membuat keributan seperti ini?Maka, saat langit berubah gelap tepatnya pukul tujuh Erzhan kembali. Saat ini Amira sedang menyiapkan makan malam untuk dirinya sendiri, maka kehadiran tuan rumah membuatnya kalang kabut. “Aku kira kamu tidak akan pulang.” Sebuah cobek dipeganginya.“Aku ingin pulang.” Datar Erzhan, kemudian duduk bersama wibawanya, kedua tangannya direntangkan di atas kepala sofa bersama satu kaki diangkat. “Sekarang jelaskan apa yang terjadi selama aku tidak ada.” Tatapannya memicing ke arah Amira yang segera dibuat canggung dan grogi. Maka, gadis ini segera memberikan penjelasan jika dirinya meninggalkan villa untuk berolahraga lalu saat kembali posisi handel pintu kamarnya berubah dan menyimpulkan jika Erzhan datang, masuk ke dalam kamarnya. Namun, setelah tahu bukan tuan rumah maka panik
Amira tidak memberikan jawaban apapun atas kalimat Erzhan yang terdengar berat dan tabu di ruang dengarnya. Kini, bibirnya berbicara walau bergetar. “Aku sudah tahu mama menjualku pada pria hidung belang, mama sendiri yang mengatakannya. Dengan alasan itulah aku tidak mau kembali pada mama atau mengirimkan uang pada mama karena akhirnya aku tahu mama hanya membutuhkan uangku, jauh dari kata menyayangiku.” Selesai kalimatnya ini, genangan air yang sempat menghuni tepian matanya kini luruh juga hingga membasahi pipinya.Erzhan menepikan mobilnya karena dalam keadaan seperti ini membuatnya tidak dapat fokus pada jalanan. Sebuah tissue disodorkan ke arah Amira. Maksudnya adalah peduli hanya saja wajahnya tetap terlihat datar. Amira meraih beberapa lembar untuk mengusap basah di pipi serta di ujung matanya.Kini, Erzhan yang berkata, “Tetaplah tinggal di villa, tenang saja, aku tidak akan mengusirmu.” Lagi, wajahnya sangat datar, tetapi kalimatnya dipenuhi kepedulian.Amira mencoba mengatu
Alisha sedang bersama teman prianya, tetapi dia bukanlah siapa-siapa walaupun kariernya lebih bersinar dari Erzhan. Namun, sering sekali Alisha bersamanya karena justru tunangannya sering tidak memiliki waktu untuknya, sedangkan pria ini sangat perhatian, tidak perlu Alisha mengemis waktu dia akan datang dengan sendirinya, tetapi bagaimanapun sikap kawannya ini tidak akan berhasil membuat hati dan keinginannya pada Erzhan berubah.Tempat duduk Alisha dan Erzhan saling bertolak, mereka saling memunggungi walau sebenarnya kini jarak keduanya hanya terhalang dua buah meja saja. Erzhan tidak pernah menyadari kehadiran Alisha karena dirinya hanya fokus pada Amira yang sedang membutuhkan belas kasihan. “Bagaimana makanannya?” pertanyaan ini dilontarkan di tengah-tengah menyuap bersama raut wajah hangat.“Tentu saja enak.” Hatinya berkata. ‘Memangnya jawaban apa lagi yang harus aku diberikan, apakah aku harus meriview dengan detail.’Erzhan menyuap bak pangeran hingga membuat Amira merasa mi