Warning!!!!
Ada banyak kata kasar, dan tidak pantas. Bagi, yang tidak suka kata kasar boleh diskip aja._______________
"You son of a bitch!"
"WHAT THE HELL. YOU TWO ARE DOING!" teriak Gerald begitu melihatku muncul. Mungkin melihat penampilan kami yang sama-sama berantakan apalagi David yang bertelanjang dada.
"WHO THE HELL, YOU THINKING YOU'RE!" Gerald sangat marah. Wajahnya sudah sangat merah menahan amarahnya. David dengan santai melihat Gerald yang sedang emosi. Dengan gaya bersedekap dada, David menatap Gerald mencemooh. Aku hanya bersembunyi, ngeri melihat Gerald yang murka. Aku takut-takut melihat menatap Gerald, ia langsung menatapku tajam, kilatan marah di netra hijau itu terlihat jelas. Aku tak berani menatap Gerald.
Gerald menarik tanganku dengan kasar, aku langsung tertarik ke depan. Bahkan, tersandung oleh kakiku sendiri, untung saja ia bisa menahan tubuhku, jika tidak, aku akan terjatuh.
"PEREMPUAN MACAM APA KAMU! BERDUAAN DENGAN LELAKI LAIN. LIHAT BAJUMU!" Gerald menunjuk bajuku. Dan aku baru sadar aku belum megancing lagi baju yang sempat dibuka. Betapa bodohnya diriku. Gerald membalikan tubuhku dengan kasar dan menarik zipper dress tersebut.
"Pulang!" Gerald menarik tanganku dengan kasar. Aku sampai tersandung-sandung, bahkan anak dalam perutku, ikut berguncang karena kuatnya tarikan Gerald. Bahkan, ia meremas tanganku kuat.
"Jangan kasar sama perempuan." peringat David, ia mengikuti kami. David memblok jalan Gerald, dengan merentangkan tangannya. Mereka saling memberi tatapan ingin membunuh masing-masing lawan. Padahal, dulu mereka bersahabat yang sangat dekat, tapi sekarang bermusuhan. Miris!
"Jangan sampai, tanganku naik lagi ke wajahmu. Kali ini, tidak akan berbentuk lagi." Gerald memperingatkan David. Cowok tampan itu memberi senyum smirk yang mengejek Gerald. tangan David berada di dada. Dan sedari tadi, dia tidak memakai baju, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa selagi diam, aku berada di posisi yang salah.
"Anda lupa, Tuan? Laporan belum saya cabut. Mau kena pasal berlapis?" David makin mengejek Gerald.
"Aku nggak peduli! Jangan ganggu hidup aku lagi." Kulihat kesabaran Gerald habis.
Gerald ingin meninju David, tangannya terhunyung ke belakang, dan siap memberi bogeman mentah ke David. Aku yang posisinya tepat berada di belakang Gerald, malah sikunya yang mengenai hidungku. Karena dengan sekuat tenaga, dan posisiku yang sedang lemah aku terjatuh.
Brakk!!!
Bokongku sakit sekali, begitu mencium lantai. tapi aku lebih merasakan tulang hidungku patah, dan aku mulai merasakan bau anyir darah segar mengalir lewat hidungku. Kepalaku mulai pening, jangan sampai aku pingsan. Aku memegang hidungku, kepalaku mulai terasa ringan, dan sedikit menghitam.
"Miss!!" teriak David khawatir melihatku yang terjatuh.
Gerald menoleh ke arahku, dan ia tidak panik, ia bersikap biasa saja, seolah aku barang tahan banting. Ya Tuhan, ampuni dosa suamiku. aku hanya membiarkan darah mengalir lewat hidungku dan turun mengenai bajuku.
"Aku udah bilang, jangan kasar sama perempuan!" Giliran David yang marah, melihat Gerald dengan tatapan ingin membunuh.
"Aku nggak sengaja! Nggak usah sok peduli. Ini urusanku!"
Gerald langsung mengendongku tiba-tiba dengan bridal style karena aku yang masih terduduk di lantai. Aku pun, tidak sadar, jika tubuhku sudah diangkat. Tidak ada satupun air mata yang turun. Kepalaku masih terlalu pening.
"Jangan dibawa pergi! Obatin dulu." David mencegat kami.
"Kau pikir dia barang? Ini istriku, sial!" Gerald berbalik menatap David. Kepalaku makin sakit. Aku membiarkan mereka berdebat.
Gerald membawaku keluar dari rumah David.
"Miss jangan pergi!" David masih berusaha menghalangi jalan Gerald.
Brakk!!!
Dengan sekuat tenaga Gerald menendang David. Badanku ikut bergoyang juga karena tendangan Gerald.
"Sialan kau! Kupastikan hidupmu takan selamat, dan Miss akan kembali bersamaku." teriak David.
Gerald tidak menghiraukan, dan tetap mengendongku menuju keluar. Kulihat mobil kesayanganku sudah bertenger di depan. Mobil Gerald, tetap menjadi mobil favoritku, karena orang yang sedang mengendongku adalah manusia favorit, walau sangat menyebalkan, dan tidak peka.
Gerald membuka pintu mobil, dengan kasar ia meletakanku di bangku co-driver, aku seperti dibuang begitu saja. Ya, sekali lagi, Gerald menganggapku barang tahan banting. Semoga anakku tidak kesakitan.
Gerald masuk dengan membanting pintu mobil sekuat mungkin, dan ingin menunjukan bahwa dia sedang marah besar. Dan aku tidak menghiraukan Gerald, lebih memilih mengurus hidungku.
Darah yang keluar dari hidungku, tidak sederas awal. Tapi aku masih merasakan darah masih mengalir.
Dengan tisu basah yang kemarin Gerald membersihkan darah di hidungku. Aku hanya diam, karena kepalaku pening. Dihantam tangan orang yang sedang ngamuk. Apalagi tubuhku kecil. Rasanya aku ingin tidur, kepalaku terasa sangat berat. Aku meyandarkan kepalaku, dan menutup mataku. Berharap, pening di kepala segera berlalu.
"Aku tidak akan minta maaf, yang barusan terjadi. Anggap saja, balasan buat kelakuan kalian yang tak tahu malu itu." Aku membuka mataku dengan lelah, dan melihat ke arah Gerald.
"Maaf." Aku berkata dengan lirih, sambil menunduk. Ya, aku salah.
"Jangan coba untuk menguji kesabaran aku. Kalau aku ngamuk, kamu pun bisa aku antarkan ke kuburan." Si sialan ini, mengajakku berdebat padahal, aku ingin menenangkan kepalaku.
"Aku lakuin demi kebaikan kamu."
"Jangan bodoh, Rara! Kamu pikir aku bodoh dan terikut permainan manusia binatang itu? Tidak akan! Aku tahu, itu hanya permainan. Makanya jangan terlalu bodoh, dengan semua kata orang." Hatiku sakit, mendengar Gerald bilang aku 'bodoh' meski banyak yang bilang aku bodoh tapi itu tidak terlalu berpengaruh besar terhadapku. Tapi apa pun yang keluar dari mulut Gerald terlalu berefek berat terhadapku.
Air mataku turun. Aku hanya memandang lurus ke jalanan. Aku tidak tahu sebenarnya, dan bagaimana persis nasibku sekarang. Ketika bersama, kami akan selalu bertengkar, tapi jika berjauhan aku sangat merindukannya.
"Jangan percaya pada siapapun mulai sekarang. Percaya sama aku aja. Ngerti kamu?!" hardik Gerald. Aku tidak menghiraukan dan tetap memandang ke jalanan.
"Dengar, nggak?!" Kali ini suara Gerald lebih keras.
"Bisa turunin sedikit suaranya. Kepalaku sakit nih." kataku sambil memijit pelipisku. Kepalaku terasa berat, bahkan mataku juga.
"Nggak usah banyak alasan! Aku udah hafal bangat, kamu itu kayak mana. Pokoknya jangan dengarin kata siapapun kecuali aku." Aku memutar bola mataku. Jika saja, aku berada di pihak benar. Aku akan mencincang Gerald karena mulut besarnya ini.
"Aku heran deh, mulut kamu lebih mengerikan dari ibu-ibu komplek sekarang." sindirku.
"Aku cuman mau yang terbaik buat kamu." Katanya membela diri.
"Menurut kamu itu yang terbaik buat aku. Tanpa kamu sadari, kata-kata kamu itu menyakiti hati aku." Air mataku mengalir lebih deras.
"Aku cuman mau biar kamu sadar."
"Entah kenapa. Aku merasa kamu bukan lagi Gerald yang dulu."
"Yang dulu yang mana? Aku, ya, tetap aku! Kan aku udah bilang, semua apa pun yang datang, dan membuatmu sakit, karena kelakuan kamu sendiri."
"Ya, aku selalu salah. Tanpa kamu tahu, semua perbuatan bodoh ini, aku lakuin demi kamu. Demi kita. Tapi, kamu nggak pernah mengerti. Kamu beranggapan bahwa aku selalu bodoh. Ya, memang aku bodoh. Tapi di balik semua ini aku lakuin demi melindungi kamu." kataku sambil terisak. Apa pun yang berhubungan dengan Gerald, aku selalu menangis, dan selalu lemah. Kembali lagi berdebat saudara-saudara, lebih baik memang berjauhan. Daripada berdekatan dan terjadi seperti ini.
"Melindungi? Sounds interesting. Coba kamu jelaskan bagian mana kamu melindungi aku?" tanya Gerald semakin mencemoohku. Lelaki ini, benar-benar. Hatiku makin hancur, berkeping-keping, dia selalu pandai membuat moodku berantakan.
"Dari David. Aku melindungi kamu, karena dengan begitu dia akan mencabut laporannya, dan kamu bisa lanjut kuliah. Kamu bisa masuk penjara." aku membela diri, dan coba beri pengertian ke Gerald bahwa semua yang aku lakukan demi kebaikannya. Aku tak pernah egois, jika dia mengerti diriku sedikit saja.
"Waoh, aku tersanjung. Terima kasih, lindungannya!" ujar Gerald sarkastik. " Kamu pikir aku bodoh, Rara? Sudah kubilang. Aku bukan orang bodoh yang ikut permainan kecil seperti tai kucing. Jadi, maksud kamu melindungi itu kamu, dan dia bebas berduaan dan bebas making out?" Hatiku makin hancur, rasa-rasanya aku tidak ingin mempercayai Gerald lagi. Walau tadi itu hampir, tapi aku tak berbuat sampai disana.
"Ya."
"Sebutkan lagi, bagian mana kamu melindungi aku?" desak Gerald.
Dengan menarik napas panjang aku sebenarnya lelah kalau selalu berakhir seperti ini. Tapi, lelaki ini rindu berdebat rupanya. "Kamu lupa? Aku selalu melindungi kamu dari Bundaku."
"Hah? Itu urusan dan salahnya Bundamu sendiri, siapa suruh dia tidak menyukaiku?" Gerald mabuk?
Aku menatap nyalang ke arahnya, dia sangat santai sekali. Kata-kata jelek yang tajam keluar dari mulut Gerald, ia pikir hanya kata, padahal, itu sangat berpengaruh padaku. Dasar lelaki sialan!
"Kamu boleh mengatakan yang jelek apa pun tentang aku. Tapi, jangan sekali-kali jeleki bundaku!" balasku sengit.
"Di bagian mana, aku jelek-jelekan Bundamu?"
"Sepertinya, aku harus mengikuti saran bunda, sebaiknya kita bercerai saja." sebenarnya aku ingin mengujinya saja. Rara dan Gerald artinya berdebat. Inilah kami.
Cit....
Gerald mengerem mendadak, dan menepikan mobilnya dengan kasar. Bahkan ia memukul setir tersebut.
"Segampang itu kamu ngomog?" Amarahya mulai tersulut.
Aku kembali menatapnya dengan memberi tatapan menantang. Aku tak takut padanya, aku juga tak ingin selalu mengalah padanya.
"Ya? Ada yang salah?" Aku menaikan alisku.
"Damn it! Bodoh kamu!" umpat Gerald. Perdebatan ini takkan berakhir jika aku terus melayani Gerald. Napasnya terdengar berat.
Dia menarik napas panjang. "Jadi, ngapain aja kamu dengan si bangsat itu di rumahnya? Sepertinya aku banyak ketinggalan informasi."
"Kamu mau aku jawab jujur?" Aku menatap Gerald.
"Ya."
"Kamu bisa tahu sendiri, dua orang dewasa berbeda lawan jenis hanya berduaan dalam ruangan kamu bisa menebak ngapain." Aku meminjam kata-kata David tadi.
"Buka baju kamu." perintahnya.
"What?" tanyaku tak percaya, jika manusia Gerald itu suka berbuat nekat.
"Buka baju kamu!"
"Gila kamu!" kataku sedikit berteriak. Gerald memang sudah gila!
"Buka aja." perintah Gerald.
"Tidak!" aku menolak keras.
"Buka, Rara. Ck!" Gerald berdecak sebal. Dan auranya sudah tidak mengenakan.
Dengan berat hati, aku membuka kancing bajuku. Aku yakin, Gerald akan memeriksa tubuhku apa ada tanda-tanda peninggalan jejak David.
Aku menanggalkan dress itu, dan membiarkan jatuh ke bawah.
Gerald meneliti dari leher turun ke payudaraku selanjutnya perut.
Dia meraba-raba perutku, rasanya seperti disengat aliran listrik ketika tangannya mengelus perutku. Selama hamil dia tidak pernah mengelus perutku. mungkin, ini respon dari bayi. Anakku senang, daddy-nya mengelusnya. Tapi, daddy-nya tak peka.
"Kamu itu hamil, Anak orang. tapi berani pula berbuat dengan orang lain. Jadinya, anaknya lahir nanti bisa setengah iblis setengah malaikat." Air mataku turun lagi. Mulut Gerald luar biasa, ini anaknya sendiri tapi dia sangat tega, mengatai anaknya sendiri.
"Benar, kayaknya kamu nggak pantas jadi ayahnya anak aku."
"Iyalah, kan kalian sudah saling mengklaim anak kita."
"Udah? Aku kedinginan." Aku semakin muak melihat Gerald. Jika, lelaki ini bukan orang yang kucintai aku akan menendangnya jauh-jauh.
"Buka panties kamu." perintah Gerald lagi.
"Gila kamu! Di mana otakmu! Nanti ada yang melihat!" ucapku tak percaya, pada perintah Gerald yang makin gila.
"Bukanya, kamu sudah menjajalkan tubuh kamu ke semua orang?" Aku benar-benar, sudah tidak punya harga diri lagi sebagai perempuan di mata laki-laki yang notebene suami sendiri. Harusnya, dia orang pertama yang menghargaiku, bukan merendahkan aku!
"Benar juga, ya! Tapi kenapa kamu masih mau sama barang murahan seperti ini?" balasku menantang Gerald.
"Sayang dianggurin." jawabnya santai dan datar. Poker face! Benar-benar, manusia laknat ini!
"Udah buka." perintah Gerald. Dengan berat hati aku membuka panties-ku.
Awas saja kalau dia macam-macam. Aku akan menjajalkan panties ini kedalam mulut Gerald.
Aku merasa sudah seperti pelacur murahan. Bahkan pelacur masih ada harganya, ketika Gerald memperlakukanku dengan begitu rendah sekarang. Ya Tuhan, sebenarnya aku ini apa, di matanya?
Aku hanya terduduk kaku. Dan membiarkan Gerald meneliti seluruh tubuhku. Tangannya meraba bagian bawah milikku. Bahkan, ia memainkannya di sana. Aku hanya menutup mataku, jangan sampai mendesah.
"Kok bagian bawah kamu basah?" tanya Gerald.
What? Fuck!
***
Yuhuu..
Komennya dimari, makin seru, makin greget, atau mau makan orang?Komen, dan kasih gem. Wajib 😡😡😡
Aku benar-benar dianggap pelacur murahan. Dengan laknatnya, Gerald memperkosaku di dalam mobil tersebut. Dan memperlakukanku dengan sangat kasar, aku seperti binatang di matanya. Ketika aku berontak, dia menarik rambutku dengan kasar sampai-sampai dia ingin meludahi aku. Sudah begitu, ia tetap saja menggagahiku. Gerald benar-benar kejam! Hatiku sangat hancur. Aku hanya bisa menangis, dan menangis. Sebaiknya aku mati saja, daripada diperlakukan seperti ini. Seluruh tubuhku dikasih tanda merah. Aku lebih baik diiris-iris menggunakan pisau kulitku daripada dikasarin. Gerald memperkosaku dengan brutal, seperti binatang yang datang musim kawin. Ia bahkan, tak mendengarkan teriakanku. Padahal, aku sudah memohon padanya agar berhenti, tapi laki-laki sial itu terus saja, melakukan nafsu bejatnya. Ia melakukan dengan sangat kasar. Beberapa kali aku menendangnya. Bodo a
Warning!!! vulgar!! Kalau tidak suka, bisa diskip aja 🔞🔞________________________________ Hari ini, aku ingin bermanja-manja dengan suamiku setelah pendeklarasian kami. Sudah lama aku tidak bermanja-manja dengannya, karena setiap hari hanya diisi dengan pertengkaran, dan tangisan. Aku juga tak tahu, kapan Gerald pulang lagi ke Jerman. Tapi, aku benar ingin mengikutinya kesana. "Gerald kapan kamu pulang Jerman?" Aku sedang duduk bersandar di kepala ranjang Gerald yang luas. Gerald berbaring di pahaku, aku meremas-remas rambut tebalnya. "Bareng kamu?" "Pasport aku itu belum pasti, ngurus visa juga belum."
Warningg!!! Adult Content!! Gerald's POV Flashback ___________ Ok Rara, let's play the game. You with your guy. I'm with many girls here. Malamnya, aku benar-benar pergi ke pesta temannya Eloy. Aku ingin merasakan kebebasan juga. Eloy sering sekali mengajakku pergi pesta, tapi aku malas untuk bermasalah, ditambah aku tak bisa menjadi manusia normal, aku selalu mabuk jika mencicipi sedikit alkohol. Daripada berakhir memalukan, lebih baik aku tak pergi. Tentu aku bisa diejek, seorang lelaki tampan dan gagah membahan sepertiku, tak bisa menjadi manusia normal karena pusing mencium bau alkohol. Payah! Padahal orang Jerman itu mayoritas minum anggur, mereka jarang sekali minum air putih.
Jerman I'm coming. Akhirnya aku akan melihat dunia luar seperti impianku. Semua dokumen yang dibutuhkan untuk berpergian ke luar negri telah beres dalam waktu tiga hari. Semua Gerald yang mengurus, aku hanya duduk manis dan difoto. Bundaku tetap tidak mengizinkan pergi, tapi aku tetap keras kepala, dan ngotot untuk pergi. Aku benar-benar tidak ingin berniat untuk tinggal di lingkungan tempat tinggalku. Aku merasa sudah tidak nyaman. Bunda marah, dan tetap tidak mau untuk mengantarkanku ke bandara. Padahal, Bunda tahu bagaimana penderitaanku saat Gerald pergi. Harusnya Bunda bisa legowo melepaskanku. Terkadang, aku tak mengerti dengan jalan pikiran Bunda. Akhirnya adikku yang mengantar. Air mataku turun, aku akan merindukan Bunda, keluarga kecilku.
"Bunda—" "Iya, Nak?" Air mataku tumpah ruah. "I miss you." "Bunda juga rindu. Jaga diri baik-baik. Jaga kesehatan, jaga anaknya." Air mataku semakin deras. Aku merindukan Bundaku. Dan selalu saja, pesan ini yang Bunda sampaikan. Ya, Bunda perhatian. Tapi aku merasa Bunda seperti tak yakin padaku, aku bisa mengurus diri. Padahal, aku sudah dewasa, sudah menjadi istri orang, dan mom to be. Kenapa, Bunda harus takut? Aku bisa bertanggung jawab terhadap diriku sendiri. "Iya, Bunda. Bunda jangan sedih, ya. Rara bisa menjaga diri di sini." kataku meyakinkan bunda. "Iya, nggak, bunda nggak sedih. Bunda khawatir, kamu di tempat orang jauh." Meski Bunda bilang tidak, tapi aku tahu
Gerald's girlfriend. How I missing something here? I glance kill for Gerald to confirm this. "I'm sorry Alle. Rara is my wife." Gerald mencoba menenangkan, dari keadaan yang sudah memanas. Ini tak bisa dibiarkan. Bagaimana mungkin lelaki sial ini, bermain-main di belajangku? Ditambah, cewek sial ini, dengan percaya diri mengaku dia pacar Gerald. "Wife? Really? Are you fucking kidding me again?" pekik si pirang. "Yeah, I just want you to introduce with my beatiful woman in the world." "Bullshit!" I scream and throw remote to Gerald. Remot itu tepat mengenai wajah Gerald, dan ia berhasil menangkap remot tersebut, sebelum semuanya berderai.
"Kamu kenal Alicia itu siapa?" Gerald menengang. "Nggak!" Jawabnya gelapan, dan salah tingkah. Berarti semua hanya mimpi burukku saja. "Yaudah tidur, yuk." Ajak Gerald. "Hei, makanan kamu belum habis. Habiskan biar Rara kemas semuanya dan cuci." Kulihat Gerald sudah tidak berselera lagi. Aku mengemas semuanya, dan mencuci piring-piring yang kotor, dan peralatan buat masak tadi. Setelah selesai, kulihat Gerald masih melamun. Makanannya masih sama seperti tadi kutinggalkan. Dia bertingkah aneh. Apa Gerald sakit perut, karena aku memasak yang tidak steril? "Jadi, masih mau makan nggak?" tanyaku lagi, melihat Gerald yang masih melamun. "Eh?"
Aku ingin mengerjai Gerald. Aku tidak sakit perut. Tapi aku hanya capek, sedang tidak berselera untuk melayaninya sekarang. Tapi, aku tiba-tiba merasa berdosa setelah melihat dia panik. Selalu saja, bertingkah bodoh yang membuat kami sama-sama terluka. "Sakit? Kenapa? Keram?" tanya Gerald panik. Aku menggeleng. "Nggak tahu, sakit aja. Biarkan aku istirahat, kamu boleh pergi kuliah." kataku dengan suara lemah, agar meyakinkan. Tapi rasa bersalah, terus menghantamku. "Aku nggak bisa, nanti kamu kenapa-kenapa. Kayak semalam." Gerald menyugar rambutnya, dan wajahnya begitu ketakutan. "Nggak papa, nanti kalau sakit atau apa aku telpon aja. Tapi kamu harus gerak cepat ya." Aku memegangi perutku. "Iya, maaf telah membuat kamu sa
Kuperhatikan wajah kedua putriku. Wajahnya mirip, orang tidak akan salah menduga mereka saudara kandung. Kelsea manis, Verena juga. Tapi, rambut Verena diambil dari mana, rambutnya sedikit bergelombang dan coklat tembaga. Padahal rambutku dan rambut Gerald lurus. Ah, mana saja yang penting anak-anakku sehat.Dari rambutnya yang bergelombang sudah bisa dipastikan bulu mata Verena lentik. Verena dan Asher mempunyai bulu mata yang cantik. Yang paling kusuka dari Kelsea, senyumannya. Walau, dia cemberut saja, masih terlihat manis. Anakku, yang satu itu tidak bosan dipandang. Wajahnya cantik, begitu cantik. Terkadang aku tak percaya punya anak secantik ini, walau kelakuannya bikin geleng-geleng.Apalagi Kelsea, orang yang suka merenggut masam.Kelsea lebih dominant, gen milikku. Namun, masih terlihat blasteran. Verena, lebih banyak bulenya. Asher, tidak terlihat genku sama seka
Aku melihat anak gembulku, yang sedang sibuk bermain. Jika, dia sudah bermain tidak akan mempedulikan sekeliling, dan suka bicara sendiri sambil menunjuk mainannya. Seolah mainan itu lawan bicara.Aku hanya duduk memperhatikan, sambil menvideo. Sebagai dokumentasi ketika dia sudah dewasa. Kalau kecilnya, begitu menggemaskan."Asher.." Aku menegurnya. dia menoleh, dan tetap bermain. Aku ingin kesana, dan merengkuh tubuhnya. Aku tidak menyangka, mempunyai anak yang begitu menggemaskan. Dengan mendekat, aku masih merekam, dan melihat mata tajam Asher. Matanya persis seperti ayahnya. Oh iya, aku sudah sering bilang jika Asher dan Gerald seperti pinang dibelah sepuluh hasilnya tetap sama. Senyum mereka, tertawa, mata, hidung, pipi, rambut, bahkan jari-jarinya sama."Boleh peluk mommy?" Asher bangun, dan memelukku. Aku begitu geram terhadapnya, aku memeluk tubuh kecilnya. Rasanya tak permah puas untuk mencium atau
"Anak mommy yang cantik." Verena berlari ke arahku, dan langsung mau manja-manja sama aku. Asher kalau lihat, pasti ngamuk. Aku mengelus, kepala Verena dengan sayang. Anakku, hadirnya ia yang menyatukan aku dan daddy-nya. Verena penyelamat buat semuanya."Kenapa sayang?" Verena hanya menatapku, dengan mata beningnya. Cantik sekali. Ya, aku sangat bersyukur semua anakku, cantik-cantik. Ia tersenyum, aku juga ikut tersenyum. Ini anak kenapa? Tingkahnya aneh sekali. Verene masih menatapku dan tersenyum, aku hanya terbengong sambil tersenyum, tingkahnya sangat aneh. Apa dia mau minta sesuatu? Padahal tinggal mereka sebutkan dan memang tidak bertentangan, aku langsung memenuhi keinginan mereka."Mommy.""Apa nak?""Love you mommy." Hatiku meleleh. Aku tersenyum lebar, sambil mengelus rambut Verena."Love you more baby.""Mommy cantik.""Iya."
Entah, kenapa rasanya aku ingin bermanja-manja sama suamiku. Anak-anakku, belum bangun. Hari minggu, aku membiarkan mereka untuk beristirahat. Dan hari ini juga, magernya luar biasa. Aku ingin seharian di kasur. Dilayani, atau dimanja dan diberi pelayanan terbaik dari suami dan mungkin anak-anak. Karena biasanya aku yang selalu memanjakan mereka."Daddy, jangan beranjak dari kasur. Mommy mau peluk." Kataku pelan dan masih menutup mata.Gerald merapatkan lagi tubuhnya dan semakin memelukku erat. "Bolekah, hari ini kita berduaan aja?" pintaku lagi."Yaudah, nanti anak-anak aku suruh oma jemput."Aku mengangguk. Sesekali tidak apa-apa. Biasanya, aku yang melarang anak-anak dibawa oma karena, akan merepotkan. Aku juga tidak bisa berjauhan lama-lama dengan anak-anakku. Semenit rasanya sudah rindu sekali. Tapi, hari ini aku ingin kesendirian dan juga memanjak
"Ya Allah nak!" Aku sudah berteriak. Bayangkan saja, Verena dan Asher baru selesai mandi. Dan mereka memakai satu handuk. Tarik-tarikan, sambil tertawa. Badan mereka basah, bisa lantai licin dan mereka terjatuh. Aku heran anak-anak Gerald mau mandi, selesai mandi pasti heboh dan teriak-teriak. Setelah selesai, pasti mereka akan berlarian sepanjang rumah dengan tubuh telanjang."Gerald, anaknya!" Aku berteriak lagi. Verena itu perempuan, harusnya tidak seperti ini. Walau mereka masih kecil, aku takutnya akan menjadi kebiasaan sampai besar, bagaimana jika Verena dan Asher telanjang saat besar. Walau pasti mereka akan sadar, tapi aku tak ingin mereka terbiasa.Gerald datang, dengan membawa handuk Asher. Anak-anak, sudah mengelilingi rumah. Kejar-kejaran."Jangan lari nak, nanti kalian jatuh!" teriakku lagi. Sekarang, tiada hari tanpa teriak.Aku mengangkat Asher. Dia malah tidak mau. Menendang-nendang di udar
Dua hari, suamiku tidak pulang. Rasa tak karuan menyergap dalam dadaku. Aku trauma sejujurnya, aku takut—.Baiklah, tolong hilangkan rasa takut ini dalam dadaku. Nyatanya, kejadian beberapa tahun silam, sangat membekas. Semuanya tidak bisa dilupakan begitu saja dengan mudah.Air mataku turun, dan berdoa tidak mengalami kejadian buruk lagi. Cukup sudah jiwaku terguncang, aku tidak kuat untuk mendapatkan masalah berat lagi. Aku menutup mataku sambil terisak, kenapa harus seperti ini lagi? Selama ini, aku selalu menghibur diriku dan menutup semua lukaku, dengan menyibukkan diri dan mengurus anak. Anak adalah satu-satunya alasanku bertahan. Tapi, jika aku sendirian, aku akan ketakutan sendirian, di luar dia—, dia akan—, banyak pikiran buruk menyerang diriku. Dan biasanya aku selalu berusaha postifi, tapi kali ini tidak.Dengan semua perasaan, yang berkecamuk dalam dadaku, aku terduduk di tempat tidur yang luas ini.
Air mataku sudah turun. Gerald tega memang.Tiba-tiba Gerald keluar dari restoran tersebut. Dia memakai kacamata dan topi. Huwah.... suamiku makin tampan. Kenapa aku baru sadar? Bukan, aku sadar maksudnya kenapa hari ini meningkat drastis? Apa ini salam perpisahan, dan membuatku tak bisa melupakan dirinya.Aku berlari ke arahnya, tidak peduli mau dijual. Aku hanya ingin, memeluknya sebentar."Gerald, Rara sayang sama Gerald. Mommy sayang sama daddy selamanya." Aku memeluknya. Badannya semakin kekar Gerald menunduk melihatku, mungkin dia heram melihatku. Jangan-jangan aku kesurupan."Rara, nggak kesurupan. Rara beneran tulus dan cinta mati sama Gerald. Kamu jangan jual aku ya? Nanti, anak kita sama siapa? Anak kita banyak, kamu pasti nggak sanggup ngurus sendirian." Gerald masih diam, memperhatikan aku yang curhat kepadanya. Dia membalas pelukanku, ah... sangat nyaman sekali.
Hari ini, sengaja Gerald izin kerja. Karena mau berduaan saja. Gila memang. Tapi, aku suka bersamanya jika hanya berduaan. Karena, waktunya buatku memanja-manjakan diri.Hari ini, vater dan Aunty Meiland datang dan mereka ingin mengajak anak-anak jalan-jalan. Gerald dengan senang hati, mengizinkan. Aku, setengah berat. Karena, akan merepotkan. Apalagi, anak lelakiku yang kecil dan anak perempuanku yabg kecil, mereka suka risih kalau jalan-jalan. Banyak permintaan, banyak bertanya, jadi kadang kita yang capek sendiri melayani. Aunty dan vater begitu sayang anak, kurang bersyukur apa hidupku jika mendapat orang-orang baik dan support seperti mereka. Aku bahagia dengan keluargaku.Sebenarnya, aunty Meiland sering minta. Agar, anak-anakku tinggal sama mereka. Aku tidak mungkin, mengizinkan anak-anakku tinggal dengan orang lain. Walau itu, kakek dan nenek mereka sendiri. Aku tidak mau merepotkan orang, dan aku senang
Flashback Rara hamil Asher. Bagaimana dia sudah hamil lagi, disaat usia baby Verena masih 4 bulan. _________________________"Says, mommy's pregnant!" "Mommy's pregnant." Orang-orang yang kusayang, sedang berdiri di depan, seolah, aku mau foto mereka padahal aku sedang memvideo mereka. Gerald sedang mengendong Kelsea dan Skye. Baby Verena sedang tidur, di kamar bayi. Wajahnya lucu-lucu, dan membuat kenangan tersendiri buatku yang takkan pernah kulupakan hingga nanti. Mereka sangat mengemaskan."Mommy's pregnant." ulang Gerald menggeleng. Aku tersenyum."Are you?" Aku mengangguk. "Yes daddy." "No way! You kidding." "No. I'm serious." Gerald menurunkan Kelsea dan Skye. Ia menuju ke arahku, air mataku tidak berhenti menetes dari awal. Aku senang dan sedih. Aku senang, karena akan menambah a