Jerman I'm coming.
Akhirnya aku akan melihat dunia luar seperti impianku.
Semua dokumen yang dibutuhkan untuk berpergian ke luar negri telah beres dalam waktu tiga hari. Semua Gerald yang mengurus, aku hanya duduk manis dan difoto.
Bundaku tetap tidak mengizinkan pergi, tapi aku tetap keras kepala, dan ngotot untuk pergi. Aku benar-benar tidak ingin berniat untuk tinggal di lingkungan tempat tinggalku. Aku merasa sudah tidak nyaman. Bunda marah, dan tetap tidak mau untuk mengantarkanku ke bandara. Padahal, Bunda tahu bagaimana penderitaanku saat Gerald pergi. Harusnya Bunda bisa legowo melepaskanku. Terkadang, aku tak mengerti dengan jalan pikiran Bunda.
Akhirnya adikku yang mengantar. Air mataku turun, aku akan merindukan Bunda, keluarga kecilku.
Aku memeluk Aldo sambil menangis, sebenarnya dia risih aku memeluknya. Si kunyuk itu tidak memelukku balik, padahal aku sudah membayangkan perpisahan yang menyesakkan dada. Dengan Aldo yang menangis karena melepaskanku.
"Bisa lepas, nggak? Aku nggak bisa napas nih." ujar Aldo risih sambil mendorong-dorong tubuhku, dasar adik laknat!
"Aku akan merindukan kalian. Aku akan merindukan Bunda, bilang sama Bunda jangan sedih. Rara akan bahagia. Rara bisa menjaga diri." Aku menangis keras. Aku yakin, Bundaku pasti sedih makanya menolak untuk mengantarkanku. Aku tahu, akan berat melepaskanku, karena Bunda takut aku akan kesusahan di negara orang yang jauh dari Bunda. Tapi, aku harus hidup mandiri, aku akan mendukung keluarga kecilku. Meski Bunda sering memarahiku, aku tahu Bunda sangat menyayangiku.
"Iya nanti Aldo bilang." Aku melepaskan pelukanku, dan masih menangis. Tiba-tiba rasanya aku tidak ingin pergi. Sedih mengingat wajah bulatunda. Aku tidak tahan melihat wajah Aldo, aku memeluknya lagi, dan menangis sekuat mungkin. Aldo mendorongku, dia memang paling risih dipeluk.
Gerald berdiri di belakangku, aku pergi memeluk Gerald, dan menumpahkan semua kesedihanku.
"Udah, kan liburan kita pulang." ujar Gerald menenangknku, sambil menepuk-nepuk pundakku.
"Bunda, Bunda pasti sedih, dan kesepian." Aku terisak, teringat Bunda kesepian di rumah itu sendiri. Apalagi Aldo tak pernah berada di rumah. Aku berbalik, dan melihat ke arah Aldo, dia hanya diam tapi terpancar kesedihan di wajahnya.
"Aldo, jangan sering keluar rumah. Kasian Bunda." Aldo hanya membalas dengan anggukan. Aku berlari lagi ke arahnya, dan memeluknya. Aldo mendorongku lagi. Dasar manusia tak bisa romantis sedikit! Lain suami lain keluarga, semuanya sama saja. Tak bisa romantis! Aku menghapus air mataku. Tapi, mereka adalah keluargaku, segalanya bagiku.
Tiba-tiba, pengumuman waktunya check in. Dengan mata yang sembab, dan setengah ikhlas meninggalkan tanah kelahiranku. Aku menarik napas panjang, rasanya deg-degan, senang, takut, sedih. Segala macam perasaan menghantuiku. Aku akan merindukan tanah keluargaku, dan takut tak bisa bertahan hidup di negara asing.
Setelah melewati, banyak pemeriksaan. Kami menunggu di ruang tunggu, waktu keberangkatan 15 menit lagi. Akhirnya, aku akan naik pesawat pertama kali dalam hidupku. Perasaan sedih, dan menegangkan kurasakan. Semoga dalam perjalanan semuanya selamat sampai tujuan. Untung saja, ada Gerald di sampingku. Jika aku yang berangkat sendiri, aku bisa menjamin bahwa aku tidak jadi berangkat. Aku akan pulang ke rumahku saja. Perasaan was-was lebih menghnatuiku sekarang.
Akhirnya, waktu check in terakhir kalinya, dan masuk dalam pesawat. Senyum pramugari-pramugari cantik dan seksi menyambut pertama kali menginjak pintu pesawat.
Aku sibuk, melihat nomor bangku milikku. Aku dengan cepat berebut ingin duduk di dekat jendela. Karena aku ingin melihat awan dan melihat bentuk pulau-pulau kecil jika dilihat dari atas.
Aku duduk di dekat jendela, Gerald di tengah, dan di sampingku seorang bule ganteng yang masih muda. Tahu begini, aku duduk di tengah, biar bisa berkenalan.
Selamat tinggal, tanah airku, selamat tinggal negaraku kupastikan aku akan kembali. Aku menjadi sedih mengingat wajah Bunda. Setelah nanti mendarat, aku akan menelpon Bunda. Ketika pesawat perlahan berjalan sebelum merangkak naik, ada satu perasaan aneh, dan asing yang menyusup dalam dadaku.
Setelah diberi video tentang prosedur pesawat, dan tips-tips jika terjadi hal yang tidak diinginkan. Walau pertama kalinya naik pesawat, tapi aku tidak merasa canggung sama sekali, aku sudah seperti berpengelaman bolak-balik ke luar negri.
Hell, perjalanan kami itu sangat lama. Sepertinya nanti transit di Thailand. Setelah itu di China kalau tidak salah setelah itu baru mendarat di Frankfurt. Ya, tujuan kami adalah Frankfurt city. Tempat bule Gerald berasal, dan juga universitasnya menimba ilmu.
Aku sibuk mengamati, gumpalan-gumpalan awan di bawah. Puas menatap awan aku bermain di game layar depan. Aku sedang asyik dengan duniaku. Pikiranku melayang ke mana-mana, bahkan sampai tak sadar, jika ada Gerald bersamaku.
"Gerald, ini kita di mana?"
"Di pesawat." Tuh kan, jawaban Gerald selalu saja membuatku gemas ingin mencubit-cubit kulitnya hingga memar.
"Ish ... maksudku, negara mana ini?"
"Negara antah berantah."
"Belum pernah kejadian 'kan? Ada penumpang yang menendang penumpang lain dari pesawat? Ingin membuat sejarah baru?" kataku kesal. Gerald hanya tertawa. Ingin kujambak-jambak rambutnya, jika tidak mengingat aku harus menjaga image--ku. Karena ada bule tampan di samping kami. Dasar suami sendiri! Udah gitu, Gerald hanya memasang wajah tanpa dosa. Padahal dia baru saja membuatku kesal.
"Ya, kamu juga tanyanya nggak masuk akal. Kita di mana? Jelasl ah lagi dalam pesawat." Gerald membela diri, tapi aku terlanjur kesal.
"Awas." ujarku kesal sambil mendorong Gerald. Aku sengaja ingin membuat Gerald kesal, aku menyuruh dia duduk dekat jendela, dan aku di di tempat awal Gerald. Kami bertukar posisi, tujuanku agar bisa berkenalan dengan si bule tampan.
Gerald menggeser, waktunya untuk membuat dia kesal balik. Tunggu pembalasanku, kilatan licik tersusun rapi di otakku.
Bule itu sedang membaca koran, yang disediakan di dalam oleh pihak maskapai penerbangan.
"Hai..." kataku sok lembut. Gerald langsung melototiku. Aku tidak menghiraukan. Malah mengibaskan rambutku, kode jangan ikut campur!
"Hai." jawab si bule itu singkat, dan sedikit canggung.
"Where's your destiny?"
"I just come back from vacation."
"I see. Are you vacation in Indonesia?"
"Yup."
"So, where's your country?"
"I'm from Germany." Kebetulan nih, saatnya menggoda Gerald dengan membuat dia kesal.
"Cool. I'm Rara. What's your name?"
"Mark."
"Beatiful name." Dia pun tersenyum.
"So, are you in school or in college?"
"Actually. I'm in college program."
"Are you single?" Sengaja kukuatkan suaraku agar membuatku Gerald kesal. Ternyata rasanya menyenangkan membuat Gerald kesal. Rasain kau, bule mengesalkan!
Dengan tidak sopannya, Gerald mendudukiku. Dia duduk tepat pangkuanku dengan menumpahkan seluruh berat badannya. Sialan! Aku mendorongnya, tapi mentok terhalang bangku di depan. Aku menggelitik perut Gerald. Malah dia balik menggelitkku. Aku tertawa-tawa. Tanpa sadar, semua pasang mata memerhatikan kami. Dengan malu aku mendorong Gerald, dan beralih ke tempat dudukku dekat jendela. Memang kami selalu jadi pasangan aneh yang jadi perhatian orang-orang di sekitar.
Aku melihat keluar lewat jendela. Aku tidak bisa melihat lagi pulau-pulau. Berarti kami sudah hilang di antara awan-awan.
Gerald menggelitikku lagi. Aku ingin memarahinya, aku berbalik siap menumpahkan semua sumpah serapah, malah bibirku disumpal. Gerald menciumku, tanpa malu dalam pesawat. Yeah, lumayanlah sebagai kenangan berciuman di dalam pesawat. Akuu ingin berontak, tapi akhirnya aku menyambut ciumannya, untung saja yang naik rata-rata orang luar, jadi tak peduli pada aksi tak senonoh kami. Jadi, kami tidak menjadi bahan gunjingan.
Ciuman kami makin brutal, aku meremas-remas rambut Gerald. Menutup mataku, merasakan lidah Gerald masih mendesak-desak di dalam. Ia menghisap lidahku, seolah tak ada hari esok. Aku memiringkan kepalaku, dan bergantian menyedot lidah Gerald, bahkan sampai menyedot habis bibir bawah. Aku geram terhadapnya.
"Kita ke toilet?" bisik Gerald, ketika menyadari tension kami sudah tak terkontrol.
"Gila kamu!" Aku mendorongnya. Gerald masih sibuk menggodaku, untuk sekedar main di toilet pesawat. Kan gila!
Tiba-tiba, pengumuman kami akan transit di Thailand.
Nasib baiknya. Kami memakai lagi penerbangan yang sama, jadi yang untuk tujuan China dan Jerman tidak turun. Kami menunggu sekitar satu jam untuk keberangkatan kembali. Mau lihat negara orang saja, begitu banyak menguras energi.
___________________Waktunya keberangkatan kembali. Saatnya, terbang menuju China. Air mataku turun, aku sudah jauh meninggalkan Bundaku. Kami sudah berpisah pulau, dan lautan, beribu-ribu mil.
Aku hanya melihat ke luar dengan air mata yang turun. Lama kelamaan badanku bergetar. Aku rindu bundaku. Terbayang wajah murung Bunda, karena tak dapat membendung kesedihannya. Aku benar merindukan bunda.
"Kenapa?" Gerald tahu aku sedang menangis.
"Kita udah jauh bangat dari bunda." Gerald menghapus air mataku, dan menenangkanku.
"Nanti, kalau udah sampai telpon aja."
"Bunda pasti sedih, pasti bunda kesepian." Badanku bergetar lagi.
Bunda sehat terus, jangan sedih. Rara pasti pulang.
"Ayo kita main games." Hibur Gerald.
"Games apa?"
"Ini hanya permainan anak kecil. Tapi dijamin, sedihnya pasti berkurang. Siap?" Aku pun mengangguk. Gerald, menjelaskan bahwa permainan menggunakan jari seperti biasa anak-anak lakukan. Aku hanya menutup mataku, setelah itu Gerald mencolek hidungku, dan aku tinggal menebak jari mana yang digunakan untuk mencolek hidungku, dan harus jawab jujur. Aku dengan semangat ikut terlibat, karena aku jago dalam hal tebak-tebakan.
Aku menutup mataku, dengan cepat Gerald mencolek hidungku. Aku tahu, jari apa ini. Dengan tersenyum aku menjawab, "Jari kelingking." seruku.
Gerald langsung menutup matanya, berarti benar. Sudah kubilang, aku jago dalam hal menebak.
Dengan cepat aku mencolek hidung Gerald. Dia membuka matanya, dan menatap ke arahku. Aku tersenyum seperti anak kecil.
Gerald pura-pura mikir. "Jari telunjuk." Aku tertawa dan menggeleng. Dia menutup lagi matanya, aku mencolek lagi. "Jempol?" Aku menggeleng, dan menjulurkan lidah ke arahnya. Dasar payah. Aku saja, sekali menebak langsung bisa.
Berulang kali, Gerald salah. Aku menjadi geram melihatnya. Sepertinya dia sengaja disalahkan. Agar bisa menghiburku. Manusia mood booster satu ini, memang pandai menjungkir-balikan perasaanku.
Akhirnya, dengan semua jariku aku meraup hidung Gerald, dan menariknya. Untung saja mancung, jadi aku bisa menariknya. Coba pesek. Aku tak bisa mencubit hidung Gerald.
"Aw... semua jari." serunya. Aku hanya memutar bola mataku.
Aku menutup mataku, tanda bahwa giliran aku untuk menebak.
Lama menunggu, satu menit, dan tidak ada tanda-tanda hidungku dicolek. Tiba-tiba, sesuatu yang hangat dan basah menempel di bibirku. Gerald menempelkan bibirnya di bibirku.
"Bibir?" Aku membuka mataku, dan Gerald tersenyum. Lelaki tampan ini.
Dengan gemas, aku menciumnya. Dia dengan senang hati menyambutnya.
Lelaki ini, sangat pandai menarik hatiku. Dia mengetahui hal-hal kecil yang membuatku terhibur. Akhirnya, kami berciuman dengan panas lagi di dalam pesawat. Bisa-bisa bibir kami kebas, karena berciuman setiap saat.
"Kayak gini terus ya, biar hangat. Di Jerman dingin, lagi musim salju. Sebenarnya, Oma bilang baru hari pertama turun salju." Mataku langsung berbinar, keberuntungan apa aku aku langsung disambut salju. Berarti, Jerman bisa menerima kehadiranku di sana. Buktinya, langsung menurunkan berkat, salju hari pertama, di hari pertamaku tiba disana. What a blessed life.
Aku memperhatikan penampilanku, aku salah kostum berarti. Aku hanya memakai dress pendek, bertali yang mengikat di leher. Sebenarnya aku hanya berpenampilan santai seperti ingin ke pantai.
"Bajuku!" Aku berteriak heboh. Aku tidak mempunyai jaket tebal ataupun syal untuk pakaian musim dingin. Dan ini untuk pertama kalinya, aku akan melihat dan merasakan langsung bagaimana udara musim dingin.
"Pakai coat aku nanti." aku tersenyum. Akan menjadi pengelaman jadi bule nyata, karena memakai coat tebal, dan berdingin-dingin karena musil salju.
Euforia yang berlebihan tentang musim dingin, membuat sedihku berkurang. Aku yakin, akan semakin banyak pengelaman yang akan kurasakan. Jika bersama Gerald, kita tidak akan merasa kesepian atau bosan. Karena ada saja dibahasnya, serta semua jawaban-jawaban tidak nyambung yang selalu dilontarkan. Walau mengesalkan, tapi aku terhibur dengan semua kekonyolan, yang ia buat demi berusaha menghibirki. How I love this guy.
Tanpa terasa aku menginjakan kaki, di negara orang. Aku akan menetap di sini dalam waktu yang tidak ditentukan, mungkin selamanya. Dan beranak-pinak di negara orang, sampai aku menua. Inilah perjalan hidup Rara. Hanya impian kecil, dan sederhana semasa kecil, sekarang Tuhan mengabulkan semua keinginan tersebut. Welcome abroad Rara, hope you always happy with your choice.
Suasana sejuk langsung menyambut kami, ketika turun. Kepenatan yang memakan waktu 18 jam langsung terbayarkan ketika melihat salju putih yang turun. Walau belum banyak, bahkan aku masih bisa melihat tanah kering.
Rasanya aku ingin berlari ke sana, dan guling-guling di atas salju tersebut. Ya, senorak itu. Tapi aku begitu senang melihat salju putih yang turun menutupi rambutku. Hanya sesederhana ini, impianku semasa kecil.
Dan rasanya Jerman yang kuimpikan tidak sesuai dengan ekspektasiku. Aku kira, semua negara Eropa mempunyai bangunan klasik. Frankfurt memiliki banyak gedung pencakar langit. Apalagi bandaranya, sangat luas dan tentu saja cantik. Karena ini merupakan salah bandara tersibuk di dunia dengan menghubungkan ke semua negara.
Bagaimana pun Jerman, atau bagaimana keadaan belahan dunia yang akan kukunjungi aku akan tetap senang. Asalkan tetap bersama Gerald. My husband, my sweet guy, my brondong. Daddy for my child, my hero my superman. Lelaki yang kucintai sepenuh hatiku. Lelaki yang dikirim Tuhan.
Selamat menapaki dunia baru, Rara, di belahan dunia lain bersama suami tercinta.
________________Siapa yg nunggu moment ini?
Next chap, kita akan berpetualang bersama Rara, menjelajah seluruh isi Jerman. Tergantung bagaimana Rara menjelaskan, dan informasi yg Gerald berikan benar atau tidak.
Asli, jawaban Gerald buat emak pengen bawa pulang, trus emak kurung😌😌
See you.
Leave a comment.
"Bunda—" "Iya, Nak?" Air mataku tumpah ruah. "I miss you." "Bunda juga rindu. Jaga diri baik-baik. Jaga kesehatan, jaga anaknya." Air mataku semakin deras. Aku merindukan Bundaku. Dan selalu saja, pesan ini yang Bunda sampaikan. Ya, Bunda perhatian. Tapi aku merasa Bunda seperti tak yakin padaku, aku bisa mengurus diri. Padahal, aku sudah dewasa, sudah menjadi istri orang, dan mom to be. Kenapa, Bunda harus takut? Aku bisa bertanggung jawab terhadap diriku sendiri. "Iya, Bunda. Bunda jangan sedih, ya. Rara bisa menjaga diri di sini." kataku meyakinkan bunda. "Iya, nggak, bunda nggak sedih. Bunda khawatir, kamu di tempat orang jauh." Meski Bunda bilang tidak, tapi aku tahu
Gerald's girlfriend. How I missing something here? I glance kill for Gerald to confirm this. "I'm sorry Alle. Rara is my wife." Gerald mencoba menenangkan, dari keadaan yang sudah memanas. Ini tak bisa dibiarkan. Bagaimana mungkin lelaki sial ini, bermain-main di belajangku? Ditambah, cewek sial ini, dengan percaya diri mengaku dia pacar Gerald. "Wife? Really? Are you fucking kidding me again?" pekik si pirang. "Yeah, I just want you to introduce with my beatiful woman in the world." "Bullshit!" I scream and throw remote to Gerald. Remot itu tepat mengenai wajah Gerald, dan ia berhasil menangkap remot tersebut, sebelum semuanya berderai.
"Kamu kenal Alicia itu siapa?" Gerald menengang. "Nggak!" Jawabnya gelapan, dan salah tingkah. Berarti semua hanya mimpi burukku saja. "Yaudah tidur, yuk." Ajak Gerald. "Hei, makanan kamu belum habis. Habiskan biar Rara kemas semuanya dan cuci." Kulihat Gerald sudah tidak berselera lagi. Aku mengemas semuanya, dan mencuci piring-piring yang kotor, dan peralatan buat masak tadi. Setelah selesai, kulihat Gerald masih melamun. Makanannya masih sama seperti tadi kutinggalkan. Dia bertingkah aneh. Apa Gerald sakit perut, karena aku memasak yang tidak steril? "Jadi, masih mau makan nggak?" tanyaku lagi, melihat Gerald yang masih melamun. "Eh?"
Aku ingin mengerjai Gerald. Aku tidak sakit perut. Tapi aku hanya capek, sedang tidak berselera untuk melayaninya sekarang. Tapi, aku tiba-tiba merasa berdosa setelah melihat dia panik. Selalu saja, bertingkah bodoh yang membuat kami sama-sama terluka. "Sakit? Kenapa? Keram?" tanya Gerald panik. Aku menggeleng. "Nggak tahu, sakit aja. Biarkan aku istirahat, kamu boleh pergi kuliah." kataku dengan suara lemah, agar meyakinkan. Tapi rasa bersalah, terus menghantamku. "Aku nggak bisa, nanti kamu kenapa-kenapa. Kayak semalam." Gerald menyugar rambutnya, dan wajahnya begitu ketakutan. "Nggak papa, nanti kalau sakit atau apa aku telpon aja. Tapi kamu harus gerak cepat ya." Aku memegangi perutku. "Iya, maaf telah membuat kamu sa
Tubuhku kaku semua. Sial! Aku tertidur di atas meja. Meski hanya kepalaku saja. Semoga anakku tidak merasa kesakitan. Dari malam sampai lagi, posisi tidurku hanya duduk di atas kursi, dengan kepala di atas meja. Benar-benar posisi tidur yang aneh dan tak sadar sama sekali, padahal aku tertidur dengan posisi duduk. Aku juga tak tahu jam berapa sekarang. Leher kaku, tangan dan kakiku keram. Dengan mengembalikan sistem tubuhku. Aku menuju kamar, dan pemandangan paling indah menyambutku. Aku mencari handphone dan baru ingat, semalaman aku tidak mencabut handphone-ku. Untung saja tidak meledak. Dengan menguap terasa belakang dan leherku sakit semua. Untuk digerakan sedikit saja, sangat sakit. Aku terduduk di pinggir ranjang melihat keadaan sekitar, demi apa tidurku begitu pulas dan tak sadar sama sekali? Kuperhatikan jam di layar ponsel.
Seluruh badanku remuk, setelah aksi pelukan ala (bukan) Telletubies malah berakhir aku ditelanjangi. "Kamu tetap yang terbaik." Bisik Gerald. Badanku terlalu lemah. Jadi aku hanya memeluk dada telanjang favoritku, dan membiarkan keringat kami melebur. Eh bentar, dari tadi anak ini tidak ada tanda-tanda pergi ke kampus. "Kamu nggak ke kampus?" aku mengangkat kepalaku dan menatap Gerald yang menutup matanya, ia juga kelelahan. "Nggak!" "Kenapa?" "Kenapa?" tanya Gerald balik. Dia selalu mengesalkan. "Ish-- diperhatiin juga." Aku mencubit perutnya. Dasar manusia menyebalkan. "Aku lebih s
Sebenarnya oma menawarkan buat menginap. Tapi aku menolak, aku segan jika besok pagi aku bangun telat. Padahal sebenarnya budaya orang sini, tidak masalah bangunnya. Sesuai didikan bundaku, aku harus lebih respect terhadap tuan rumah. Aku takutnya bangun kesiangan, karena akhir-akhir ini aku selalu bangun telat. Kami pun pulang juga, karena aku memaksa Gerald pulang."Besok weekend. Ada mau jalan-jalan kemana?" tawar Gerald."Aku nggak tahu. Yang aku butuhkan sekarang, pulang dan tidur. Badanku capek bangat." ujarku lemah, setelah kekenyangan, aku membutuhkan kasur, dan membaringkan kepalaku di bantal yang empuk."Yaudah tidur." Aku menutup mataku, rasanya tidak kuat lagi menahan kantukku. Harusnya tadi aku tidak keras kepala dan nginap saja di rumah oma. Aku sudah tertidur, tapi samar-samar,
Warning!! Vulgar!!_________________________________Aku sedang menelfon bundaku. Gerald? Kuliah tentu saja, aku mulai menjalani aktivitas yang lama-lama kurasakan---bosan. Karena aku type pembosan. Hanya menggebu-gebu di awal, dan semakin kesini, perlahan semuanya memudar. Semoga saja, dengan suami tidak merasa bosan."Bunda, Rara udah periksa ke dokter.""Jadi gimana perkembangannya?""Anaknya perempuan. Rara akan mempunyai anak perempuan yang cantik." aku tersenyum. Sebenarnya ingin jingkrak-jingkrak, tapi sadar posisi sudah hamil, sudah tua, dan akan menjadi ibu."Yaudah, jaga diri baik-baik. Jangan stress.""Iya bunda. Kayaknya berat badan Rara bertambah deh, Rara lapar terus bawaan."
Kuperhatikan wajah kedua putriku. Wajahnya mirip, orang tidak akan salah menduga mereka saudara kandung. Kelsea manis, Verena juga. Tapi, rambut Verena diambil dari mana, rambutnya sedikit bergelombang dan coklat tembaga. Padahal rambutku dan rambut Gerald lurus. Ah, mana saja yang penting anak-anakku sehat.Dari rambutnya yang bergelombang sudah bisa dipastikan bulu mata Verena lentik. Verena dan Asher mempunyai bulu mata yang cantik. Yang paling kusuka dari Kelsea, senyumannya. Walau, dia cemberut saja, masih terlihat manis. Anakku, yang satu itu tidak bosan dipandang. Wajahnya cantik, begitu cantik. Terkadang aku tak percaya punya anak secantik ini, walau kelakuannya bikin geleng-geleng.Apalagi Kelsea, orang yang suka merenggut masam.Kelsea lebih dominant, gen milikku. Namun, masih terlihat blasteran. Verena, lebih banyak bulenya. Asher, tidak terlihat genku sama seka
Aku melihat anak gembulku, yang sedang sibuk bermain. Jika, dia sudah bermain tidak akan mempedulikan sekeliling, dan suka bicara sendiri sambil menunjuk mainannya. Seolah mainan itu lawan bicara.Aku hanya duduk memperhatikan, sambil menvideo. Sebagai dokumentasi ketika dia sudah dewasa. Kalau kecilnya, begitu menggemaskan."Asher.." Aku menegurnya. dia menoleh, dan tetap bermain. Aku ingin kesana, dan merengkuh tubuhnya. Aku tidak menyangka, mempunyai anak yang begitu menggemaskan. Dengan mendekat, aku masih merekam, dan melihat mata tajam Asher. Matanya persis seperti ayahnya. Oh iya, aku sudah sering bilang jika Asher dan Gerald seperti pinang dibelah sepuluh hasilnya tetap sama. Senyum mereka, tertawa, mata, hidung, pipi, rambut, bahkan jari-jarinya sama."Boleh peluk mommy?" Asher bangun, dan memelukku. Aku begitu geram terhadapnya, aku memeluk tubuh kecilnya. Rasanya tak permah puas untuk mencium atau
"Anak mommy yang cantik." Verena berlari ke arahku, dan langsung mau manja-manja sama aku. Asher kalau lihat, pasti ngamuk. Aku mengelus, kepala Verena dengan sayang. Anakku, hadirnya ia yang menyatukan aku dan daddy-nya. Verena penyelamat buat semuanya."Kenapa sayang?" Verena hanya menatapku, dengan mata beningnya. Cantik sekali. Ya, aku sangat bersyukur semua anakku, cantik-cantik. Ia tersenyum, aku juga ikut tersenyum. Ini anak kenapa? Tingkahnya aneh sekali. Verene masih menatapku dan tersenyum, aku hanya terbengong sambil tersenyum, tingkahnya sangat aneh. Apa dia mau minta sesuatu? Padahal tinggal mereka sebutkan dan memang tidak bertentangan, aku langsung memenuhi keinginan mereka."Mommy.""Apa nak?""Love you mommy." Hatiku meleleh. Aku tersenyum lebar, sambil mengelus rambut Verena."Love you more baby.""Mommy cantik.""Iya."
Entah, kenapa rasanya aku ingin bermanja-manja sama suamiku. Anak-anakku, belum bangun. Hari minggu, aku membiarkan mereka untuk beristirahat. Dan hari ini juga, magernya luar biasa. Aku ingin seharian di kasur. Dilayani, atau dimanja dan diberi pelayanan terbaik dari suami dan mungkin anak-anak. Karena biasanya aku yang selalu memanjakan mereka."Daddy, jangan beranjak dari kasur. Mommy mau peluk." Kataku pelan dan masih menutup mata.Gerald merapatkan lagi tubuhnya dan semakin memelukku erat. "Bolekah, hari ini kita berduaan aja?" pintaku lagi."Yaudah, nanti anak-anak aku suruh oma jemput."Aku mengangguk. Sesekali tidak apa-apa. Biasanya, aku yang melarang anak-anak dibawa oma karena, akan merepotkan. Aku juga tidak bisa berjauhan lama-lama dengan anak-anakku. Semenit rasanya sudah rindu sekali. Tapi, hari ini aku ingin kesendirian dan juga memanjak
"Ya Allah nak!" Aku sudah berteriak. Bayangkan saja, Verena dan Asher baru selesai mandi. Dan mereka memakai satu handuk. Tarik-tarikan, sambil tertawa. Badan mereka basah, bisa lantai licin dan mereka terjatuh. Aku heran anak-anak Gerald mau mandi, selesai mandi pasti heboh dan teriak-teriak. Setelah selesai, pasti mereka akan berlarian sepanjang rumah dengan tubuh telanjang."Gerald, anaknya!" Aku berteriak lagi. Verena itu perempuan, harusnya tidak seperti ini. Walau mereka masih kecil, aku takutnya akan menjadi kebiasaan sampai besar, bagaimana jika Verena dan Asher telanjang saat besar. Walau pasti mereka akan sadar, tapi aku tak ingin mereka terbiasa.Gerald datang, dengan membawa handuk Asher. Anak-anak, sudah mengelilingi rumah. Kejar-kejaran."Jangan lari nak, nanti kalian jatuh!" teriakku lagi. Sekarang, tiada hari tanpa teriak.Aku mengangkat Asher. Dia malah tidak mau. Menendang-nendang di udar
Dua hari, suamiku tidak pulang. Rasa tak karuan menyergap dalam dadaku. Aku trauma sejujurnya, aku takut—.Baiklah, tolong hilangkan rasa takut ini dalam dadaku. Nyatanya, kejadian beberapa tahun silam, sangat membekas. Semuanya tidak bisa dilupakan begitu saja dengan mudah.Air mataku turun, dan berdoa tidak mengalami kejadian buruk lagi. Cukup sudah jiwaku terguncang, aku tidak kuat untuk mendapatkan masalah berat lagi. Aku menutup mataku sambil terisak, kenapa harus seperti ini lagi? Selama ini, aku selalu menghibur diriku dan menutup semua lukaku, dengan menyibukkan diri dan mengurus anak. Anak adalah satu-satunya alasanku bertahan. Tapi, jika aku sendirian, aku akan ketakutan sendirian, di luar dia—, dia akan—, banyak pikiran buruk menyerang diriku. Dan biasanya aku selalu berusaha postifi, tapi kali ini tidak.Dengan semua perasaan, yang berkecamuk dalam dadaku, aku terduduk di tempat tidur yang luas ini.
Air mataku sudah turun. Gerald tega memang.Tiba-tiba Gerald keluar dari restoran tersebut. Dia memakai kacamata dan topi. Huwah.... suamiku makin tampan. Kenapa aku baru sadar? Bukan, aku sadar maksudnya kenapa hari ini meningkat drastis? Apa ini salam perpisahan, dan membuatku tak bisa melupakan dirinya.Aku berlari ke arahnya, tidak peduli mau dijual. Aku hanya ingin, memeluknya sebentar."Gerald, Rara sayang sama Gerald. Mommy sayang sama daddy selamanya." Aku memeluknya. Badannya semakin kekar Gerald menunduk melihatku, mungkin dia heram melihatku. Jangan-jangan aku kesurupan."Rara, nggak kesurupan. Rara beneran tulus dan cinta mati sama Gerald. Kamu jangan jual aku ya? Nanti, anak kita sama siapa? Anak kita banyak, kamu pasti nggak sanggup ngurus sendirian." Gerald masih diam, memperhatikan aku yang curhat kepadanya. Dia membalas pelukanku, ah... sangat nyaman sekali.
Hari ini, sengaja Gerald izin kerja. Karena mau berduaan saja. Gila memang. Tapi, aku suka bersamanya jika hanya berduaan. Karena, waktunya buatku memanja-manjakan diri.Hari ini, vater dan Aunty Meiland datang dan mereka ingin mengajak anak-anak jalan-jalan. Gerald dengan senang hati, mengizinkan. Aku, setengah berat. Karena, akan merepotkan. Apalagi, anak lelakiku yang kecil dan anak perempuanku yabg kecil, mereka suka risih kalau jalan-jalan. Banyak permintaan, banyak bertanya, jadi kadang kita yang capek sendiri melayani. Aunty dan vater begitu sayang anak, kurang bersyukur apa hidupku jika mendapat orang-orang baik dan support seperti mereka. Aku bahagia dengan keluargaku.Sebenarnya, aunty Meiland sering minta. Agar, anak-anakku tinggal sama mereka. Aku tidak mungkin, mengizinkan anak-anakku tinggal dengan orang lain. Walau itu, kakek dan nenek mereka sendiri. Aku tidak mau merepotkan orang, dan aku senang
Flashback Rara hamil Asher. Bagaimana dia sudah hamil lagi, disaat usia baby Verena masih 4 bulan. _________________________"Says, mommy's pregnant!" "Mommy's pregnant." Orang-orang yang kusayang, sedang berdiri di depan, seolah, aku mau foto mereka padahal aku sedang memvideo mereka. Gerald sedang mengendong Kelsea dan Skye. Baby Verena sedang tidur, di kamar bayi. Wajahnya lucu-lucu, dan membuat kenangan tersendiri buatku yang takkan pernah kulupakan hingga nanti. Mereka sangat mengemaskan."Mommy's pregnant." ulang Gerald menggeleng. Aku tersenyum."Are you?" Aku mengangguk. "Yes daddy." "No way! You kidding." "No. I'm serious." Gerald menurunkan Kelsea dan Skye. Ia menuju ke arahku, air mataku tidak berhenti menetes dari awal. Aku senang dan sedih. Aku senang, karena akan menambah a