"Bunda—"
"Iya, Nak?" Air mataku tumpah ruah.
"I miss you."
"Bunda juga rindu. Jaga diri baik-baik. Jaga kesehatan, jaga anaknya." Air mataku semakin deras. Aku merindukan Bundaku. Dan selalu saja, pesan ini yang Bunda sampaikan. Ya, Bunda perhatian. Tapi aku merasa Bunda seperti tak yakin padaku, aku bisa mengurus diri. Padahal, aku sudah dewasa, sudah menjadi istri orang, dan mom to be. Kenapa, Bunda harus takut? Aku bisa bertanggung jawab terhadap diriku sendiri.
"Iya, Bunda. Bunda jangan sedih, ya. Rara bisa menjaga diri di sini." kataku meyakinkan bunda.
"Iya, nggak, bunda nggak sedih. Bunda khawatir, kamu di tempat orang jauh." Meski Bunda bilang tidak, tapi aku tahu Bunda sedang bersedih sekarang.
"Nanti kapan-kapan Bunda boleh jalan-jalan ke sini. Sekarang lagi musim dingin, dingin bangat, Bunda." aku mengertakan gigiku. Saking noraknya, aku memang kedinginan. Walau sudah pakai penghangat ruangan, dan aku harus memeluk tubuh telanjang Gerald, agar tak kena hipotermia. Dan aku juga harus memakai pelembab bibir, jangan sampai bibirku terlalu kering, dan bisa luka-luka.
"Iya. Jaga kesehatan. Terutama anaknya dijaga, sering-sering periksa ke dokter." aku meremas ponselku. Aku baru sadar, aku tidak pernah memeriksa anakku. Betapa tidak bergunanya aku menjadi orang tua. Besok aku harus meminta Gerald memintaku untuk menemaniku periksa ke dokter. Bahkan, aku sampai tak tahu, usia kandunganku sudah berapa bulan.
"Iya, Bunda. Besok Rara sama Gerald periksa."
"Jaga diri, jangan bertengkar terus. Utamakan nyawa dalam kandungan, jangan keras kepala. Jangan egois."
"Iya, Bunda."
"Jangan lupa minum susu ibu hamil. Secepatnya periksa, biar tahu perkembangan bayinya." Bahkan, aku sudah berjauhan bermil-mil, Bunda tetap bercerah seperti biasa. Harusnya Bunda bisa menanayakan bagaimana Jerman, bukan hanya nasihat. Apa Bunda tidak penasaran dengan Jerman? Padahal, Jerman negara yang cantik, baru menginjak kakinya di sini, aku sudah jatuh cinta dengan negara ini. Ditambah tinggal bersama orang tercinta.
"Iya, Bunda. Bunda, Rara minta maaf kalau selama ini Rara selalu durhaka sama Bunda. Selalu membuat bunda pusing dan stress."
"Iya, Bunda cuman mau yang terbaik buat kamu."
"Makasih Bundaku sayang. Doakan Rara sukses, dan anaknya sehat-sehat aja."
"Doa Bunda selalu menyertai kalian." Aku tersenyum. Orang tuaku, satu-satunya yang paling berharga. Bunda segalanya bagiku, tapi Bunda melakukan apa saja, agar aku bahagia, walau aku sering suudzon ke Bunda.
"Rara sayang Bunda." ujarku tulus.
"Iya."
"Jadi, si Aldo sering di rumah atau masih keluyuran?"
"Seperti biasalah laki-laki."
"Sialan!"
"Mulutnya!" tegur Bunda di ujung telpon. Memang si kunyuk, padahal sudah kuperingati, agar tetap menjaga Bunda, jangan suka keluar terus. Aku tak tega, melihat Bunda menahan kesepian setiap saat.
"Hehehe. Bukan gitu, Rara udah pesan ke dia jangan sering keluar rumah kasian Bunda sendirian."
"Udah, nggak papa. Kamu jaga diri di sana aja, jangan stress."
"Siap, kapten."
Satu jam lebih, aku bebas bertelpon ria dengan Bunda. Aku menceritakan semua pengelaman, dan perjalanan panjang yang melelahkan sekaligus memberi kenangan yang takkan kulupakan. Walau respon bunda kurang antusias, tapi aku begitu bersemangat menceritakan semuanya. Bagaimana, naik pesawat, betapa pantatku sambil tipis, kelamaan duduk. Yeah, perjalananku begitu jauh. Pantas saja, dulu aku merenggek Gerald pulang, ia tak bisa mengabulkan, karena lelahnya dalam perjalanan.
__________________Pada hari pertama juga, aku memaksa Gerald untuk langsung mencari apartemen. Aku tidak mau tinggal sama nenek-nenek itu. Meski dia sudah bisa menerima kehadiranku, tapi aku tidak bisa bebas kalau tinggal bersama orang lain. Apalagi ini masa untuk beradaptasi. Takutnya, di masa-masa itu semua yang kulakukan semua salah di mata mereka. Aku harus beradaptasi dengan budaya di sini, dan belajar bahasa Jerman. Walau nenek-nenek itu menyambutku dengan baik, bahkan menyiapkan berbagai macam makanan khas Jerman, terutama hidangan musim dingin, dan berbagai macam anggur.
Dan aku baru tahu, rupanya Si Biola tetangga nenek-nenek itu. Kirain mereka masih bersaudara. Biola itu crush Gerald, jadi semacam teman cinta pertama, ciuman pertama, aku tidak mengerti, istilah, dan budaya mereka.
Aku mengkhawatirkan juga, jika aku berdekatan dan melihat wajah si Biola tiap hari membuatku tidak tahan untuk menjambak rambutnya. Apalagi, jika dia berusaha untuk menggoda Gerald, hm.. habislah dia! Aku yang akan menggali kuburan untuknya. Okay, maafkan aku, sepertinya pikiranku terlalu terkontaminasi oleh bacaan psikopat.
Aku sedang sendirian di kamar ditemani, penghangat ruangan. Gerald kuliah, apalagi dia banyak ketinggalan. Sebenarnya seperti ini, aku merasa kesepian. Aku ingin, mengeksplor negara orang yang cantik. Tapi aku mempunyai banyak keterbatasan.
Aku harus belajar masak, mulai sekarang. Mungkin, hari-hariku tak lagi kesepian, jika aku memasak, berbagai macam makanan untuk menyenangkan suamiku. Dan otomatis belajar masakan Jerman. Semoga, masakan orang luar tidak ribet seperti masakan Bundaku. Ya, aku malas belajar masak di rumah, karena terlalu ribet, apalagi banyak bumbu yang membuatku pusing, karena tidak tahu namanya.
Kami hanya menyewa apartemen satu kamar. Lagian buat apa besar-besar. Yang tinggal hanya dua orang.
Menurut penuturan Gerald. Di seluruh negara Jerman, Frankfurt merupakan kota dengan biaya hidup yang mahal. Kotanya juga tidak besar, paling kita hanya membutuhkan waktu satu jam untuk menjelajahi seluruh kota. Mumpung aku sudah berada di Eropa sekarang. Aku harus menjelajahi seluruh negara Eropa. Swiss destinasi pertama. Itali kurasa tidak buruk. Selanjutnya ke Perancis, Inggris. Okay, aku akan menjelajah seluruh negara Eropa. Dan jika Gerald mau, kami bisa berlibur ke America, dan Canada. Semuanya merupakan negara impianku.
Aku bangun, dan berniat memasak. Aku baru sadar, kami belum membeli bahan-bahan masakan untuk mengisi kulkas, dan kekosongan di dapur. Ini untuk pertama kalinya aku, dan Gerald merasakan peran kehidupan rumah tangga yang sesungguhnya. Tanpa ada campur tangan siapapun lagi. Inilah arti menikah, hidup seatap, saling mengerti, dan saling melengkapi.
Gerald pulang, kami harus berbelanja. Sepertinya di sini, aku akan menyusah Gerald saja. Biar saja, itu memang sudah menjadi tugasnya sebagai kepala rumah tangga. Siapa suruh dia mau menikah? Baiklah, aku yang memaksanya untuk menikah bersamaku.
Meski semua fasilitas lengkap. Ya, rumah sewa di Jerman, dengan menyewakan semua fasilitas lengkap. Sistemnya begini, kita akan membayar mahal di awal untuk semua fasilitas tadi sebagai jaminan. Jika, kita ingin pindah, dan fasilitas yang dipakai tidak ada yang kurang atau rusak, maka uang jaminan akan dikembalikan. Memang semua fasilitas lengkap, tapi untuk bahan kebutuhan sendiri, kami belum punya. Intinya, hari ini harus shopping banyak. Akhirnya peranku sebagai istri sebenarnya akan dijalankan. Aku harus pandai me-manage uang, atau apa pun untuk kebutuhan kami. Hatiku menghangat, ini yang kutungu-tungu dari kemarin. Menjalani rumah tangga yang utuh.
Semoga senang menjalani peran barunya ini, Karena kami akan memulai semuanya dari awal. Inilah kehidupam baruku, dalam pernikahan kami. Dan aku senang, tanpa ada lagi penganggu dalam hidup kami.
Aku iseng membuka TV, penasaran bagaimana tayangan masyarakat Jerman. Okay, setelah melihat layar langsung kumatikan, karena aku langsung pusing melihat tulisan bahasa Jerman. Padahal, yang ditayangkan, hanya perkiraan cuaca, di saat musim salju seperti ini.
Aku menghubungi Gerald, kapan dia pulang dan membelikanku makan. Aku merasa lapar.
Miss Rara: Gerald masih lama ya pulangnya?
Gerald Ganteng : masih.
Miss Rara: Rara lapar😭
Gerald Ganteng: beli, ya.
Miss Rara: nggak punya uang Euro.
Gerald Ganteng: yaudah tunggu.
Miss Rara: Mati kelaparan lah aku, dan anakku😭 😓😓
Gerald Ganteng : bentar.
Miss Rara : 😗😗
Aku meletakan ponselku, dan mulai mencari kesibukan.
Sambil menunggu Gerald pulang, dan membawa makanan. Aku mengemas baju-baju kami yang ada di koper.
Untung saja seperti lemari, dan lainnya sudah tersedia. Aku juga tidak tahu ini berapa harga sewanya. Aku juga tidak mau pusing masalah duit, suamiku kaya jadi, dia tidak pernah mengeluh masalah uang.
Aku hanya perlu menata saja baju-baju kami. Karena masih rapi bajunya. Dan bagaimanapun aku harus mencuci baju sendiri, selama hidupku aku tidak pernah mencuci baju. Tapi aku tidak ingin mengeluh. Pasti sangat menyenangkan, berperan sebagai ibu rumah tangga seperti Bundaku. Aku merapikan bagian kamar. Seru sekali rupanya mengemas kamar seperti ini, dan membuatku lumayan berkeringat di tengah-tengah cuaca Jerman yang dingin.
Pintu apartemen berbunyi, Gerald pasti sudah pulang.
Tapi, kenapa tidak masuk saja? Bukanya dia tahu passwordnya? Aku pun membukanya. Siapa tamu yang datang?
"Oma?" tegurku begitu melihat nenek-nenek bule yang masih segar. Oma berdiri di sana dengan tangannya memang beberapa kotak makanan.
"Hello, dear." Aku pun memeluk oma tanda selamat datang.
"Have you eaten?" tanya Oma.
"Not yet, Oma."
"Good. I bought this, Gerald texted me that you hungry."
"Yes. I want buy some food. But I don't have money."
"I'm sorry." Oma pun mengeluarkan beberapa lembar uang. Mungkin, merasa kasian padaku.
"No, it's okay, Oma. Gerald come back, and we will buy groceries."
"Good."
"Thank you, for the food."
"Yes, please have you own." Aku tersenyum hangat ke arah Oma. Dia bisa jadi pengganti orang tua di sini. Oma begitu baik, aku saja yang terlalu suudzon.
"Thanks, Oma."
"Kalian bisa menata ulang ruangan ini sesuai selera." kata Oma, setelah maniknya menjelajahi isi kamar yang masih kosong.
"Iya. Sedang Rara pikirkan itu."
"Makan lah." Aku pun mengangguk, dan membawa mengambil piring. Berdoa saja, semoga aku tidak muntah karena makanan luar. Pizza rupanya. Ini masih bisa diterima oleh tenggorokanku.
Mungkin karena lapar, dalam sekejap pizza yang bulat itu sudah habis kumakan. Aku kelaparan, pemirsa.
"Sebenarnya, apartemen ini sudah lama disewa Gerald. Semenjak awal ke sini sudah sibuk mencari apartemen."
"Benar kah?"
"Iya. Bersyukurlah, dia lelaki yang sangat bertanggung jawab." Air mataku mendadak turun, semua yang dikatakan Oma-nya benar. Usia boleh kecil, tapi pemikirannya sudah jauh dewasa dari pada pikiranku. Untuk bagian perencanaan seperti ini. Gerald kadang menyebalkan, tapi dia perhatian dengan caranya sendiri yang unik, yang tak bisa diduga oleh otak manusia normal.
"Yes, I know. How lucky I am to have him in my life."
"Makanya kalian bisa langsung menempati ini. Di sini, untuk menyewa apartemen itu sangat susah, dan urusannya itu ribet." Gerald pernah bercerita, jika untuk menyewa rumah di Jerman sangat sulit, harus melewati agen, dan menghabiskan waktu berbulan-bulan, bahkan tahunan, untuk bisa menempati rumah sewaan.
"Iya."
"Oh sorry, dear. I have to go now. Don't forget to Oma's house at Friday night." Oma terlihat buru-buru. Mungkin seperti ini orang bule, mereka tak perlu berlama-lama. Berbeda dengan bundayaku, jika begini saja, basa-basinya sampai berjam-jam, apalagi menggossipkan tetangga.
"I would love to. Thanks for the fo- pizza."
"Bye, dear, see you around." Aku memeluk Oma, dan menutup kembali pintunya. Not bad lah tinggal di sini.
Begitu banyak perjuangan suamiku agar kami bisa bersama, tetapi selalu saja balasanku tidak pernah seimbang. Aku hanya benalu di hidupnya. Mulai sekarang, aku bertekad untuk memenuhi semua kebutuhannya. Dan berusaha menjadi istri yang bertanggung jawab. Aku akan berusaha, untuk mengurus semuanya.
___________________Dengan niat dan tekad yang kuat, aku
mengemas semua yang ada di dalam apartemen. Mulai dari dapur, yang kotor semuanya kusikat. Bunda pasti bangga melihat perubahanku.Bagian tengah, semua debu kubersihkan. Kusikat-sikat sampai kinclong. Pasti apartemen kami akan menjadi apartemen paling bersih se Frankfurt. Okay, abaikan terkadang aku suka lebay.
Aku sudah sangat berkeringat. Cuaca di luar sangat tidak memengaruhi aktivitasku di dalam.
Aku masuk ke dalam kamar, dan kulihat bandanku di cermin. Lusuh sekali rupanya aku.
Jadi aku memutuskan mandi. Badanku juga sangat berkeringat.
Di bawah guyuran shower membasahi setiap inci kulitku. Membuatku terhanyut dalam aliran air dingin. Tapi, aku tidak ingin mandi lama-lama. Kusudahi ritual mandiku.
Berhubung aku hanya di dalam jadi memakai baju pendek tidak ada salahnya. Meski tidak mengerti bahasa yang ditampilkan di layar TV, tapi aku tetap membuka TV agar ada suara yang menemani.
Dan Gerald tak kunjung pulang. Padahal, sudah segala macam gaya, dari gaya kodok, gaya kupu-kupu, hingga gaya nungging kulakukan di atas sofa, sambil membunuh rasa bosan menunggu Gerald. Dia tidak mungkin tetimbun badai salju, bukan? Padahal, salju belum turun banyak, masih sedikit. Lama sekali aku menunggu Gerald pulang. Sampai aku ketiduran di atas sofa.
Perutku mulai lagi merasa lapar. Semenjak hamil, aku harus makan double. Bahkan, aku baru makan sepuh menit yang lalu, sudah merasa lapar lagi, apalagi hanya satu loyang pizza yang habis dalam sekejap mata. Semua itu tak bisa menahanku, dari rasa kelaparan.
Pintu tiba-tiba dibuka, yes suamiku sudah pulang. Dan, yang membuat darahku mendidih dia datang bersama seorang gadis cantik rambut pirang, aku lupa semua orang di sini rambut pirang. Meski di luar dingin, wanita ini tidak pernah mengerti apa itu dingin. Bajunya sangat pendek, dan ketat. Ia memakai tanktop berwarna hijau yang sangat norak. Dengan celana pendek, mencapai pahanya, dan sepatu boots.
Gerald tersenyum hangat ke arahku, tapi aku tidak ada berniat untuk membalas senyumannya sampai dia menjelaskan siapa wanita ini.
"Alle this is Rara. Rara this is Alle."
"Hi... I'm Alicia Gerald's girlfriend."
Am I missing something here?
___________________ Ta-ta. Drama dimulai, biar kalian gak bosan. Kalau datar aja, kalian muak nanti.See you.
Feel free to leave a comment.
Gerald's girlfriend. How I missing something here? I glance kill for Gerald to confirm this. "I'm sorry Alle. Rara is my wife." Gerald mencoba menenangkan, dari keadaan yang sudah memanas. Ini tak bisa dibiarkan. Bagaimana mungkin lelaki sial ini, bermain-main di belajangku? Ditambah, cewek sial ini, dengan percaya diri mengaku dia pacar Gerald. "Wife? Really? Are you fucking kidding me again?" pekik si pirang. "Yeah, I just want you to introduce with my beatiful woman in the world." "Bullshit!" I scream and throw remote to Gerald. Remot itu tepat mengenai wajah Gerald, dan ia berhasil menangkap remot tersebut, sebelum semuanya berderai.
"Kamu kenal Alicia itu siapa?" Gerald menengang. "Nggak!" Jawabnya gelapan, dan salah tingkah. Berarti semua hanya mimpi burukku saja. "Yaudah tidur, yuk." Ajak Gerald. "Hei, makanan kamu belum habis. Habiskan biar Rara kemas semuanya dan cuci." Kulihat Gerald sudah tidak berselera lagi. Aku mengemas semuanya, dan mencuci piring-piring yang kotor, dan peralatan buat masak tadi. Setelah selesai, kulihat Gerald masih melamun. Makanannya masih sama seperti tadi kutinggalkan. Dia bertingkah aneh. Apa Gerald sakit perut, karena aku memasak yang tidak steril? "Jadi, masih mau makan nggak?" tanyaku lagi, melihat Gerald yang masih melamun. "Eh?"
Aku ingin mengerjai Gerald. Aku tidak sakit perut. Tapi aku hanya capek, sedang tidak berselera untuk melayaninya sekarang. Tapi, aku tiba-tiba merasa berdosa setelah melihat dia panik. Selalu saja, bertingkah bodoh yang membuat kami sama-sama terluka. "Sakit? Kenapa? Keram?" tanya Gerald panik. Aku menggeleng. "Nggak tahu, sakit aja. Biarkan aku istirahat, kamu boleh pergi kuliah." kataku dengan suara lemah, agar meyakinkan. Tapi rasa bersalah, terus menghantamku. "Aku nggak bisa, nanti kamu kenapa-kenapa. Kayak semalam." Gerald menyugar rambutnya, dan wajahnya begitu ketakutan. "Nggak papa, nanti kalau sakit atau apa aku telpon aja. Tapi kamu harus gerak cepat ya." Aku memegangi perutku. "Iya, maaf telah membuat kamu sa
Tubuhku kaku semua. Sial! Aku tertidur di atas meja. Meski hanya kepalaku saja. Semoga anakku tidak merasa kesakitan. Dari malam sampai lagi, posisi tidurku hanya duduk di atas kursi, dengan kepala di atas meja. Benar-benar posisi tidur yang aneh dan tak sadar sama sekali, padahal aku tertidur dengan posisi duduk. Aku juga tak tahu jam berapa sekarang. Leher kaku, tangan dan kakiku keram. Dengan mengembalikan sistem tubuhku. Aku menuju kamar, dan pemandangan paling indah menyambutku. Aku mencari handphone dan baru ingat, semalaman aku tidak mencabut handphone-ku. Untung saja tidak meledak. Dengan menguap terasa belakang dan leherku sakit semua. Untuk digerakan sedikit saja, sangat sakit. Aku terduduk di pinggir ranjang melihat keadaan sekitar, demi apa tidurku begitu pulas dan tak sadar sama sekali? Kuperhatikan jam di layar ponsel.
Seluruh badanku remuk, setelah aksi pelukan ala (bukan) Telletubies malah berakhir aku ditelanjangi. "Kamu tetap yang terbaik." Bisik Gerald. Badanku terlalu lemah. Jadi aku hanya memeluk dada telanjang favoritku, dan membiarkan keringat kami melebur. Eh bentar, dari tadi anak ini tidak ada tanda-tanda pergi ke kampus. "Kamu nggak ke kampus?" aku mengangkat kepalaku dan menatap Gerald yang menutup matanya, ia juga kelelahan. "Nggak!" "Kenapa?" "Kenapa?" tanya Gerald balik. Dia selalu mengesalkan. "Ish-- diperhatiin juga." Aku mencubit perutnya. Dasar manusia menyebalkan. "Aku lebih s
Sebenarnya oma menawarkan buat menginap. Tapi aku menolak, aku segan jika besok pagi aku bangun telat. Padahal sebenarnya budaya orang sini, tidak masalah bangunnya. Sesuai didikan bundaku, aku harus lebih respect terhadap tuan rumah. Aku takutnya bangun kesiangan, karena akhir-akhir ini aku selalu bangun telat. Kami pun pulang juga, karena aku memaksa Gerald pulang."Besok weekend. Ada mau jalan-jalan kemana?" tawar Gerald."Aku nggak tahu. Yang aku butuhkan sekarang, pulang dan tidur. Badanku capek bangat." ujarku lemah, setelah kekenyangan, aku membutuhkan kasur, dan membaringkan kepalaku di bantal yang empuk."Yaudah tidur." Aku menutup mataku, rasanya tidak kuat lagi menahan kantukku. Harusnya tadi aku tidak keras kepala dan nginap saja di rumah oma. Aku sudah tertidur, tapi samar-samar,
Warning!! Vulgar!!_________________________________Aku sedang menelfon bundaku. Gerald? Kuliah tentu saja, aku mulai menjalani aktivitas yang lama-lama kurasakan---bosan. Karena aku type pembosan. Hanya menggebu-gebu di awal, dan semakin kesini, perlahan semuanya memudar. Semoga saja, dengan suami tidak merasa bosan."Bunda, Rara udah periksa ke dokter.""Jadi gimana perkembangannya?""Anaknya perempuan. Rara akan mempunyai anak perempuan yang cantik." aku tersenyum. Sebenarnya ingin jingkrak-jingkrak, tapi sadar posisi sudah hamil, sudah tua, dan akan menjadi ibu."Yaudah, jaga diri baik-baik. Jangan stress.""Iya bunda. Kayaknya berat badan Rara bertambah deh, Rara lapar terus bawaan."
Aku menangis semalaman. Dan ketika bangun, kudapati mataku sangat bengkak. Aku tidak mungkin menemui oma dengan keadaan mata seperti ini. Aku paling malas, ketika sedang tidak mood dan ditanyai banyak hal. Aku pasti tidak akan menjawab, dan membuat orang lain suudzon, dan menganggapku yang jelek.Aku juga tidak ingin berkubang dalam kesedihan.Dan sekarang, sudah jam 10. Sial! Malu-maluin saja.Dengan terpaksa bangun, aku mengendap-ngedap ke dapur. Aku akan mengompres mataku. Kulihat di meja makan sudah ada berbagai makanan. Jus jeruknya menggoda untuk di minum. Tapi mataku, harus dikompres untuk mengurangi bengkak, aku tak mau oma mendaptiku menangis semalaman. Dan Gerald pergi tak kembali.Melewati meja makan, aku menuju dapur dan membuka kulkas. Aku akan mengompres
Kuperhatikan wajah kedua putriku. Wajahnya mirip, orang tidak akan salah menduga mereka saudara kandung. Kelsea manis, Verena juga. Tapi, rambut Verena diambil dari mana, rambutnya sedikit bergelombang dan coklat tembaga. Padahal rambutku dan rambut Gerald lurus. Ah, mana saja yang penting anak-anakku sehat.Dari rambutnya yang bergelombang sudah bisa dipastikan bulu mata Verena lentik. Verena dan Asher mempunyai bulu mata yang cantik. Yang paling kusuka dari Kelsea, senyumannya. Walau, dia cemberut saja, masih terlihat manis. Anakku, yang satu itu tidak bosan dipandang. Wajahnya cantik, begitu cantik. Terkadang aku tak percaya punya anak secantik ini, walau kelakuannya bikin geleng-geleng.Apalagi Kelsea, orang yang suka merenggut masam.Kelsea lebih dominant, gen milikku. Namun, masih terlihat blasteran. Verena, lebih banyak bulenya. Asher, tidak terlihat genku sama seka
Aku melihat anak gembulku, yang sedang sibuk bermain. Jika, dia sudah bermain tidak akan mempedulikan sekeliling, dan suka bicara sendiri sambil menunjuk mainannya. Seolah mainan itu lawan bicara.Aku hanya duduk memperhatikan, sambil menvideo. Sebagai dokumentasi ketika dia sudah dewasa. Kalau kecilnya, begitu menggemaskan."Asher.." Aku menegurnya. dia menoleh, dan tetap bermain. Aku ingin kesana, dan merengkuh tubuhnya. Aku tidak menyangka, mempunyai anak yang begitu menggemaskan. Dengan mendekat, aku masih merekam, dan melihat mata tajam Asher. Matanya persis seperti ayahnya. Oh iya, aku sudah sering bilang jika Asher dan Gerald seperti pinang dibelah sepuluh hasilnya tetap sama. Senyum mereka, tertawa, mata, hidung, pipi, rambut, bahkan jari-jarinya sama."Boleh peluk mommy?" Asher bangun, dan memelukku. Aku begitu geram terhadapnya, aku memeluk tubuh kecilnya. Rasanya tak permah puas untuk mencium atau
"Anak mommy yang cantik." Verena berlari ke arahku, dan langsung mau manja-manja sama aku. Asher kalau lihat, pasti ngamuk. Aku mengelus, kepala Verena dengan sayang. Anakku, hadirnya ia yang menyatukan aku dan daddy-nya. Verena penyelamat buat semuanya."Kenapa sayang?" Verena hanya menatapku, dengan mata beningnya. Cantik sekali. Ya, aku sangat bersyukur semua anakku, cantik-cantik. Ia tersenyum, aku juga ikut tersenyum. Ini anak kenapa? Tingkahnya aneh sekali. Verene masih menatapku dan tersenyum, aku hanya terbengong sambil tersenyum, tingkahnya sangat aneh. Apa dia mau minta sesuatu? Padahal tinggal mereka sebutkan dan memang tidak bertentangan, aku langsung memenuhi keinginan mereka."Mommy.""Apa nak?""Love you mommy." Hatiku meleleh. Aku tersenyum lebar, sambil mengelus rambut Verena."Love you more baby.""Mommy cantik.""Iya."
Entah, kenapa rasanya aku ingin bermanja-manja sama suamiku. Anak-anakku, belum bangun. Hari minggu, aku membiarkan mereka untuk beristirahat. Dan hari ini juga, magernya luar biasa. Aku ingin seharian di kasur. Dilayani, atau dimanja dan diberi pelayanan terbaik dari suami dan mungkin anak-anak. Karena biasanya aku yang selalu memanjakan mereka."Daddy, jangan beranjak dari kasur. Mommy mau peluk." Kataku pelan dan masih menutup mata.Gerald merapatkan lagi tubuhnya dan semakin memelukku erat. "Bolekah, hari ini kita berduaan aja?" pintaku lagi."Yaudah, nanti anak-anak aku suruh oma jemput."Aku mengangguk. Sesekali tidak apa-apa. Biasanya, aku yang melarang anak-anak dibawa oma karena, akan merepotkan. Aku juga tidak bisa berjauhan lama-lama dengan anak-anakku. Semenit rasanya sudah rindu sekali. Tapi, hari ini aku ingin kesendirian dan juga memanjak
"Ya Allah nak!" Aku sudah berteriak. Bayangkan saja, Verena dan Asher baru selesai mandi. Dan mereka memakai satu handuk. Tarik-tarikan, sambil tertawa. Badan mereka basah, bisa lantai licin dan mereka terjatuh. Aku heran anak-anak Gerald mau mandi, selesai mandi pasti heboh dan teriak-teriak. Setelah selesai, pasti mereka akan berlarian sepanjang rumah dengan tubuh telanjang."Gerald, anaknya!" Aku berteriak lagi. Verena itu perempuan, harusnya tidak seperti ini. Walau mereka masih kecil, aku takutnya akan menjadi kebiasaan sampai besar, bagaimana jika Verena dan Asher telanjang saat besar. Walau pasti mereka akan sadar, tapi aku tak ingin mereka terbiasa.Gerald datang, dengan membawa handuk Asher. Anak-anak, sudah mengelilingi rumah. Kejar-kejaran."Jangan lari nak, nanti kalian jatuh!" teriakku lagi. Sekarang, tiada hari tanpa teriak.Aku mengangkat Asher. Dia malah tidak mau. Menendang-nendang di udar
Dua hari, suamiku tidak pulang. Rasa tak karuan menyergap dalam dadaku. Aku trauma sejujurnya, aku takut—.Baiklah, tolong hilangkan rasa takut ini dalam dadaku. Nyatanya, kejadian beberapa tahun silam, sangat membekas. Semuanya tidak bisa dilupakan begitu saja dengan mudah.Air mataku turun, dan berdoa tidak mengalami kejadian buruk lagi. Cukup sudah jiwaku terguncang, aku tidak kuat untuk mendapatkan masalah berat lagi. Aku menutup mataku sambil terisak, kenapa harus seperti ini lagi? Selama ini, aku selalu menghibur diriku dan menutup semua lukaku, dengan menyibukkan diri dan mengurus anak. Anak adalah satu-satunya alasanku bertahan. Tapi, jika aku sendirian, aku akan ketakutan sendirian, di luar dia—, dia akan—, banyak pikiran buruk menyerang diriku. Dan biasanya aku selalu berusaha postifi, tapi kali ini tidak.Dengan semua perasaan, yang berkecamuk dalam dadaku, aku terduduk di tempat tidur yang luas ini.
Air mataku sudah turun. Gerald tega memang.Tiba-tiba Gerald keluar dari restoran tersebut. Dia memakai kacamata dan topi. Huwah.... suamiku makin tampan. Kenapa aku baru sadar? Bukan, aku sadar maksudnya kenapa hari ini meningkat drastis? Apa ini salam perpisahan, dan membuatku tak bisa melupakan dirinya.Aku berlari ke arahnya, tidak peduli mau dijual. Aku hanya ingin, memeluknya sebentar."Gerald, Rara sayang sama Gerald. Mommy sayang sama daddy selamanya." Aku memeluknya. Badannya semakin kekar Gerald menunduk melihatku, mungkin dia heram melihatku. Jangan-jangan aku kesurupan."Rara, nggak kesurupan. Rara beneran tulus dan cinta mati sama Gerald. Kamu jangan jual aku ya? Nanti, anak kita sama siapa? Anak kita banyak, kamu pasti nggak sanggup ngurus sendirian." Gerald masih diam, memperhatikan aku yang curhat kepadanya. Dia membalas pelukanku, ah... sangat nyaman sekali.
Hari ini, sengaja Gerald izin kerja. Karena mau berduaan saja. Gila memang. Tapi, aku suka bersamanya jika hanya berduaan. Karena, waktunya buatku memanja-manjakan diri.Hari ini, vater dan Aunty Meiland datang dan mereka ingin mengajak anak-anak jalan-jalan. Gerald dengan senang hati, mengizinkan. Aku, setengah berat. Karena, akan merepotkan. Apalagi, anak lelakiku yang kecil dan anak perempuanku yabg kecil, mereka suka risih kalau jalan-jalan. Banyak permintaan, banyak bertanya, jadi kadang kita yang capek sendiri melayani. Aunty dan vater begitu sayang anak, kurang bersyukur apa hidupku jika mendapat orang-orang baik dan support seperti mereka. Aku bahagia dengan keluargaku.Sebenarnya, aunty Meiland sering minta. Agar, anak-anakku tinggal sama mereka. Aku tidak mungkin, mengizinkan anak-anakku tinggal dengan orang lain. Walau itu, kakek dan nenek mereka sendiri. Aku tidak mau merepotkan orang, dan aku senang
Flashback Rara hamil Asher. Bagaimana dia sudah hamil lagi, disaat usia baby Verena masih 4 bulan. _________________________"Says, mommy's pregnant!" "Mommy's pregnant." Orang-orang yang kusayang, sedang berdiri di depan, seolah, aku mau foto mereka padahal aku sedang memvideo mereka. Gerald sedang mengendong Kelsea dan Skye. Baby Verena sedang tidur, di kamar bayi. Wajahnya lucu-lucu, dan membuat kenangan tersendiri buatku yang takkan pernah kulupakan hingga nanti. Mereka sangat mengemaskan."Mommy's pregnant." ulang Gerald menggeleng. Aku tersenyum."Are you?" Aku mengangguk. "Yes daddy." "No way! You kidding." "No. I'm serious." Gerald menurunkan Kelsea dan Skye. Ia menuju ke arahku, air mataku tidak berhenti menetes dari awal. Aku senang dan sedih. Aku senang, karena akan menambah a