Warningg!!! Adult Content!!
Gerald's POV
Flashback
___________
Ok Rara, let's play the game. You with your guy. I'm with many girls here.
Malamnya, aku benar-benar pergi ke pesta temannya Eloy. Aku ingin merasakan kebebasan juga. Eloy sering sekali mengajakku pergi pesta, tapi aku malas untuk bermasalah, ditambah aku tak bisa menjadi manusia normal, aku selalu mabuk jika mencicipi sedikit alkohol. Daripada berakhir memalukan, lebih baik aku tak pergi. Tentu aku bisa diejek, seorang lelaki tampan dan gagah membahan sepertiku, tak bisa menjadi manusia normal karena pusing mencium bau alkohol. Payah! Padahal orang Jerman itu mayoritas minum anggur, mereka jarang sekali minum air putih.
Aku pergi bersama Eloy. Aku tinggal bersama Oma. Rumah Eloy sebenarnya jauh dari rumah Oma, tapi dia sering bermain ke sana. Malah yang dekat rumah Winola. Hanya beberap jarak rumah. Seperti sebuah blok. Rumah Oma menghadapi ke arah timur, rumah Winola berbeda jarak dua rumah, dan menghadap ke arah barat.
Kami tiba di rumah temannya Eloy. Masih daerah Hessen. Hessen merupakan salah satu daerah terluas di Jerman.
Kulihat pestanya sudah ramai. Sialnya, sepupu laknatku langsung mencari kamar untuk making out with many random girls who he just find.
Aku bingung harus berbuat apa. Aku memilih menepi ke dapur, ingin minum air putih saja. Karena minuman yang disediakan di sini mengandung alkohol. Aku tidak ingin mabuk, dan muntah-muntah karena meminum alkohol. Dan siapa yang bisa menolongku, jika Eloy sudah hilang ke dalam lubang hitam.
Di sini, kita jangan merasa segan jika ada teman yang mengadai pesta. Jadi, bebas meminum alkohol, atau apa yang ingin kita lakukan. Aku sedang meneliti bagian dapur untuk mencari air. Aku masih berdiri di konter mencari air, tapi nampaknya tidak ada. Akhirnya aku hanya berdiam diri di sana, tak bisa berkumpul di keramain.
"Looking for some drink?" Seorang wanita rambut blonde, mendekat ke arahku. bajunya sangat ketat, dan pendek. Aku sempat terpaku beberapa detik, melihat tubuhnya. Bau tubuhnya menguar begitu kuat. Sebagai lelaki yang makhluk visual, aku harus mengakui bahwa wanita ini cantik. Walau sudah malam, aku bisa melihat matanya yang belok dengan warna hijau begitu jernih. Entah kenapa, aku suka melihat warna itu, walau masyrakat Jerman, kebanyakan memiliki mata berwarna hijau, tapi warna mata miliknya begitu jernih seperti air.
"Yes, please. But, sorry I don't drink. I just want find some water."
"Hahahaha. Water? Are you fucking kidding me?" Cewek rambut blonde itu menertawakan kekolotanku. Ia tertawa menutup mukutnya, dan mengibaskan rambutnya. Kuakui, aku tak bisa seperti manusia normal lainnya, dan aku harus mengakui kekuranganku walau harga diriku direndahkan.
"What's wrong?" tanyaku pura-pura tak peka. Apa salahnya minum air putih, jika itu bagus buat kesehatan?
Cewek blonde itu mengibaskan lagi rambutnya yang sebelah kiri ke belakang. Aku tidak tahan untuk menatap ke buah dadanya. Bentuknya bulat, besar, dan sempurna. Okay, maafkan mataku yang telah ternodai.
"I know, where you can find some water. Follow me." Aku mengikutinya. Aku tidak tahu apa yang aku perbuat, dan apa yang aku pikirkan. Lumayanlah, dapat teman mengobrol daripada sendirian seperti kambing congek. Cara berjalan cewek blonde itu begitu anggun. Walau ia tak memakai heels, ia justru memakai boots.
"I'm Alicia, by the way. Just call me Ale." Cewek blonde berbalik ke arahku sambil mengulurkan tangannya, aku melihat pipinya memerah. Sepertinya dia sudah mabuk.
"Gerald." Aku membalas uluran tangannya.
Aku mengikutinya hingga keluar. Suasana di luar gelap, agak remang-remang. Suasana yang begitu mendukung untuk berbuat sesuatu yang panas, dan menyenangkan. Baiklah, aku sedang berjauhan dengan wanita pendek tolol itu!
Tiba-tiba dia duduk di atas rerumputan. Aku pun mengikuti saja. Musim gugur yang begitu dingin, membuat siapa saja tak tahan berada di luar. Tapi semuanya tak berlaku bagi cewek blonde ini, tubuhnya sangat kebal seperti kulit beruang maupun kulit badak.
"So, where's the water?"
"I'm just kidding. I just want someone to talk." Okay, aku tidak marah. Sebenarnya, aku juga butuh teman mengobrol. Kami adalah dua manusia kesepian yang sama-sama membutuhkan teman.
"Okay."
"Tell me about yours." pinta cewek blonde. Sebenarnya, aku lupa siapa namanya, walau baru berkenalan beberapa menit.
"Tell what?"
"Your life."
"Well, I'm from Indonesia. But I study here."
"I've never seen Indonesia. It's beatiful?"
"Of course. It's a beatiful country which have so many beaches with white sand.
"Waoh, I imagine it's beatiful right?"
"Definately." Kulihat wanita ini, mulai mabuk, dan mulai meracau. Apa yang harus kulakukan? Pembicaraan yang awalnya normal, malah merambat ke arah lain.
Tiba-tiba dia menyandarkan kepalanya di bahuku.
Rara, maafkan aku. Walau aku ingin melupakan masalah dengan wanita pendek tersebut, aku merasa telah berkhianat walau wanita blonde ini hanya menyandarkan kepalanya di bahuku. Sepertinya ia kelelahan.
"I'm sleepy now. Can I sleep here?"
"Sure." Kudengar napasnya mulai teratur. Dia mulai tertidur di bahuku. Berharap saja, dia tidak ileran, dan tumpah di bajuku. Hoodie lebih tepatnya. Tangannya memeluk pinggangku. Aku mulai merasa tidak nyaman, sesak, dan badanku terasa kesemutan. Karena, aku tidak bergerak barang sedikit pun, aku tidak ingin membangunkannya.
Gadis itu makin tak sadarkan diri.
Perlahan, aku melonjorkan kaki panjangku. Tapi, rasanya pantatku sudah kebas dan mati rasa.
Aku menurunkan kepala cewek ini dengan perlahan, aku berusaha mengingat namanya, tapi aku lupa lagi namanya siapa tadi. Dengkuran napasnya masih teratur. Aku menidurkan di pahaku. Tangannya masih memeluk pinggangku. Meski berat lumayanlah daripada tadi, aku merasa sangat tersiksa. Bahkan, aku harus membuka sepatuku karena kesemutan sekarang.
Aku meregangkan otot-ototku dengan berbaring. Datang kesini, tidak ada yang berjalan dengan baik. Lebih baik aku di rumah. Memilih tidur, sambil menonton, merupakan pilihan yang tepat, daripada berakhir bersama cewek ini.
Aku masih memikirkan Rara. Cewek pendek itu, siapa yang berani mengotori akal pikirannya yang pendek tersebut. Ia merasa menjadi manusia paling menderita di dunia ini, padahal semua itu karena kebodohannya sendiri. Aku yakin, gara-gara hal ini, ia pasti menuduhku kejam, dan tidak berprikemanusiaan. Dia mengira aku mencampakkan, dan mengabaikannya. Padahal, dia sendiri yang mengundang masalah dalam hidupnya, bodohnya lagi, ia tak pernah menyadari csemua kebodohan itu.
Aku menutup mataku, dan menyilangkan tanganku untuk menutupi wajahku. Ketika kita menutup mata, kita akan mendengar suara yang sangat riwuh. Suara di dalam sangat berisik, maklum pesta anak muda. Aku kurang menyukai keramaian. Aku mengangkat sedikit kepalaku, dan melihat ke arah cewek yang tidur di atas tubuhku. Ia begitu pulas, tak sadarkan diri.
Aku berusaha tidur, dan memikirkan nasib percintaanku. Aku lelah dengan hubunganku yang tidak sehat ini. Ketika seorang wanita yang kusayangi sepenuh hati, dan dengan entengnya mengaku bahwa dia berciuman dengan lelaki lain. Aku ingin mengamuk, tapi kutahan. Kami sedang berada di belahan dunia yang berbeda. Jika Rara berada di depanku, kupastikan tulang dua manusia itu hanya tersisa fosil.
Aku butuh pelampiasan. Sudahlah, aku tersiksa menahan diri di sini, setiap malam aku haru mandi air dingin, ditambah cuaca dingin, demi meredahkan segala gejolak nafsu. Tapi, Rara bodoh tak memikirkan sejauh itu, dan dengan tidak tahu malunya dia mengakui itu semua, serta dengan bangga dia ingin menunjukan dia bisa menemukan lelaki lain. Permainan baru saja dimulai, Rara. Aku tidak bermain kotor seperti ini, tapi jika itu yang kamu inginkan Ok let's start.
Aku ketiduran, lelah memikirkan tingkah Rara, yang membuat lelah orang-orang di sekitarnya.
Aku merasakan tidak nyaman di bagian bawah, tubuhku ada yang tidak beres.
Fuck!!!
"What the hell are you doing?" Aku berteriak.
Wanita gila ini, si pirang centil ini dia baru saja menghisap milikku. Apa yang harus kulakukan? Aku bisa saja menendangnya, tapi aku tidak boleh kasar sama perempuan. Dia memberikan servis blowjob. Rasanya tidak sama seperti pelayanan yang di berikan Rara.
fuck!
Wanita sial ini, hanya bisa membuatku tersiksa. Sialan semuanya! Parahanya servis yang ia berikan tidak sama. Terkutuklah diriku yang harus mandi air dingin lagi. Damn it! Walau servis Rara begitu amatiran, bagiku bisa membawa semacam kepuasan tersendiri buatku. Bukan yang sudah pro seperti ini. Argh... sialan semuanya!
"Please, don't do this." Si blonde tidak merespon, malah semakin gencar saja. Tetap saja, aku tidak bisa on fire. Padahal jika dibandingkan, tubuhnya lebih bagus dari Rara, dan lebih berpengalaman tentu saja. Sialan, ada yang tak beres dengan diriku!
"Ok. Let's find some room." Aku mengalah. Akhirnya, si blonde melepaskan kulumannya, dan memakaikan kembali celanaku. Sial!
Aku membutuhkan Rara sekarang.
Cewek gila, dan agresif ini yang menuntunku mencari kamar. Kami menuju kamar di lantai atas, dan sudah dipastikan semua kamar penuh. Banyak pasangan mabuk dan berciuman di sepanjang lorong-lororng kamar. Rumah teman Eloy ini luas, dan banyak kamar. Bahkan, di lantai atas, terdiri dari kamar semuanya. Ah, mau begini saja rasanya mau mati!
Berakhirlah kami di kamar mandi. Aku hanya ingin si blonde, cewek gila, dan agresif memberiku blowjob tadi, setelah aku sampai aku akan berhenti.
Dengan semangat lagi, gadis itu berlutut di depanku dia membuka celanaku, dan langsung memasukan milikku dalam mulutnya. Ia memandangku, ia benar-benar seperti bintang porno. Bahkan, mulut mungilnya bisa menampung milikku semua.
Meski tekniknya lebih pintar. Tetap saja membuatku tidak bisa on fire. Hanya satu orang yang bisa membuatku on terus. Dan orang itu juga yang membuatku berakhir di sini. Rara bodoh! Rara pendek!
Meski sudah susah payah aku membayangkan Rara yang memberikan service ini tetap saja tidak bisa.
Mungkin, karena aku masih kesal terhadapnya. Tapi, aku merindukan tangan mungil itu memegang milikku. Ketika miliknya yang sempat tak muat untuk menerima Tiger milikku yang besar. Akhirnya, ia hanya bisa meringis kesakitan sampai mengeluarkan air mata. Sudah berkali-kali, milikku dan miliknya bersatu tetap saja, rasanya seperti perawan. Apa Rara punya pelet khusus untuk merawat miliknya? Setiap melihat wajah imutnya, selalu membuatku membayangkan milikku tenggelam dalam mulut mungil tersebut, walau ia tak pernah memasukan secara utuh, dan selalu berakhir dengan batuk-batuk, bahkan Rara mengeluh, mulutnya capek.
"Argh... Rara." teriakku frustasi karena tidak bisa on fire, begini jadinya aku akan semakin pusing, dan tersiksa. Hanya air dingin yang sedikit meredahkan semua gejolak nafsu yang kurasakan, sudah kutahan berbulan-bulan.
Aku baru sadar, meski sepandai apa pun wanita itu, dan secantik apa pun wanita ini, rasanya tidak sama dengan Rara. Mungkin, karena kebodohan Rara, membawa semacam gairah tersendiri, karena merasakan bagaimana amatirnya ia, membuatku ingin menusuk lebih dalam lagi, tapi aku tak tega untuk menyakitinya.
Lagi-lagi wanita pendek itu, yang membuatku tersiksa karena hal ini. Argh.. wanita pendek itu membuatku tersiksa, aku tersiksa karena merindukan sentuhannya serta aku tersiksa karena dia telah mengkhianatiku.
"Stop it!" Dengan kecewa, cewek blonde itu berhenti dari servicenya. Kepalaku makin pening. Aku tersiksa.
Dia berdiri, dan menggodaku, tetap saja aku tidak terpengaruh dengan sentuhannya. Ia meraba-raba tubuhku. Sengaja memasukan tangannya, dalam hoodie milikku, tapi aku tak bereaksi apa-apa. Stupid hormon! Stupid Rara!
Cewek blonde menempelkan buah dadanya, ke dadahku, sambil menggoyang-goyangkan ke kiri, dan kanan seperti menyapu. meski kuakui buah dadanya besar tetap saja, aku tidak on fire. Dan tidak bergairah sedikit pun. Yang ada aku makin pening, dan frustasi.
Hanya air dingin, yang bisa meredahkanku sekarang. Jika saja jarak Jerman, dan Indonesai itu dekat, aku akan pulang sekejap untuk mengambil jatahku setelah itu aku pulang. Arggh.... sial! Sial!
Jika saja, aku mempunyai jet pribadi aku akan terbang sekarang. Tetap saja, jaraknya jauh. Rasanya aku ingin menangis jika saja aku perempuan.
Arrghh... Rara! Rara! Rara!
Selalu terbayang wajah imut, dan galaknya, baru membayangkan wajahnya saja aku sudah on.
Aku membuka mataku, dan cewek ini masih sibuk menggodaku. Apa aku bisa menuntaskan gairahku bersamanya?
"What's wrong babe?" Gadis blonde mencoba ingin menciumku.
"I'm sorry, I can't." Aku menolaknya dengan halus. Tapi gadis itu tetap menabrakan bibir sensualnya dengan bibirku. Tetap saja aku tidak bergairah. Rasanya tidak lembut dan manis seperti milik Rara.
Aku menutup mataku, memunculkan wajah Rara. Sial! Aku sudah seperti wanita malu-malu yang masih perawan ciuman pakai tutup mata. Aku seperti orang amatiran yang baru pertama kali berciuman.
Ketika wajah Rara muncul, aku mencoba membalas ciumannya. Tiba-tiba terlintas wajah Rara yang menangis, dan kecewa. Oh God... ini salah. Aku mendorong wanita itu.
Dengan berlari keluar. Sialan! Aku bertingkah sangat innocent seperti seorang gadis yang ingin diperkosa saja.
Oh God.... wanitaku menangis. Lagi-lagi, terlihat dengan jelas Rara sedang menangis. Apa aku berhalusinasi?
Arrgh..... aku menarik rambutku dengan frustasi.
Aku membuka layar handphone-ku. Wanita kesayanganku yang cerewet itu muncul sebagai wallpaperku. Imut sekali, aku menciumi layar handphone itu seperti orang idiot.
Aku bingung ingin menghubunginya, tapi aku sedang marah terhadapnya. Dan aku ingin memberi shock therapy terhadapnya. Meski aku marah, dan dia berkhianat, tidak pernah terlintas sedikit pun untuk menceraikannya, atau berpisah dengannya. Itu tidak termasuk dalam vocabullary-ku.
Baiklah, aku akan mendiamkan Rara untuk beberapa hari sampai dia menyadari kesalahannya.
Akhirnya, aku pulang dengan keadaan pening dan frustasi. Awal yang berniat untuk membalas dendam malah aku yang kena sendiri. Senjata makan Tuan!
arrggh......
____________
Menurut emak, amarah Gerald diucapkan lebih frontal daripada Rara, yang mendayu-dayu lebay.
Komennya tinggalkan jejak ✨✨
Jerman I'm coming. Akhirnya aku akan melihat dunia luar seperti impianku. Semua dokumen yang dibutuhkan untuk berpergian ke luar negri telah beres dalam waktu tiga hari. Semua Gerald yang mengurus, aku hanya duduk manis dan difoto. Bundaku tetap tidak mengizinkan pergi, tapi aku tetap keras kepala, dan ngotot untuk pergi. Aku benar-benar tidak ingin berniat untuk tinggal di lingkungan tempat tinggalku. Aku merasa sudah tidak nyaman. Bunda marah, dan tetap tidak mau untuk mengantarkanku ke bandara. Padahal, Bunda tahu bagaimana penderitaanku saat Gerald pergi. Harusnya Bunda bisa legowo melepaskanku. Terkadang, aku tak mengerti dengan jalan pikiran Bunda. Akhirnya adikku yang mengantar. Air mataku turun, aku akan merindukan Bunda, keluarga kecilku.
"Bunda—" "Iya, Nak?" Air mataku tumpah ruah. "I miss you." "Bunda juga rindu. Jaga diri baik-baik. Jaga kesehatan, jaga anaknya." Air mataku semakin deras. Aku merindukan Bundaku. Dan selalu saja, pesan ini yang Bunda sampaikan. Ya, Bunda perhatian. Tapi aku merasa Bunda seperti tak yakin padaku, aku bisa mengurus diri. Padahal, aku sudah dewasa, sudah menjadi istri orang, dan mom to be. Kenapa, Bunda harus takut? Aku bisa bertanggung jawab terhadap diriku sendiri. "Iya, Bunda. Bunda jangan sedih, ya. Rara bisa menjaga diri di sini." kataku meyakinkan bunda. "Iya, nggak, bunda nggak sedih. Bunda khawatir, kamu di tempat orang jauh." Meski Bunda bilang tidak, tapi aku tahu
Gerald's girlfriend. How I missing something here? I glance kill for Gerald to confirm this. "I'm sorry Alle. Rara is my wife." Gerald mencoba menenangkan, dari keadaan yang sudah memanas. Ini tak bisa dibiarkan. Bagaimana mungkin lelaki sial ini, bermain-main di belajangku? Ditambah, cewek sial ini, dengan percaya diri mengaku dia pacar Gerald. "Wife? Really? Are you fucking kidding me again?" pekik si pirang. "Yeah, I just want you to introduce with my beatiful woman in the world." "Bullshit!" I scream and throw remote to Gerald. Remot itu tepat mengenai wajah Gerald, dan ia berhasil menangkap remot tersebut, sebelum semuanya berderai.
"Kamu kenal Alicia itu siapa?" Gerald menengang. "Nggak!" Jawabnya gelapan, dan salah tingkah. Berarti semua hanya mimpi burukku saja. "Yaudah tidur, yuk." Ajak Gerald. "Hei, makanan kamu belum habis. Habiskan biar Rara kemas semuanya dan cuci." Kulihat Gerald sudah tidak berselera lagi. Aku mengemas semuanya, dan mencuci piring-piring yang kotor, dan peralatan buat masak tadi. Setelah selesai, kulihat Gerald masih melamun. Makanannya masih sama seperti tadi kutinggalkan. Dia bertingkah aneh. Apa Gerald sakit perut, karena aku memasak yang tidak steril? "Jadi, masih mau makan nggak?" tanyaku lagi, melihat Gerald yang masih melamun. "Eh?"
Aku ingin mengerjai Gerald. Aku tidak sakit perut. Tapi aku hanya capek, sedang tidak berselera untuk melayaninya sekarang. Tapi, aku tiba-tiba merasa berdosa setelah melihat dia panik. Selalu saja, bertingkah bodoh yang membuat kami sama-sama terluka. "Sakit? Kenapa? Keram?" tanya Gerald panik. Aku menggeleng. "Nggak tahu, sakit aja. Biarkan aku istirahat, kamu boleh pergi kuliah." kataku dengan suara lemah, agar meyakinkan. Tapi rasa bersalah, terus menghantamku. "Aku nggak bisa, nanti kamu kenapa-kenapa. Kayak semalam." Gerald menyugar rambutnya, dan wajahnya begitu ketakutan. "Nggak papa, nanti kalau sakit atau apa aku telpon aja. Tapi kamu harus gerak cepat ya." Aku memegangi perutku. "Iya, maaf telah membuat kamu sa
Tubuhku kaku semua. Sial! Aku tertidur di atas meja. Meski hanya kepalaku saja. Semoga anakku tidak merasa kesakitan. Dari malam sampai lagi, posisi tidurku hanya duduk di atas kursi, dengan kepala di atas meja. Benar-benar posisi tidur yang aneh dan tak sadar sama sekali, padahal aku tertidur dengan posisi duduk. Aku juga tak tahu jam berapa sekarang. Leher kaku, tangan dan kakiku keram. Dengan mengembalikan sistem tubuhku. Aku menuju kamar, dan pemandangan paling indah menyambutku. Aku mencari handphone dan baru ingat, semalaman aku tidak mencabut handphone-ku. Untung saja tidak meledak. Dengan menguap terasa belakang dan leherku sakit semua. Untuk digerakan sedikit saja, sangat sakit. Aku terduduk di pinggir ranjang melihat keadaan sekitar, demi apa tidurku begitu pulas dan tak sadar sama sekali? Kuperhatikan jam di layar ponsel.
Seluruh badanku remuk, setelah aksi pelukan ala (bukan) Telletubies malah berakhir aku ditelanjangi. "Kamu tetap yang terbaik." Bisik Gerald. Badanku terlalu lemah. Jadi aku hanya memeluk dada telanjang favoritku, dan membiarkan keringat kami melebur. Eh bentar, dari tadi anak ini tidak ada tanda-tanda pergi ke kampus. "Kamu nggak ke kampus?" aku mengangkat kepalaku dan menatap Gerald yang menutup matanya, ia juga kelelahan. "Nggak!" "Kenapa?" "Kenapa?" tanya Gerald balik. Dia selalu mengesalkan. "Ish-- diperhatiin juga." Aku mencubit perutnya. Dasar manusia menyebalkan. "Aku lebih s
Sebenarnya oma menawarkan buat menginap. Tapi aku menolak, aku segan jika besok pagi aku bangun telat. Padahal sebenarnya budaya orang sini, tidak masalah bangunnya. Sesuai didikan bundaku, aku harus lebih respect terhadap tuan rumah. Aku takutnya bangun kesiangan, karena akhir-akhir ini aku selalu bangun telat. Kami pun pulang juga, karena aku memaksa Gerald pulang."Besok weekend. Ada mau jalan-jalan kemana?" tawar Gerald."Aku nggak tahu. Yang aku butuhkan sekarang, pulang dan tidur. Badanku capek bangat." ujarku lemah, setelah kekenyangan, aku membutuhkan kasur, dan membaringkan kepalaku di bantal yang empuk."Yaudah tidur." Aku menutup mataku, rasanya tidak kuat lagi menahan kantukku. Harusnya tadi aku tidak keras kepala dan nginap saja di rumah oma. Aku sudah tertidur, tapi samar-samar,
Kuperhatikan wajah kedua putriku. Wajahnya mirip, orang tidak akan salah menduga mereka saudara kandung. Kelsea manis, Verena juga. Tapi, rambut Verena diambil dari mana, rambutnya sedikit bergelombang dan coklat tembaga. Padahal rambutku dan rambut Gerald lurus. Ah, mana saja yang penting anak-anakku sehat.Dari rambutnya yang bergelombang sudah bisa dipastikan bulu mata Verena lentik. Verena dan Asher mempunyai bulu mata yang cantik. Yang paling kusuka dari Kelsea, senyumannya. Walau, dia cemberut saja, masih terlihat manis. Anakku, yang satu itu tidak bosan dipandang. Wajahnya cantik, begitu cantik. Terkadang aku tak percaya punya anak secantik ini, walau kelakuannya bikin geleng-geleng.Apalagi Kelsea, orang yang suka merenggut masam.Kelsea lebih dominant, gen milikku. Namun, masih terlihat blasteran. Verena, lebih banyak bulenya. Asher, tidak terlihat genku sama seka
Aku melihat anak gembulku, yang sedang sibuk bermain. Jika, dia sudah bermain tidak akan mempedulikan sekeliling, dan suka bicara sendiri sambil menunjuk mainannya. Seolah mainan itu lawan bicara.Aku hanya duduk memperhatikan, sambil menvideo. Sebagai dokumentasi ketika dia sudah dewasa. Kalau kecilnya, begitu menggemaskan."Asher.." Aku menegurnya. dia menoleh, dan tetap bermain. Aku ingin kesana, dan merengkuh tubuhnya. Aku tidak menyangka, mempunyai anak yang begitu menggemaskan. Dengan mendekat, aku masih merekam, dan melihat mata tajam Asher. Matanya persis seperti ayahnya. Oh iya, aku sudah sering bilang jika Asher dan Gerald seperti pinang dibelah sepuluh hasilnya tetap sama. Senyum mereka, tertawa, mata, hidung, pipi, rambut, bahkan jari-jarinya sama."Boleh peluk mommy?" Asher bangun, dan memelukku. Aku begitu geram terhadapnya, aku memeluk tubuh kecilnya. Rasanya tak permah puas untuk mencium atau
"Anak mommy yang cantik." Verena berlari ke arahku, dan langsung mau manja-manja sama aku. Asher kalau lihat, pasti ngamuk. Aku mengelus, kepala Verena dengan sayang. Anakku, hadirnya ia yang menyatukan aku dan daddy-nya. Verena penyelamat buat semuanya."Kenapa sayang?" Verena hanya menatapku, dengan mata beningnya. Cantik sekali. Ya, aku sangat bersyukur semua anakku, cantik-cantik. Ia tersenyum, aku juga ikut tersenyum. Ini anak kenapa? Tingkahnya aneh sekali. Verene masih menatapku dan tersenyum, aku hanya terbengong sambil tersenyum, tingkahnya sangat aneh. Apa dia mau minta sesuatu? Padahal tinggal mereka sebutkan dan memang tidak bertentangan, aku langsung memenuhi keinginan mereka."Mommy.""Apa nak?""Love you mommy." Hatiku meleleh. Aku tersenyum lebar, sambil mengelus rambut Verena."Love you more baby.""Mommy cantik.""Iya."
Entah, kenapa rasanya aku ingin bermanja-manja sama suamiku. Anak-anakku, belum bangun. Hari minggu, aku membiarkan mereka untuk beristirahat. Dan hari ini juga, magernya luar biasa. Aku ingin seharian di kasur. Dilayani, atau dimanja dan diberi pelayanan terbaik dari suami dan mungkin anak-anak. Karena biasanya aku yang selalu memanjakan mereka."Daddy, jangan beranjak dari kasur. Mommy mau peluk." Kataku pelan dan masih menutup mata.Gerald merapatkan lagi tubuhnya dan semakin memelukku erat. "Bolekah, hari ini kita berduaan aja?" pintaku lagi."Yaudah, nanti anak-anak aku suruh oma jemput."Aku mengangguk. Sesekali tidak apa-apa. Biasanya, aku yang melarang anak-anak dibawa oma karena, akan merepotkan. Aku juga tidak bisa berjauhan lama-lama dengan anak-anakku. Semenit rasanya sudah rindu sekali. Tapi, hari ini aku ingin kesendirian dan juga memanjak
"Ya Allah nak!" Aku sudah berteriak. Bayangkan saja, Verena dan Asher baru selesai mandi. Dan mereka memakai satu handuk. Tarik-tarikan, sambil tertawa. Badan mereka basah, bisa lantai licin dan mereka terjatuh. Aku heran anak-anak Gerald mau mandi, selesai mandi pasti heboh dan teriak-teriak. Setelah selesai, pasti mereka akan berlarian sepanjang rumah dengan tubuh telanjang."Gerald, anaknya!" Aku berteriak lagi. Verena itu perempuan, harusnya tidak seperti ini. Walau mereka masih kecil, aku takutnya akan menjadi kebiasaan sampai besar, bagaimana jika Verena dan Asher telanjang saat besar. Walau pasti mereka akan sadar, tapi aku tak ingin mereka terbiasa.Gerald datang, dengan membawa handuk Asher. Anak-anak, sudah mengelilingi rumah. Kejar-kejaran."Jangan lari nak, nanti kalian jatuh!" teriakku lagi. Sekarang, tiada hari tanpa teriak.Aku mengangkat Asher. Dia malah tidak mau. Menendang-nendang di udar
Dua hari, suamiku tidak pulang. Rasa tak karuan menyergap dalam dadaku. Aku trauma sejujurnya, aku takut—.Baiklah, tolong hilangkan rasa takut ini dalam dadaku. Nyatanya, kejadian beberapa tahun silam, sangat membekas. Semuanya tidak bisa dilupakan begitu saja dengan mudah.Air mataku turun, dan berdoa tidak mengalami kejadian buruk lagi. Cukup sudah jiwaku terguncang, aku tidak kuat untuk mendapatkan masalah berat lagi. Aku menutup mataku sambil terisak, kenapa harus seperti ini lagi? Selama ini, aku selalu menghibur diriku dan menutup semua lukaku, dengan menyibukkan diri dan mengurus anak. Anak adalah satu-satunya alasanku bertahan. Tapi, jika aku sendirian, aku akan ketakutan sendirian, di luar dia—, dia akan—, banyak pikiran buruk menyerang diriku. Dan biasanya aku selalu berusaha postifi, tapi kali ini tidak.Dengan semua perasaan, yang berkecamuk dalam dadaku, aku terduduk di tempat tidur yang luas ini.
Air mataku sudah turun. Gerald tega memang.Tiba-tiba Gerald keluar dari restoran tersebut. Dia memakai kacamata dan topi. Huwah.... suamiku makin tampan. Kenapa aku baru sadar? Bukan, aku sadar maksudnya kenapa hari ini meningkat drastis? Apa ini salam perpisahan, dan membuatku tak bisa melupakan dirinya.Aku berlari ke arahnya, tidak peduli mau dijual. Aku hanya ingin, memeluknya sebentar."Gerald, Rara sayang sama Gerald. Mommy sayang sama daddy selamanya." Aku memeluknya. Badannya semakin kekar Gerald menunduk melihatku, mungkin dia heram melihatku. Jangan-jangan aku kesurupan."Rara, nggak kesurupan. Rara beneran tulus dan cinta mati sama Gerald. Kamu jangan jual aku ya? Nanti, anak kita sama siapa? Anak kita banyak, kamu pasti nggak sanggup ngurus sendirian." Gerald masih diam, memperhatikan aku yang curhat kepadanya. Dia membalas pelukanku, ah... sangat nyaman sekali.
Hari ini, sengaja Gerald izin kerja. Karena mau berduaan saja. Gila memang. Tapi, aku suka bersamanya jika hanya berduaan. Karena, waktunya buatku memanja-manjakan diri.Hari ini, vater dan Aunty Meiland datang dan mereka ingin mengajak anak-anak jalan-jalan. Gerald dengan senang hati, mengizinkan. Aku, setengah berat. Karena, akan merepotkan. Apalagi, anak lelakiku yang kecil dan anak perempuanku yabg kecil, mereka suka risih kalau jalan-jalan. Banyak permintaan, banyak bertanya, jadi kadang kita yang capek sendiri melayani. Aunty dan vater begitu sayang anak, kurang bersyukur apa hidupku jika mendapat orang-orang baik dan support seperti mereka. Aku bahagia dengan keluargaku.Sebenarnya, aunty Meiland sering minta. Agar, anak-anakku tinggal sama mereka. Aku tidak mungkin, mengizinkan anak-anakku tinggal dengan orang lain. Walau itu, kakek dan nenek mereka sendiri. Aku tidak mau merepotkan orang, dan aku senang
Flashback Rara hamil Asher. Bagaimana dia sudah hamil lagi, disaat usia baby Verena masih 4 bulan. _________________________"Says, mommy's pregnant!" "Mommy's pregnant." Orang-orang yang kusayang, sedang berdiri di depan, seolah, aku mau foto mereka padahal aku sedang memvideo mereka. Gerald sedang mengendong Kelsea dan Skye. Baby Verena sedang tidur, di kamar bayi. Wajahnya lucu-lucu, dan membuat kenangan tersendiri buatku yang takkan pernah kulupakan hingga nanti. Mereka sangat mengemaskan."Mommy's pregnant." ulang Gerald menggeleng. Aku tersenyum."Are you?" Aku mengangguk. "Yes daddy." "No way! You kidding." "No. I'm serious." Gerald menurunkan Kelsea dan Skye. Ia menuju ke arahku, air mataku tidak berhenti menetes dari awal. Aku senang dan sedih. Aku senang, karena akan menambah a