“Aku itu putih, kamu itu hitam dan cinta itu abu-abu. Bisa aja sekarang kamu memilih hitam tanpa memedulikan putih. Tapi aku akan terus menawarkan putih dalam hatimu agar mengenal abu-abu. Yaitu, cinta.”
- AF
“Gue punya tanggung jawab besar menjaga orang-orang yang begitu penting di hidup gue. Itu yang membuat gue sama sekali nggak peduli dengan orang lainnya karena gue nggak mungkin sanggup menjaga mereka juga.”
- RHS
***
“Hai-hai, apa kabar, guys? Gimana nih cerita liburannya semua? Pasti pada happy dong, ya? Tahun baru jangan dibikin galau-galaulah. Asek! Yang lagi nganggur, gue doain di tahun ini semoga cepat dapet kerja. Yang lagi sakit, semoga cepat diberi kesembuhan. Yang lagi sulit perekonomiannya, semoga cepat jadi kaya. Yang lagi dihantui mulu sama bayang-bayang sang mantan, semoga cepat move on. Dan yang lagi mendam rasa sama si dia, aelah hari gini, masih aja? Haha, gue doain semoga cepat kesampaian tuh rasa. Okelah, kali ini gue mau bacain-” Tut.
Syara mematikan siaran radio di ponselnya. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat sepuluh malam sekarang. “Yang lagi mendam rasa?” desisnya. “Okelah.” Satu senyuman mengantarnya tidur malam ini.
***
Hari ini adalah awal semester kedua di kelas sebelas bagi Syara. Sudah satu setengah tahun ternyata ia berhasil menyembunyikan sesuatu dari seseorang yang selalu ada di pikirannya. Apalagi kalau bukan perasaannya.
Gadis berambut lurus sepunggung itu ingin ada yang berbeda dalam hidupnya di tahun ini. Hal ini bukan sekali-dua kali terlintas di pikirannya tapi sudah tak terhitung lagi terus menerornya. Ia bertekad harus melakukan perubahan mulai dari sekarang. “Rendi!” panggilnya di parkiran sekolah.
Cowok itu menoleh ke arah sumber suara yang memanggilnya. Tapi ia tak berniat mengatakan apa pun.
Syara memberanikan diri mendekati cowok itu. Rendi Haris Sandi, sosok yang selalu menyita perhatiannya di sekolah. “Kenalin, aku Syara. Dari kelas sebelas-C.” serunya sambil melempar senyum termanisnya di abad ini. Syara juga mengulurkan tangannya bermaksud mengajak salam. Tapi Rendi justru membalas senyuman itu dengan tatapan dinginnya. Dan tanpa menjabat tangan gadis itu, ia hanya membalikkan badan lalu pergi begitu saja.
***
Gadis bernama lengkap Asyara Faizia yang kerap disapa ‘Syara’ ini sudah menyukai Rendi sejak duduk di bangku kelas sepuluh. Memang tak dimungkiri kalau cowok itu memiliki wajah rupawan yang mampu memikat siapa saja untuk bisa langsung menyukainya. Tapi selain karena wajahnya, sisi lain yang membuat Syara selalu mengagumi Rendi adalah berkat kecerdasan cowok itu dalam segala hal. Selalu dapat juara satu umum, jago olahraga dan ganteng lagi. Itu semua adalah paket komplet yang cowok itu miliki.
***
Sudah berpindah separuh bungkus keripik talas rasa rumput laut itu ke dalam perut Syara sekarang.
“Udah, lo asik makan aja, jadi kapan mau ceritanya?” sewot Aqila, tamu langganan yang diundang Syara untuk membunuh kesepiannya di rumah.
“Aku masih bingung mau mulai ceritanya dari mana, La.”
“Ya tinggal lo kasih tau gue, dia itu orangnya gimana? Gitu aja kok repot sih, Ra?” omel Aqila sambil gantian mencomot keripik talasnya.
Syara berpikir, mencoba menemukan kata yang tepat untuk membuka curhatannya. “Ternyata Rendi itu orangnya irit bicara, lebih irit dari belanja bulanan Bunda yang hobinya borong diskonan. Rendi juga dingin banget, lebih dingin dari es pisang ijo buatan Qila yang bikin gigi aku ngilu terus. Pokoknya, Rendi itu kok berubah kayak monster, sih? Padahal aku yakin banget dia itu pangeran berkuda putih yang dikirim Tuhan untukku.” oceh Syara benar-benar membuat Aqila tercengang.
“Udah ngocehnya?”
Syara mengangguk. “Hm. Terus tanggapan Qila gimana? Aku harus apa?”
Aqila memainkan poninya. “Terserah lo. Kalau lo rasa dia pantas disukai, ya udah tetap aja sukai dia. Kejar dia jangan sampe lolos. Tapi kalau dia nggak pantas disukai, ya anggap dia itu pecundang yang pantasnya dibuang aja deh ke laut. Easy, right?” terang Aqila bijak, memudahkan segalanya.
Mudah sontoloyo. Bagi Syara ini perkara susah. Ia menggigit bibirnya, ragu. “Aku nggak bisa mastiin kalau itu, La. Masih abu-abu.”
“Bener. Memang masih terlalu cepat sih, memutuskan dia itu pantas disukai atau nggak. Wajar lo bilang masih abu-abu karena nggak ada yang pasti. Bisa aja sekarang dia bersikap cuek gitu karena kalian kan masih belum kenal. Nggak tau kalau besok?” jelas Aqila bijak lagi. Di akhir kalimatnya ia meniru gaya Dilan bicara.
Senyum semringah Syara terlukiskan jelas di wajahnya. Kali ini ia tak salah alamat bercerita panjang lebar pada Aqila. Syara mendapatkan jawaban yang ingin ia dengar. Ia pun memeluk erat sahabatnya itu. “Oke, my sweetheart Aqila.”
***
Langit masih memperlihatkan sisa mendung dari hujan deras yang telah reda subuh tadi. Hawa pagi yang dingin menyelimuti tidur Syara, membuatnya terlena hingga bangun kesiangan. Untung, Dewi Fortuna masih berpihak padanya. Ia nyaris saja terlambat. Sepersekian detik sebelum gerbang sekolah tertutup tanpa ampun, Syara berhasil meloloskan diri dan membuatnya aman kali ini.
Sungguh pagi yang memacu adrenalin. Syara harus kembali berlari melombai jalannya Bu Rohimah yang santuy dari ruangan guru menuju kelasnya.
Selamat. Syara bergumam dalam hati sambil mencoba mengatur kembali napasnya yang ngos-ngosan. Bu Rohimah masuk dan memulai pelajaran pendidikan kewarganegaraan yang ia ajar sampai jamnya berakhir.
Sekarang telah masuk waktu istirahat. Syara bersama Mira, teman sebangkunya, dan Karina yang sebetulnya teman dekat Mira dari kelas lain sedang makan di kantin. Lagi dan lagi, Mira dan Karina selalu membicarakan tentang pacar masing-masing. Seakan tak ada topik lain yang lebih menarik minat mereka untuk dibahas. Apalah daya Syara yang dari zigot sampai sekarang tak punya pacar. Alhasil, ia hanya bisa menjadi pendengar budiman dan diam memendam kebosanannya.***Sepulang sekolah, tanpa mengeluarkan suara Syara terus membuntuti Rendi sampai ke parkiran. Lukman, salah satu teman dekatnya Rendi yang sedari tadi sudah curiga menegurnya. “Permisi. Lo mau ngapain, ya?”Rendi tak memedulikan gadis itu. Ia lebih memilih mengeluarkan motornya dari tempat parkir.“Hai, kamu Lukman, kan? Sekelasnya Rendi?”Lukman silih berganti menatap Syara lalu Rendi kemudian Syara lagi. “Iya. Terus... kenapa, ya?”Syara mengulurkan
Suasana kantin dalam hitungan menit sudah penuh sesak. Apa hari ini hari tanpa sarapan di rumah sedunia? Sebetulnya Syara tak terlalu lapar karena sebelum berangkat sekolah ia sempat sarapan di rumah. Tapi kedua temannya itu mengeluh lapar karena bangun kesiangan dan belum ada makan secuil apa pun. Terpaksa Syara dengan sabar ikut berbaris dalam antrean langka ini demi mendapat jatah lontong sayur Mbak Oki.Mira dan Karina yang gesit mengamankan tempat untuk mereka makan, menyuruh Syara saja yang pergi memesan makanannya. Sesekali Syara menoleh ke arah Mira dan Karina dari baris antrean, tak jarang keduanya cekikikan bahkan saling melepas tawa terpingkal-pingkalnya. Pertemanan yang hangat, tapi mengapa saat Syara bergabung, kehangatan itu justru pudar?Lontong sayur Mbak Oki sudah siap dinikmati. Syara berjalan menuju meja yang telah diamankan Mira dan Karina tadi. Saking fokus dan berhati-hatinya Syara membawakan nampan berisi dua mangkuk lontong itu, ia sampai tak sa
Tamparan keras mendarat di pipi halus Rendi, membekaskan rona merah yang sedikit perih. “Lo nyangkal juga kalau gue bilangin bego. Berarti lo itu sejenis ma-”“DIEM RENDI!”Air mata Syara tak terbendung lagi. Tetesan hujan di pelupuk matanya sudah siap turun membasahi pipi. Ia mewek. “Iya, aku memang pura-pura sok baik. Iya, aku memang bego. Iya, aku juga suka sama Rendi tapi bukan berarti Rendi bisa sesukanya nuduh yang nggak-nggak tentang pertemanan aku.”Rendi terdiam. Jika tamparan keras bisa ia balas dengan perkataan yang lebih menyakitkan. Tapi, bagaimana jika itu tangisan seorang cewek? Rendi tak tahu apa yang harus diperbuat. Dadanya terasa sesak dan sakit.“Aku nggak akan maksa Rendi, kok. Makasih ya jawabannya.” lirih Syara berusaha menahan suaranya yang bergetar. “Aku pulang lebih dahulu, Rendi.” pamitnya sambil setengah berlari menjauhi cowok itu.Gue nggak salah. Tega
Rendi beranjak ke lantai atas. Sebelum masuk ke kamarnya, ia singgah ke kamar Rasthi. Gadis itu sudah berbaring di tempat tidur. Rendi mendekat dan melihat wajah seseorang yang dipesankan mamanya untuk terus ia jaga dan temani.Rendi berdesis pelan. “Menggantikan Papa, ya? Apa gue bisa?” Rendi membiarkan lampu kamar itu tetap menyala. Dengan perlahan ia menutup rapat pintu kamar Rasthi agar tak membangunkannya.Sepasang mata terbuka sempurna. Rasthi ternyata belum tidur. Ia hanya iseng berakting tidur tadi begitu mendengar suara kaki dengan jelas mengarah ke kamarnya.“Ck, Kak Rendi, di luar kulitnya aja tuh dingin padahal di dalam mah hatinya masih hangat, persis kayak dulu waktu Papa masih ada. Cuma dianya aja yang aneh bin resek. Masih suka ngelestariin sok cool-nya itu, malah lebih parah lagi pas sekarang. Dasar nyebelin.” Rasthi bermonolog pelan seraya memandangi foto lawas keluarga kecil mereka dalam jumlah anggota
“Ra, please, jangan nangis dong. Entar kalau Bunda atau Ayah lo pulang, gue jadi kayak keciduk udah buat anak mereka nangis. Bisa-bisa diusir secara tidak hormat gue dari sini.”Tok... Tok... Tok Ada yang mengetuk pintu rumah Syara. “Biar gue aja, Ra. Lo terusin aja nangisnya sampai puas, ya.” ucap Aqila yang segera beranjak membukakan pintu. Syara sudah berhenti menangis tapi ia masih sesenggukan. “Syara-nya ada?” Suara yang familier terdengar di telinga Syara. Itu suara Ayah dan Bunda. Syara menyeka bekas linangan air matanya di pipi dan berjalan ke ruang tamu. Benar saja, Aqila dan kedua orang tuanya itu terlihat kompak memakai topi kerucut ulang tahun. Apa ia lahir dua kali dalam setahun? Ini kan buka
“Gue sama Heni mau beli minuman dulu.” pamit Lukman sambil memboyong pacarnya agar tak terlibat perseteruan yang sebentar lagi akan terjadi di situ. Lukman menandai apabila kedua orang itu bertemu, sudah barang pasti perang akan berkobar. “Males sih tanya Aldo.” “Kalau gitu gue yang tanya. Eh, lo tau nama gue darimana? Jangan bilang lo fans gue, ya? Fans dari kelas mana, nih?” tanya Aldo berbuntut narsistik, sok famous. “Taulah karena Aldo kan temen dekatnya Rendi. Siapa juga yang nge-fans? Orang aku sukanya sama Rendi.” jawab Syara terlampau jujur.&
Syara hanya menunjukkan wajah cemberutnya sambil mengepal tangannya siap menjotos si kunyuk satu ini. Untung saja lagi di mal jadi niat tercelanya itu ia urungkan. Rendi dengan sikap cuek dan dinginnya terus saja berjalan lurus tak menghiraukan mereka. Lukman dan Heni pun pergi menyusulnya. “Udah yuk, kita makan!” ajak Heni. *** Sesuai prediksi Syara, nilai rapornya tak ada yang merah atau di bawah rata-rata. Misal, jika nilai kelulusan di satu mata pelajaran adalah tujuh puluh delapan maka nilai Syara tujuh puluh sembilan. Menurutnya itu sudah luar biasa walau yang lain menganggap ‘B-aja, keleus’. Tapi, setidaknya ia telah berhasil naik kelas dan berhak mengejar cinta Rendi sampai ke tahun ajaran selanjutnya. Mari bersama kita ucapkan selamat. Syara berniat naik bus ke sekolah. Kali ini ia tak bersemangat cepat-cepat pergi karena yakin pasti tak akan sekelas lagi deng