“Gue sama Heni mau beli minuman dulu.” pamit Lukman sambil memboyong pacarnya agar tak terlibat perseteruan yang sebentar lagi akan terjadi di situ. Lukman menandai apabila kedua orang itu bertemu, sudah barang pasti perang akan berkobar.
“Males sih tanya Aldo.”
“Kalau gitu gue yang tanya. Eh, lo tau nama gue darimana? Jangan bilang lo fans gue, ya? Fans dari kelas mana, nih?” tanya Aldo berbuntut narsistik, sok famous.
“Taulah karena Aldo kan temen dekatnya Rendi. Siapa juga yang nge-fans? Orang aku sukanya sama Rendi.” jawab Syara terlampau jujur.
“Ra!” panggil Aqila menghampiri. “Jadi nggak sih nontonnya?”
“Wow. Makhluk Tuhan yang paling indah.” goda Aldo melihat Aqila datang. “Siapa nih, bocah?” tanyanya berubah salah tingkah.
“My best friend. Oh iya, nama aku Syara. Bukan bocah, ya.”
Rendi tertawa kecil. Syara merasa dirinya yang sedang cowok itu tertawakan. Dan ia tak terima.
“Rendi jangan ketawa! Siapa bilang aku nggak punya temen? Lihat aja kelas dua belas nanti!”
“Gue beli tiket dulu.” sahut Rendi tak menggubris gadis yang haus perhatiannya itu.
“Oke,” jawab Aldo. “Hai? Gue Aldo.” sapanya memperkenalkan diri pada Aqila.
“Modus.” cibir Syara tapi membiarkan saja temannya itu berkenalan dengan Aldo. Selama itu bukan orang jahat, Syara tak masalah jika Aqila bergaul dengan siapa pun.
Tergolong cepat juga Aqila bisa langsung akrab dengan Aldo. Mungkin itu karena sifat Aldo yang supel dan kocak. Situasi macam apa sekarang ini? Syara memasuki fase jenuh menjadi nyamuk di antara mereka berdua. Sial.
Rendi kembali dengan membawa empat tiket film horor di tangannya. “Udah bisa masuk sekarang.”
“Sabar, Ren. Nggak pernah tau waktu nih orang. Ngerusak momen pedekate gue aja.” kesal Aldo.
“Ren, lo udah beli tiketnya?” tanya Lukman.
“Udah. Nih, punya lo berdua.” jawab Rendi sambil menyodorkan dua tiket di tangannya.
“Duh, gimana ya...” kata Lukman ragu.
“Kami udah beli dua tiket film romance, nih. Gue yang ngajak Lukman,” sambung Heni yang langsung mengeluarkan dua tiket dari saku celana panjangnya. Ia menoleh ke Syara. “Sorry, lo udah beli tiket juga, nggak?”
“Hah?” Syara gelagapan. “Be-belum, sih.” jawabnya terbata-bata. Pikirannya memprediksi sesuatu yang indah akan terjadi. Masih dalam angan saja sudah membuat jantungnya berdegup tak keruan.
“Oke. Kalau gitu, lo mau ambil dua tiket ini, nggak? Yang satunya lagi buat temen lo. Oh iya, kita belum kenalan, ya? Gue Heni dan ini Lukman.” ujar Heni begitu ramah.
“Kalau gue, dia udah tau, Hen.” seru Lukman.
“Iya, aku juga udah tau kok kalau nama kamu Heni. Kalian kan temen dekatnya Rendi, pastilah aku tau. Hehe.” balas Syara tak kalah ramah. “Nama aku Asyara Faizia, panggil aja Syara. Dari kelas sebelas-C.”
“Oke, salam kenal Syara. Oh iya, ini buat kalian, bagi-bagilah ya. Kalau kurang, beli sendiri, masih sempet kok.” cerocos Heni sambil memberikan camilan yang ia dan Lukman beli barusan.
“Wuisshh... Gini baru namanya temen pengertian. Tau aja temennya yang jomblo lapukan ini butuh momen like this. Terhura gue. Hiks.” ucap Aldo sembari mengambil bekal camilan itu. Mereka tertawa kecuali Rendi yang tetap dingin.
“Bisa aja lo ya, tengil! Kalau lo jomblo lapukan, tuh anak predikatnya apa?” sindir Lukman sambil memainkan lidahnya dengan mulut tertutup menunjuk ke arah Rendi. Mengodekan jika cowok itu yang dimaksud.
Aldo paham. “Rendi jomblo lumutan. Ha ha ha.” ledeknya tak merasa berdosa.
Dengan cuek Rendi meninggalkan mereka yang sedang mengolok dirinya. Semua tertawa dan tersadar, tiket mereka ada di tangan cowok itu. Bagaimana bisa masuk kalau tiketnya sama Rendi? Dan kalau Rendi sudah di dalam mana mungkin ia mau keluar.
“RENDII!! TIKETNYAA!! JANGAN MASUK DULUU!!!”
***
Rendi langsung memilih nomor bangku paling pinggir berdasarkan empat tiket mereka. Kalau urutan duduk selanjutnya serahkan semua pada Syara.
“Jadi gini, biar kita sama-sama enak, aku yang duduk di kirinya Rendi, terus samping kiriku nanti Qila. Nah, Aldo berarti duduk di paling kiri, ya. Cakep kan formasinya? Siapa dulu dong ahlinya?” bisik Syara memberi komando pada kedua orang itu saat Rendi sudah duduk manis sendirian.
“Cakep. Oke, deal.” serentak Aldo dan Aqila menjawab. Sudah tanda-tanda ada chemistry saja, nih.
Rendi tak peduli akal bulus apa lagi yang akan dilancarkan Syara. Walau ia tahu gadis itu sengaja memilih bangku di sebelahnya tapi ia sudah mendirikan tembok raksasa tak kasat mata di antara mereka. Itu pasti akan berguna kelak.
Film dimulai. Sepanjang film Rendi hanya diam menyaksikan dengan hikmat. Berbeda dengan Syara yang lasak di tempat. Jantungnya berdebar cepat. Ia yakin itu bukan efek film horor yang sedang tayang tersebut tapi efek khayalannya yang membayangkan Rendi akan melakukan hal romantis padanya.
Syara mendengus kesal. “PHP.” decaknya sebal. Film pun berakhir tanpa ada reaksi yang berarti dari Rendi. Sekarang mereka sudah berkumpul kembali dengan Lukman dan Heni.
Aqila mengamati ada yang salah dari Syara sejak keluar cinema room. “Are you okay?”
“Apanya yang oke, La? Rendi dari tadi diem aja.” tandas Syara dengan suara yang cukup menyita perhatian orang di sekelilingnya.
“What happen naon-naon nih, guys?” sambung Aldo mencampuri. “Jadi lo ngarep si Rendi harusnya ngapain tadi, hayo? Ngaku lo!” godanya.
Syara hanya menunjukkan wajah cemberutnya sambil mengepal tangannya siap menjotos si kunyuk satu ini. Untung saja lagi di mal jadi niat tercelanya itu ia urungkan. Rendi dengan sikap cuek dan dinginnya terus saja berjalan lurus tak menghiraukan mereka. Lukman dan Heni pun pergi menyusulnya. “Udah yuk, kita makan!” ajak Heni. *** Sesuai prediksi Syara, nilai rapornya tak ada yang merah atau di bawah rata-rata. Misal, jika nilai kelulusan di satu mata pelajaran adalah tujuh puluh delapan maka nilai Syara tujuh puluh sembilan. Menurutnya itu sudah luar biasa walau yang lain menganggap ‘B-aja, keleus’. Tapi, setidaknya ia telah berhasil naik kelas dan berhak mengejar cinta Rendi sampai ke tahun ajaran selanjutnya. Mari bersama kita ucapkan selamat. Syara berniat naik bus ke sekolah. Kali ini ia tak bersemangat cepat-cepat pergi karena yakin pasti tak akan sekelas lagi deng
“Aku itu putih, kamu itu hitam dan cinta itu abu-abu. Bisa aja sekarang kamu memilih hitam tanpa memedulikan putih. Tapi aku akan terus menawarkan putih dalam hatimu agar mengenal abu-abu. Yaitu, cinta.”- AF“Gue punya tanggung jawab besar menjaga orang-orang yang begitu penting di hidup gue. Itu yang membuat gue sama sekali nggak peduli dengan orang lainnya karena
Sekarang telah masuk waktu istirahat. Syara bersama Mira, teman sebangkunya, dan Karina yang sebetulnya teman dekat Mira dari kelas lain sedang makan di kantin. Lagi dan lagi, Mira dan Karina selalu membicarakan tentang pacar masing-masing. Seakan tak ada topik lain yang lebih menarik minat mereka untuk dibahas. Apalah daya Syara yang dari zigot sampai sekarang tak punya pacar. Alhasil, ia hanya bisa menjadi pendengar budiman dan diam memendam kebosanannya.***Sepulang sekolah, tanpa mengeluarkan suara Syara terus membuntuti Rendi sampai ke parkiran. Lukman, salah satu teman dekatnya Rendi yang sedari tadi sudah curiga menegurnya. “Permisi. Lo mau ngapain, ya?”Rendi tak memedulikan gadis itu. Ia lebih memilih mengeluarkan motornya dari tempat parkir.“Hai, kamu Lukman, kan? Sekelasnya Rendi?”Lukman silih berganti menatap Syara lalu Rendi kemudian Syara lagi. “Iya. Terus... kenapa, ya?”Syara mengulurkan
Suasana kantin dalam hitungan menit sudah penuh sesak. Apa hari ini hari tanpa sarapan di rumah sedunia? Sebetulnya Syara tak terlalu lapar karena sebelum berangkat sekolah ia sempat sarapan di rumah. Tapi kedua temannya itu mengeluh lapar karena bangun kesiangan dan belum ada makan secuil apa pun. Terpaksa Syara dengan sabar ikut berbaris dalam antrean langka ini demi mendapat jatah lontong sayur Mbak Oki.Mira dan Karina yang gesit mengamankan tempat untuk mereka makan, menyuruh Syara saja yang pergi memesan makanannya. Sesekali Syara menoleh ke arah Mira dan Karina dari baris antrean, tak jarang keduanya cekikikan bahkan saling melepas tawa terpingkal-pingkalnya. Pertemanan yang hangat, tapi mengapa saat Syara bergabung, kehangatan itu justru pudar?Lontong sayur Mbak Oki sudah siap dinikmati. Syara berjalan menuju meja yang telah diamankan Mira dan Karina tadi. Saking fokus dan berhati-hatinya Syara membawakan nampan berisi dua mangkuk lontong itu, ia sampai tak sa
Tamparan keras mendarat di pipi halus Rendi, membekaskan rona merah yang sedikit perih. “Lo nyangkal juga kalau gue bilangin bego. Berarti lo itu sejenis ma-”“DIEM RENDI!”Air mata Syara tak terbendung lagi. Tetesan hujan di pelupuk matanya sudah siap turun membasahi pipi. Ia mewek. “Iya, aku memang pura-pura sok baik. Iya, aku memang bego. Iya, aku juga suka sama Rendi tapi bukan berarti Rendi bisa sesukanya nuduh yang nggak-nggak tentang pertemanan aku.”Rendi terdiam. Jika tamparan keras bisa ia balas dengan perkataan yang lebih menyakitkan. Tapi, bagaimana jika itu tangisan seorang cewek? Rendi tak tahu apa yang harus diperbuat. Dadanya terasa sesak dan sakit.“Aku nggak akan maksa Rendi, kok. Makasih ya jawabannya.” lirih Syara berusaha menahan suaranya yang bergetar. “Aku pulang lebih dahulu, Rendi.” pamitnya sambil setengah berlari menjauhi cowok itu.Gue nggak salah. Tega
Rendi beranjak ke lantai atas. Sebelum masuk ke kamarnya, ia singgah ke kamar Rasthi. Gadis itu sudah berbaring di tempat tidur. Rendi mendekat dan melihat wajah seseorang yang dipesankan mamanya untuk terus ia jaga dan temani.Rendi berdesis pelan. “Menggantikan Papa, ya? Apa gue bisa?” Rendi membiarkan lampu kamar itu tetap menyala. Dengan perlahan ia menutup rapat pintu kamar Rasthi agar tak membangunkannya.Sepasang mata terbuka sempurna. Rasthi ternyata belum tidur. Ia hanya iseng berakting tidur tadi begitu mendengar suara kaki dengan jelas mengarah ke kamarnya.“Ck, Kak Rendi, di luar kulitnya aja tuh dingin padahal di dalam mah hatinya masih hangat, persis kayak dulu waktu Papa masih ada. Cuma dianya aja yang aneh bin resek. Masih suka ngelestariin sok cool-nya itu, malah lebih parah lagi pas sekarang. Dasar nyebelin.” Rasthi bermonolog pelan seraya memandangi foto lawas keluarga kecil mereka dalam jumlah anggota
“Ra, please, jangan nangis dong. Entar kalau Bunda atau Ayah lo pulang, gue jadi kayak keciduk udah buat anak mereka nangis. Bisa-bisa diusir secara tidak hormat gue dari sini.”Tok... Tok... Tok Ada yang mengetuk pintu rumah Syara. “Biar gue aja, Ra. Lo terusin aja nangisnya sampai puas, ya.” ucap Aqila yang segera beranjak membukakan pintu. Syara sudah berhenti menangis tapi ia masih sesenggukan. “Syara-nya ada?” Suara yang familier terdengar di telinga Syara. Itu suara Ayah dan Bunda. Syara menyeka bekas linangan air matanya di pipi dan berjalan ke ruang tamu. Benar saja, Aqila dan kedua orang tuanya itu terlihat kompak memakai topi kerucut ulang tahun. Apa ia lahir dua kali dalam setahun? Ini kan buka