Rendi beranjak ke lantai atas. Sebelum masuk ke kamarnya, ia singgah ke kamar Rasthi. Gadis itu sudah berbaring di tempat tidur. Rendi mendekat dan melihat wajah seseorang yang dipesankan mamanya untuk terus ia jaga dan temani.
Rendi berdesis pelan. “Menggantikan Papa, ya? Apa gue bisa?” Rendi membiarkan lampu kamar itu tetap menyala. Dengan perlahan ia menutup rapat pintu kamar Rasthi agar tak membangunkannya.
Sepasang mata terbuka sempurna. Rasthi ternyata belum tidur. Ia hanya iseng berakting tidur tadi begitu mendengar suara kaki dengan jelas mengarah ke kamarnya.
“Ck, Kak Rendi, di luar kulitnya aja tuh dingin padahal di dalam mah hatinya masih hangat, persis kayak dulu waktu Papa masih ada. Cuma dianya aja yang aneh bin resek. Masih suka ngelestariin sok cool-nya itu, malah lebih parah lagi pas sekarang. Dasar nyebelin.” Rasthi bermonolog pelan seraya memandangi foto lawas keluarga kecil mereka dalam jumlah anggota yang utuh di layar ponselnya. Kedua sudut bibirnya tanpa sadar tertarik membentuk lengkungan senyum sebelum ia benar-benar terlelap.
***
Pagi yang cerah sungguh kontras dibandingkan dengan cuaca lokal di hati Syara saat ini, mendung. Sayangnya, ‘sakit hati' tak bisa dijadikan alasan untuk menulis surat ketidakhadiran ke sekolah. Andai bisa, sudah pasti itu yang Syara lakukan sekarang.
Dengan langkah gontai tak seperti biasanya, Syara akhirnya menginjakkan kaki juga di kelas. Ia melihat Mira dengan anteng memakan snack bermicin sambil menggerakkan matanya menjelajah apa yang ditampilkan layar ponselnya. Serius membaca sesuatu. Ada apa dengan makhluk kasat mata ini? Kejadian semalam apa bukan dia pelakunya? Mengapa bisa setenang itu sekarang?
Tak ada sapaan yang bergulir dari mulutnya maupun Mira. Syara terus berpikir, memaksa mesin otaknya bekerja ekstra menghasilkan jawaban. Reaksi macam apa yang orang ini tunjukkan padanya sekarang? Mengapa cuma dirinya sendiri yang risau?
Mohon Tuhan untuk kali ini saja beri aku kekuatan ‘tuk membaca pikiran. Jiwa Syara bersenandung dengan nada ala lagu Sheila on 7 saking geregetannya.
***
Terlewati juga jam pelajaran kimia yang selalu berhasil membuat aritmia sembilan puluh sembilan persen murid dari populasi kelas sebelas-C ini. Jam istirahat yang dijadikan juru selamat pun akhirnya tiba. Semua girang karena selamat dari kuis mautnya Bu Reni kali ini. Setiap beliau masuk selalu ada kuis yang dilabeli ‘maut’ sebab siapa yang tak bisa menjawab dengan benar satu soal acak yang diberi maka wajib mengerjakan lima soal esai kimia di kertas dan harus dikumpulkan hari itu juga dengan batas waktu sampai jam pelajaran terakhir.
Mira termasuk bagian murid yang berhamburan keluar kelas. Mereka sama sekali belum ada bicara. Syara tahu pertemanan mereka kini sudah hancur. Syara memilih memakan camilan dan cokelat yang dibawanya sendiri dari rumah. Ia benar-benar sendirian di kelas. Mengapa hidupnya selalu sepi? Tak hanya di rumah, di sekolah pun juga.
***
Benar-benar hari yang aneh dan hampa bagi Syara. Di tengah keramaian, ia merasa sendirian. Syara tak tahan lagi, hari ini ia sudah kebanyakan diam. Di dalam taksi menuju rumahnya ia menelepon Aqila.
“Ada apa, Ra?” seru Aqila to the point.
“La, main ke rumah aku, yuk!”
“Hah? Sekarang?” kaget Aqila.
“Iya, kalau Qila nggak bisa biar aku aja yang ke rumah Qila, mau?” tawar Syara mempermudah.
“Gue bisa kok, cuma yah nggak bisa sekarang. Agak sorean gimana? Soalnya gue lagi ada urusan dikit di sekolah, nih.”
“Ohh, oke nggak apa-apa kok, La. Aku tunggu, yaa.”
“Iya.”
Setidaknya Syara masih punya Ayah, Bunda dan teman baiknya, Aqila, yang selalu ada untuknya. Itu sudah lebih dari cukup. Dan ia selalu bersyukur akan hal itu.
***
Aqila sudah datang lima menit yang lalu memenuhi permintaan sahabat karibnya itu. “Oh, jadi begitu masalah Anda kali ini?” sahutnya sambil mengunyah camilan dari kulkas usai Syara mencurahkan segala kegundahannya. Aqila tak ada segannya jika bertamu ke rumah Syara. Terkadang ia sudah menganggap rumah Syara seperti rumahnya sendiri. Ambil makanan sendiri terus langsung dimakan ataupun duduk sesukanya walau belum dipersilakan. Tapi itu pengecualian, kalau di rumah itu hanya mereka berdua tanpa ada orang tua Syara.
“Iya, La. Makanya aku bingung, kenapa tadi di sekolah Mira tuh diem aja? Kok, dia kayak nggak merasa ada kejadian apa sih semalam?” jelas Syara. “Bisa gitu, ya?”
“Ya, bisalah. Kalau dia aja bisa, kenapa lo nggak?” seru Aqila sambil menuangkan sirup rasa markisa ke gelas. Menghidang minuman sendiri.
“Itu dia masalahnya, La. Aku juga penginnya bisa gitu, tapi kenapa nggak bisa?” keluh Syara yang sedari tadi duduk saja di kursi makan, melihat temannya itu mondar-mandir di dapur.
“Lo kurang usaha, belum banyak doa, makanya nggak bisa.” ledek Aqila.
“Ihh, aku serius loh, Qila!” protes Syara. “Qila kenapa nggak mau pindah aja ke sekolahku, sih? Dari awal mau masuk SMA dulu kan, aku udah minta Qila masuk ke sekolah yang sama. Coba aja kalau Qila mau, pasti aku nggak akan menderita kayak gini.” ungkit Syara, matanya mulai berkaca-kaca.
Aqila menyadari sifat cengeng temannya ini mulai kambuh. Ia menyodorkan segelas minuman sirup markisa yang dibuatnya tadi. “Gue minta maaf, Ra. Nih, minum dulu.” Syara mulai menangis, Aqila kelabakan.
“Ra, please, jangan nangis dong. Entar kalau Bunda atau Ayah lo pulang, gue jadi kayak keciduk udah buat anak mereka nangis. Bisa-bisa diusir secara tidak hormat gue dari sini.”Tok... Tok... Tok Ada yang mengetuk pintu rumah Syara. “Biar gue aja, Ra. Lo terusin aja nangisnya sampai puas, ya.” ucap Aqila yang segera beranjak membukakan pintu. Syara sudah berhenti menangis tapi ia masih sesenggukan. “Syara-nya ada?” Suara yang familier terdengar di telinga Syara. Itu suara Ayah dan Bunda. Syara menyeka bekas linangan air matanya di pipi dan berjalan ke ruang tamu. Benar saja, Aqila dan kedua orang tuanya itu terlihat kompak memakai topi kerucut ulang tahun. Apa ia lahir dua kali dalam setahun? Ini kan buka
“Gue sama Heni mau beli minuman dulu.” pamit Lukman sambil memboyong pacarnya agar tak terlibat perseteruan yang sebentar lagi akan terjadi di situ. Lukman menandai apabila kedua orang itu bertemu, sudah barang pasti perang akan berkobar. “Males sih tanya Aldo.” “Kalau gitu gue yang tanya. Eh, lo tau nama gue darimana? Jangan bilang lo fans gue, ya? Fans dari kelas mana, nih?” tanya Aldo berbuntut narsistik, sok famous. “Taulah karena Aldo kan temen dekatnya Rendi. Siapa juga yang nge-fans? Orang aku sukanya sama Rendi.” jawab Syara terlampau jujur.&
Syara hanya menunjukkan wajah cemberutnya sambil mengepal tangannya siap menjotos si kunyuk satu ini. Untung saja lagi di mal jadi niat tercelanya itu ia urungkan. Rendi dengan sikap cuek dan dinginnya terus saja berjalan lurus tak menghiraukan mereka. Lukman dan Heni pun pergi menyusulnya. “Udah yuk, kita makan!” ajak Heni. *** Sesuai prediksi Syara, nilai rapornya tak ada yang merah atau di bawah rata-rata. Misal, jika nilai kelulusan di satu mata pelajaran adalah tujuh puluh delapan maka nilai Syara tujuh puluh sembilan. Menurutnya itu sudah luar biasa walau yang lain menganggap ‘B-aja, keleus’. Tapi, setidaknya ia telah berhasil naik kelas dan berhak mengejar cinta Rendi sampai ke tahun ajaran selanjutnya. Mari bersama kita ucapkan selamat. Syara berniat naik bus ke sekolah. Kali ini ia tak bersemangat cepat-cepat pergi karena yakin pasti tak akan sekelas lagi deng
“Aku itu putih, kamu itu hitam dan cinta itu abu-abu. Bisa aja sekarang kamu memilih hitam tanpa memedulikan putih. Tapi aku akan terus menawarkan putih dalam hatimu agar mengenal abu-abu. Yaitu, cinta.”- AF“Gue punya tanggung jawab besar menjaga orang-orang yang begitu penting di hidup gue. Itu yang membuat gue sama sekali nggak peduli dengan orang lainnya karena
Sekarang telah masuk waktu istirahat. Syara bersama Mira, teman sebangkunya, dan Karina yang sebetulnya teman dekat Mira dari kelas lain sedang makan di kantin. Lagi dan lagi, Mira dan Karina selalu membicarakan tentang pacar masing-masing. Seakan tak ada topik lain yang lebih menarik minat mereka untuk dibahas. Apalah daya Syara yang dari zigot sampai sekarang tak punya pacar. Alhasil, ia hanya bisa menjadi pendengar budiman dan diam memendam kebosanannya.***Sepulang sekolah, tanpa mengeluarkan suara Syara terus membuntuti Rendi sampai ke parkiran. Lukman, salah satu teman dekatnya Rendi yang sedari tadi sudah curiga menegurnya. “Permisi. Lo mau ngapain, ya?”Rendi tak memedulikan gadis itu. Ia lebih memilih mengeluarkan motornya dari tempat parkir.“Hai, kamu Lukman, kan? Sekelasnya Rendi?”Lukman silih berganti menatap Syara lalu Rendi kemudian Syara lagi. “Iya. Terus... kenapa, ya?”Syara mengulurkan
Suasana kantin dalam hitungan menit sudah penuh sesak. Apa hari ini hari tanpa sarapan di rumah sedunia? Sebetulnya Syara tak terlalu lapar karena sebelum berangkat sekolah ia sempat sarapan di rumah. Tapi kedua temannya itu mengeluh lapar karena bangun kesiangan dan belum ada makan secuil apa pun. Terpaksa Syara dengan sabar ikut berbaris dalam antrean langka ini demi mendapat jatah lontong sayur Mbak Oki.Mira dan Karina yang gesit mengamankan tempat untuk mereka makan, menyuruh Syara saja yang pergi memesan makanannya. Sesekali Syara menoleh ke arah Mira dan Karina dari baris antrean, tak jarang keduanya cekikikan bahkan saling melepas tawa terpingkal-pingkalnya. Pertemanan yang hangat, tapi mengapa saat Syara bergabung, kehangatan itu justru pudar?Lontong sayur Mbak Oki sudah siap dinikmati. Syara berjalan menuju meja yang telah diamankan Mira dan Karina tadi. Saking fokus dan berhati-hatinya Syara membawakan nampan berisi dua mangkuk lontong itu, ia sampai tak sa
Tamparan keras mendarat di pipi halus Rendi, membekaskan rona merah yang sedikit perih. “Lo nyangkal juga kalau gue bilangin bego. Berarti lo itu sejenis ma-”“DIEM RENDI!”Air mata Syara tak terbendung lagi. Tetesan hujan di pelupuk matanya sudah siap turun membasahi pipi. Ia mewek. “Iya, aku memang pura-pura sok baik. Iya, aku memang bego. Iya, aku juga suka sama Rendi tapi bukan berarti Rendi bisa sesukanya nuduh yang nggak-nggak tentang pertemanan aku.”Rendi terdiam. Jika tamparan keras bisa ia balas dengan perkataan yang lebih menyakitkan. Tapi, bagaimana jika itu tangisan seorang cewek? Rendi tak tahu apa yang harus diperbuat. Dadanya terasa sesak dan sakit.“Aku nggak akan maksa Rendi, kok. Makasih ya jawabannya.” lirih Syara berusaha menahan suaranya yang bergetar. “Aku pulang lebih dahulu, Rendi.” pamitnya sambil setengah berlari menjauhi cowok itu.Gue nggak salah. Tega