“Ra, please, jangan nangis dong. Entar kalau Bunda atau Ayah lo pulang, gue jadi kayak keciduk udah buat anak mereka nangis. Bisa-bisa diusir secara tidak hormat gue dari sini.”
Tok... Tok... Tok
Ada yang mengetuk pintu rumah Syara. “Biar gue aja, Ra. Lo terusin aja nangisnya sampai puas, ya.” ucap Aqila yang segera beranjak membukakan pintu.
Syara sudah berhenti menangis tapi ia masih sesenggukan.
“Syara-nya ada?” Suara yang familier terdengar di telinga Syara. Itu suara Ayah dan Bunda. Syara menyeka bekas linangan air matanya di pipi dan berjalan ke ruang tamu. Benar saja, Aqila dan kedua orang tuanya itu terlihat kompak memakai topi kerucut ulang tahun. Apa ia lahir dua kali dalam setahun? Ini kan bukan tanggal ulang tahunnya.
“Kok, Ayah sama Bunda udah pulang jam segini? Terus itu, apa pula? Kok, pakai topi ulang tahun segala?” heran Syara mengamati ketiganya dari ujung kaki hingga ujung kepala.
“Surprise!!” Jihan mendudukkan putrinya yang kebingungan itu di sofa. Ia tersenyum. “Aqila udah cerita semuanya sama Bunda. Terus, Bunda sama Ayah juga setuju kalau Aqila pindah sekolah aja ke tempat Syara. Biar Syara nggak sendirian lagi ya, sayang.”
Syara tak tahu bagaimana menjelaskan perasaannya saat ini. Ia hanya memeluk erat bundanya.
“Maafin Ayah sama Bunda ya, Nak. Selama ini sibuk kerja terus sampai jarang punya waktu sama kamu.” tambah Fandi, Ayah Syara, yang ikut merangkul kedua orang tercintanya itu.
“Gue juga minta ya, Ra. Tadi itu udah buat lo nangis. Hehe.” cengir Aqila.
“Dasar ya, Qila.” gemas Syara sambil tersenyum. “Sini, biar tau rasanya diusir sama Ayah dan Bunda ke sekolah baru.”
Semua tertawa bahagia. Kala itu, tiba-tiba hujan turun cukup deras dan membuat Aqila akhirnya disandera keluarga ini agar tak pulang dulu. Walau di luar dingin tapi di dalam rumah Syara terasa hangat sekali. Mereka berempat mengobrol santai. Dan dari obrolan itulah Syara tahu jika semua ini tak terjadi secara tiba-tiba tapi sudah direncanakan jauh hari tanpa sepengetahuannya. Ini baru namanya kejutan. Satu BM Syara terpenuhi.
***
Musim ujian kenaikan kelas telah terlewati. Syara cukup optimis, paling tidak nilai rapornya nanti minimal pas-pas makan, lah. Tak terasa sekarang sudah mau tingkat tiga saja padahal rasanya seperti baru kemarin ia jadi murid SMA. Waktu begitu cepat berlalu. Dan kini Hari Minggu, waktunya refreshing di akhir pekan setelah semua badai yang menghalang telah menghilang.
Syara bersenandung. “Pada Hari Minggu aku turut Qila ke thirty one,”
“Udah deh, Ra. Ini lagi di taksi, jangan kumat dulu penyakitnya ya.” cibir Aqila sambil menekan pelan dahi temannya itu.
“Naik taksi istimewa kami duduk sampingan.” lanjut Syara tak menuruti keinginan Aqila.
Aqila menunjuk halte di seberang jalan dari posisi mereka saat ini. “Pak? Kami turunnya pas di halte itu aja nanti ya, Pak.” pintanya pada sopir taksi yang sedari tadi menahan tawa mendengar Syara bernyanyi lagu kanak-kanak yang liriknya ia ubah itu.
“Oke, Dek.” sahut Pak Sopir.
Mereka telah sampai di tempat tujuan. Cinema XXXI. Ini ide Syara dan sebenarnya Aqila malas ikut karena baginya Hari Minggu adalah Hari Ter-Mager Sedunia. Tapi jangan panggil ia Syara, Paman, kalau tak bisa menggerakkan Aqila sesuai keinginannya. Tentunya dengan iming-iming sekali keluar rumah langsung dapat bebas ongkos, tiket nonton gratis dan traktiran makan. Itulah sejumlah benefit yang sudah lebih dari cukup untuk bisa membuat Aqila tergerak menemaninya sekarang.
“Qila, aku ke sana dulu ya, mau beli minum sama kunyahan buat nonton nanti.”
“Eh, harusnya tiket nonton dulu yang lo beli. Masa begituan?” komentar Aqila.
“Aku belum tau film apa yang enak ditonton. Jadi... mungkin nanti sambil jalan baru dapat inspirasi mau beli tiket film yang mana.”
“Ya salam,” gemas Aqila melihat kekonyolan manusia satu ini. “Jadi sebenernya lo ke sini mau apa sih, Ra? Gue kira memang ada film yang mau lo tonton. Ternyata cuma mau ngelihat dunia dia.”
“Memang mau nonton kok,” kukuh Syara. Bicaranya tiba-tiba terhenti ketika matanya menangkap rupa sosok cowok yang ia kenal. “Eh, itu ada Rendi! Coba Qila lihat, itu yang di sana!” soraknya kehebohan.
“Mana?” bingung Aqila mengedarkan pandangan sesuai arah yang ditunjuk Syara. “Yang empat orang itu?” tanyanya.
“Iyaa. Rendi yang pakai hoodie warna navy itu loh, Qila.”
“Gantengan cowok yang di sampingnya.” ejek Aqila merendahkan selera cowok idaman Syara.
“Enak aja! Yang itu namanya Aldo, dia masih jomblo. Kalau dua orang yang di belakangnya itu Lukman sama Heni. Mereka pacaran. Tapi dari mereka berempat, nggak ada satu pun yang sekelas sama aku. Huhu.” cerita Syara tanpa ditanya.
“Panggillah cowok idaman lo itu!” tantang Aqila.
Syara berdeham. “Oke.” balasnya penuh percaya diri. Sesaat kemudian berjalan mendekati Rendi and The Gang yang sedang berdiri dekat tempat pembelian tiket.
Aqila ternganga melihat aksi tak terduga Syara. Tadi itu ia hanya bercanda. Bukan serius. Anak itu memang gila, pikirnya.
“Loh, Rendi di sini? Mau nonton juga, ya? Nonton film apa? tanya Syara bertubi-tubi.
Rendi hanya membisu. Ia membuang muka dari gadis yang mengharapkan jawabannya itu.
“Ada kita juga di sini, loh. Mending wawancarai kita aja. Kita pengin juga ditanya-tanya ya kan, guys?” serobot Aldo mengalihkan perhatian Syara dari Rendi yang jelas tak ingin menanggapi.
“Gue sama Heni mau beli minuman dulu.” pamit Lukman sambil memboyong pacarnya agar tak terlibat perseteruan yang sebentar lagi akan terjadi di situ. Lukman menandai apabila kedua orang itu bertemu, sudah barang pasti perang akan berkobar. “Males sih tanya Aldo.” “Kalau gitu gue yang tanya. Eh, lo tau nama gue darimana? Jangan bilang lo fans gue, ya? Fans dari kelas mana, nih?” tanya Aldo berbuntut narsistik, sok famous. “Taulah karena Aldo kan temen dekatnya Rendi. Siapa juga yang nge-fans? Orang aku sukanya sama Rendi.” jawab Syara terlampau jujur.&
Syara hanya menunjukkan wajah cemberutnya sambil mengepal tangannya siap menjotos si kunyuk satu ini. Untung saja lagi di mal jadi niat tercelanya itu ia urungkan. Rendi dengan sikap cuek dan dinginnya terus saja berjalan lurus tak menghiraukan mereka. Lukman dan Heni pun pergi menyusulnya. “Udah yuk, kita makan!” ajak Heni. *** Sesuai prediksi Syara, nilai rapornya tak ada yang merah atau di bawah rata-rata. Misal, jika nilai kelulusan di satu mata pelajaran adalah tujuh puluh delapan maka nilai Syara tujuh puluh sembilan. Menurutnya itu sudah luar biasa walau yang lain menganggap ‘B-aja, keleus’. Tapi, setidaknya ia telah berhasil naik kelas dan berhak mengejar cinta Rendi sampai ke tahun ajaran selanjutnya. Mari bersama kita ucapkan selamat. Syara berniat naik bus ke sekolah. Kali ini ia tak bersemangat cepat-cepat pergi karena yakin pasti tak akan sekelas lagi deng
“Aku itu putih, kamu itu hitam dan cinta itu abu-abu. Bisa aja sekarang kamu memilih hitam tanpa memedulikan putih. Tapi aku akan terus menawarkan putih dalam hatimu agar mengenal abu-abu. Yaitu, cinta.”- AF“Gue punya tanggung jawab besar menjaga orang-orang yang begitu penting di hidup gue. Itu yang membuat gue sama sekali nggak peduli dengan orang lainnya karena
Sekarang telah masuk waktu istirahat. Syara bersama Mira, teman sebangkunya, dan Karina yang sebetulnya teman dekat Mira dari kelas lain sedang makan di kantin. Lagi dan lagi, Mira dan Karina selalu membicarakan tentang pacar masing-masing. Seakan tak ada topik lain yang lebih menarik minat mereka untuk dibahas. Apalah daya Syara yang dari zigot sampai sekarang tak punya pacar. Alhasil, ia hanya bisa menjadi pendengar budiman dan diam memendam kebosanannya.***Sepulang sekolah, tanpa mengeluarkan suara Syara terus membuntuti Rendi sampai ke parkiran. Lukman, salah satu teman dekatnya Rendi yang sedari tadi sudah curiga menegurnya. “Permisi. Lo mau ngapain, ya?”Rendi tak memedulikan gadis itu. Ia lebih memilih mengeluarkan motornya dari tempat parkir.“Hai, kamu Lukman, kan? Sekelasnya Rendi?”Lukman silih berganti menatap Syara lalu Rendi kemudian Syara lagi. “Iya. Terus... kenapa, ya?”Syara mengulurkan
Suasana kantin dalam hitungan menit sudah penuh sesak. Apa hari ini hari tanpa sarapan di rumah sedunia? Sebetulnya Syara tak terlalu lapar karena sebelum berangkat sekolah ia sempat sarapan di rumah. Tapi kedua temannya itu mengeluh lapar karena bangun kesiangan dan belum ada makan secuil apa pun. Terpaksa Syara dengan sabar ikut berbaris dalam antrean langka ini demi mendapat jatah lontong sayur Mbak Oki.Mira dan Karina yang gesit mengamankan tempat untuk mereka makan, menyuruh Syara saja yang pergi memesan makanannya. Sesekali Syara menoleh ke arah Mira dan Karina dari baris antrean, tak jarang keduanya cekikikan bahkan saling melepas tawa terpingkal-pingkalnya. Pertemanan yang hangat, tapi mengapa saat Syara bergabung, kehangatan itu justru pudar?Lontong sayur Mbak Oki sudah siap dinikmati. Syara berjalan menuju meja yang telah diamankan Mira dan Karina tadi. Saking fokus dan berhati-hatinya Syara membawakan nampan berisi dua mangkuk lontong itu, ia sampai tak sa
Tamparan keras mendarat di pipi halus Rendi, membekaskan rona merah yang sedikit perih. “Lo nyangkal juga kalau gue bilangin bego. Berarti lo itu sejenis ma-”“DIEM RENDI!”Air mata Syara tak terbendung lagi. Tetesan hujan di pelupuk matanya sudah siap turun membasahi pipi. Ia mewek. “Iya, aku memang pura-pura sok baik. Iya, aku memang bego. Iya, aku juga suka sama Rendi tapi bukan berarti Rendi bisa sesukanya nuduh yang nggak-nggak tentang pertemanan aku.”Rendi terdiam. Jika tamparan keras bisa ia balas dengan perkataan yang lebih menyakitkan. Tapi, bagaimana jika itu tangisan seorang cewek? Rendi tak tahu apa yang harus diperbuat. Dadanya terasa sesak dan sakit.“Aku nggak akan maksa Rendi, kok. Makasih ya jawabannya.” lirih Syara berusaha menahan suaranya yang bergetar. “Aku pulang lebih dahulu, Rendi.” pamitnya sambil setengah berlari menjauhi cowok itu.Gue nggak salah. Tega
Rendi beranjak ke lantai atas. Sebelum masuk ke kamarnya, ia singgah ke kamar Rasthi. Gadis itu sudah berbaring di tempat tidur. Rendi mendekat dan melihat wajah seseorang yang dipesankan mamanya untuk terus ia jaga dan temani.Rendi berdesis pelan. “Menggantikan Papa, ya? Apa gue bisa?” Rendi membiarkan lampu kamar itu tetap menyala. Dengan perlahan ia menutup rapat pintu kamar Rasthi agar tak membangunkannya.Sepasang mata terbuka sempurna. Rasthi ternyata belum tidur. Ia hanya iseng berakting tidur tadi begitu mendengar suara kaki dengan jelas mengarah ke kamarnya.“Ck, Kak Rendi, di luar kulitnya aja tuh dingin padahal di dalam mah hatinya masih hangat, persis kayak dulu waktu Papa masih ada. Cuma dianya aja yang aneh bin resek. Masih suka ngelestariin sok cool-nya itu, malah lebih parah lagi pas sekarang. Dasar nyebelin.” Rasthi bermonolog pelan seraya memandangi foto lawas keluarga kecil mereka dalam jumlah anggota