Suasana kantin dalam hitungan menit sudah penuh sesak. Apa hari ini hari tanpa sarapan di rumah sedunia? Sebetulnya Syara tak terlalu lapar karena sebelum berangkat sekolah ia sempat sarapan di rumah. Tapi kedua temannya itu mengeluh lapar karena bangun kesiangan dan belum ada makan secuil apa pun. Terpaksa Syara dengan sabar ikut berbaris dalam antrean langka ini demi mendapat jatah lontong sayur Mbak Oki.
Mira dan Karina yang gesit mengamankan tempat untuk mereka makan, menyuruh Syara saja yang pergi memesan makanannya. Sesekali Syara menoleh ke arah Mira dan Karina dari baris antrean, tak jarang keduanya cekikikan bahkan saling melepas tawa terpingkal-pingkalnya. Pertemanan yang hangat, tapi mengapa saat Syara bergabung, kehangatan itu justru pudar?
Lontong sayur Mbak Oki sudah siap dinikmati. Syara berjalan menuju meja yang telah diamankan Mira dan Karina tadi. Saking fokus dan berhati-hatinya Syara membawakan nampan berisi dua mangkuk lontong itu, ia sampai tak sadar jika baru saja melewati Rendi and The Gang.
Karena tak kebagian tempat kosong, Rendi sekawan memilih membeli beberapa roti dan kue basah saja, dibungkus plastik lalu makan di kelas. Aldo merajuk tak jadi makan bakso karena kejauhan kalau harus makan di kelas. Tapi di kantin juga tidak ada tempat. Kalau sudah begini, kerjaan Heni dan Lukman menyeretnya yang seperti anak kecil itu kembali ke kelas. “TIDAAAKK!! BAKSOKUU!!”
Memang betul kelaparan, pikir Syara, melihat kedua temannya itu makan dengan lahapnya. Syara tak memesan apa pun untuk ia makan. Ia hanya memainkan ponselnya menunggu mereka sampai selesai makan.
“Wuuh kenyangnya, thanks God!” pekik Mira.
“Hah, kenyang juga perut gue. Enak bener nih lontong.” sambung Karina.
“Syukurlah.” kata Syara menimpali.
Mira dan Karina menoleh ke Syara bersamaan. Syara hanya tersenyum kecil.
“Oh iya, gue sama Karina ada buat rencana, nih. Hari Minggu nanti mau nge-date bareng, gitu. Lo ikutan jugalah! Gimana?” pancing Mira.
“Aku kan nggak punya,”
“Lo masih punya cukup waktu kok untuk nyari siapa yang mau lo jadiin partner nanti,” potong Karina. “Nggak mesti pacar juga. Kalau lo punya gebetan atau orang yang disuka, ya lo ajak aja orang itu.”
“I-iya deh. Nanti aku coba.” jawab Syara tergagap.
Bel masuk berbunyi. Mereka segera berlarian kecil memasuki kelas masing-masing. Syara tersadar, rasanya seperti Deja vu, tertipu yang kesekian kalinya. Mira dan Karina lagi-lagi tak mengganti uangnya yang membayar makanan mereka tadi. Bisa saja Syara menagihnya sekarang pada Mira yang duduk di sampingnya tapi entahlah. Syara melepas kesempatan itu begitu saja dan kembali diam. Apa selama ini ia sebenarnya hanya dimanfaatkan oleh kedua orang berkedok temannya itu?
Bel pulang berbunyi keras. Syara menghela napas panjang, kembali teringat dengan rencana Mia dan Karina tadi. Ia bingung harus mengajak siapa. Apa Rendi aja, ya?
“Gue duluan.” pamit Mira.
“Hm. Hati-hati ya, Mira.” ucap Syara lembut.
Syara memasukkan buku dan alat tulisnya ke dalam tas. Ia memutuskan untuk menunggu saat seperti biasa. Ketika sekolah sudah mulai sepi, ia akan menemui Rendi di parkiran.
“Rendi!” panggil Syara tergopoh mengejarnya.
Rendi menghentikan langkahnya. “Lo lebih dahulu aja, Man!” suruhnya pada Lukman.
“Oke.” Lukman mengiakan dan meninggalkannya.
“Mau apa lo?” ketus Rendi saat Syara sudah di hadapannya. “Mau cari muka lagi sama gue?” tudingnya dengan sikap dingin tak berperasaan.
“Kok, Rendi ngomongnya gitu?” Syara meradang mendengarnya. “A-aku mau ngajak Rendi jalan Hari Minggu nanti. Rendi mau, nggak?” tanyanya penuh harap.
“Nggak.”
“Kok, cepat kali bilang ‘nggak-nya’?” lirih Syara. “Sekali ini aja, please Rendi.” mohon Syara yang pantang mundur.
“Lo budek? Sekali gue bilang nggak, ya, nggak! Beneran cari muka lo, ya?!” perjelas Rendi dengan meninggikan volume suaranya.
Syara refleks memegangi lengan jaket Rendi. “Please, aku udah terlanjur terima ajakan Mira sama Karina. Aku nggak punya pacar dan kata mereka aku bisa bawa siapa aja yang mau aku jadiin partner. Aku suka sama Rendi jadi aku maunya Rendi yang jadi partnerku nanti.” terang Syara begitu jujur.
Rendi mematung. Apa yang barusan ia dengar? Pengakuan, kah? Kalau iya, ini bukan situasi yang asing lagi baginya. Bayangkan saja, sudah dua kali ia ditembak oleh siswi sekolah ini dalam kurun waktu satu setengah tahun di bangku SMA. Mulai dari teman seangkatan sampai kakak kelas. Berbekal pengalaman itu, tentu tak sulit bagi Rendi jika sekarang kembali memainkan perannya sebagai cowok berhati batu. Menolak bahkan tak sungkan mengatai seseorang yang baru mengaku suka padanya itu. Lantas, apakah sekarang ia ragu?
“Lo bilang apa tadi? Lo suka sama gue?” Rendi memunculkan senyum evil-nya. “Itu urusan lo. Jangan minta gue ikut campur dalam urusan lo itu. Karena gue nggak pernah sekalipun punya pikiran bisa suka sama lo!”
Syara kehabisan kata. Giliran ia yang mematung.
Rendi menepis jemari Syara dari lengan jaketnya. “Lo itu pura-pura sok baik atau sebetulnya memang bego, sih?”
“Hah? Maksud Rendi?” bingung Syara.
“Mereka itu cuma jadi temen palsu lo. Selama ini mereka cuma mau uang lo, nyuruh-nyuruh lo, manfaatin lo untuk kepentingan mereka. Kalau lo nyangkal gue bilang lo itu cuma pura-pura baik berarti lo itu memang bego. Udah jelas diperalat dengan kedok teman, masih aja-”
PLAAK!!
Tamparan keras mendarat di pipi halus Rendi, membekaskan rona merah yang sedikit perih. “Lo nyangkal juga kalau gue bilangin bego. Berarti lo itu sejenis ma-”“DIEM RENDI!”Air mata Syara tak terbendung lagi. Tetesan hujan di pelupuk matanya sudah siap turun membasahi pipi. Ia mewek. “Iya, aku memang pura-pura sok baik. Iya, aku memang bego. Iya, aku juga suka sama Rendi tapi bukan berarti Rendi bisa sesukanya nuduh yang nggak-nggak tentang pertemanan aku.”Rendi terdiam. Jika tamparan keras bisa ia balas dengan perkataan yang lebih menyakitkan. Tapi, bagaimana jika itu tangisan seorang cewek? Rendi tak tahu apa yang harus diperbuat. Dadanya terasa sesak dan sakit.“Aku nggak akan maksa Rendi, kok. Makasih ya jawabannya.” lirih Syara berusaha menahan suaranya yang bergetar. “Aku pulang lebih dahulu, Rendi.” pamitnya sambil setengah berlari menjauhi cowok itu.Gue nggak salah. Tega
Rendi beranjak ke lantai atas. Sebelum masuk ke kamarnya, ia singgah ke kamar Rasthi. Gadis itu sudah berbaring di tempat tidur. Rendi mendekat dan melihat wajah seseorang yang dipesankan mamanya untuk terus ia jaga dan temani.Rendi berdesis pelan. “Menggantikan Papa, ya? Apa gue bisa?” Rendi membiarkan lampu kamar itu tetap menyala. Dengan perlahan ia menutup rapat pintu kamar Rasthi agar tak membangunkannya.Sepasang mata terbuka sempurna. Rasthi ternyata belum tidur. Ia hanya iseng berakting tidur tadi begitu mendengar suara kaki dengan jelas mengarah ke kamarnya.“Ck, Kak Rendi, di luar kulitnya aja tuh dingin padahal di dalam mah hatinya masih hangat, persis kayak dulu waktu Papa masih ada. Cuma dianya aja yang aneh bin resek. Masih suka ngelestariin sok cool-nya itu, malah lebih parah lagi pas sekarang. Dasar nyebelin.” Rasthi bermonolog pelan seraya memandangi foto lawas keluarga kecil mereka dalam jumlah anggota
“Ra, please, jangan nangis dong. Entar kalau Bunda atau Ayah lo pulang, gue jadi kayak keciduk udah buat anak mereka nangis. Bisa-bisa diusir secara tidak hormat gue dari sini.”Tok... Tok... Tok Ada yang mengetuk pintu rumah Syara. “Biar gue aja, Ra. Lo terusin aja nangisnya sampai puas, ya.” ucap Aqila yang segera beranjak membukakan pintu. Syara sudah berhenti menangis tapi ia masih sesenggukan. “Syara-nya ada?” Suara yang familier terdengar di telinga Syara. Itu suara Ayah dan Bunda. Syara menyeka bekas linangan air matanya di pipi dan berjalan ke ruang tamu. Benar saja, Aqila dan kedua orang tuanya itu terlihat kompak memakai topi kerucut ulang tahun. Apa ia lahir dua kali dalam setahun? Ini kan buka
“Gue sama Heni mau beli minuman dulu.” pamit Lukman sambil memboyong pacarnya agar tak terlibat perseteruan yang sebentar lagi akan terjadi di situ. Lukman menandai apabila kedua orang itu bertemu, sudah barang pasti perang akan berkobar. “Males sih tanya Aldo.” “Kalau gitu gue yang tanya. Eh, lo tau nama gue darimana? Jangan bilang lo fans gue, ya? Fans dari kelas mana, nih?” tanya Aldo berbuntut narsistik, sok famous. “Taulah karena Aldo kan temen dekatnya Rendi. Siapa juga yang nge-fans? Orang aku sukanya sama Rendi.” jawab Syara terlampau jujur.&
Syara hanya menunjukkan wajah cemberutnya sambil mengepal tangannya siap menjotos si kunyuk satu ini. Untung saja lagi di mal jadi niat tercelanya itu ia urungkan. Rendi dengan sikap cuek dan dinginnya terus saja berjalan lurus tak menghiraukan mereka. Lukman dan Heni pun pergi menyusulnya. “Udah yuk, kita makan!” ajak Heni. *** Sesuai prediksi Syara, nilai rapornya tak ada yang merah atau di bawah rata-rata. Misal, jika nilai kelulusan di satu mata pelajaran adalah tujuh puluh delapan maka nilai Syara tujuh puluh sembilan. Menurutnya itu sudah luar biasa walau yang lain menganggap ‘B-aja, keleus’. Tapi, setidaknya ia telah berhasil naik kelas dan berhak mengejar cinta Rendi sampai ke tahun ajaran selanjutnya. Mari bersama kita ucapkan selamat. Syara berniat naik bus ke sekolah. Kali ini ia tak bersemangat cepat-cepat pergi karena yakin pasti tak akan sekelas lagi deng
“Aku itu putih, kamu itu hitam dan cinta itu abu-abu. Bisa aja sekarang kamu memilih hitam tanpa memedulikan putih. Tapi aku akan terus menawarkan putih dalam hatimu agar mengenal abu-abu. Yaitu, cinta.”- AF“Gue punya tanggung jawab besar menjaga orang-orang yang begitu penting di hidup gue. Itu yang membuat gue sama sekali nggak peduli dengan orang lainnya karena
Sekarang telah masuk waktu istirahat. Syara bersama Mira, teman sebangkunya, dan Karina yang sebetulnya teman dekat Mira dari kelas lain sedang makan di kantin. Lagi dan lagi, Mira dan Karina selalu membicarakan tentang pacar masing-masing. Seakan tak ada topik lain yang lebih menarik minat mereka untuk dibahas. Apalah daya Syara yang dari zigot sampai sekarang tak punya pacar. Alhasil, ia hanya bisa menjadi pendengar budiman dan diam memendam kebosanannya.***Sepulang sekolah, tanpa mengeluarkan suara Syara terus membuntuti Rendi sampai ke parkiran. Lukman, salah satu teman dekatnya Rendi yang sedari tadi sudah curiga menegurnya. “Permisi. Lo mau ngapain, ya?”Rendi tak memedulikan gadis itu. Ia lebih memilih mengeluarkan motornya dari tempat parkir.“Hai, kamu Lukman, kan? Sekelasnya Rendi?”Lukman silih berganti menatap Syara lalu Rendi kemudian Syara lagi. “Iya. Terus... kenapa, ya?”Syara mengulurkan