Tamparan keras mendarat di pipi halus Rendi, membekaskan rona merah yang sedikit perih. “Lo nyangkal juga kalau gue bilangin bego. Berarti lo itu sejenis ma-”
“DIEM RENDI!”
Air mata Syara tak terbendung lagi. Tetesan hujan di pelupuk matanya sudah siap turun membasahi pipi. Ia mewek. “Iya, aku memang pura-pura sok baik. Iya, aku memang bego. Iya, aku juga suka sama Rendi tapi bukan berarti Rendi bisa sesukanya nuduh yang nggak-nggak tentang pertemanan aku.”
Rendi terdiam. Jika tamparan keras bisa ia balas dengan perkataan yang lebih menyakitkan. Tapi, bagaimana jika itu tangisan seorang cewek? Rendi tak tahu apa yang harus diperbuat. Dadanya terasa sesak dan sakit.
“Aku nggak akan maksa Rendi, kok. Makasih ya jawabannya.” lirih Syara berusaha menahan suaranya yang bergetar. “Aku pulang lebih dahulu, Rendi.” pamitnya sambil setengah berlari menjauhi cowok itu.
Gue nggak salah. Tegas Rendi dalam hati. Ia berjalan ke parkiran dengan tangan mengepal kuat.
***
Sesampainya di rumah, Syara segera membasuh wajahnya yang sembab usai menunjukkan kecengengannya di depan Rendi tadi. Lalu ia merogoh tasnya, meraih ponsel. Ia membuka grup chat. Jemarinya lincah menari di atas keypad ponselnya.
Syara: Mira, karina, aku minta maaf yaa. Aku sebenernya pengin banget ikutan sama kalian minggu nanti tapi aku nggak punya partner. Have fun ya kencannya nanti.. Sekali lagi maaf..
Tak sampai semenit kemudian Karina muncul.
Karina: Iya. Nggak masalah kok kalau lo nggak ikut. Rencana kami tetep jalan. Dari awal juga gue udah yakin lo bingung kan mau ngajak siapa. Hahahaa
Hancur hati Syara membacanya. Balasan Karina itu membuatnya terluka perih walau tak berdarah.
Tak lama, pesan masuk dari Mira menyusul.
Mira: Ya udah deh kami aja yang jalan.
Mira: Ini grup masih penting nggak sih?
Karina: Menurut lo? Kalau gue sih no. Udah banyak sarang laba sama belatungnya nih grup. Delete aja. Wkwkwk
Mira: Oke gue bubarin
Mira left group
Karina left group
Syara tak sanggup mengatakan apa pun. Lidahnya mendadak kelu. Ia teringat sesuatu. Benarkah yang Rendi katakan? Ini memang bukan pertemanan yang sehat. Ini pertemanan palsu. Toxic.
Syara mencari cokelat di dalam kulkas dan mengeluarkan beberapa. Ia memakannya dengan lahap. Ini adalah cara terampuh Syara jika sedang sedih yaitu memakan cokelat yang ia yakini bisa membuatnya tenang. Syara menangis sejadi-jadinya, meluapkan segala amarahnya. Ia tak peduli, toh, di rumah ini hanya ada dirinya sendiri.
***
Padahal kejadiannya sudah lewat beberapa jam yang lalu tapi mengapa perasaannya masih tak tenang? Sedari tadi Rendi hanya membolak-balikkan lembaran buku catatan fisika Rasthi. Ia menunduk dan menatap nanar helaian kertas buku itu.
Rasthi menepuk bahu Rendi, membuatnya tersadar dari lamunan. “Udah belum, Kak? Sampai udah habis enam tusuk pun sate kerangnya. Belum nemu juga jawabannya?”
“Gue baru inget,”
“Nah... rumusnya, kan?” tebak Rasthi dengan girang sambil mengacungkan telunjuknya sesenti di depan hidung mancungnya Rendi.
Rendi menepis telunjuk adiknya itu. “Inget kalau gue belum ada makan satenya setusuk pun. Perut gue keroncongan.” celetuk Rendi yang langsung meninggalkan adiknya yang terbengong dungu itu.
“SIALAN! JATAH SATE KAK RENDI UDAH HABIS GUE TELAN! ITU TINGGAL BUAT MAMA!! JANGAN DIMAKAAN!!
Rendi berjalan ke lantai bawah rumahnya dan duduk di kursi makan. Ia meneguk air putih sebagai bentuk ikhtiarnya melenyapkan bayang-bayang rasa berdosa. Rendi tengah menjernihkan pikirannya.
Mamanya baru keluar kamar, mau minum juga. “Kenapa lagi adikmu itu, Ren? Kok, teriak-teriak?”
Rendi mengangkat kedua bahunya. “Kesambet setan Rock n Roll kali, Ma.”
Vita hanya menggeleng mendengar jawaban asal anaknya itu. “Ren, Mama minta tolong, ya. Mama milih tetap jadi single parent gini demi kalian. Jadi Mama minta tolong sama kamu, tolong jagain Rasthi, temenin dia kalau kalian di lagi rumah. Main bareng, ngobrol, bila perlu boleh ajak temen-temen Rendi main ke sini biar rame. Jangan suka berantem ya, Nak. Bisakan gantiin posisi Papa untuk adikmu?” pesan Vita mendadak serius.
Rendi meneguk ludah. Ia hanya mengangguk seadanya.
Vita membelai puncak kepala putranya itu dan tersenyum senang. “Minta maaf sama adikmu sana kalau malam ini kamu nggak bisa ngajarin dia, ya.”
Minta maaf? Dalam kamus kehidupan Rendi, frasa itu tak terdeteksi. Sama sekali tak terdeteksi.
“Ma, gimana cara memperbaiki keadaan walaupun kita nggak ngelakuin kesalahan?” tanya Rendi datar menyamarkan kekepoannya.
“Cukup bilang maaf, selesai.”
“Hah?” kejut Rendi terheran-heran. Demi Tuan Crab, si kepiting kikir beranakkan paus. Entahlah, aing tak paham.
“Jangan lupa pakai senyum. Biar orang itu tau, kita ada niatan ikhlas memperbaiki keadaan, ya walaupun bukan kita yang salah. Inget! Nggak selamanya yang bilang maaf lebih dahulu itu yang salah, kok.” tambah Vita. “Udah ya, Mama mau tidur dulu. Jangan tidur kemalaman, Ren.”
Wanita paruh baya itu pergi melintasi putranya, masuk ke kamar dan menutup pintunya.
Rendi bergeming. Bikin mulas saja memikirkan kata ‘maaf’ apalagi ‘pakai senyum’. Itu sangat susah untuk dilakukan oleh seorang Rendi Haris Sandi. Lagi pula, dalam kasus ini ia yakin seribu persen tak bersalah. Jadi kalau begitu, tak perlu repot melakukan hal yang baginya mustahil itu, kan? Nah, itu baru gampang.
Rendi beranjak ke lantai atas. Sebelum masuk ke kamarnya, ia singgah ke kamar Rasthi. Gadis itu sudah berbaring di tempat tidur. Rendi mendekat dan melihat wajah seseorang yang dipesankan mamanya untuk terus ia jaga dan temani.Rendi berdesis pelan. “Menggantikan Papa, ya? Apa gue bisa?” Rendi membiarkan lampu kamar itu tetap menyala. Dengan perlahan ia menutup rapat pintu kamar Rasthi agar tak membangunkannya.Sepasang mata terbuka sempurna. Rasthi ternyata belum tidur. Ia hanya iseng berakting tidur tadi begitu mendengar suara kaki dengan jelas mengarah ke kamarnya.“Ck, Kak Rendi, di luar kulitnya aja tuh dingin padahal di dalam mah hatinya masih hangat, persis kayak dulu waktu Papa masih ada. Cuma dianya aja yang aneh bin resek. Masih suka ngelestariin sok cool-nya itu, malah lebih parah lagi pas sekarang. Dasar nyebelin.” Rasthi bermonolog pelan seraya memandangi foto lawas keluarga kecil mereka dalam jumlah anggota
“Ra, please, jangan nangis dong. Entar kalau Bunda atau Ayah lo pulang, gue jadi kayak keciduk udah buat anak mereka nangis. Bisa-bisa diusir secara tidak hormat gue dari sini.”Tok... Tok... Tok Ada yang mengetuk pintu rumah Syara. “Biar gue aja, Ra. Lo terusin aja nangisnya sampai puas, ya.” ucap Aqila yang segera beranjak membukakan pintu. Syara sudah berhenti menangis tapi ia masih sesenggukan. “Syara-nya ada?” Suara yang familier terdengar di telinga Syara. Itu suara Ayah dan Bunda. Syara menyeka bekas linangan air matanya di pipi dan berjalan ke ruang tamu. Benar saja, Aqila dan kedua orang tuanya itu terlihat kompak memakai topi kerucut ulang tahun. Apa ia lahir dua kali dalam setahun? Ini kan buka
“Gue sama Heni mau beli minuman dulu.” pamit Lukman sambil memboyong pacarnya agar tak terlibat perseteruan yang sebentar lagi akan terjadi di situ. Lukman menandai apabila kedua orang itu bertemu, sudah barang pasti perang akan berkobar. “Males sih tanya Aldo.” “Kalau gitu gue yang tanya. Eh, lo tau nama gue darimana? Jangan bilang lo fans gue, ya? Fans dari kelas mana, nih?” tanya Aldo berbuntut narsistik, sok famous. “Taulah karena Aldo kan temen dekatnya Rendi. Siapa juga yang nge-fans? Orang aku sukanya sama Rendi.” jawab Syara terlampau jujur.&
Syara hanya menunjukkan wajah cemberutnya sambil mengepal tangannya siap menjotos si kunyuk satu ini. Untung saja lagi di mal jadi niat tercelanya itu ia urungkan. Rendi dengan sikap cuek dan dinginnya terus saja berjalan lurus tak menghiraukan mereka. Lukman dan Heni pun pergi menyusulnya. “Udah yuk, kita makan!” ajak Heni. *** Sesuai prediksi Syara, nilai rapornya tak ada yang merah atau di bawah rata-rata. Misal, jika nilai kelulusan di satu mata pelajaran adalah tujuh puluh delapan maka nilai Syara tujuh puluh sembilan. Menurutnya itu sudah luar biasa walau yang lain menganggap ‘B-aja, keleus’. Tapi, setidaknya ia telah berhasil naik kelas dan berhak mengejar cinta Rendi sampai ke tahun ajaran selanjutnya. Mari bersama kita ucapkan selamat. Syara berniat naik bus ke sekolah. Kali ini ia tak bersemangat cepat-cepat pergi karena yakin pasti tak akan sekelas lagi deng
“Aku itu putih, kamu itu hitam dan cinta itu abu-abu. Bisa aja sekarang kamu memilih hitam tanpa memedulikan putih. Tapi aku akan terus menawarkan putih dalam hatimu agar mengenal abu-abu. Yaitu, cinta.”- AF“Gue punya tanggung jawab besar menjaga orang-orang yang begitu penting di hidup gue. Itu yang membuat gue sama sekali nggak peduli dengan orang lainnya karena
Sekarang telah masuk waktu istirahat. Syara bersama Mira, teman sebangkunya, dan Karina yang sebetulnya teman dekat Mira dari kelas lain sedang makan di kantin. Lagi dan lagi, Mira dan Karina selalu membicarakan tentang pacar masing-masing. Seakan tak ada topik lain yang lebih menarik minat mereka untuk dibahas. Apalah daya Syara yang dari zigot sampai sekarang tak punya pacar. Alhasil, ia hanya bisa menjadi pendengar budiman dan diam memendam kebosanannya.***Sepulang sekolah, tanpa mengeluarkan suara Syara terus membuntuti Rendi sampai ke parkiran. Lukman, salah satu teman dekatnya Rendi yang sedari tadi sudah curiga menegurnya. “Permisi. Lo mau ngapain, ya?”Rendi tak memedulikan gadis itu. Ia lebih memilih mengeluarkan motornya dari tempat parkir.“Hai, kamu Lukman, kan? Sekelasnya Rendi?”Lukman silih berganti menatap Syara lalu Rendi kemudian Syara lagi. “Iya. Terus... kenapa, ya?”Syara mengulurkan
Suasana kantin dalam hitungan menit sudah penuh sesak. Apa hari ini hari tanpa sarapan di rumah sedunia? Sebetulnya Syara tak terlalu lapar karena sebelum berangkat sekolah ia sempat sarapan di rumah. Tapi kedua temannya itu mengeluh lapar karena bangun kesiangan dan belum ada makan secuil apa pun. Terpaksa Syara dengan sabar ikut berbaris dalam antrean langka ini demi mendapat jatah lontong sayur Mbak Oki.Mira dan Karina yang gesit mengamankan tempat untuk mereka makan, menyuruh Syara saja yang pergi memesan makanannya. Sesekali Syara menoleh ke arah Mira dan Karina dari baris antrean, tak jarang keduanya cekikikan bahkan saling melepas tawa terpingkal-pingkalnya. Pertemanan yang hangat, tapi mengapa saat Syara bergabung, kehangatan itu justru pudar?Lontong sayur Mbak Oki sudah siap dinikmati. Syara berjalan menuju meja yang telah diamankan Mira dan Karina tadi. Saking fokus dan berhati-hatinya Syara membawakan nampan berisi dua mangkuk lontong itu, ia sampai tak sa