Jam lima pagi, Ratna, Ibu tiri Yuna, tergopoh-gopoh memasuki ruangan IGD tempat Bakti dirawat. Tangannya penuh dengan belanjaan sayur dan lauk untuk dagangan warteg. Wanita 40-tahunan itu sedang berbelanja di pasar subuh tadi saat Yuna mengabari tentang keadaan Bakti.
“Oalah, Bang. Ini kamu kenapa? Kok bisa babak belur begini? Memangnya beberapa hari ini kamu kemana?”Ratna lansung memburu Bakti dengan ribuan tanya. Wanita itu meletakkan kantong-kantong belanjaan lauk dan sayurnya di atas ranjang rumah sakit yang bersprei putih bersih.“A-ku, aku ….” Bakti terbata menjawab pertanyaan Ratna. Dia tidak berani jujur. Laki-laki itu melirik ke arah Yuna, berharap putrinya mau membantunya untuk menjelaskan. Ratna juga ikut melirik ke arah Yuna yang sedang duduk di kursi sebelah ranjang dengan wajah penuh tanda tanya.“Kenapa bapakmu, Yun?”“Ayah dihajar Ponco karena ngga bisa bayar hutang.” Yuna menjawab singkat dan jujur. Sudah tak perlu lagi berbohong pada Ratna. Mata Ratna membelalak lebar melihat ke arah suaminya saking terkejut mendengar jawaban Yuna.“Kamu masih main ke situ? Astaga Bang, katanya sudah tobat. Kamu benar-benar ngga bisa dipercaya.” Ratna malah meradang, tak peduli pada keadaan suaminya yang sedang sakit.“Iya, maaf, Rat. Aku khilaf.” Bakti mengucap maaf dengan ogah-ogahan pada istrinya. Tanda tak terlalu serius dengan kata maafnya itu.“Maaf-maaf. Gitu aja terus!” Ratna berkacak pinggang, tidak ada raut khawatir di wajahnya pada Bakti.“Maafin Ayahku, Mba. Katanya abis ini dia mau tobat, kok. Aku jamin ngga diulang lagi. Udah mau mati gitu, pasti dia kapok.”Yuna ikut angkat suara. Dia tidak nyaman dengan sikap ibu tirinya yang tidak menghargai ayahnya sedikit pun. Terlepas ayahnya seorang yang menyebalkan, Yuna tak suka jika ayahnya direndahkan.“Mati gimana? Cuma kena tonjok gini, kok.” Ratna memegang wajah Bakti dan memutarnya ke kanan dan ke kiri. Menurutnya, luka Bakti tidak parah.“Pinggangku tertusuk,” terang Bakti.“Apa? Pinggangmu tertusuk?” Ratna ingin melihat luka Bakti di bagian pinggang belakang sebelah kiri. Laki-laki itu memiringkan tubuh sedikit untuk memperlihatkan pada Ratna.“Terus gimana? Ginjalmu ngga bocor, kan?” Bukannya kasihan, Ratna malah berkata seperti itu.“Engga, mba, ngga sampai bocor.” Yuna menimpali dengan ketus karena Ibu tirinya tidak menunjukkan empati sedikit pun..“Syukurlah. Soalnya, kalau dia nakal lagi dan berhutang. Itu ginjal bisa dijual buat bayar.”Ratna berkata seenaknya, Yuna semakin tidak nyaman berada satu ruangan dengan Ibu tirinya. Dia melirik jam, sudah jam tujuh pagi. Gadis itu punya alasan untuk pergi dari sana.“Astaga, Mba! Aku balik dulu. Aku mau pergi kerja.” Yuna bangkit tergesa dari kursi dan menggamit tas.“Ayah, aku pamit dulu. Mau kerja. Nanti malam ke sini lagi.” Yuna pamit pada Bakti dan melempar senyum malas pada Ratna.“Kamu masih kerja di situ?” tanya Bakti dengan nada suara kasian. Dia tahu, kerja sebagai penagih hutang adalah pekerjaan yang beresiko untuk anaknya.“Ya masihlah, yah. Mau kerja di mana lagi?” Yuna menjawab getir. Dia melirik Ratna lagi.“Yun, mampirlah ke warteg, lumayan bisa bungkus-bungkus sisa-sisa lauk jualanku buat dibawa ke kost.” Basa-basi busuk Ratna membuat Yuna menghela napas dalam. “Iya, makasih,” jawabnya malas. Yuna melangkah keluar, ketika di ambang pintu, langkahnya terhenti lagi ulah suara Ratna.“Yun! Bayar rumah sakit siapa?” tanya Ratna. Yuna memutar bola matanya dan kemudian membalik badan.“Mba ngga usah khawatir, aku sudah bayar penuh. Siang ini ayah akan dipindah ke ruang rawat kelas tiga. Tolong dibantu urus.”“Oh! Baguslah. Selamat tabungan aku.”Yuna melangkah pergi dengan geleng-geleng kepala melihat tabiat Ratna yang perhitungan dan pelitnya minta ampun. Tapi Yuna tidak boleh membenci perempuan itu. Setidaknya, ayahnya memiliki pendamping hidup dan tidak kesepian dengan menjadi suami Ratna, janda yang dinikahi ayahnya sembilan bulan yang lalu.Dengan menaiki ojek, Yuna tiba di kost-an. Gadis itu membersihkan badan dan bersiap berangkat kerja. Setelah mandi, badan Yuna bertambah ringan, kantuk yang mendera semakin menyerang. Gadis itu keliyengan.Masih dalam balutan dalaman two pieces selesai mandi, Yuna mempersiapkan dirinya. Gadis itu bercermin, memakai foundation lebih tebal dari biasanya untuk menutup bekas memar yang ada di pipi dan di sudut bibir. Diliriknya jam di dinding, sudah pukul setengah sembilan, dia punya waktu setengah jam untuk tiba di kantor.Sebelum berangkat, gadis itu menyeduh kopi hitam ke dalam termos botol minum. Dia meneguk kopinya sepanjang perjalanan menuju kantor saat di atas ojek.Di pintu ruangan operator, ruang kerja Yuna sebagai debt collector, seseorang menyambutnya dengan wajah cemas. Dia adalah Mega, teman kantornya.“Yun, lu jadi gantiin Sisi? Hotelnya kebakar, lho. Lu ngga kenapa-kenapa ‘kan? Viral lho videonya di tiktok.”Mega lansung mengeluarkan ponsel, memperlihatkan rekaman Video kebakaran lantai 25 hotel Magenta. Alis Yuna tertaut, mendadak dia merasa tegang. Ternyata kejadian semalam viral.“Hmmm … aku ngga jadi kerja di sana.”“Masa’ sih? Ada video yang nayangin orang yang mirip kamu, lho.” Mega makin antusias mengobrak-abrik video yang tersimpan di ponselnya.“Wajahku?” tanya Yuna heran.“Iya, rekaman CCTV. Kamu lagi lari-larian sama cowok ganteng di parkiran.”“Mana videonya?”Mega memperlihatkan pada Yuna. Sebuah video di lokasi parkiran. Ada dua orang berlari menuju mobil. Satu pria mengenakan jas dan satu perempuan mengendakan dress mini merah dengan bando telinga kelinci.“Ngga, itu bukan aku.” Yuna berkilah. Dia tidak ingin ketahuan berada di sana. Itu akan merepotkan, karena siapa pun yang ada di sana, pasti akan dihubungi polisi untuk diminta keterangan dan diminta menjadi saksi. Yuna sudah sangat jengah dengan urusan hidupnya, dia tidak mau ribet.“Masuk, yuk!” Yuna mengajak Mega masuk ruangan. Mega mengikuti langkahnya dengan jidat yang masih berkerut. Teman satu kerja Yuna itu masih mengamati video yang ada di ponsel dan bergumam-gumam tak yakin, “Mirip si Yuna, kok.”Seperti hari-hari sebelumnya, Yuna memulai pekerjaan. Duduk di depan layar computer, mengenakan headset dan menelepon satu per satu para penunggak pinjol. Kantuk yang menyerang dan tidak tidur sama sekali, membuat kesabaran Yuna menguap ke udara. Mood-nya berantakan, emosinya tidak stabil apalagi menghadapi para penunggak yang kasar.“Saya cuma nanya, kapan Pak Mamat bisa bayar?” Yuna menekan nada suaranya agar tak tinggi untuk menahan sabar.[Gue kagak punya uang, g0bl0k!]Penunggak hutang bernama Mamat menghardik Yuna dari seberang telepon.“Tapi akan dibayarkan ‘kan, pak? Kapan? Biar kami catat.” Yuna masih sabar.[Punya telinga ngga sih, Lu? Gue ngga akan bayar! Mau apa lu?]“Idih! Gini amat manusia miskin. Makan duit hutang aja yang bisa, bayarnya ngga mau!” Yuna lepas kendali. Kesabarannya sudah benar-benar habis.[“Eh, kurang aja lu, yah! Berani ngatain gue miskin.”]Mamat semakin meradang.[“Emang lu miskin!”] Yuna menghardik. Suaranya menyeruak keras memekakkan seisi ruangan operator yang berisi enam orang.[“Mau cari mati nih, cewek. Siapa nama lu tadi? Gue cari lu sampai dapat! Belum tahu lu sama si Mamat Boncet!”]“Heh! Mamat. Ngga usah ngancam! Gue ngga takut. Datang aja kalau berani!” Yuna tidak mau kalah dan semakin garang.[“Nantangin lu, yah. Okeh, gue cari lu! Awas lu!”]“Elu yang awas!” Yuna menggebrak meja. Telepon terputus. Kini, enam pasang mata melihat ke arah Yuna dengan jidat berkerut dan heran. Yuna tidak pernah sekasar ini sebelumnya pada pelanggan yang menunggak bayaran. Bahkan, selama ini dialah yang paling sabar. Hari ini, Yuna berbeda.“Sorry ya, Guys. Kesel gue,” ucap Yuna tak enak hati.“Yang tabah ya, Yun. Orang memang gitu kalau ditagih hutang, galaknya ngalahin macan.” Mega yang duduk di hadapan Yuna menenangkan.“Mau nyerah, tapi gue terlalu miskin untuk ngga kerja,” kata Yuna getir. Gadis itu melepas headset dari kepala. Menopang dagu dengan kantuk yang semakin keras menyerang.Susah payah, Yuna melanjutkan pekerjaannya hari itu. Menelepon puluhan nomor dengan mood yang sangat berantakan. Waktu berlalu terasa lambat, Yuna semakin didera rasa kantuk yang hebat. Tiba-tiba, sebuah suara besar dan kasar mengagetkan seisi ruangan operator. Semua mata tertuju ke pintu, termasuk Yuna.“Siapa di sini yang bernama Yuna Mahardika?”Seorang pria berbadan besar, kepala pelontos, berwajah sangar penuh codet, memakai rompi hitam tanpa lengan, di pangkal lengannya ada tattoo bergambar jangkar seperti tattoo popeye, berdiri berkacak pinggang menanyai siapa di ruangan ini yang bernama Yuna Mahardika. Perhatian semua orang di ruangan beralih pada Yuna. Darah Yuna mendesir dengan hebat. Jantungnya berdegup kencang memukul-mukul dada.“A-a-pa-kah dia Pak Mamat Boncet?” gumam Yuna dalam hati dengan nyali yang teramat ciut.Ruangan senyap dan tegang. Di pintu, pria seram berkepala plontos itu tidak sendiri. Di belakang tubuhnya, ada empat orang pria lain dengan perawakan yang sama. Sama-sama seram dan berbadan besar. Salah satu pria berambut gondrong, berkaos hitam, sedang mencengkeram kerah kemeja Ko Hendri, manajer Yuna. Dia ketakutan setengah mati, rambut klimisnya berantakan, kaca matanya pecah sebelah. “Cepat katakan siapa yang bernama Yuna di sini?!” Suara laki-laki berkepala pelontos terdengar lagi menghardik pada siapa saja yang ada di ruangan ini, termasuk pada Ko Hendri, sang manajer. Tapi ruangan tetap saja senyap, tidak ada yang menjawab. Enam orang rekan kerja Yuna kompak tutup mulut. Mereka tentu tidak akan memberitahukan yang mana yang bernama Yuna. Mereka ingin melindungi gadis itu. Jelas sekali yang datang ini adalah orang jahat, jika mereka memberitahu, tentu Yuna akan disakiti. Namun itu tidak berlaku untuk Ko Hendri, manajer Yuna yang terkenal pengecut
“Ares! Jawab pertanyaanku!” Yuna sudah tidak bisa mengendalikan dirinya lagi, gadis itu terus menjejali Ares dengan ribuan pertanyaan kenapa penculikan ini bisa terjadi. Dia ingin tahu, gadis itu sedang terlibat dalam masalah apa. Namun Ares terus saja fokus mengendarai mobil yang kini melaju kencang di jalanan tol yang lengang. “Habis aku. Benar-benar tamat riwayatku. Gara-gara segerombolan laki-laki jahat tadi, aku pasti dipecat sama si Ko Hendri.” Yuna masih meracau panik. Sementara Ares meliriknya sebentar. Melempar senyum tipis karena menurutnya Yuna sangat lucu bersikap panik seperti itu. Tangan laki-laki itu membuka laci dashboard, mengeluarkan sebotol air mineral dan menyerahkannya pada Yuna. “Minum dulu, Yun. Tenangkan dulu diri kamu,” tawarnya lembut. “Aku ngga bisa tenang, pokoknya aku ngga bisa tenang sebelum kamu jawab semua pertanyaanku.” “Minum dulu!” Suara Ares berubah tegas. Entah mengapa, Yuna lansung ci
Alunan musik lembut menyambut Yuna saat keluar dari kamar. Ini memang kebiasaan Ares yang selalu mendengarkan music relaksasi saat pagi hari, sebelum memulai harinya yang penuh gejolak adrenalin. Yuna lansung menuju dapur. Ares tengah menata hidangan sarapan ke meja dan menyeduh dua cangkir kopi. Laki-laki itu juga sudah rapi. Tubuhnya yang atletis terbalut jas abu-abu gelap dengan dalaman kaos putih, tampak casual dan santai. “Wow, ligat banget kamu nyiapin semua ini. Mana udah selesai mandi juga.” Yuna menyapa. Gadis itu menarik kursi. Dia duduk di hadapan meja. Ares terkekeh membalas sapaannya seraya menyodorkan kopi padanya. “Sudah biasa sat set sat set,” ucap laki-laki itu. Dia menyeruput kopi dengan mata yang tak lepas memandang Yuna. Matanya menelisik pada pakaian yang dipilih oleh gadis itu. “Mau masuk kerja lagi? Kok pilih pakai kemeja?” tanya Ares. Yuna yang sedang menyeruput kopi lansung membalas tatapan Ares, kemudia
“Sudah nangisnya?” Ares merasakan senyap. Dia tidak mendengar suara tangis Yuna lagi yang sedari tadi meraung-raung di bangku samping kemudi. Laki-laki itu membuka headset yang menutupi telinga, kemudian matanya menoleh pada gadis itu. Ares membuka laci dashboard dan mengeluarkan tisu.“Itu, ingusnya netes.” Ares berucap hati-hati, takut Yuna akan tersinggung. Jidat laki-laki itu berkerut melihat wajah Yuna yang bersimbah air mata dan ingus.“Makasih.” Yuna menerima uluran tisu dengan sesegukkan. Dengan sedikit terisak, dia mengelap air mata dan membersihkan semua sisa tangis di wajahnya. Hati gadis itu kacau balau. Kehilangan pekerjaan akan membuat separuh dunianya hancur. Kemiskinan sedang menunggu di depan. Kalau Yuna tidak bekerja, bagaimana dia akan membayar kost dan kebutuhan hidupnya. Menumpang tinggal bersama Ayah dan Ratna, sepertinya tak pernah terlintas di benak gadis itu. Jangankan melakukan, membayangkannya saja sudah mengerikan. Rasanya pasti mirip seperti
“Katanya mau makan, kenapa ngejus doang?” Yuna melirik pesanan Ares yang diantarkan pelayan Buffe, sementara dirinya sedari tadi menolak untuk ikut memesan. Yuna tak lapar, malah lambungnya bergejolak memikirkan kejadian di kost.“Ini buat kamu. Kamu butuh tenaga lebih.” Ares mendorong segelas jus mangga ke hadapan Yuna.“Buat aku?”“Iya, kamu butuh energi buat menghadapi kenyataan hidup.” Ares terkekeh menertawakan dengan jahil, Yuna memberungut.“Kamu jangan ngetawaain aku. Aku sudah sial begini. Bingung tahu ngga? Gara-gara utang Ayahku, aku kayak diseret ke jalur neraka. Ada aja masalah yang datang. Bertubi pula. Sedih.”Gadis itu murung lagi, wajahnya mengerut dengan manik mata yang mulai berkaca-kaca. Andai dia tidak mengambil pekerjaan di Club VVIP, dia mungkin tidak akan bertemu dengan Ares dan mendapatkan tambahan masalah. Tapi andainya lagi tidak bertemu pria yang duduk di hadapannya ini, mungkin Yuna sekarang sudah menjadi budak cuan Ponco. Dilema, itu yang dirasakan Yuna
“Siapa nama kamu tadi?”“Yuna.”“Okey, Yuna. Ini seragam kerja kamu malam ini dan ini bayarannya. Ingat! Tidak boleh keluar dari ruangan itu sebelum jam empat pagi. Kalau ada yang grepe-grepe, layani saja, mereka orang berduit, tidak pelit, kamu butuh duit ‘kan?”Yuna mengiyakan seraya meneguk ludah saat mendapatkan puluhan titah dari perempuan bergincu merah. Orang-orang di sini memanggilnya dengan sapaan Mami. Tangan Yuna meraih bungkusan yang berisi kostum, juga meraih amplop berisi bayaran untuk pekerjaan nekatnya malam ini. “Ayo, cepat! Ganti baju kamu dan masuk ke ruangan itu.”Si Mami pergi, meninggalkan Yuna sendiri di dalam ruangan ganti. Hanya dia sendiri di sini. Yuna sudah terlambat. Perempuan pekerja lain sudah memulai pekerjaan mereka duluan di ruangan Club VVIP di lantai 25. Lantai teratas sebuah hotel bintang lima.Yuna mengernyitkan kening melihat kostum yang ia keluarkan dari bungkusan. Sebuah Mini dress berwarna merah, berbentuk baju pelayan di serial anime-anime m
“Tentu saja bisa keluar. Ayo ikut aku!” Pria itu membawa Yuna menuju meja bar. Mereka berlari, merunduk, mengelak, kemudian berdiri lagi untuk menembak. Begitu terus sampai keduanya berhasil mencapai meja bar. Mereka berdua bersembunyi di sana, Yuna meringkuk ke bawah meja bar sementara si Pria mengisi ulang peluru dan lanjut menembak lawan dari persembunyian.Di lantai, bartender muda yang tadi sempat menyapa Yuna saat pertama kali memulai kerja, kini sudah tak bergerak di lantai dengan dua lubang peluru di bagian dada. Yuna terpekik histeris dan semakin ketakutan. Belum sempat menguasai diri dari keterkejutan, tangan kekar si Pria sudah menarik tubuh gadis itu.“Ikut aku ke sini!” SI Pria mengajak Yuna masuk melewati pintu yang ada di dekat bar. Pintu itu menuju dapur. Setiba di dalam sana, Yuma merasa semakin terdesak dan terjebak. “Di sini … di sini jalan buntu! Ngga ada pintu keluar.” Yuna panik. Dia sudah melihat ke seluruh penjuru dapur kecil itu. Sekelilingnya hanya dindin
Yuna berlari menuju ranjang. Mengangkat kasur pegas dan mengambil amplop cokelat yang tersimpan di bawahnya. Gadis itu membuka amplop. Dengan hati yang getir, dia mengecek jumlah uang yang ada di sana.“Ngga sampai setengah. Ponco pasti ngga mau terima. Aduh!” Gadis itu terhenyak di lantai. Pikirannya kalut, bingung bagaimana cara menutup kekurangan tagihan hutang itu. “Semoga dia mau ngasih keringanan dan terima sebanyak ini dulu.” Harapan Yuna sungguh-sungguh di dalam hati. Gadis itu mengemas amplop ke dalam tas sandang hitam. Dia berlari cepat keluar kamar, namun pantulan bayangan dirinya di cermin membuatnya berhenti melangkah. “Gila aja aku ke sana dengan pakaian seperti ini.” Yuna tersadar bahwa tubuh mungilnya hanya terbungkus jas milik si Pria misterius dan dress mini. Pakaian yang sama sekali tidak aman untuk dikenakan ke tempat Ponco yang merupakan tempat sarangnya penyamun. Gadis itu cepat-cepat mengganti pakaian. Mengenakan jeans panjang, sweater hoddy berwarna burgundy
“Katanya mau makan, kenapa ngejus doang?” Yuna melirik pesanan Ares yang diantarkan pelayan Buffe, sementara dirinya sedari tadi menolak untuk ikut memesan. Yuna tak lapar, malah lambungnya bergejolak memikirkan kejadian di kost.“Ini buat kamu. Kamu butuh tenaga lebih.” Ares mendorong segelas jus mangga ke hadapan Yuna.“Buat aku?”“Iya, kamu butuh energi buat menghadapi kenyataan hidup.” Ares terkekeh menertawakan dengan jahil, Yuna memberungut.“Kamu jangan ngetawaain aku. Aku sudah sial begini. Bingung tahu ngga? Gara-gara utang Ayahku, aku kayak diseret ke jalur neraka. Ada aja masalah yang datang. Bertubi pula. Sedih.”Gadis itu murung lagi, wajahnya mengerut dengan manik mata yang mulai berkaca-kaca. Andai dia tidak mengambil pekerjaan di Club VVIP, dia mungkin tidak akan bertemu dengan Ares dan mendapatkan tambahan masalah. Tapi andainya lagi tidak bertemu pria yang duduk di hadapannya ini, mungkin Yuna sekarang sudah menjadi budak cuan Ponco. Dilema, itu yang dirasakan Yuna
“Sudah nangisnya?” Ares merasakan senyap. Dia tidak mendengar suara tangis Yuna lagi yang sedari tadi meraung-raung di bangku samping kemudi. Laki-laki itu membuka headset yang menutupi telinga, kemudian matanya menoleh pada gadis itu. Ares membuka laci dashboard dan mengeluarkan tisu.“Itu, ingusnya netes.” Ares berucap hati-hati, takut Yuna akan tersinggung. Jidat laki-laki itu berkerut melihat wajah Yuna yang bersimbah air mata dan ingus.“Makasih.” Yuna menerima uluran tisu dengan sesegukkan. Dengan sedikit terisak, dia mengelap air mata dan membersihkan semua sisa tangis di wajahnya. Hati gadis itu kacau balau. Kehilangan pekerjaan akan membuat separuh dunianya hancur. Kemiskinan sedang menunggu di depan. Kalau Yuna tidak bekerja, bagaimana dia akan membayar kost dan kebutuhan hidupnya. Menumpang tinggal bersama Ayah dan Ratna, sepertinya tak pernah terlintas di benak gadis itu. Jangankan melakukan, membayangkannya saja sudah mengerikan. Rasanya pasti mirip seperti
Alunan musik lembut menyambut Yuna saat keluar dari kamar. Ini memang kebiasaan Ares yang selalu mendengarkan music relaksasi saat pagi hari, sebelum memulai harinya yang penuh gejolak adrenalin. Yuna lansung menuju dapur. Ares tengah menata hidangan sarapan ke meja dan menyeduh dua cangkir kopi. Laki-laki itu juga sudah rapi. Tubuhnya yang atletis terbalut jas abu-abu gelap dengan dalaman kaos putih, tampak casual dan santai. “Wow, ligat banget kamu nyiapin semua ini. Mana udah selesai mandi juga.” Yuna menyapa. Gadis itu menarik kursi. Dia duduk di hadapan meja. Ares terkekeh membalas sapaannya seraya menyodorkan kopi padanya. “Sudah biasa sat set sat set,” ucap laki-laki itu. Dia menyeruput kopi dengan mata yang tak lepas memandang Yuna. Matanya menelisik pada pakaian yang dipilih oleh gadis itu. “Mau masuk kerja lagi? Kok pilih pakai kemeja?” tanya Ares. Yuna yang sedang menyeruput kopi lansung membalas tatapan Ares, kemudia
“Ares! Jawab pertanyaanku!” Yuna sudah tidak bisa mengendalikan dirinya lagi, gadis itu terus menjejali Ares dengan ribuan pertanyaan kenapa penculikan ini bisa terjadi. Dia ingin tahu, gadis itu sedang terlibat dalam masalah apa. Namun Ares terus saja fokus mengendarai mobil yang kini melaju kencang di jalanan tol yang lengang. “Habis aku. Benar-benar tamat riwayatku. Gara-gara segerombolan laki-laki jahat tadi, aku pasti dipecat sama si Ko Hendri.” Yuna masih meracau panik. Sementara Ares meliriknya sebentar. Melempar senyum tipis karena menurutnya Yuna sangat lucu bersikap panik seperti itu. Tangan laki-laki itu membuka laci dashboard, mengeluarkan sebotol air mineral dan menyerahkannya pada Yuna. “Minum dulu, Yun. Tenangkan dulu diri kamu,” tawarnya lembut. “Aku ngga bisa tenang, pokoknya aku ngga bisa tenang sebelum kamu jawab semua pertanyaanku.” “Minum dulu!” Suara Ares berubah tegas. Entah mengapa, Yuna lansung ci
Ruangan senyap dan tegang. Di pintu, pria seram berkepala plontos itu tidak sendiri. Di belakang tubuhnya, ada empat orang pria lain dengan perawakan yang sama. Sama-sama seram dan berbadan besar. Salah satu pria berambut gondrong, berkaos hitam, sedang mencengkeram kerah kemeja Ko Hendri, manajer Yuna. Dia ketakutan setengah mati, rambut klimisnya berantakan, kaca matanya pecah sebelah. “Cepat katakan siapa yang bernama Yuna di sini?!” Suara laki-laki berkepala pelontos terdengar lagi menghardik pada siapa saja yang ada di ruangan ini, termasuk pada Ko Hendri, sang manajer. Tapi ruangan tetap saja senyap, tidak ada yang menjawab. Enam orang rekan kerja Yuna kompak tutup mulut. Mereka tentu tidak akan memberitahukan yang mana yang bernama Yuna. Mereka ingin melindungi gadis itu. Jelas sekali yang datang ini adalah orang jahat, jika mereka memberitahu, tentu Yuna akan disakiti. Namun itu tidak berlaku untuk Ko Hendri, manajer Yuna yang terkenal pengecut
Jam lima pagi, Ratna, Ibu tiri Yuna, tergopoh-gopoh memasuki ruangan IGD tempat Bakti dirawat. Tangannya penuh dengan belanjaan sayur dan lauk untuk dagangan warteg. Wanita 40-tahunan itu sedang berbelanja di pasar subuh tadi saat Yuna mengabari tentang keadaan Bakti. “Oalah, Bang. Ini kamu kenapa? Kok bisa babak belur begini? Memangnya beberapa hari ini kamu kemana?” Ratna lansung memburu Bakti dengan ribuan tanya. Wanita itu meletakkan kantong-kantong belanjaan lauk dan sayurnya di atas ranjang rumah sakit yang bersprei putih bersih.“A-ku, aku ….” Bakti terbata menjawab pertanyaan Ratna. Dia tidak berani jujur. Laki-laki itu melirik ke arah Yuna, berharap putrinya mau membantunya untuk menjelaskan. Ratna juga ikut melirik ke arah Yuna yang sedang duduk di kursi sebelah ranjang dengan wajah penuh tanda tanya. “Kenapa bapakmu, Yun?” “Ayah dihajar Ponco karena ngga bisa bayar hutang.” Yuna menjawab singkat dan jujur. Sudah tak perlu
“Aku ngga sengaja mampir.”“Apa? Kamu sering mampir ke sini?”Si Pria tidak sempat menjawab pertanyaan Yuna. Dia menoleh dengan cepat ke arah Ponco yang bangkit menyerangnya. Si pria lansung menyambut Ponco dengan tendakan telak di bagian leher. Membuat laki-laki yang telah tertembak di bagian kaki itu seketika terkapar dan pingsan. Sementara Parlin, terus memohon agar jangan dihajar, si Pria mengampuni dan dia berlari dengan kaki terpincang-pincang ke luar ruangan. Yuna lansung melompat turun dari meja dan histeris melihat keadaan Bakti. Dia bersimpuh di lantai di sebelah tubuh Bakti yang bersimbah darah dan lemah. “Ayah … ayah.” Yuna mengguncang tubuh Bakti. Ayahnya masih sadar dan sanggup membuka mata. “Ayah, bertahanlah.” Tangis Yuna pecah lagi melihat kondisi ayahnya yang sekarat. Sementara tangan Bakti terangkat lemah ke atas, ingin menyentuh pipi Yuna yang lebam. Suaranya lirih dan parau mengucapkan kata maaf.“A-aku memang pecundang, Yuna. Maafkan ayah.”“Kamu memang pecund
“Bang, ngga ada syarat lain, bang? Saya ngga bisa mengerjakan pekerjaan seperti itu.” Yuna gusar. Sebenarnya dia tahu, apa pun bentuk penolakan yang ia sampaikan akan terbantahkan. Ponco tidak bisa didebat. “Kenapa ngga bisa? Belum pengalaman?” Ponco membalas dengan kekehan genit. Dia berdiri dari kursi, berpindah tempat. Laki-laki itu duduk di pinggir meja tepat di hadapan Yuna. Ponco mencondongkan tubuhnya ke depan. Wajahnya kini hanya berjarak 5-sentimeter saja dari wajah Yuna. “Atau mau abang ajarkan dulu?” Jemari Ponco membelai dagu Yuna. Yuna menepis kasar, emosinya tersulut karena diperlakukan seperti itu. Sepertinya Ponco tidak menyukai penolakan.“Eh, ngga sopan Dek Yuna ini. Mau nolak saya, yah?” Ponco berubah beringas. Dia yang tadi duduk, kini berdiri, kemudian mencengkeram tubuh mungil Yuna. Gadis itu dibekap dari depan kemudian dibaringkan di meja. Ponco menindih Yuna seperti kesurupan serigala yang dikuasai nafsu, berperilaku liar dan lepas kendali. “Bang, lepaskan
Yuna berlari menuju ranjang. Mengangkat kasur pegas dan mengambil amplop cokelat yang tersimpan di bawahnya. Gadis itu membuka amplop. Dengan hati yang getir, dia mengecek jumlah uang yang ada di sana.“Ngga sampai setengah. Ponco pasti ngga mau terima. Aduh!” Gadis itu terhenyak di lantai. Pikirannya kalut, bingung bagaimana cara menutup kekurangan tagihan hutang itu. “Semoga dia mau ngasih keringanan dan terima sebanyak ini dulu.” Harapan Yuna sungguh-sungguh di dalam hati. Gadis itu mengemas amplop ke dalam tas sandang hitam. Dia berlari cepat keluar kamar, namun pantulan bayangan dirinya di cermin membuatnya berhenti melangkah. “Gila aja aku ke sana dengan pakaian seperti ini.” Yuna tersadar bahwa tubuh mungilnya hanya terbungkus jas milik si Pria misterius dan dress mini. Pakaian yang sama sekali tidak aman untuk dikenakan ke tempat Ponco yang merupakan tempat sarangnya penyamun. Gadis itu cepat-cepat mengganti pakaian. Mengenakan jeans panjang, sweater hoddy berwarna burgundy