“Bang, ngga ada syarat lain, bang? Saya ngga bisa mengerjakan pekerjaan seperti itu.” Yuna gusar. Sebenarnya dia tahu, apa pun bentuk penolakan yang ia sampaikan akan terbantahkan. Ponco tidak bisa didebat.
“Kenapa ngga bisa? Belum pengalaman?” Ponco membalas dengan kekehan genit. Dia berdiri dari kursi, berpindah tempat. Laki-laki itu duduk di pinggir meja tepat di hadapan Yuna. Ponco mencondongkan tubuhnya ke depan. Wajahnya kini hanya berjarak 5-sentimeter saja dari wajah Yuna. “Atau mau abang ajarkan dulu?” Jemari Ponco membelai dagu Yuna. Yuna menepis kasar, emosinya tersulut karena diperlakukan seperti itu. Sepertinya Ponco tidak menyukai penolakan.“Eh, ngga sopan Dek Yuna ini. Mau nolak saya, yah?” Ponco berubah beringas. Dia yang tadi duduk, kini berdiri, kemudian mencengkeram tubuh mungil Yuna. Gadis itu dibekap dari depan kemudian dibaringkan di meja. Ponco menindih Yuna seperti kesurupan serigala yang dikuasai nafsu, berperilaku liar dan lepas kendali. “Bang, lepaskan, Bang!” Yuna berontak. Sementara Ponco semakin liar mempreteli gadis itu, mencabik setiap helai kain yang membalut tubuh. Yuna tak mau pasrah. Apa yang dilakukan Ponco sudah melewati batas. Gadis itu meraba-raba meja, mencari-cari sesuatu untuk dijadikan senjata. Tangan Yuna merasakan benda keras dan padat, asbak keramik milik Ponco seukuran mangkok sup besar. Asbak itu digenggam dan Yuna melayangkannya dengan keras, tepat menghantam pelipis Ponco sebelah kiri. Asbak keramik pecah berderai, menyisakan luka menganga dengan darah yang mengucur dari pelipis laki-laki kejam itu.“Bang-s4t!” Ponco brutal membalas serangan Yuna. Kali ini bukan endusan dan rab4-an, melainkan pukulan dan tamparan bertubi pada wajah gadis yang malang itu. Yuna mengaduh, mengerang meminta ampun, namun Ponco semakin hilang kendali. Dia terus menghajar Yuna sampai babak belur.Tangan laki-laki itu berhenti memukul ketika mendengar suara pintu yang dibuka. Ponco melihat siapa yang datang. Parlin anak buahnya, dia datang membawa Bakti, ayah Yuna masuk ke ruangan. Wajah Bakti sudah kuyu kusut dan penuh lebam, tangannya terikat tali. Baju yang ia kenakan sudah kotor dan tercabik. Entah apa yang telah dilakukan Ponco pada tawanannya itu.“Yuna?!” Bakti terpekik. Matanya sontak melebar melihat putrinya tergelatak di atas meja dengan wajah babak belur dengan tubuh yang sudah separuh tel4n-jang.“Anakmu kurang ajar! Lihat ini!” Ponco menghardik Bakti sambil menunjuk darah yang menetes di pelipis. “Apa yang terjadi di sini?” Bakti menatap Ponco dengan tatapan ngeri. “Kau apakan dia?” Bakti bertanya dengan suara yang takut-takut dan lemah. Ponco hanya menyeringai karena tahu, Yuna dan Bakti sama-sama tidak berdaya untuk melawannya.“Ayah, keluar aku dari sini.” Yuna merintih parau, meminta perlindungan pada ayahnya. Bakti hanya bisa menunduk kemudian ambruk berlutut ke lantai. Dia terisak. Tangisnya pecah karena tahu tidak akan bisa melakukan apa-apa untuk melindungi Yuna. “Sekarang, saksikan oleh mata dan kepalamu sendiri, aku akan memangsa anak gadismu! Biar bisa menjadi pelajaran untuk kalian!” Ponco kembali kesetanan. Dia kembali melanjutkan aksinya. Aksi gila yang bia-d4b. Dia akan mengg4-gahi Yuna tepat di hadapan ayahnya sendiri. “Jangan, jangan lakukan itu. Urusanmu cuma sama aku, jangan libatkan putriku!” Bakti memohon, tapi Ponco tak acuh dan semakin bernafsu mewujudkan fantasi liar di kepalanya.Ponco menindih Yuna yang masih berada di atas meja, dia mengulang kembali apa yang telah dilakukannya tadi. Mengendus, mera-b4 dan menikmati tubuh gadis itu. Yuna meronta, namun tak kuasa melawan. Dia hanya bisa melolong kesakitan tanpa ada yang bisa menyelamatkan. Bakti hanya berlutut pasrah di lantai dan menundukkan kepala. Dia menulikan telinga pada teriakan Yuna yang mengiris hati. Sampai akirnya, nyali nekad pun melintas di kepalanya. Bakti bangkit berdiri. Dengan tangan yang masih terikat, dia nekad menyerang Ponco. Mendorong pria yang menindih putrinya itu sampai terjatuh ke bawah meja. Tapi sebenarnya, hanya serangan ini yang mampu Bakti lakukan. Parlin yang berdiri di belakang lansung mengejar. Tanpa ampun menusuk pinggang Bakti dengan belati. Pria malang itu seketika ambruk ke lantai dan mengerang kesakitan.“Ayah!” Yuna histeris melihat ayahnya tumbang dengan pisau yang tertancam di pinggang.“Kalian bia-d4b!” Yuna mengumpat di sela tangisnya. Tubuh gadis malang itu gemetaran, tangannya bersedekap melindungi dada yang terbuka setelah hoody burgundy-nya dibuka paksa.Ponco dan Parlin memang bukan manusia. Mereka malah menendang kepala Bakti yang sudah terkapar lemah menunggu ajal di lantai. Menghajar laki-laki itu tanpa nurani. Tapi setidaknya, pengorbanan sang ayah tak sia-sia. Yuna bisa terbebas sejenak dari bulan-bulanan Ponco.Saat keduanya semakin brutal menghajar Bakti, pintu ruangan itu tiba-tiba terbuka lebar. Seorang pria berkemeja biru tua berdiri di sana. Dia mengokang senjata. Tanpa basa-basi, membidik paha Ponco dan Parlin. Kemudian melepaskan timah panas dari pistol kedap suaranya. “Baji-ng4n! Si-siapa kau?” Ponco mengerang di tengah kesakitan. Bukannya menjawab, si pria misterius malah menembaknya lagi di bagian betis. Ponco benar-benar tumbang. Dia berguling dan mengerang menahan kesakitan. Sementara Parlin, cepat-cepat mengangkat kedua tangan sebagai tanda menyerah agar tidak mendapatkan tembakan selanjutnya. “A-am-pun, Bang.” Parlin memohon dan gentar. Wajahnya meringis menahan sakit karena pahanya telah berlubang. Si Pria berjalan mendekat ke arah Yuna. Menyimpan pistolnya, membuka kemeja. Kini tersisa hanya kaos ketat tanpa lengan yang mencetak otot-otot kekar pria itu. Mata Yuna nanar melihat kedatangannya. “Jasku sudah keberikan padamu, sekarang aku cuma punya kemeja,” ucap si Pria misterius sambil menyelimuti tubuh Yuna dengan kemeja. Dia membantu Yuna bangkit dari posisi telentang. Gadis itu duduk dan lansung menghambur ke pelukan si Pria yang sudah dua kali menyelamatkan dirinya dari jeratan maut. “Terima kasih, Mas. Terima kasih.” Yuna merintih, dia menangis, melepas ketegangan yang menggelayut hati. Si pria membiarkan Yuna memeluk tubuhnya sampai gadis itu puas. Setelah ketegangan hati Yuna mereda, dia melepas pelukan. “Kenapa kamu bisa ada di sini?” tanya Yuna seraya menatap lekat manik cokelat dewa penolongnya itu.“Aku ngga sengaja mampir.”“Apa? Kamu sering mampir ke sini?”Si Pria tidak sempat menjawab pertanyaan Yuna. Dia menoleh dengan cepat ke arah Ponco yang bangkit menyerangnya. Si pria lansung menyambut Ponco dengan tendakan telak di bagian leher. Membuat laki-laki yang telah tertembak di bagian kaki itu seketika terkapar dan pingsan. Sementara Parlin, terus memohon agar jangan dihajar, si Pria mengampuni dan dia berlari dengan kaki terpincang-pincang ke luar ruangan. Yuna lansung melompat turun dari meja dan histeris melihat keadaan Bakti. Dia bersimpuh di lantai di sebelah tubuh Bakti yang bersimbah darah dan lemah. “Ayah … ayah.” Yuna mengguncang tubuh Bakti. Ayahnya masih sadar dan sanggup membuka mata. “Ayah, bertahanlah.” Tangis Yuna pecah lagi melihat kondisi ayahnya yang sekarat. Sementara tangan Bakti terangkat lemah ke atas, ingin menyentuh pipi Yuna yang lebam. Suaranya lirih dan parau mengucapkan kata maaf.“A-aku memang pecundang, Yuna. Maafkan ayah.”“Kamu memang pecund
Jam lima pagi, Ratna, Ibu tiri Yuna, tergopoh-gopoh memasuki ruangan IGD tempat Bakti dirawat. Tangannya penuh dengan belanjaan sayur dan lauk untuk dagangan warteg. Wanita 40-tahunan itu sedang berbelanja di pasar subuh tadi saat Yuna mengabari tentang keadaan Bakti. “Oalah, Bang. Ini kamu kenapa? Kok bisa babak belur begini? Memangnya beberapa hari ini kamu kemana?” Ratna lansung memburu Bakti dengan ribuan tanya. Wanita itu meletakkan kantong-kantong belanjaan lauk dan sayurnya di atas ranjang rumah sakit yang bersprei putih bersih.“A-ku, aku ….” Bakti terbata menjawab pertanyaan Ratna. Dia tidak berani jujur. Laki-laki itu melirik ke arah Yuna, berharap putrinya mau membantunya untuk menjelaskan. Ratna juga ikut melirik ke arah Yuna yang sedang duduk di kursi sebelah ranjang dengan wajah penuh tanda tanya. “Kenapa bapakmu, Yun?” “Ayah dihajar Ponco karena ngga bisa bayar hutang.” Yuna menjawab singkat dan jujur. Sudah tak perlu
Ruangan senyap dan tegang. Di pintu, pria seram berkepala plontos itu tidak sendiri. Di belakang tubuhnya, ada empat orang pria lain dengan perawakan yang sama. Sama-sama seram dan berbadan besar. Salah satu pria berambut gondrong, berkaos hitam, sedang mencengkeram kerah kemeja Ko Hendri, manajer Yuna. Dia ketakutan setengah mati, rambut klimisnya berantakan, kaca matanya pecah sebelah. “Cepat katakan siapa yang bernama Yuna di sini?!” Suara laki-laki berkepala pelontos terdengar lagi menghardik pada siapa saja yang ada di ruangan ini, termasuk pada Ko Hendri, sang manajer. Tapi ruangan tetap saja senyap, tidak ada yang menjawab. Enam orang rekan kerja Yuna kompak tutup mulut. Mereka tentu tidak akan memberitahukan yang mana yang bernama Yuna. Mereka ingin melindungi gadis itu. Jelas sekali yang datang ini adalah orang jahat, jika mereka memberitahu, tentu Yuna akan disakiti. Namun itu tidak berlaku untuk Ko Hendri, manajer Yuna yang terkenal pengecut
“Ares! Jawab pertanyaanku!” Yuna sudah tidak bisa mengendalikan dirinya lagi, gadis itu terus menjejali Ares dengan ribuan pertanyaan kenapa penculikan ini bisa terjadi. Dia ingin tahu, gadis itu sedang terlibat dalam masalah apa. Namun Ares terus saja fokus mengendarai mobil yang kini melaju kencang di jalanan tol yang lengang. “Habis aku. Benar-benar tamat riwayatku. Gara-gara segerombolan laki-laki jahat tadi, aku pasti dipecat sama si Ko Hendri.” Yuna masih meracau panik. Sementara Ares meliriknya sebentar. Melempar senyum tipis karena menurutnya Yuna sangat lucu bersikap panik seperti itu. Tangan laki-laki itu membuka laci dashboard, mengeluarkan sebotol air mineral dan menyerahkannya pada Yuna. “Minum dulu, Yun. Tenangkan dulu diri kamu,” tawarnya lembut. “Aku ngga bisa tenang, pokoknya aku ngga bisa tenang sebelum kamu jawab semua pertanyaanku.” “Minum dulu!” Suara Ares berubah tegas. Entah mengapa, Yuna lansung ci
Alunan musik lembut menyambut Yuna saat keluar dari kamar. Ini memang kebiasaan Ares yang selalu mendengarkan music relaksasi saat pagi hari, sebelum memulai harinya yang penuh gejolak adrenalin. Yuna lansung menuju dapur. Ares tengah menata hidangan sarapan ke meja dan menyeduh dua cangkir kopi. Laki-laki itu juga sudah rapi. Tubuhnya yang atletis terbalut jas abu-abu gelap dengan dalaman kaos putih, tampak casual dan santai. “Wow, ligat banget kamu nyiapin semua ini. Mana udah selesai mandi juga.” Yuna menyapa. Gadis itu menarik kursi. Dia duduk di hadapan meja. Ares terkekeh membalas sapaannya seraya menyodorkan kopi padanya. “Sudah biasa sat set sat set,” ucap laki-laki itu. Dia menyeruput kopi dengan mata yang tak lepas memandang Yuna. Matanya menelisik pada pakaian yang dipilih oleh gadis itu. “Mau masuk kerja lagi? Kok pilih pakai kemeja?” tanya Ares. Yuna yang sedang menyeruput kopi lansung membalas tatapan Ares, kemudia
“Sudah nangisnya?” Ares merasakan senyap. Dia tidak mendengar suara tangis Yuna lagi yang sedari tadi meraung-raung di bangku samping kemudi. Laki-laki itu membuka headset yang menutupi telinga, kemudian matanya menoleh pada gadis itu. Ares membuka laci dashboard dan mengeluarkan tisu.“Itu, ingusnya netes.” Ares berucap hati-hati, takut Yuna akan tersinggung. Jidat laki-laki itu berkerut melihat wajah Yuna yang bersimbah air mata dan ingus.“Makasih.” Yuna menerima uluran tisu dengan sesegukkan. Dengan sedikit terisak, dia mengelap air mata dan membersihkan semua sisa tangis di wajahnya. Hati gadis itu kacau balau. Kehilangan pekerjaan akan membuat separuh dunianya hancur. Kemiskinan sedang menunggu di depan. Kalau Yuna tidak bekerja, bagaimana dia akan membayar kost dan kebutuhan hidupnya. Menumpang tinggal bersama Ayah dan Ratna, sepertinya tak pernah terlintas di benak gadis itu. Jangankan melakukan, membayangkannya saja sudah mengerikan. Rasanya pasti mirip seperti
“Katanya mau makan, kenapa ngejus doang?” Yuna melirik pesanan Ares yang diantarkan pelayan Buffe, sementara dirinya sedari tadi menolak untuk ikut memesan. Yuna tak lapar, malah lambungnya bergejolak memikirkan kejadian di kost.“Ini buat kamu. Kamu butuh tenaga lebih.” Ares mendorong segelas jus mangga ke hadapan Yuna.“Buat aku?”“Iya, kamu butuh energi buat menghadapi kenyataan hidup.” Ares terkekeh menertawakan dengan jahil, Yuna memberungut.“Kamu jangan ngetawaain aku. Aku sudah sial begini. Bingung tahu ngga? Gara-gara utang Ayahku, aku kayak diseret ke jalur neraka. Ada aja masalah yang datang. Bertubi pula. Sedih.”Gadis itu murung lagi, wajahnya mengerut dengan manik mata yang mulai berkaca-kaca. Andai dia tidak mengambil pekerjaan di Club VVIP, dia mungkin tidak akan bertemu dengan Ares dan mendapatkan tambahan masalah. Tapi andainya lagi tidak bertemu pria yang duduk di hadapannya ini, mungkin Yuna sekarang sudah menjadi budak cuan Ponco. Dilema, itu yang dirasakan Yuna
“Siapa nama kamu tadi?”“Yuna.”“Okey, Yuna. Ini seragam kerja kamu malam ini dan ini bayarannya. Ingat! Tidak boleh keluar dari ruangan itu sebelum jam empat pagi. Kalau ada yang grepe-grepe, layani saja, mereka orang berduit, tidak pelit, kamu butuh duit ‘kan?”Yuna mengiyakan seraya meneguk ludah saat mendapatkan puluhan titah dari perempuan bergincu merah. Orang-orang di sini memanggilnya dengan sapaan Mami. Tangan Yuna meraih bungkusan yang berisi kostum, juga meraih amplop berisi bayaran untuk pekerjaan nekatnya malam ini. “Ayo, cepat! Ganti baju kamu dan masuk ke ruangan itu.”Si Mami pergi, meninggalkan Yuna sendiri di dalam ruangan ganti. Hanya dia sendiri di sini. Yuna sudah terlambat. Perempuan pekerja lain sudah memulai pekerjaan mereka duluan di ruangan Club VVIP di lantai 25. Lantai teratas sebuah hotel bintang lima.Yuna mengernyitkan kening melihat kostum yang ia keluarkan dari bungkusan. Sebuah Mini dress berwarna merah, berbentuk baju pelayan di serial anime-anime m
“Katanya mau makan, kenapa ngejus doang?” Yuna melirik pesanan Ares yang diantarkan pelayan Buffe, sementara dirinya sedari tadi menolak untuk ikut memesan. Yuna tak lapar, malah lambungnya bergejolak memikirkan kejadian di kost.“Ini buat kamu. Kamu butuh tenaga lebih.” Ares mendorong segelas jus mangga ke hadapan Yuna.“Buat aku?”“Iya, kamu butuh energi buat menghadapi kenyataan hidup.” Ares terkekeh menertawakan dengan jahil, Yuna memberungut.“Kamu jangan ngetawaain aku. Aku sudah sial begini. Bingung tahu ngga? Gara-gara utang Ayahku, aku kayak diseret ke jalur neraka. Ada aja masalah yang datang. Bertubi pula. Sedih.”Gadis itu murung lagi, wajahnya mengerut dengan manik mata yang mulai berkaca-kaca. Andai dia tidak mengambil pekerjaan di Club VVIP, dia mungkin tidak akan bertemu dengan Ares dan mendapatkan tambahan masalah. Tapi andainya lagi tidak bertemu pria yang duduk di hadapannya ini, mungkin Yuna sekarang sudah menjadi budak cuan Ponco. Dilema, itu yang dirasakan Yuna
“Sudah nangisnya?” Ares merasakan senyap. Dia tidak mendengar suara tangis Yuna lagi yang sedari tadi meraung-raung di bangku samping kemudi. Laki-laki itu membuka headset yang menutupi telinga, kemudian matanya menoleh pada gadis itu. Ares membuka laci dashboard dan mengeluarkan tisu.“Itu, ingusnya netes.” Ares berucap hati-hati, takut Yuna akan tersinggung. Jidat laki-laki itu berkerut melihat wajah Yuna yang bersimbah air mata dan ingus.“Makasih.” Yuna menerima uluran tisu dengan sesegukkan. Dengan sedikit terisak, dia mengelap air mata dan membersihkan semua sisa tangis di wajahnya. Hati gadis itu kacau balau. Kehilangan pekerjaan akan membuat separuh dunianya hancur. Kemiskinan sedang menunggu di depan. Kalau Yuna tidak bekerja, bagaimana dia akan membayar kost dan kebutuhan hidupnya. Menumpang tinggal bersama Ayah dan Ratna, sepertinya tak pernah terlintas di benak gadis itu. Jangankan melakukan, membayangkannya saja sudah mengerikan. Rasanya pasti mirip seperti
Alunan musik lembut menyambut Yuna saat keluar dari kamar. Ini memang kebiasaan Ares yang selalu mendengarkan music relaksasi saat pagi hari, sebelum memulai harinya yang penuh gejolak adrenalin. Yuna lansung menuju dapur. Ares tengah menata hidangan sarapan ke meja dan menyeduh dua cangkir kopi. Laki-laki itu juga sudah rapi. Tubuhnya yang atletis terbalut jas abu-abu gelap dengan dalaman kaos putih, tampak casual dan santai. “Wow, ligat banget kamu nyiapin semua ini. Mana udah selesai mandi juga.” Yuna menyapa. Gadis itu menarik kursi. Dia duduk di hadapan meja. Ares terkekeh membalas sapaannya seraya menyodorkan kopi padanya. “Sudah biasa sat set sat set,” ucap laki-laki itu. Dia menyeruput kopi dengan mata yang tak lepas memandang Yuna. Matanya menelisik pada pakaian yang dipilih oleh gadis itu. “Mau masuk kerja lagi? Kok pilih pakai kemeja?” tanya Ares. Yuna yang sedang menyeruput kopi lansung membalas tatapan Ares, kemudia
“Ares! Jawab pertanyaanku!” Yuna sudah tidak bisa mengendalikan dirinya lagi, gadis itu terus menjejali Ares dengan ribuan pertanyaan kenapa penculikan ini bisa terjadi. Dia ingin tahu, gadis itu sedang terlibat dalam masalah apa. Namun Ares terus saja fokus mengendarai mobil yang kini melaju kencang di jalanan tol yang lengang. “Habis aku. Benar-benar tamat riwayatku. Gara-gara segerombolan laki-laki jahat tadi, aku pasti dipecat sama si Ko Hendri.” Yuna masih meracau panik. Sementara Ares meliriknya sebentar. Melempar senyum tipis karena menurutnya Yuna sangat lucu bersikap panik seperti itu. Tangan laki-laki itu membuka laci dashboard, mengeluarkan sebotol air mineral dan menyerahkannya pada Yuna. “Minum dulu, Yun. Tenangkan dulu diri kamu,” tawarnya lembut. “Aku ngga bisa tenang, pokoknya aku ngga bisa tenang sebelum kamu jawab semua pertanyaanku.” “Minum dulu!” Suara Ares berubah tegas. Entah mengapa, Yuna lansung ci
Ruangan senyap dan tegang. Di pintu, pria seram berkepala plontos itu tidak sendiri. Di belakang tubuhnya, ada empat orang pria lain dengan perawakan yang sama. Sama-sama seram dan berbadan besar. Salah satu pria berambut gondrong, berkaos hitam, sedang mencengkeram kerah kemeja Ko Hendri, manajer Yuna. Dia ketakutan setengah mati, rambut klimisnya berantakan, kaca matanya pecah sebelah. “Cepat katakan siapa yang bernama Yuna di sini?!” Suara laki-laki berkepala pelontos terdengar lagi menghardik pada siapa saja yang ada di ruangan ini, termasuk pada Ko Hendri, sang manajer. Tapi ruangan tetap saja senyap, tidak ada yang menjawab. Enam orang rekan kerja Yuna kompak tutup mulut. Mereka tentu tidak akan memberitahukan yang mana yang bernama Yuna. Mereka ingin melindungi gadis itu. Jelas sekali yang datang ini adalah orang jahat, jika mereka memberitahu, tentu Yuna akan disakiti. Namun itu tidak berlaku untuk Ko Hendri, manajer Yuna yang terkenal pengecut
Jam lima pagi, Ratna, Ibu tiri Yuna, tergopoh-gopoh memasuki ruangan IGD tempat Bakti dirawat. Tangannya penuh dengan belanjaan sayur dan lauk untuk dagangan warteg. Wanita 40-tahunan itu sedang berbelanja di pasar subuh tadi saat Yuna mengabari tentang keadaan Bakti. “Oalah, Bang. Ini kamu kenapa? Kok bisa babak belur begini? Memangnya beberapa hari ini kamu kemana?” Ratna lansung memburu Bakti dengan ribuan tanya. Wanita itu meletakkan kantong-kantong belanjaan lauk dan sayurnya di atas ranjang rumah sakit yang bersprei putih bersih.“A-ku, aku ….” Bakti terbata menjawab pertanyaan Ratna. Dia tidak berani jujur. Laki-laki itu melirik ke arah Yuna, berharap putrinya mau membantunya untuk menjelaskan. Ratna juga ikut melirik ke arah Yuna yang sedang duduk di kursi sebelah ranjang dengan wajah penuh tanda tanya. “Kenapa bapakmu, Yun?” “Ayah dihajar Ponco karena ngga bisa bayar hutang.” Yuna menjawab singkat dan jujur. Sudah tak perlu
“Aku ngga sengaja mampir.”“Apa? Kamu sering mampir ke sini?”Si Pria tidak sempat menjawab pertanyaan Yuna. Dia menoleh dengan cepat ke arah Ponco yang bangkit menyerangnya. Si pria lansung menyambut Ponco dengan tendakan telak di bagian leher. Membuat laki-laki yang telah tertembak di bagian kaki itu seketika terkapar dan pingsan. Sementara Parlin, terus memohon agar jangan dihajar, si Pria mengampuni dan dia berlari dengan kaki terpincang-pincang ke luar ruangan. Yuna lansung melompat turun dari meja dan histeris melihat keadaan Bakti. Dia bersimpuh di lantai di sebelah tubuh Bakti yang bersimbah darah dan lemah. “Ayah … ayah.” Yuna mengguncang tubuh Bakti. Ayahnya masih sadar dan sanggup membuka mata. “Ayah, bertahanlah.” Tangis Yuna pecah lagi melihat kondisi ayahnya yang sekarat. Sementara tangan Bakti terangkat lemah ke atas, ingin menyentuh pipi Yuna yang lebam. Suaranya lirih dan parau mengucapkan kata maaf.“A-aku memang pecundang, Yuna. Maafkan ayah.”“Kamu memang pecund
“Bang, ngga ada syarat lain, bang? Saya ngga bisa mengerjakan pekerjaan seperti itu.” Yuna gusar. Sebenarnya dia tahu, apa pun bentuk penolakan yang ia sampaikan akan terbantahkan. Ponco tidak bisa didebat. “Kenapa ngga bisa? Belum pengalaman?” Ponco membalas dengan kekehan genit. Dia berdiri dari kursi, berpindah tempat. Laki-laki itu duduk di pinggir meja tepat di hadapan Yuna. Ponco mencondongkan tubuhnya ke depan. Wajahnya kini hanya berjarak 5-sentimeter saja dari wajah Yuna. “Atau mau abang ajarkan dulu?” Jemari Ponco membelai dagu Yuna. Yuna menepis kasar, emosinya tersulut karena diperlakukan seperti itu. Sepertinya Ponco tidak menyukai penolakan.“Eh, ngga sopan Dek Yuna ini. Mau nolak saya, yah?” Ponco berubah beringas. Dia yang tadi duduk, kini berdiri, kemudian mencengkeram tubuh mungil Yuna. Gadis itu dibekap dari depan kemudian dibaringkan di meja. Ponco menindih Yuna seperti kesurupan serigala yang dikuasai nafsu, berperilaku liar dan lepas kendali. “Bang, lepaskan
Yuna berlari menuju ranjang. Mengangkat kasur pegas dan mengambil amplop cokelat yang tersimpan di bawahnya. Gadis itu membuka amplop. Dengan hati yang getir, dia mengecek jumlah uang yang ada di sana.“Ngga sampai setengah. Ponco pasti ngga mau terima. Aduh!” Gadis itu terhenyak di lantai. Pikirannya kalut, bingung bagaimana cara menutup kekurangan tagihan hutang itu. “Semoga dia mau ngasih keringanan dan terima sebanyak ini dulu.” Harapan Yuna sungguh-sungguh di dalam hati. Gadis itu mengemas amplop ke dalam tas sandang hitam. Dia berlari cepat keluar kamar, namun pantulan bayangan dirinya di cermin membuatnya berhenti melangkah. “Gila aja aku ke sana dengan pakaian seperti ini.” Yuna tersadar bahwa tubuh mungilnya hanya terbungkus jas milik si Pria misterius dan dress mini. Pakaian yang sama sekali tidak aman untuk dikenakan ke tempat Ponco yang merupakan tempat sarangnya penyamun. Gadis itu cepat-cepat mengganti pakaian. Mengenakan jeans panjang, sweater hoddy berwarna burgundy