“Siapa nama kamu tadi?”
“Yuna.”“Okey, Yuna. Ini seragam kerja kamu malam ini dan ini bayarannya. Ingat! Tidak boleh keluar dari ruangan itu sebelum jam empat pagi. Kalau ada yang grepe-grepe, layani saja, mereka orang berduit, tidak pelit, kamu butuh duit ‘kan?”Yuna mengiyakan seraya meneguk ludah saat mendapatkan puluhan titah dari perempuan bergincu merah. Orang-orang di sini memanggilnya dengan sapaan Mami. Tangan Yuna meraih bungkusan yang berisi kostum, juga meraih amplop berisi bayaran untuk pekerjaan nekatnya malam ini.“Ayo, cepat! Ganti baju kamu dan masuk ke ruangan itu.”Si Mami pergi, meninggalkan Yuna sendiri di dalam ruangan ganti. Hanya dia sendiri di sini. Yuna sudah terlambat. Perempuan pekerja lain sudah memulai pekerjaan mereka duluan di ruangan Club VVIP di lantai 25. Lantai teratas sebuah hotel bintang lima.Yuna mengernyitkan kening melihat kostum yang ia keluarkan dari bungkusan. Sebuah Mini dress berwarna merah, berbentuk baju pelayan di serial anime-anime m3-sum. Sangat terbuka dan ketat. Kostum itu dilengkapi bando berbentuk daun telinga kelinci yang mencuat tinggi, berwarna merah menyala, mengkilat-kilat diterpa cahaya.Yuna meremas amplop bayaran ke dada dengan erat, rasa gugup menyerang sebelum memulai pekerjaan. Jika tidak terdesak uang, dia tidak akan nekat menerima pekerjaan ini. Pekerjaan murahan kata sebagian orang.Setelah menata make up, memoles gincu tebal, dan mengenakan kostum minim seperti kostum f3-tish om om hidung belang, Yuna mengutuk dirinya di depan cermin. Dia terlihat konyol.“Seperti penari striptis,” rutuknya menghina penampilannya sendiri.Yuna keluar kamar ganti, berjalan terseok ulah sepatu berhak tinggi yang ia kenakan. Di ujung lorong, tepat di depan pintu berwarna perak metalik, dua penjaga bertubuh tegap dan besar menyambutnya.“Kode akses?” tanya salah satunya.“550196.”Yuna menjawab dengan lancar. Dia memilikinya dan sudah hapal. Kode angka itu adalah kode akses khusus bagi para pekerja yang akan masuk ke dalam ruangan Club.“Silahkan! Dan jangan membuat kericuhan di dalam,” pesan si Penjaga pintu. Yuna mengangguk gugup. Tidak mengerti akan maksud kata ‘kericuhan’ seperti apa yang akan ia perbuat di dalam.Yuna masuk ke dalam ruangan, disambut ruangan dingin dan lampu yang berkelap-kelip. Perempuan-perempuan muda berkostum sama dengannya berjalan dari meja ke meja menata minuman. Alunan musik lembut mengalun. Pria-pria berjas duduk di sofa, saling berbincang serius. Ruangan belum ramai, separuh sofa belum terisi.“Kamu Yuna? Yang gantiin Sisi? Kok lama amat, sih. Cepat layani para tamu!”Seorang pria bermake-up mencolok, berkemeja flamboyan warna biru mengkilap, menyambut Yuna dengan wajah menggerutu.“Maaf.” Yuna berucap lirih dan menunduk. Dia semakin gugup.“Cepat ke bar!” titah pria itu lagi. Gadis berusia 22 tahun itu mendekat ke bar, tersenyum kikuk pada pria yang sedang mengaduk minuman.“Anak baru?” sapa laki-laki itu ramah, mereka sebaya.“Iya, baru, tapi freelance, cuma seminggu, gantiin teman. Apa pekerjaanku?”Pria muda di balik bar menata Margarita, Long island, dan Koktail ke atas nampam.“Bawa ke meja paling ujung. Nomor 11, hati-hati, yah. Kalau ada yang lancang ganggu kamu dan kamu ngga suka, kamu bisa tolak baik-baik. Mereka di sini, bukan type pemaksa kalau ngga lagi sedang mabuk.” Yuna mengangguk paham. Si Bartender maklum pada Yuna yang masih baru.Sebelum menerima pekerjaan sebagai hostes di ruang Club VVIP, Yuna sudah tahu aturan main dan resikonya. Dia sudah menyiapkan nyali. Sisi, teman satu kost, pemilik asli pekerjaan ini, sudah memperingatkan Yuna tentang bagaimana genitnya dunia malam.“Sekali kau masuk, tempat itu akan menyeretmu semakin jauh ke dalam.” Demikan Sisi berpesan. Yuna menyanggupi segala resiko ketika tawaran pekerjaan itu diberikan. Dia bersedia menggantikan Sisi sementara, mendaftarkan diri ke agensi dan akan mengambil pekerjaan ini seminggu penuh untuk mengumpulkan uang.Sebenarnya, Yuna bukan perempuan pengganguran. Siang hari, dia memiliki pekerjaan lain, bekerja di sebuah perusahaan pinjaman online sebagai operator penagih utang. Sayangnya, gajinya tidak besar, tidak mencukupi jumlah uang yang sedang Yuna butuhkan.“Minumannya, Tuan.” Yuna menata minuman di meja nomor 11. Di sofa ada tiga orang berjas saling berbincang. Rerata berwajah serius dan berambut klimis. Mereka bukan kalangan biasa. Topik bahasan mereka tentang tender milyaran, Yuna sempat menguping pembicaraan.“Terima kasih, sayang.” Salah satu dari tiga pria berjas menyapa Yuna. Pria berusia 50 tahunan dan bersikap sopan.“Sama-sama, Tuan.” Yuna membalas dengan senyum ramah semampunya, lantas pamit pergi untuk melanjutkan pekerjaan.Yuna bisa bernapas dengan lega, ternyata tidak terlalu menakutkan di sini. Orang-orang di sini tidak lancang dan mereka dari kalangan berkelas. Meski berpakaian minim seperti ini, Yuna belum menemukan tanda-tanda akan mendapatkan pelecehan.Atau mereka belum terlalu mabuk untuk melakukan hal itu?Malam semakin larut, tamu-tamu berdatangan memenuhi ruangan. Musik yang disajikan mulai menghentak, atmosfer ruangan mulai panas. Para hostes yang satu profesi dengan Yuna mulai kelimpungan melayani tamu. Sebagian dari mereka bahkan tidak kembali lagi ke bar. Mereka sudah duduk tenang di sofa, menemani tamu dengan segala keramah-tamahan yang saru demi lembaran uang tip atau jika mereka beruntung akan dibawa ke kamar.Berbeda dengan Yuna, dia masih bolak-balik mengantarkan minuman ke beberapa meja. Menurutnya hal ini jauh lebih aman ketimbang tenggelam dalam dekapan pria. Bayaran menjadi hostes untuk mengantar minuman dan membantu memilihkan menu, sudah cukup bagi dirinya.Tepat di meja 18, perhatian Yuna terfokus pada tamu yang satu itu. Dia terlihat amat berbeda. Seorang pria berjas, duduk sendirian di sudut gelap. Masih muda, berparas serius dan … rupawan, menurut Yuna. Tamu itu memesan segelas air mineral dan soda, seperti sedang tidak berniat untuk mabuk. Yuna yang mengantarkan pesanannya.“Ini minumannya, Tuan.”Setelah meletakkan gelas, pria itu menyambar lengan Yuna dengan cepat, menariknya hingga menelusup ke dalam pelukan.“Awas!” Pria itu memerintahkan dengan tenang. Suaranya dalam dan penuh tekanan. Yuna tidak menolak pelukan itu sedikit pun, karena dia tahu, ini bukan tindakan cabul, melainkan, sesuatu yang benar-benar kacau sedang terjadi di ruangan ini.Yuna mendengar suara dobrakan keras di pintu masuk ruang VVIP, setelah suara dobrakan, suara lain menyusul, yaitu suara tembakan.Ruangan bergemuruh gaduh dengan tiba-tiba dan tanpa disangka. Ruangan yang tadi riuh dengan gelak tawa dan musik, kini menjelma menjadi medan perang. Musik dari turntable berhenti, berganti menjadi irama kematian. Suara peluru-peluru yang ditembakkan, gelas-gelas pecah, erangan kesakitan, pekikan perempuan ketakutan dan umpatan. Semua suara-suara mengerikan itu bersatu padu di dalam ruangan Club VVIP yang sudah kacau balau. Aroma mesiu menyeruak di seluruh penjuru ruangan. Asap mengepul dari api-api yang menjalar membakar sofa-sofa.“Sembunyi di bawah meja!” Pria itu kembali memberi titah. Yuna lepas dari pelukannya dan menelungkup di bawah meja berbahan stainless.Sementara sang pria asing masih dalam kondisi tegap dan serius. Tangannya menjurus menodongkan senjata ke arah asal peluru yang datang. Pistol ditembakkan. Suara timah panas mendesing-desing memekakkan telinga. Yuna mengucap-ngucap di bawah meja, keringat dingin menanti mautnya.Pria asing itu serius menembak, peluru juga menghujani lokasi mereka bersembunyi. Yuna semakin ketakutan. Sementara, si Pria asing mulai terdesak. Pelurunya nyaris habis. Dia akan melangkah keluar dari persembunyian untuk kabur mengelak, dan Yuna dengan cepat mencengkeram kaki pria itu untuk menahan.“Mas, tolong. Tolong saya, jangan tinggalkan saya.”Si pria menunduk, menatap Yuna lekat dengan manik cokelat gelap yang tajam. Dia meragu, berdebat dengan diri sendiri apakah akan menolong gadis malang ini.“Tolong, keluarkan saya dari sini.” Yuna memohon lagi. Matanya berkaca-kaca memohon belas kasihan.Setelah berdecak sedikit kesal dan menggelengkan kepala, pria asing itu akhirnya mengangguk setuju. Dia merentangkan tangan, Yuna masuk ke dalam pelukan. Tubuh tegap dan kekarnya menjadi perisai peluru untuk tubuh mungil seorang Yuna.“Apakah kita akan selamat keluar dari sini?” rintih Yuna bertanya dalam pelukan si pria setelah melihat ma yat-ma yat korban tembakan bergelimpangan di lantai club.“Tentu saja bisa keluar. Ayo ikut aku!” Pria itu membawa Yuna menuju meja bar. Mereka berlari, merunduk, mengelak, kemudian berdiri lagi untuk menembak. Begitu terus sampai keduanya berhasil mencapai meja bar. Mereka berdua bersembunyi di sana, Yuna meringkuk ke bawah meja bar sementara si Pria mengisi ulang peluru dan lanjut menembak lawan dari persembunyian.Di lantai, bartender muda yang tadi sempat menyapa Yuna saat pertama kali memulai kerja, kini sudah tak bergerak di lantai dengan dua lubang peluru di bagian dada. Yuna terpekik histeris dan semakin ketakutan. Belum sempat menguasai diri dari keterkejutan, tangan kekar si Pria sudah menarik tubuh gadis itu.“Ikut aku ke sini!” SI Pria mengajak Yuna masuk melewati pintu yang ada di dekat bar. Pintu itu menuju dapur. Setiba di dalam sana, Yuma merasa semakin terdesak dan terjebak. “Di sini … di sini jalan buntu! Ngga ada pintu keluar.” Yuna panik. Dia sudah melihat ke seluruh penjuru dapur kecil itu. Sekelilingnya hanya dindin
Yuna berlari menuju ranjang. Mengangkat kasur pegas dan mengambil amplop cokelat yang tersimpan di bawahnya. Gadis itu membuka amplop. Dengan hati yang getir, dia mengecek jumlah uang yang ada di sana.“Ngga sampai setengah. Ponco pasti ngga mau terima. Aduh!” Gadis itu terhenyak di lantai. Pikirannya kalut, bingung bagaimana cara menutup kekurangan tagihan hutang itu. “Semoga dia mau ngasih keringanan dan terima sebanyak ini dulu.” Harapan Yuna sungguh-sungguh di dalam hati. Gadis itu mengemas amplop ke dalam tas sandang hitam. Dia berlari cepat keluar kamar, namun pantulan bayangan dirinya di cermin membuatnya berhenti melangkah. “Gila aja aku ke sana dengan pakaian seperti ini.” Yuna tersadar bahwa tubuh mungilnya hanya terbungkus jas milik si Pria misterius dan dress mini. Pakaian yang sama sekali tidak aman untuk dikenakan ke tempat Ponco yang merupakan tempat sarangnya penyamun. Gadis itu cepat-cepat mengganti pakaian. Mengenakan jeans panjang, sweater hoddy berwarna burgundy
“Bang, ngga ada syarat lain, bang? Saya ngga bisa mengerjakan pekerjaan seperti itu.” Yuna gusar. Sebenarnya dia tahu, apa pun bentuk penolakan yang ia sampaikan akan terbantahkan. Ponco tidak bisa didebat. “Kenapa ngga bisa? Belum pengalaman?” Ponco membalas dengan kekehan genit. Dia berdiri dari kursi, berpindah tempat. Laki-laki itu duduk di pinggir meja tepat di hadapan Yuna. Ponco mencondongkan tubuhnya ke depan. Wajahnya kini hanya berjarak 5-sentimeter saja dari wajah Yuna. “Atau mau abang ajarkan dulu?” Jemari Ponco membelai dagu Yuna. Yuna menepis kasar, emosinya tersulut karena diperlakukan seperti itu. Sepertinya Ponco tidak menyukai penolakan.“Eh, ngga sopan Dek Yuna ini. Mau nolak saya, yah?” Ponco berubah beringas. Dia yang tadi duduk, kini berdiri, kemudian mencengkeram tubuh mungil Yuna. Gadis itu dibekap dari depan kemudian dibaringkan di meja. Ponco menindih Yuna seperti kesurupan serigala yang dikuasai nafsu, berperilaku liar dan lepas kendali. “Bang, lepaskan
“Aku ngga sengaja mampir.”“Apa? Kamu sering mampir ke sini?”Si Pria tidak sempat menjawab pertanyaan Yuna. Dia menoleh dengan cepat ke arah Ponco yang bangkit menyerangnya. Si pria lansung menyambut Ponco dengan tendakan telak di bagian leher. Membuat laki-laki yang telah tertembak di bagian kaki itu seketika terkapar dan pingsan. Sementara Parlin, terus memohon agar jangan dihajar, si Pria mengampuni dan dia berlari dengan kaki terpincang-pincang ke luar ruangan. Yuna lansung melompat turun dari meja dan histeris melihat keadaan Bakti. Dia bersimpuh di lantai di sebelah tubuh Bakti yang bersimbah darah dan lemah. “Ayah … ayah.” Yuna mengguncang tubuh Bakti. Ayahnya masih sadar dan sanggup membuka mata. “Ayah, bertahanlah.” Tangis Yuna pecah lagi melihat kondisi ayahnya yang sekarat. Sementara tangan Bakti terangkat lemah ke atas, ingin menyentuh pipi Yuna yang lebam. Suaranya lirih dan parau mengucapkan kata maaf.“A-aku memang pecundang, Yuna. Maafkan ayah.”“Kamu memang pecund
Jam lima pagi, Ratna, Ibu tiri Yuna, tergopoh-gopoh memasuki ruangan IGD tempat Bakti dirawat. Tangannya penuh dengan belanjaan sayur dan lauk untuk dagangan warteg. Wanita 40-tahunan itu sedang berbelanja di pasar subuh tadi saat Yuna mengabari tentang keadaan Bakti. “Oalah, Bang. Ini kamu kenapa? Kok bisa babak belur begini? Memangnya beberapa hari ini kamu kemana?” Ratna lansung memburu Bakti dengan ribuan tanya. Wanita itu meletakkan kantong-kantong belanjaan lauk dan sayurnya di atas ranjang rumah sakit yang bersprei putih bersih.“A-ku, aku ….” Bakti terbata menjawab pertanyaan Ratna. Dia tidak berani jujur. Laki-laki itu melirik ke arah Yuna, berharap putrinya mau membantunya untuk menjelaskan. Ratna juga ikut melirik ke arah Yuna yang sedang duduk di kursi sebelah ranjang dengan wajah penuh tanda tanya. “Kenapa bapakmu, Yun?” “Ayah dihajar Ponco karena ngga bisa bayar hutang.” Yuna menjawab singkat dan jujur. Sudah tak perlu
Ruangan senyap dan tegang. Di pintu, pria seram berkepala plontos itu tidak sendiri. Di belakang tubuhnya, ada empat orang pria lain dengan perawakan yang sama. Sama-sama seram dan berbadan besar. Salah satu pria berambut gondrong, berkaos hitam, sedang mencengkeram kerah kemeja Ko Hendri, manajer Yuna. Dia ketakutan setengah mati, rambut klimisnya berantakan, kaca matanya pecah sebelah. “Cepat katakan siapa yang bernama Yuna di sini?!” Suara laki-laki berkepala pelontos terdengar lagi menghardik pada siapa saja yang ada di ruangan ini, termasuk pada Ko Hendri, sang manajer. Tapi ruangan tetap saja senyap, tidak ada yang menjawab. Enam orang rekan kerja Yuna kompak tutup mulut. Mereka tentu tidak akan memberitahukan yang mana yang bernama Yuna. Mereka ingin melindungi gadis itu. Jelas sekali yang datang ini adalah orang jahat, jika mereka memberitahu, tentu Yuna akan disakiti. Namun itu tidak berlaku untuk Ko Hendri, manajer Yuna yang terkenal pengecut
“Ares! Jawab pertanyaanku!” Yuna sudah tidak bisa mengendalikan dirinya lagi, gadis itu terus menjejali Ares dengan ribuan pertanyaan kenapa penculikan ini bisa terjadi. Dia ingin tahu, gadis itu sedang terlibat dalam masalah apa. Namun Ares terus saja fokus mengendarai mobil yang kini melaju kencang di jalanan tol yang lengang. “Habis aku. Benar-benar tamat riwayatku. Gara-gara segerombolan laki-laki jahat tadi, aku pasti dipecat sama si Ko Hendri.” Yuna masih meracau panik. Sementara Ares meliriknya sebentar. Melempar senyum tipis karena menurutnya Yuna sangat lucu bersikap panik seperti itu. Tangan laki-laki itu membuka laci dashboard, mengeluarkan sebotol air mineral dan menyerahkannya pada Yuna. “Minum dulu, Yun. Tenangkan dulu diri kamu,” tawarnya lembut. “Aku ngga bisa tenang, pokoknya aku ngga bisa tenang sebelum kamu jawab semua pertanyaanku.” “Minum dulu!” Suara Ares berubah tegas. Entah mengapa, Yuna lansung ci
Alunan musik lembut menyambut Yuna saat keluar dari kamar. Ini memang kebiasaan Ares yang selalu mendengarkan music relaksasi saat pagi hari, sebelum memulai harinya yang penuh gejolak adrenalin. Yuna lansung menuju dapur. Ares tengah menata hidangan sarapan ke meja dan menyeduh dua cangkir kopi. Laki-laki itu juga sudah rapi. Tubuhnya yang atletis terbalut jas abu-abu gelap dengan dalaman kaos putih, tampak casual dan santai. “Wow, ligat banget kamu nyiapin semua ini. Mana udah selesai mandi juga.” Yuna menyapa. Gadis itu menarik kursi. Dia duduk di hadapan meja. Ares terkekeh membalas sapaannya seraya menyodorkan kopi padanya. “Sudah biasa sat set sat set,” ucap laki-laki itu. Dia menyeruput kopi dengan mata yang tak lepas memandang Yuna. Matanya menelisik pada pakaian yang dipilih oleh gadis itu. “Mau masuk kerja lagi? Kok pilih pakai kemeja?” tanya Ares. Yuna yang sedang menyeruput kopi lansung membalas tatapan Ares, kemudia
“Katanya mau makan, kenapa ngejus doang?” Yuna melirik pesanan Ares yang diantarkan pelayan Buffe, sementara dirinya sedari tadi menolak untuk ikut memesan. Yuna tak lapar, malah lambungnya bergejolak memikirkan kejadian di kost.“Ini buat kamu. Kamu butuh tenaga lebih.” Ares mendorong segelas jus mangga ke hadapan Yuna.“Buat aku?”“Iya, kamu butuh energi buat menghadapi kenyataan hidup.” Ares terkekeh menertawakan dengan jahil, Yuna memberungut.“Kamu jangan ngetawaain aku. Aku sudah sial begini. Bingung tahu ngga? Gara-gara utang Ayahku, aku kayak diseret ke jalur neraka. Ada aja masalah yang datang. Bertubi pula. Sedih.”Gadis itu murung lagi, wajahnya mengerut dengan manik mata yang mulai berkaca-kaca. Andai dia tidak mengambil pekerjaan di Club VVIP, dia mungkin tidak akan bertemu dengan Ares dan mendapatkan tambahan masalah. Tapi andainya lagi tidak bertemu pria yang duduk di hadapannya ini, mungkin Yuna sekarang sudah menjadi budak cuan Ponco. Dilema, itu yang dirasakan Yuna
“Sudah nangisnya?” Ares merasakan senyap. Dia tidak mendengar suara tangis Yuna lagi yang sedari tadi meraung-raung di bangku samping kemudi. Laki-laki itu membuka headset yang menutupi telinga, kemudian matanya menoleh pada gadis itu. Ares membuka laci dashboard dan mengeluarkan tisu.“Itu, ingusnya netes.” Ares berucap hati-hati, takut Yuna akan tersinggung. Jidat laki-laki itu berkerut melihat wajah Yuna yang bersimbah air mata dan ingus.“Makasih.” Yuna menerima uluran tisu dengan sesegukkan. Dengan sedikit terisak, dia mengelap air mata dan membersihkan semua sisa tangis di wajahnya. Hati gadis itu kacau balau. Kehilangan pekerjaan akan membuat separuh dunianya hancur. Kemiskinan sedang menunggu di depan. Kalau Yuna tidak bekerja, bagaimana dia akan membayar kost dan kebutuhan hidupnya. Menumpang tinggal bersama Ayah dan Ratna, sepertinya tak pernah terlintas di benak gadis itu. Jangankan melakukan, membayangkannya saja sudah mengerikan. Rasanya pasti mirip seperti
Alunan musik lembut menyambut Yuna saat keluar dari kamar. Ini memang kebiasaan Ares yang selalu mendengarkan music relaksasi saat pagi hari, sebelum memulai harinya yang penuh gejolak adrenalin. Yuna lansung menuju dapur. Ares tengah menata hidangan sarapan ke meja dan menyeduh dua cangkir kopi. Laki-laki itu juga sudah rapi. Tubuhnya yang atletis terbalut jas abu-abu gelap dengan dalaman kaos putih, tampak casual dan santai. “Wow, ligat banget kamu nyiapin semua ini. Mana udah selesai mandi juga.” Yuna menyapa. Gadis itu menarik kursi. Dia duduk di hadapan meja. Ares terkekeh membalas sapaannya seraya menyodorkan kopi padanya. “Sudah biasa sat set sat set,” ucap laki-laki itu. Dia menyeruput kopi dengan mata yang tak lepas memandang Yuna. Matanya menelisik pada pakaian yang dipilih oleh gadis itu. “Mau masuk kerja lagi? Kok pilih pakai kemeja?” tanya Ares. Yuna yang sedang menyeruput kopi lansung membalas tatapan Ares, kemudia
“Ares! Jawab pertanyaanku!” Yuna sudah tidak bisa mengendalikan dirinya lagi, gadis itu terus menjejali Ares dengan ribuan pertanyaan kenapa penculikan ini bisa terjadi. Dia ingin tahu, gadis itu sedang terlibat dalam masalah apa. Namun Ares terus saja fokus mengendarai mobil yang kini melaju kencang di jalanan tol yang lengang. “Habis aku. Benar-benar tamat riwayatku. Gara-gara segerombolan laki-laki jahat tadi, aku pasti dipecat sama si Ko Hendri.” Yuna masih meracau panik. Sementara Ares meliriknya sebentar. Melempar senyum tipis karena menurutnya Yuna sangat lucu bersikap panik seperti itu. Tangan laki-laki itu membuka laci dashboard, mengeluarkan sebotol air mineral dan menyerahkannya pada Yuna. “Minum dulu, Yun. Tenangkan dulu diri kamu,” tawarnya lembut. “Aku ngga bisa tenang, pokoknya aku ngga bisa tenang sebelum kamu jawab semua pertanyaanku.” “Minum dulu!” Suara Ares berubah tegas. Entah mengapa, Yuna lansung ci
Ruangan senyap dan tegang. Di pintu, pria seram berkepala plontos itu tidak sendiri. Di belakang tubuhnya, ada empat orang pria lain dengan perawakan yang sama. Sama-sama seram dan berbadan besar. Salah satu pria berambut gondrong, berkaos hitam, sedang mencengkeram kerah kemeja Ko Hendri, manajer Yuna. Dia ketakutan setengah mati, rambut klimisnya berantakan, kaca matanya pecah sebelah. “Cepat katakan siapa yang bernama Yuna di sini?!” Suara laki-laki berkepala pelontos terdengar lagi menghardik pada siapa saja yang ada di ruangan ini, termasuk pada Ko Hendri, sang manajer. Tapi ruangan tetap saja senyap, tidak ada yang menjawab. Enam orang rekan kerja Yuna kompak tutup mulut. Mereka tentu tidak akan memberitahukan yang mana yang bernama Yuna. Mereka ingin melindungi gadis itu. Jelas sekali yang datang ini adalah orang jahat, jika mereka memberitahu, tentu Yuna akan disakiti. Namun itu tidak berlaku untuk Ko Hendri, manajer Yuna yang terkenal pengecut
Jam lima pagi, Ratna, Ibu tiri Yuna, tergopoh-gopoh memasuki ruangan IGD tempat Bakti dirawat. Tangannya penuh dengan belanjaan sayur dan lauk untuk dagangan warteg. Wanita 40-tahunan itu sedang berbelanja di pasar subuh tadi saat Yuna mengabari tentang keadaan Bakti. “Oalah, Bang. Ini kamu kenapa? Kok bisa babak belur begini? Memangnya beberapa hari ini kamu kemana?” Ratna lansung memburu Bakti dengan ribuan tanya. Wanita itu meletakkan kantong-kantong belanjaan lauk dan sayurnya di atas ranjang rumah sakit yang bersprei putih bersih.“A-ku, aku ….” Bakti terbata menjawab pertanyaan Ratna. Dia tidak berani jujur. Laki-laki itu melirik ke arah Yuna, berharap putrinya mau membantunya untuk menjelaskan. Ratna juga ikut melirik ke arah Yuna yang sedang duduk di kursi sebelah ranjang dengan wajah penuh tanda tanya. “Kenapa bapakmu, Yun?” “Ayah dihajar Ponco karena ngga bisa bayar hutang.” Yuna menjawab singkat dan jujur. Sudah tak perlu
“Aku ngga sengaja mampir.”“Apa? Kamu sering mampir ke sini?”Si Pria tidak sempat menjawab pertanyaan Yuna. Dia menoleh dengan cepat ke arah Ponco yang bangkit menyerangnya. Si pria lansung menyambut Ponco dengan tendakan telak di bagian leher. Membuat laki-laki yang telah tertembak di bagian kaki itu seketika terkapar dan pingsan. Sementara Parlin, terus memohon agar jangan dihajar, si Pria mengampuni dan dia berlari dengan kaki terpincang-pincang ke luar ruangan. Yuna lansung melompat turun dari meja dan histeris melihat keadaan Bakti. Dia bersimpuh di lantai di sebelah tubuh Bakti yang bersimbah darah dan lemah. “Ayah … ayah.” Yuna mengguncang tubuh Bakti. Ayahnya masih sadar dan sanggup membuka mata. “Ayah, bertahanlah.” Tangis Yuna pecah lagi melihat kondisi ayahnya yang sekarat. Sementara tangan Bakti terangkat lemah ke atas, ingin menyentuh pipi Yuna yang lebam. Suaranya lirih dan parau mengucapkan kata maaf.“A-aku memang pecundang, Yuna. Maafkan ayah.”“Kamu memang pecund
“Bang, ngga ada syarat lain, bang? Saya ngga bisa mengerjakan pekerjaan seperti itu.” Yuna gusar. Sebenarnya dia tahu, apa pun bentuk penolakan yang ia sampaikan akan terbantahkan. Ponco tidak bisa didebat. “Kenapa ngga bisa? Belum pengalaman?” Ponco membalas dengan kekehan genit. Dia berdiri dari kursi, berpindah tempat. Laki-laki itu duduk di pinggir meja tepat di hadapan Yuna. Ponco mencondongkan tubuhnya ke depan. Wajahnya kini hanya berjarak 5-sentimeter saja dari wajah Yuna. “Atau mau abang ajarkan dulu?” Jemari Ponco membelai dagu Yuna. Yuna menepis kasar, emosinya tersulut karena diperlakukan seperti itu. Sepertinya Ponco tidak menyukai penolakan.“Eh, ngga sopan Dek Yuna ini. Mau nolak saya, yah?” Ponco berubah beringas. Dia yang tadi duduk, kini berdiri, kemudian mencengkeram tubuh mungil Yuna. Gadis itu dibekap dari depan kemudian dibaringkan di meja. Ponco menindih Yuna seperti kesurupan serigala yang dikuasai nafsu, berperilaku liar dan lepas kendali. “Bang, lepaskan
Yuna berlari menuju ranjang. Mengangkat kasur pegas dan mengambil amplop cokelat yang tersimpan di bawahnya. Gadis itu membuka amplop. Dengan hati yang getir, dia mengecek jumlah uang yang ada di sana.“Ngga sampai setengah. Ponco pasti ngga mau terima. Aduh!” Gadis itu terhenyak di lantai. Pikirannya kalut, bingung bagaimana cara menutup kekurangan tagihan hutang itu. “Semoga dia mau ngasih keringanan dan terima sebanyak ini dulu.” Harapan Yuna sungguh-sungguh di dalam hati. Gadis itu mengemas amplop ke dalam tas sandang hitam. Dia berlari cepat keluar kamar, namun pantulan bayangan dirinya di cermin membuatnya berhenti melangkah. “Gila aja aku ke sana dengan pakaian seperti ini.” Yuna tersadar bahwa tubuh mungilnya hanya terbungkus jas milik si Pria misterius dan dress mini. Pakaian yang sama sekali tidak aman untuk dikenakan ke tempat Ponco yang merupakan tempat sarangnya penyamun. Gadis itu cepat-cepat mengganti pakaian. Mengenakan jeans panjang, sweater hoddy berwarna burgundy