Kebahagiaan dunia yang didapat dengan cara yang salah, suatu saat akan berbalik menjadi keburukan. Gunakanlah waktu mudamu sebaik mungkin. Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi di masa yang akan datang.
***
"Sarah," lirihku ketika mendapati luka lebam hampir di sekujur tubuhnya.
"Gayatri, gue—."
"Sudah, jangan bicara dulu. Ayo, masuk!" ajakku seraya memapahnya. Hatiku serasa ikut merasakan sakit yang tengah ia rasakan.
"Sarah, gue obatin dulu, ya, luka lo. Lo jangan ke mana-mana!" titahku kepada Sarah yang kini duduk di pinggir ranjangnya.
Aku melangkah menuju dapur. Merebus air dan mencampurnya dengan air dingin agar menjadi hangat untuk kugunakan mengompres lukanya. Apa yang sebenarnya terjadi pada Sarah? Siapa yang melakukannya? Apakah Ganis? Tapi mengapa ia melakukan itu pada Sarah?
Pelbagai pertanyaan berputar di kepala. Rasa takut mulai menggelayutiku. Bagaimana jika nanti aku akan mengalami hal yang sama seperti Sarah? Pasti aku tak akan kuat. Aku ingin pulang, tetapi bagaimana jika Ibu tak menerima?
Bulir bening menetes dari kedua pelupuk mata. Rasa sesak memenuhi rongga dada ketika mengingat Ibu. Aku adalah anak satu-satunya yang pastinya ia harapkan mampu membuatnya bahagia. Namun, kenyataannya tak seperti itu. Justru aku adalah pusat kesedihan untuk Ibu.
Segera kuseka air mata dan pergi menuju kamar Sarah. Ketika masuk, ia seperti tak tahu jika aku sedang menuju ke arahnya. Tatapannya kosong, hanya menatap satu arah sembari kepalanya teleng ke arah kiri.
"Sarah?" Kuusap lembut pundaknya, membuat pemiliknya terkejut.
"Ga—Gayatri?"
"Apa? Ngelamun, ya? Sini! Aku kompresin luka lo, biar nanti gak bengkak," ucapku sambil memeras kain yang kugunakan untuk mengompres.
Aku mengompres seluruh tubuh Sarah yang penuh luka mulai dari tangan, tubuh, dan kaki.. Kutahan tangis agar tak tumpah di hadapannya. Banyak sekali luka bekas hantaman benda tumpul dan selebihnya luka tersebut membentuk garis panjang seperti ikat pinggang. Aku kini, beralih mengompres luka di bagian kakinya, yang membuatku harus berjongkok.
"Gayatri, aku .... " Ucapan Sarah seolah-olah tersendat. Mungkin, ia ragu untuk berucap.
"Apa, Sar? Tumben gak pakek gue-guean." Aku bercanda agar Sarah bisa sedikit tersenyum.
"Aku minta maaf, Gayatri," paparnya. Disusul dengan bulir-bulir bening yang jatuh hingga mengenai tanganku.
"Aku gak maafin kamu, Sar. Orang kamunya gak punya salah sama aku," jawabku. Entah mengapa, ada rasa nyeri di dalam hati mendengar pernyataan maafnya. Seakan-akan aku mencium celah perpisahan di antara kami.
"Aku mau kamu tinggalin dunia prostitusi ini." Sarah berucap langsung ke permasalahan.
Aku mendongak, menatap wajahnya yang di banjiri air mata. Aku mengubah posisi, sehingga kini aku duduk di sampingnya. Kurengkuh tubuh Sarah yang betgetar. Tangisnya semakin kentara membuat tubuhnya bergerak naik turun.
"Sudah, kamu istirahatlah! Jangan terlalu banyak pikiran!" ucapku sambal mengusap-usap bahunya untuk menenangkan.
"Kamu harus janji sama aku, tinggalin pekerjaanmu ini dan pulanglah ke kampung. Minta maaflah sama ibumu, Tri!" tuturnya dengan melepaskan pelukanku, lantas ia menatapku dengan nanar.
"Aku gak mau kamu mengalami hal yang sama sepertiku. Akulah yang mengenalkanmu pada dunia yang kelam ini. Aku ingin kamu kembali pada jalan yang benar. Sekarang, aku mendukung keinginanmu kemarin jika kau ingin berhenti menjadi seorang pelacur."
Sarah. Wanita yang terlihat terluka bukan hanya raganya, tetapi batinnya pun juga terluka. Aku bisa merasakannya. Selama ini ia selalu terlihat ceria dan tegar. Namun, siapa sangka jika semua itu hanyalah tebeng.
"Sarah? Aku ingin kamu menceritakan semua yang terjadi semalam!" perintahku serius menatap tajam ke arah Sarah.
Sarah menunduk. Sesaat, aku mendengar helaan napas panjang dari mulutnya. Mungkin, ia sedang menetralkan rasa sakit di hatinya agar dapat mengatakan hal yang membuatnya takut.
"Sebenarnya, Om Ganis itu psikopat, Tri," ungkapnya hingga membuatku membelalakkan mata.
"Psikopat?!" teriakku, reflek menutup mulut dengan kedua tangan.
"Iya, Tri. Kau tahu? Aku disiksa, dibanting, dipukuli, dan dicambuki dengan ikat pinggang. Om Ganis begitu bernafsu setelah melihatku tak berdaya," ucapnya sendu. Matanya kembali menerawang kejadian memilukan semalam.
"Rintih kesakitan yang kurasakan tak membuatnya iba malah semakin membuat birahinya naik," imbuhnya.
"Sarah, sudah hentikan!" ucapku seraya memeluknya. Aku tak kuat mendengarnya. Rasa ngilu menggelayutiku, seakan-akan aku turut merasakan penderitaannya.
"Kamu harus mendengar semuanya, Tri." Sarah tetap ingin meneruskan ceritanya.
"Aku tidak kuat, Sar," lirihku.
"Om Ganis menginginkanmu."
"Apa!" teriakku.
Bagaikan tersambar petir di siang bolong. Aku begitu terkejut mendengar penuturan Sarah. Jika pria brengsek itu menginginkanku, pasti hal buruk juga akan menimpaku.
"Maka dari itu, Tri. Pulanglah ke rumahmu. Aku yakin, ibumu pasti akan menerimamu. Semarah apa pun seorang ibu, ia tak akan tega membiarkan hal buruk terjadi kepada anaknya. Apalagi, kau adalah anak semata wayang. Kasihan ibumu, dia pasti kesepian saat ini."
Aku termenung saat mendengar penjelasan Sarah. Sungguh, aku tak menyangka jika ia juga bisa menjadi orang bijak. Semua yang ia katakan memang benar. Ibu pasti kesepian saat ini.
Semenjak kejadian semalam, aku merasa Sarah lebih banyak berubah. Jika kemarin-kemarin ia ceplas-ceplos, sekarang, tutur katanya begitu lembut, membuat hati ini terenyuh. Namun, aku malah menjadi waswas jika ia melakukan hal yang nekat.
"Please ... pulanglah, Tri!" pinta Sarah dengan kedua mata yang berlinang.
"Kalau aku pergi, kamu di sini bagaimana, Sar?"
"Aku akan pindah dari sini." Sarah berucap seolah-olah ada tempat yang akan menaunginya.
"Bagaimana kalau kamu ikut aja sama aku, Sar. Ke kampung halamanku," tawarku.
"Aku gak bisa, kamu tahu gak, sih? Kamu dalam bahaya jika gak pergi. Jadi tolong, pergilah!" ucapnya dengan nada mulai meninggi. Setelahnya hanya isak tangis yang keluar dari bibir Sarah.
"Kamu harus istirahat, Sar. Aku pergi dulu," sahutku tak menghiraukan ucapannya.
Aku meninggalkan Sarah sendiri. Pikiranku bertanya-tanya, apa maksudnya aku dalam bahaya jika tak pergi? Memang, aku ingin pulang kampung dan berhenti menjadi pelacur. Namun, aku tak sampai hati jika meninggalkannya sendiri dengan kondisi seperti itu. Apa karena Om Ganis?
Kepalaku terasa berat memikirkan hal ini. Kuputuskan untuk membersihkan diri, kemudian beristirahat.
Dalam pembaringan, ingatanku kembali pada masa di mana aku dan ibu selalu bersama. Hidup berdua dengan sederhana hingga kejadian di mana aku di usir dan menjadi wanita penghibur.
"Ibu, aku merindukanmu. Apa Ibu di sana juga merasakan hal yang sama?"
Kupandangi foto Ibu satu-satunya yang kuambil diam-diam saat berkemas dulu. Walaupun aku tak bisa bersua dengannya, tapi setidaknya aku bisa memandang wajahnya lewat selembar foto.
"Galang, terima kasih atas semua yang telah kau berikan padaku.”
Dadaku kembali sesak saat mengingat pria itu. Pria itu ternyata hanya memberikan janji palsu untukku. Aku memang bodoh, karena percaya kepada dia.
***
Di ruang lain ...
"Gayatri, maafin aku. Om Ganis begitu menginginkanmu hingga ia rela melukaiku demi mendapatkanmu."
Tangis Sarah kembali pecah, ia tahu jika Gayatri hanyalah wanita biasa yang tak sengaja terjerumus dalam kemaksiatan. Bukannya membantu, ia malah mendukung Gayatri untuk jatuh lebih dalam lagi.
"Gayatri, maafin aku ...."
Sarah melangkah menuju balkon kamarnya. Ia mendongak menatap hamparan langit yang membentang indah. Ingin sekali ia terbang bersama burung. Namun, ia masih mempunyai akal sehat untuk tak terjun dan terbang dari atap.
Pagi hari, udara di desa Sumberejo begitu menusuk kulit hingga ke tulang. Dingin. Sumber air di seluruh desa terasa seperti air es. Bagaimana tidak?Letak desa Sumberejo berada diKakiPegununganSemeru.Itulah alasan yang mungkin, membuat Gayatri malas untuk bangun pagi. Keluar dari balik selimut bagai berada di kutub utara dan menyentuh air biasa bagaikan menyentuh salju yang sangat dingin."Gayatri, ayo, bangun! Pamali anak gadis bangun setelah matahari terbit!" teriak seorang wanita paruh baya yang sedang berkutat di dapur.Ibu Hartini atau biasa dipanggil Bu Tini,iaadalah Ibu kandung Gayatri. Ia membesarkan anaknya seorang diri. Semenjak suaminya pergi saat Gayatri masih kecil, ia tetap pada pendiriannya. Tak akan menikah lagi demi menghindari sesuatu yang tak ia inginkan."Gayatri ... anak
Menjelang malam hari, bada salat Magrib. Gayatri selalu berbaring di pangkuan ibunya. Bermanja dengan seorang ibu adalah hal paling menyenangkan untuk seorang anak. Ditemani oleh irama jangkrik yang saling bersahutan di samping rumah, membuat suasana semakin syahdu."Ibu?""Aku sayang Ibu," ucap Gayatri yang merasa nyaman saat Bu Tini mengusap-usap kepalanya."Oh, ya? Jika sekarang kamu bilang sayang sama ibu, apa nanti jika kenal sama cowok akan tetap sama?" ujar Bu Tini yang seketika membuat Gayatri mendongak menatap ibunya."Ibu, kok,ngomongnya gitu, sih?" ucap Gayatri yang merasa tak terima."Ibu, aku sayangnya sama Ibu. Nggak adalah cowok-cowokan," jawab Gayatri.Bu Tini tertawa. Guratan keriput di wajah Bu Tini tak menampik kecantikan ya
Gayatri berjalan menuju sawah seperti biasanya dengan menenteng rantang berisi nasi beserta sayur asem dan tempe goreng. Hari ini,Gayatri memasak sendiri. Hitung-hitung agar ia bisa luwes dalam urusan dapur.Di perempatan jalan, Gayatri diadang oleh empat pria. Mereka mengelilinginya sembari tertawa. "Minggir!" seru Gayatri sembari memeluk rantang dengan tubuh yang sedikit bergetar."Mauabang anter, Neng?" tawar seorang pria yang terlihat lebih tua dari yang lainnya."Aku bisa pergi sendiri, minggir!" teriak Gayatri."Cantik-cantik, kok, galak amat?" Seorang pemuda yang terlihat seusia Gayatri."Mbak Gayatri, pacaran sama aku, yuk?" Kini pria berpawakan tinggi tegap menimpali."Udah, jangan digodain terus. Kasih
Suasana berubah tegang. Cepat sekali Bu Tini bertindak. Padahal, Gayatri hanya beberapa kali bertemu dan berjalan bersama Galang. Namun, respon ibunya sangat tidak terduga.Gayatri berjalan sambil membawa teko berisi teh hangat dan tiga gelas yang tertata rapi di nampan. Ia melirik sekilas ke arah Galang yang terlihat terkejut dengan ucapan ibunya."Ibu, kenapa ibu mengatakan hal seperti itu? Gayatri dan Galang tidak ada hubungan apa pun." Gayatri menjelaskan kepada ibunya lantas mengambil posisi duduk di sebelah Bu Tini."Ibu hanya ingin menjaga dirimu dari fitnah, Nak. Lagi pula,tak pantas jika seorang wanita dan pria yang bukan mahram berjalan bersama. Ibu juga takut jika suatu saat kalian semakin dekat dan akhirnya terjerumus ke jurang zina," jelas Bu Tini.Gayatri mendesah kasar. Jika dipikir, memang benar perkataan yang dilontarkan ibunya. Namun, ia sama sekali tak berpi
"Gayatri, ayo, bangun! Gayatri merasa tubuhnya bergoyang. Sepeninggal Galang semalam, ia merasa sulit untuk bangun. Mungkin, karena Gayatri baru bisa tidur menjelang Subuh."Gayatri!" Suara Bu Tini kali ini terdengar lebih keras hingga mau tak mau Gayatri harus bangun."Gayatri, kok, kamu sekarang malah jadi males bangun pagi?" tanya Bu Tini. Gayatri yang masih belum sepenuhnya sadar hanya mendengarkan saja karena kepalanya terasa sangat berat."Cepetan pergi ke kamar mandi! Mandi, wudu terus salat. Sebelum waktunya habis," perintah Bu Tini."Iya, Bu." jawab Gayatri pasrah. Ia berjalan gontai ke kamar mandi dengan mata setengah terbuka.***Kepulan asap di dapur menyeruak memedihkan mata Gayatri yang tengah berjalan menuju dapur. Ternyata, kepulan asap tersebut berasal dari kayu bakar yang tengah di kipasi oleh Bu T
Langit begitu pekat. Cahaya rembulan pun tidak secerah kemarin. Gayatri yang tengah duduk di tepi jendela kamar tengah mengamati beberapa bintang di langit yang pekat. Seulas senyum tersungging kala Gayatri melihat ada dua bintang yang berjejer. Khayalannya mulai bereaksi, seakan-akan dua bintang itu adalah Galang dan dirinya."Galang, apa kau merindukanku?" Gayatri berbicara sendiri.Embusan angin menerpa wajah dan rambut Gayatri. Suara jangkrik dan katak pun turut bersenandung di gelapnya malam. Hawa dingin terasa semakin menusuk kulit, apalagi Gayatri tidak memakai jaket saat ini.Ia memutuskan menutup jendela. Namun, saat jendela akan tertutup, Gayatri mendengar suara langkah kaki menuju ke arahnya. Apakah itu Galang? pikir Gayatri."Hai?" sapa seorang pria dengan senyum merekah. Pria dengan wajah tampan di hadapannya mampu dengan mudah membiusnya."Galang?" Raut wajah Gayatri memancarkan kebahagian yang begitu kentara."Kenapa? Lagi nun
Suara azan berkumandang, membangunkan Gayatri dari mimpi indahnya. Ia mengerjap-kerjapkan mata untuk mengusir rasa kantuk yang masih terasa. Diliriknya ponsel yang berada di sebelah bantalnya, ada tiga pesan masuk dari Galang.Namun, Gayatri mengurungkan niat untuk membuka pesan tersebut karena ia tahu, ibunya pasti sedang menunggunya. Gayatri sudah tahu jika ibunya pasti sudah tahu tentang apa pun yang selama ini ia tutupi."Gayatri, kamu mau mandi air hangat?" tawar Bu Tini saat Gayatri melewati dapur.Gayatri menggeleng. "Gayatri mau mandi air dingin biar seger, Bu," sahut Gayatri.Selesai salat Subuh, Gayatri membantu ibunya yang tengah bergelut di dapur. Namun, tidak seperti biasanya. Ibu Tini lebih banyak diam kali ini, membuat Gayatri merasa tidak nyaman."Bu?""Iya!" sahut Bu Tini singkat tanpa menoleh."Ibu marah sama Gayatri?"Te
"I—ibu ...." Gayatri terkunci. Ia tidak dapat berkata apa pun. Hanya tangisan yang menjadi ungkapan hatinya saat ini."Pergi! Pergi kamu dari sini!" jerit Bu Tini sembari menunjuk-nunjuk tepat di wajah Galang. Kedua mata Bu Tini berkilat, menggambarkan bahwa ia benar-benar telah dikuasai amarah yang begitu besar."Bu, tolong dengarkan penjelasan saya," sela Galang.Bu Tini, yang telah dikuasai amarah tak memedulikan ucapan Galang. Ia sangat terkejut sekaligus kecewa dengan perbuatan memalukan yang dilakukan anak semata wayangnya. Sedangkan, Gayatri hanya menunduk tidak mampu menatap wajah sang ibu."Ibu tidak menyangka, jika kalian bisa bertindak sejauh ini," desis Bu Tini dengan tangan mengepal dan mata berkaca-kaca."Galang, aku sempat percaya padamu, tapi nyatanya kamu telah merobek kep