Kebahagiaan dunia yang didapat dengan cara yang salah, suatu saat akan berbalik menjadi keburukan. Gunakanlah waktu mudamu sebaik mungkin. Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi di masa yang akan datang.
***
"Sarah," lirihku ketika mendapati luka lebam hampir di sekujur tubuhnya.
"Gayatri, gue—."
"Sudah, jangan bicara dulu. Ayo, masuk!" ajakku seraya memapahnya. Hatiku serasa ikut merasakan sakit yang tengah ia rasakan.
"Sarah, gue obatin dulu, ya, luka lo. Lo jangan ke mana-mana!" titahku kepada Sarah yang kini duduk di pinggir ranjangnya.
Aku melangkah menuju dapur. Merebus air dan mencampurnya dengan air dingin agar menjadi hangat untuk kugunakan mengompres lukanya. Apa yang sebenarnya terjadi pada Sarah? Siapa yang melakukannya? Apakah Ganis? Tapi mengapa ia melakukan itu pada Sarah?
Pelbagai pertanyaan berputar di kepala. Rasa takut mulai menggelayutiku. Bagaimana jika nanti aku akan mengalami hal yang sama seperti Sarah? Pasti aku tak akan kuat. Aku ingin pulang, tetapi bagaimana jika Ibu tak menerima?
Bulir bening menetes dari kedua pelupuk mata. Rasa sesak memenuhi rongga dada ketika mengingat Ibu. Aku adalah anak satu-satunya yang pastinya ia harapkan mampu membuatnya bahagia. Namun, kenyataannya tak seperti itu. Justru aku adalah pusat kesedihan untuk Ibu.
Segera kuseka air mata dan pergi menuju kamar Sarah. Ketika masuk, ia seperti tak tahu jika aku sedang menuju ke arahnya. Tatapannya kosong, hanya menatap satu arah sembari kepalanya teleng ke arah kiri.
"Sarah?" Kuusap lembut pundaknya, membuat pemiliknya terkejut.
"Ga—Gayatri?"
"Apa? Ngelamun, ya? Sini! Aku kompresin luka lo, biar nanti gak bengkak," ucapku sambil memeras kain yang kugunakan untuk mengompres.
Aku mengompres seluruh tubuh Sarah yang penuh luka mulai dari tangan, tubuh, dan kaki.. Kutahan tangis agar tak tumpah di hadapannya. Banyak sekali luka bekas hantaman benda tumpul dan selebihnya luka tersebut membentuk garis panjang seperti ikat pinggang. Aku kini, beralih mengompres luka di bagian kakinya, yang membuatku harus berjongkok.
"Gayatri, aku .... " Ucapan Sarah seolah-olah tersendat. Mungkin, ia ragu untuk berucap.
"Apa, Sar? Tumben gak pakek gue-guean." Aku bercanda agar Sarah bisa sedikit tersenyum.
"Aku minta maaf, Gayatri," paparnya. Disusul dengan bulir-bulir bening yang jatuh hingga mengenai tanganku.
"Aku gak maafin kamu, Sar. Orang kamunya gak punya salah sama aku," jawabku. Entah mengapa, ada rasa nyeri di dalam hati mendengar pernyataan maafnya. Seakan-akan aku mencium celah perpisahan di antara kami.
"Aku mau kamu tinggalin dunia prostitusi ini." Sarah berucap langsung ke permasalahan.
Aku mendongak, menatap wajahnya yang di banjiri air mata. Aku mengubah posisi, sehingga kini aku duduk di sampingnya. Kurengkuh tubuh Sarah yang betgetar. Tangisnya semakin kentara membuat tubuhnya bergerak naik turun.
"Sudah, kamu istirahatlah! Jangan terlalu banyak pikiran!" ucapku sambal mengusap-usap bahunya untuk menenangkan.
"Kamu harus janji sama aku, tinggalin pekerjaanmu ini dan pulanglah ke kampung. Minta maaflah sama ibumu, Tri!" tuturnya dengan melepaskan pelukanku, lantas ia menatapku dengan nanar.
"Aku gak mau kamu mengalami hal yang sama sepertiku. Akulah yang mengenalkanmu pada dunia yang kelam ini. Aku ingin kamu kembali pada jalan yang benar. Sekarang, aku mendukung keinginanmu kemarin jika kau ingin berhenti menjadi seorang pelacur."
Sarah. Wanita yang terlihat terluka bukan hanya raganya, tetapi batinnya pun juga terluka. Aku bisa merasakannya. Selama ini ia selalu terlihat ceria dan tegar. Namun, siapa sangka jika semua itu hanyalah tebeng.
"Sarah? Aku ingin kamu menceritakan semua yang terjadi semalam!" perintahku serius menatap tajam ke arah Sarah.
Sarah menunduk. Sesaat, aku mendengar helaan napas panjang dari mulutnya. Mungkin, ia sedang menetralkan rasa sakit di hatinya agar dapat mengatakan hal yang membuatnya takut.
"Sebenarnya, Om Ganis itu psikopat, Tri," ungkapnya hingga membuatku membelalakkan mata.
"Psikopat?!" teriakku, reflek menutup mulut dengan kedua tangan.
"Iya, Tri. Kau tahu? Aku disiksa, dibanting, dipukuli, dan dicambuki dengan ikat pinggang. Om Ganis begitu bernafsu setelah melihatku tak berdaya," ucapnya sendu. Matanya kembali menerawang kejadian memilukan semalam.
"Rintih kesakitan yang kurasakan tak membuatnya iba malah semakin membuat birahinya naik," imbuhnya.
"Sarah, sudah hentikan!" ucapku seraya memeluknya. Aku tak kuat mendengarnya. Rasa ngilu menggelayutiku, seakan-akan aku turut merasakan penderitaannya.
"Kamu harus mendengar semuanya, Tri." Sarah tetap ingin meneruskan ceritanya.
"Aku tidak kuat, Sar," lirihku.
"Om Ganis menginginkanmu."
"Apa!" teriakku.
Bagaikan tersambar petir di siang bolong. Aku begitu terkejut mendengar penuturan Sarah. Jika pria brengsek itu menginginkanku, pasti hal buruk juga akan menimpaku.
"Maka dari itu, Tri. Pulanglah ke rumahmu. Aku yakin, ibumu pasti akan menerimamu. Semarah apa pun seorang ibu, ia tak akan tega membiarkan hal buruk terjadi kepada anaknya. Apalagi, kau adalah anak semata wayang. Kasihan ibumu, dia pasti kesepian saat ini."
Aku termenung saat mendengar penjelasan Sarah. Sungguh, aku tak menyangka jika ia juga bisa menjadi orang bijak. Semua yang ia katakan memang benar. Ibu pasti kesepian saat ini.
Semenjak kejadian semalam, aku merasa Sarah lebih banyak berubah. Jika kemarin-kemarin ia ceplas-ceplos, sekarang, tutur katanya begitu lembut, membuat hati ini terenyuh. Namun, aku malah menjadi waswas jika ia melakukan hal yang nekat.
"Please ... pulanglah, Tri!" pinta Sarah dengan kedua mata yang berlinang.
"Kalau aku pergi, kamu di sini bagaimana, Sar?"
"Aku akan pindah dari sini." Sarah berucap seolah-olah ada tempat yang akan menaunginya.
"Bagaimana kalau kamu ikut aja sama aku, Sar. Ke kampung halamanku," tawarku.
"Aku gak bisa, kamu tahu gak, sih? Kamu dalam bahaya jika gak pergi. Jadi tolong, pergilah!" ucapnya dengan nada mulai meninggi. Setelahnya hanya isak tangis yang keluar dari bibir Sarah.
"Kamu harus istirahat, Sar. Aku pergi dulu," sahutku tak menghiraukan ucapannya.
Aku meninggalkan Sarah sendiri. Pikiranku bertanya-tanya, apa maksudnya aku dalam bahaya jika tak pergi? Memang, aku ingin pulang kampung dan berhenti menjadi pelacur. Namun, aku tak sampai hati jika meninggalkannya sendiri dengan kondisi seperti itu. Apa karena Om Ganis?
Kepalaku terasa berat memikirkan hal ini. Kuputuskan untuk membersihkan diri, kemudian beristirahat.
Dalam pembaringan, ingatanku kembali pada masa di mana aku dan ibu selalu bersama. Hidup berdua dengan sederhana hingga kejadian di mana aku di usir dan menjadi wanita penghibur.
"Ibu, aku merindukanmu. Apa Ibu di sana juga merasakan hal yang sama?"
Kupandangi foto Ibu satu-satunya yang kuambil diam-diam saat berkemas dulu. Walaupun aku tak bisa bersua dengannya, tapi setidaknya aku bisa memandang wajahnya lewat selembar foto.
"Galang, terima kasih atas semua yang telah kau berikan padaku.”
Dadaku kembali sesak saat mengingat pria itu. Pria itu ternyata hanya memberikan janji palsu untukku. Aku memang bodoh, karena percaya kepada dia.
***
Di ruang lain ...
"Gayatri, maafin aku. Om Ganis begitu menginginkanmu hingga ia rela melukaiku demi mendapatkanmu."
Tangis Sarah kembali pecah, ia tahu jika Gayatri hanyalah wanita biasa yang tak sengaja terjerumus dalam kemaksiatan. Bukannya membantu, ia malah mendukung Gayatri untuk jatuh lebih dalam lagi.
"Gayatri, maafin aku ...."
Sarah melangkah menuju balkon kamarnya. Ia mendongak menatap hamparan langit yang membentang indah. Ingin sekali ia terbang bersama burung. Namun, ia masih mempunyai akal sehat untuk tak terjun dan terbang dari atap.
Pagi hari, udara di desa Sumberejo begitu menusuk kulit hingga ke tulang. Dingin. Sumber air di seluruh desa terasa seperti air es. Bagaimana tidak?Letak desa Sumberejo berada diKakiPegununganSemeru.Itulah alasan yang mungkin, membuat Gayatri malas untuk bangun pagi. Keluar dari balik selimut bagai berada di kutub utara dan menyentuh air biasa bagaikan menyentuh salju yang sangat dingin."Gayatri, ayo, bangun! Pamali anak gadis bangun setelah matahari terbit!" teriak seorang wanita paruh baya yang sedang berkutat di dapur.Ibu Hartini atau biasa dipanggil Bu Tini,iaadalah Ibu kandung Gayatri. Ia membesarkan anaknya seorang diri. Semenjak suaminya pergi saat Gayatri masih kecil, ia tetap pada pendiriannya. Tak akan menikah lagi demi menghindari sesuatu yang tak ia inginkan."Gayatri ... anak
Menjelang malam hari, bada salat Magrib. Gayatri selalu berbaring di pangkuan ibunya. Bermanja dengan seorang ibu adalah hal paling menyenangkan untuk seorang anak. Ditemani oleh irama jangkrik yang saling bersahutan di samping rumah, membuat suasana semakin syahdu."Ibu?""Aku sayang Ibu," ucap Gayatri yang merasa nyaman saat Bu Tini mengusap-usap kepalanya."Oh, ya? Jika sekarang kamu bilang sayang sama ibu, apa nanti jika kenal sama cowok akan tetap sama?" ujar Bu Tini yang seketika membuat Gayatri mendongak menatap ibunya."Ibu, kok,ngomongnya gitu, sih?" ucap Gayatri yang merasa tak terima."Ibu, aku sayangnya sama Ibu. Nggak adalah cowok-cowokan," jawab Gayatri.Bu Tini tertawa. Guratan keriput di wajah Bu Tini tak menampik kecantikan ya
Gayatri berjalan menuju sawah seperti biasanya dengan menenteng rantang berisi nasi beserta sayur asem dan tempe goreng. Hari ini,Gayatri memasak sendiri. Hitung-hitung agar ia bisa luwes dalam urusan dapur.Di perempatan jalan, Gayatri diadang oleh empat pria. Mereka mengelilinginya sembari tertawa. "Minggir!" seru Gayatri sembari memeluk rantang dengan tubuh yang sedikit bergetar."Mauabang anter, Neng?" tawar seorang pria yang terlihat lebih tua dari yang lainnya."Aku bisa pergi sendiri, minggir!" teriak Gayatri."Cantik-cantik, kok, galak amat?" Seorang pemuda yang terlihat seusia Gayatri."Mbak Gayatri, pacaran sama aku, yuk?" Kini pria berpawakan tinggi tegap menimpali."Udah, jangan digodain terus. Kasih
Suasana berubah tegang. Cepat sekali Bu Tini bertindak. Padahal, Gayatri hanya beberapa kali bertemu dan berjalan bersama Galang. Namun, respon ibunya sangat tidak terduga.Gayatri berjalan sambil membawa teko berisi teh hangat dan tiga gelas yang tertata rapi di nampan. Ia melirik sekilas ke arah Galang yang terlihat terkejut dengan ucapan ibunya."Ibu, kenapa ibu mengatakan hal seperti itu? Gayatri dan Galang tidak ada hubungan apa pun." Gayatri menjelaskan kepada ibunya lantas mengambil posisi duduk di sebelah Bu Tini."Ibu hanya ingin menjaga dirimu dari fitnah, Nak. Lagi pula,tak pantas jika seorang wanita dan pria yang bukan mahram berjalan bersama. Ibu juga takut jika suatu saat kalian semakin dekat dan akhirnya terjerumus ke jurang zina," jelas Bu Tini.Gayatri mendesah kasar. Jika dipikir, memang benar perkataan yang dilontarkan ibunya. Namun, ia sama sekali tak berpi
"Gayatri, ayo, bangun! Gayatri merasa tubuhnya bergoyang. Sepeninggal Galang semalam, ia merasa sulit untuk bangun. Mungkin, karena Gayatri baru bisa tidur menjelang Subuh."Gayatri!" Suara Bu Tini kali ini terdengar lebih keras hingga mau tak mau Gayatri harus bangun."Gayatri, kok, kamu sekarang malah jadi males bangun pagi?" tanya Bu Tini. Gayatri yang masih belum sepenuhnya sadar hanya mendengarkan saja karena kepalanya terasa sangat berat."Cepetan pergi ke kamar mandi! Mandi, wudu terus salat. Sebelum waktunya habis," perintah Bu Tini."Iya, Bu." jawab Gayatri pasrah. Ia berjalan gontai ke kamar mandi dengan mata setengah terbuka.***Kepulan asap di dapur menyeruak memedihkan mata Gayatri yang tengah berjalan menuju dapur. Ternyata, kepulan asap tersebut berasal dari kayu bakar yang tengah di kipasi oleh Bu T
Langit begitu pekat. Cahaya rembulan pun tidak secerah kemarin. Gayatri yang tengah duduk di tepi jendela kamar tengah mengamati beberapa bintang di langit yang pekat. Seulas senyum tersungging kala Gayatri melihat ada dua bintang yang berjejer. Khayalannya mulai bereaksi, seakan-akan dua bintang itu adalah Galang dan dirinya."Galang, apa kau merindukanku?" Gayatri berbicara sendiri.Embusan angin menerpa wajah dan rambut Gayatri. Suara jangkrik dan katak pun turut bersenandung di gelapnya malam. Hawa dingin terasa semakin menusuk kulit, apalagi Gayatri tidak memakai jaket saat ini.Ia memutuskan menutup jendela. Namun, saat jendela akan tertutup, Gayatri mendengar suara langkah kaki menuju ke arahnya. Apakah itu Galang? pikir Gayatri."Hai?" sapa seorang pria dengan senyum merekah. Pria dengan wajah tampan di hadapannya mampu dengan mudah membiusnya."Galang?" Raut wajah Gayatri memancarkan kebahagian yang begitu kentara."Kenapa? Lagi nun
Suara azan berkumandang, membangunkan Gayatri dari mimpi indahnya. Ia mengerjap-kerjapkan mata untuk mengusir rasa kantuk yang masih terasa. Diliriknya ponsel yang berada di sebelah bantalnya, ada tiga pesan masuk dari Galang.Namun, Gayatri mengurungkan niat untuk membuka pesan tersebut karena ia tahu, ibunya pasti sedang menunggunya. Gayatri sudah tahu jika ibunya pasti sudah tahu tentang apa pun yang selama ini ia tutupi."Gayatri, kamu mau mandi air hangat?" tawar Bu Tini saat Gayatri melewati dapur.Gayatri menggeleng. "Gayatri mau mandi air dingin biar seger, Bu," sahut Gayatri.Selesai salat Subuh, Gayatri membantu ibunya yang tengah bergelut di dapur. Namun, tidak seperti biasanya. Ibu Tini lebih banyak diam kali ini, membuat Gayatri merasa tidak nyaman."Bu?""Iya!" sahut Bu Tini singkat tanpa menoleh."Ibu marah sama Gayatri?"Te
"I—ibu ...." Gayatri terkunci. Ia tidak dapat berkata apa pun. Hanya tangisan yang menjadi ungkapan hatinya saat ini."Pergi! Pergi kamu dari sini!" jerit Bu Tini sembari menunjuk-nunjuk tepat di wajah Galang. Kedua mata Bu Tini berkilat, menggambarkan bahwa ia benar-benar telah dikuasai amarah yang begitu besar."Bu, tolong dengarkan penjelasan saya," sela Galang.Bu Tini, yang telah dikuasai amarah tak memedulikan ucapan Galang. Ia sangat terkejut sekaligus kecewa dengan perbuatan memalukan yang dilakukan anak semata wayangnya. Sedangkan, Gayatri hanya menunduk tidak mampu menatap wajah sang ibu."Ibu tidak menyangka, jika kalian bisa bertindak sejauh ini," desis Bu Tini dengan tangan mengepal dan mata berkaca-kaca."Galang, aku sempat percaya padamu, tapi nyatanya kamu telah merobek kep
Kicauan burung meriuhkan suasana halaman rumah Gayatri. Gayatri yang tengah menyapu halaman tiba-tiba dilempari batu oleh seseorang hingga mengenai kepalanya. Untungnya, batu tersebut ukurannya tidak terlalu besar."Ya Allah ... pagi-pagi udah adaorang iseng." Gayatri berucap sendiri seraya mengelus dadanya.Gayatri tahu, jika masih banyak orang yang tidak menyukainya di sini. Padahal, mereka tahu, jika Gayatri terlahir di desa ini. Namun, begitulah manusia. Sekali seseorang melakukan dosa, selamanya akan dianggap sebagai pendosa.Deru mobil terdengar memasuki halaman. Debu-debu saling beterbangan saat mobil itu melintas. Raut wajah Gayatri berubah ceria. Itu adalah mobil Bu Nurma. Wanita yang selalu dipikirkannya beberapa hari ini."Assalamualaikum, Nak,"salam Bu Nurma. Gayatri tercengang saat melihat Bu Nur
Bu Tini sempat tak percaya dengan penuturan Gayatri. Namun, ia tak serta merta menyalahkan Gayatri. Ia paham jika apa yang terjadi pada anaknya salah satunya karena ia salah mengambil keputusan. Ya ... keputusan yang Bu Tini ambil di kala emosi telah mengubah kehidupan Gayatri.Bu Tini masih ingat. Dulu Haji Yusuf pernah menasihati Bu Tini agar tidak mengambil keputusan di saat emosi sedang memuncak. Kini, ia merasakan apa akibatnya. Bu Tini tidak berpikir ke mana Gayatri akan bernaung dan tidak berpikir bagaimana Gayatri akan memenuhi kebutuhan hidupnya."Ibu yang salah, Nak," sesal Bu Tini dengan deraian air mata yang membanjiri pipinya."Bukan salah Ibu. Akulah yang salah. Aku bersyukur bisa diberi waktu untuk bertaubat. Alhamdulillah Allah mempertemukanku dengan Bu Nurma."Gayatri mengusap linangan air matasang ibu dengan ibu jarinya. Gurat-gurat keriput di wajah Bu Tini semakin tampak terlihat. Gayatri memeluk Bu Tini serta menghujani wajahnya dengan
Gayatri meraup udara sebanyak mungkin. Entah mengapa, selepas salat Subuh tadi, irama detak jantungnya serasatak normal. Rasa cemas menyelimuti, bagaikan ia akan menghadapi sebuah masalahbesar. Ya ... mungkin, karena sebentar lagi Gayatri akan bersua dengan sangIbu.Gayatri mematut dirinya di depancermin. Terpantul bayangan dirinya yang mengenakan gamis berwarna army danjilbab syari dengan warna senada. Dari dulu, Gayatri memang tak pernah memakaijilbab. Mungkin, karena itulah kotoran-kotoran sering menempel padanya yangselalu berpenampilan terbuka.Bu Nurma pernah berkata,"Wanita itu adalah aurat, dan sebaik-baiknya aurat adalah yang tertutup. Sebagaiseorang wanita, sebaiknya selalu ada di rumah. Sekali pun seorang wanitakeluar, haruslah dengan izin orang tuanya. Dan jika sudah menikah, harus dengansuaminya atau dengan izinnya.""N
Azan Zuhur berkumandang menggema dimasjid-masjid yang mereka lewati. Haikal memutuskan untuk berhenti dan mengajakGayatri dan ibunya melaksanakan salat di masjid dan beristirahat sejenak. Gayatridan Bu Nurma pun telah terjaga saat mendengar azan yang berkumandang."Indah sekali." Gayatrimemuji bangunan masjid yang ia singgahi. Masjid yang hampir semua berwarna emasini sangat terlihat mewah. Ditambah dengan dua menara yang menjulang tinggi di sisi kanan dan kiri."Ayo, Nak!Kita masuk, salat dulu.Perjalanannya masih sangat panjang," ujar Bu Nurma. Gayatri mengangguk,lantas mengekori Bu Nurma yang lebih dulu masuk ke masjid."Ya Allah, ampunilah segaladosaku dan jagalahibu.Sehatkanlah dia selalu." Gayatri berdoa seusai salatnya.Rintihan tangisnya terdengar oleh BuNurma yang berada di dep
Azan Subuh berkumandang melalui benda pipih yang tergeletak di atas nakas. Segera Gayatri turun dari ranjang menuju kamar mandi. Sayup-sayup ia mendengar rintihan wanita yang menyayat hati.Gayatri menajamkan telinga dan ternyata suara itu berasal dari kamar Sarah. Pikiran buruk terlintas dalam benaknya, tetapi segera ia menepisnya. Gayatri memutar handel pintu dengan pelan, agar tak menimbulkan suara. Seketika mata Gayatri membola saat melihat Sarah tergeletak dengan tubuh bersimbah darah."Astagfirullah ... Sarah?" Gayatri segera berlari ke arah sahabatnya."Ya Allah, kamu kenapa jadi begini, Sar?" Air mata Gayatri luruh tak terbendung kala melihat kondisi Sarah yang mengerikan. "Apa yang terjadi?""Maafkan aku ...."Hanya kata maaf yang Sarah suguhkan. Tetes air mata keluar dari sudut m
Jarum jam menunjukkan pukul dua dini hari. Gayatri beranjak dari ranjang menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan berwudu. Ia sempat lupa tata cara bersuci karena sekian lama tidak melakukannya.Berbekal buku tuntunan salat yang ia beli di toko buku sepulang dari pengajian di masjid, Gayatri belajar kembali mulai awal. Ia niatkan semua hanya kepada Allah. Gayatri benar-benar sudah lelah menjalani kehidupan sekelam itu.Dalam salat, tak terasa air mata ikut luruh saat ia melafalkan ayat-ayat suci Al-Quran. Semua dosa dan kesalahan terputar kembali dalam benaknya. Bayang-bayang ibunya selalu melintas. Pasti, Bu Tini tak pernah berhenti mendoakannya."Ya Allah, di sinilah aku. Wanita kotor yang tidak tahu malu tengah memohon ampunan-Mu.""Aku telah lama melupakan-Mu. Bagai tidak tahu diri, aku datang dan menemui-Mu di sunyi
"Ya Allah, mohon sayangilah hamba-Mu ini agar dapat meninggalkan maksiat selamanya. Sayangilah hamba-Mu ini agar tidak mengerjakan yang tidak berguna. Arahkanlah mataku ini agar selalu memandang yang Engkau ridhoi. Ikatkanlah hatiku pada ayat-ayat suci Al-Quran sesuai dengan yang Engkau inginkan, agar selalu berkeinginan membacanya sesuai ridho-Mu.""Mohon sinarilah pikiran dan perasaanku ini dengan cahaya Al-Quran, agar lapang dadaku, lancar lidahku, dan berkah dariAl-Quran suci mengalir dalam darahku sehingga membina kekuatanku. Ya Allah, kumohon dengan sangat, tolonglah hamba-Mu ini, karena tiada penolong selain Engkau.""Aamiin," lirih Gayatri sembari menyeka air mata yang menetes membasahi pipinya kala mendengar lantunan doa dari ustaz di dalam masjid."Allah p
Tak terasa, air mata Gayatri kembali luruh saat pikirannya kembali bernostalgia ke masa lalu. Tentang ibunya, Galang, dan dirinya. Seandainya, dulu Gayatri memilih mendengarkan nasihat ibunya, mungkin semua tidak akan seperti ini. Namun, sebuah penyesalan tak dapat mengembalikan semuanya. Nasi telah menjadi bubur. Itulah peribahasa yang tepat disematkan untuk dirinya.Menyebut tentangibu, Gayatri sungguh merindukannya. Mungkin, setiap hari Bu Tini tak pernah berhenti mendoakan Gayatri. Terbukti karena Gayatri selalu dalam keadaan baik-baik saja selama di kota. Ia tak pernah merasa kekurangan. Hanya satu, yaitu tidak pernah merasakan kebahagiaan.Dulu, Gayatri lega karena ternyata ia tidak mengandung benih Galang. Lalu, semenjak Sarah tahu, bahwa Gayatri telah menjadi pemuas nafsu Om Revan waktu itu, ia sama sekali tidak marah. Justru, Sarah memberi saran kepada Gayatri, bagaimana cara m
Semburat jingga menyapa dari arah barat. Semilir angin menerpa dedaunan pohon, hingga mengakibatkannya berjatuhan. Air mata yang telah berhenti, kini mulai berderai lagi. Gayatri merasa bagaikan dedaunan itu, yang terhempas terkena angin. Terbuang dari tempatnya dan terinjak-injak.Gayatri berjalan tanpa arah menuruti kemana pun kakinya melangkah. Siapa pun yang melihat, pasti mengira bahwa ia adalah orang depresi. Terlihat dari penampilan yang kacau dan tas lusuh yang ia bawa.Gayatri menaiki bus yang menuju ke kota dengan niat meninggalkan kehidupan dan semua kenangan masa kecilnya di desa. Dengan uang yang tidak seberapa, Gayatri berharap di kota nanti akan mendapat pekerjaan yang bagus.***Hari telah berganti. Gayatri merasa takjub dengan gedung-gedung yang menjulang tinggi saling berjejer. Kendaraan berupa mobil dan