Pagi hari, udara di desa Sumberejo begitu menusuk kulit hingga ke tulang. Dingin. Sumber air di seluruh desa terasa seperti air es. Bagaimana tidak? Letak desa Sumberejo berada di Kaki Pegunungan Semeru.
Itulah alasan yang mungkin, membuat Gayatri malas untuk bangun pagi. Keluar dari balik selimut bagai berada di kutub utara dan menyentuh air biasa bagaikan menyentuh salju yang sangat dingin.
"Gayatri, ayo, bangun! Pamali anak gadis bangun setelah matahari terbit!" teriak seorang wanita paruh baya yang sedang berkutat di dapur.
Ibu Hartini atau biasa dipanggil Bu Tini, ia adalah Ibu kandung Gayatri. Ia membesarkan anaknya seorang diri. Semenjak suaminya pergi saat Gayatri masih kecil, ia tetap pada pendiriannya. Tak akan menikah lagi demi menghindari sesuatu yang tak ia inginkan.
"Gayatri ... anak itu memang pemalas. Matahari sudah mulai terbit tapi masih betah di dalam kamar," ucap Bu Tini sembari menyalakan kayu bakar untuk digunakan memasak di kompor tungku. Lantas, Bu Tini merebus air untuk dipergunakan memasak dan mandi Gayatri.
Setelah semua dipastikan beres, Bu Tini menuju ke kamar Gayatri. "Gayatri, ayo, bangun! Waktu salat Subuh keburu habis," ujar Bu Tini sembari menyibak selimut yang menutupi tubuh putrinya.
"Dingin, Bu. Gayatri males," rengek Gayatri sambil menarik kembali sellimutnya.
"Gayatri! Bangun, mandi, salat!" tegas Bu Tini membuat Gayatri mau tak mau bangun dengan perasaan malas.
"Air panas ada di panci. Gunakan secukupnya untuk mandi," tutur Bu Tini mengekori langkah gontai Gayatri.
"Iya." Gayatri mengambil ember dan mengisinya dengan air mendidih yang ada di panci di atas tungku. Ia melangkah menuju kamar mandi yang berada di belakang rumah. Ya ... letak kamar mandinya berada di luar rumah dan hanya tertutup oleh pepohonan.
"Salat dulu, Tri," perintah Bu Tini kepada Gayatri yang sudah terlihat segar.
"Iya, Bu."
***
"Hmm ... aromanya wangi sekali," ujar Gayatri seraya masuk ke dapur.
Aroma wangi yang dimaksud ialah sambal terasi buatan ibunya. Aroma yang dihasilkan memanjakan hidung siapa saja yang mencium. Bu Tini selalu mencampur sambalnya dengan ikan asin, sehingga kucing pun seakan-akan menunggu bagiannya.
"Bu, aku bantuin apa?" tanya Gayatri yang sudah selesai dengan aktivitasnya.
"Angkat sayuran itu. Sepertinya sudah matang," balas Ibu Gayatri seraya menunjuk panci berisi sayuran dengan dagunya.
Gayatri mengangguk. Ia mengambil serok ukuran besar dan mengangkat sayuran yang kini sudah menjadi kulupan.
"Bu, nanti Gayatri ikut ke sawah, ya." Gayatri berucap sambil meletakkan kulupan tersebut di sebelah sambal. Menu paling istimewa menurut Gayatri.
"Mau ngapain, Tri?"
"Bantuin Ibu," sahut Gayatri dengan seulas senyum yang menunjukkan gigi gingsulnya.
"Anterin makanan saja nanti siang ke sawah. Gak perlu barengin Ibu. Di sawah itu panas, nanti kamu jadi kucel," sahut Bu Tini.
Ibu Gayatri berganti pakaian khusus untuk ke sawah. Pakaian lusuh yang sudah pudar warnanya. Tak lupa juga Bu Tini menggunakan caping agar kepalanya tidak pusing karena terik matahari.
"Ya udah kalau gitu. Hati-hati, Bu."
Gayatri, kembang desa yang baru mekar. Mulai menunjukkan pesonanya. Usianya kini sudah delapan belas tahun. Kecantikan yang dimilikinya membuat kumbang-kumbang ingin menghinggapinya.
Terik matahari terasa membakar kulit. Gayatri melangkah menuju sawah dengan membawa rantang berisi nasi dan sambal ikan asin. Banyak pemuda maupun orang tua yang memandanginya.
"Eh, Gayatri, mau ke mana?" tanya seorang pemuda yang berpapasan dengan Gayatri.
"Mau ke sawah, Mas. Nganterin bekal buat ibu," jawab Gayatri dengan tersenyum ramah.
"Hati-hati, Mbak Tri," timpal pemuda itu.
Gayatri mengangguk. Ia merasa jengah karena banyak pria menatap dirinya. Bahkan ada juga pria beristri yang menatapnya tanpa sungkan. Apalagi, tatapan mereka seakan-akan ingin menerkam.
Gayatri berjalan lebih cepat ke sawah, menghindari tatapan-tatapan para pria kepada dirinya. Sesampainya di sawah, Gayatri menyisir pandangan mencari ibunya.
"Ibu!" teriak Gayatri, yang di panggil pun menghentikan kegiatannya.
Gayatri melangkah ke arah ibunya. Meletakkan bekal di tempat istirahat dan menyalami ibunya.
"Wah, Gayatri wis perawan(sudah dewasa). Tambah ketok ayune(kelihatan cantinya)," celetuk Bu Ningsih, teman kerja Ibu.
"Iya, wis perawan, tapi isih akeh malese(masih banyak malasnya)," timpal ibu. Gayatri hanya cemberut mendengar penuturan ibunya.
"Tak
pek mantu, gelem opo ora, Nduk(Aku jadikan menantu, mau apa tidak, Nak)?" timpal ibu yang satunya, Bu Tatik."Ojo, ngepek mantu arek iki, Bu. Mengko sampean susah dewe(Jangan ngambil mantu anak ini. Nanti anda susah sendiri)," canda Ibu Gayatri.
"Sudah, Bu. Kasihan, Gayatri. Mukanya sampai ditekuk gitu," timpal Bu Denok—mandor pekerja di sawah.
"Sudah waktunya istirahat. Ayo, semuanya kita makan bersama!" imbuh Bu Denok.
Makan bersama di pinggir sawah di bawah atap terpal ditambah semilir angin berembus sejuk membuat hati Gayatri nyaman. Biasanya, di rumah ia hanya makan sendirian. Kini, ia merasakan indahnya kebersamaan.
"Gayatri, kamu makanlah juga," titah Bu Tini sembari mengambilkan nasi dan lauknya.
"Iya, Bu. Bu, aku ke sini tiap hari, ya? Nganterin bekal buat Ibu," tawar Gayatri.
"Anak Bu Tini, mungkin nyaman di sini. Makanya pengen ke sini tiap hari," celetuk Bu Tatik.
"Iya, Bu. Saya merasa nyaman di sini. Pemandangannya bagus," sahut Gayatri sambi tertawa kecil.
"Iya, terserah kamu saja, Tri," ucap ibu.
Gayatri tersenyum senang. Ia bisa melihat pemandangan di luar rumah setiap hari. Selama ini, ia jarang pergi ke luar rumah karena ibunya tak mengizinkan.
***
Matahari mulai berjalan ke arah barat. Jarum jam yang bertengger di pergelangan tangan Bu Denok menunjukkan pukul empat. Para pekerja di sawah bersiap untuk pulang ke rumah masing-masing.
"Gayatri, ayo, pulang, Nak!" ajak Bu Tini.
"Pamitan dulu sama ibu-ibu yang lain," imbuhnya.
"Iya, Bu," jawab Gayatri, kemudian berpamitan ke semua teman ibunya.
"Ibu-ibu, saya pulang duluan," pamit Bu Tini dan diiringi Gayatri
Gayatri dan ibunya berjalan beriringan pulang ke rumah. Perjalanan dari sawah ke rumah memakan waktu sekitar lima belas menitan. Jadi, mereka mengisinya dengan saling bercanda.
"Gayatri?" sapa seorang pria tampan yang kini berada di hadapan Gayatri.
"Iya, siapa, ya?" tanya Gayatri yang tak pernah melihat pria yang baru saja menyapanya.
"Aku Galang," jawan pria itu sembari mengulurkan tangannya.
"Oh, iya," balas Gayatri sembari menangkup kedua tangannya di depan dada. Pria itu tampak canggung.
"Maaf, Mas. Saya sama ibu mau pulang," ucap Gayatri.
"Oh, iya, silakan! Maaf mengganggu."
"Permisi, Nak," ucap Bu Tini.
Pria bernama Galang itu menatap Gayatri dengan tatapan sinis. Selama ini, tak ada yang menolak untuk bersalaman dengannya. Siapa Gayatri yang berani menolak pesonanya?
"Lihat saja! Kau akan mengemis cinta padaku," ucap Galang seraya melangkah pergi.
Menjelang malam hari, bada salat Magrib. Gayatri selalu berbaring di pangkuan ibunya. Bermanja dengan seorang ibu adalah hal paling menyenangkan untuk seorang anak. Ditemani oleh irama jangkrik yang saling bersahutan di samping rumah, membuat suasana semakin syahdu."Ibu?""Aku sayang Ibu," ucap Gayatri yang merasa nyaman saat Bu Tini mengusap-usap kepalanya."Oh, ya? Jika sekarang kamu bilang sayang sama ibu, apa nanti jika kenal sama cowok akan tetap sama?" ujar Bu Tini yang seketika membuat Gayatri mendongak menatap ibunya."Ibu, kok,ngomongnya gitu, sih?" ucap Gayatri yang merasa tak terima."Ibu, aku sayangnya sama Ibu. Nggak adalah cowok-cowokan," jawab Gayatri.Bu Tini tertawa. Guratan keriput di wajah Bu Tini tak menampik kecantikan ya
Gayatri berjalan menuju sawah seperti biasanya dengan menenteng rantang berisi nasi beserta sayur asem dan tempe goreng. Hari ini,Gayatri memasak sendiri. Hitung-hitung agar ia bisa luwes dalam urusan dapur.Di perempatan jalan, Gayatri diadang oleh empat pria. Mereka mengelilinginya sembari tertawa. "Minggir!" seru Gayatri sembari memeluk rantang dengan tubuh yang sedikit bergetar."Mauabang anter, Neng?" tawar seorang pria yang terlihat lebih tua dari yang lainnya."Aku bisa pergi sendiri, minggir!" teriak Gayatri."Cantik-cantik, kok, galak amat?" Seorang pemuda yang terlihat seusia Gayatri."Mbak Gayatri, pacaran sama aku, yuk?" Kini pria berpawakan tinggi tegap menimpali."Udah, jangan digodain terus. Kasih
Suasana berubah tegang. Cepat sekali Bu Tini bertindak. Padahal, Gayatri hanya beberapa kali bertemu dan berjalan bersama Galang. Namun, respon ibunya sangat tidak terduga.Gayatri berjalan sambil membawa teko berisi teh hangat dan tiga gelas yang tertata rapi di nampan. Ia melirik sekilas ke arah Galang yang terlihat terkejut dengan ucapan ibunya."Ibu, kenapa ibu mengatakan hal seperti itu? Gayatri dan Galang tidak ada hubungan apa pun." Gayatri menjelaskan kepada ibunya lantas mengambil posisi duduk di sebelah Bu Tini."Ibu hanya ingin menjaga dirimu dari fitnah, Nak. Lagi pula,tak pantas jika seorang wanita dan pria yang bukan mahram berjalan bersama. Ibu juga takut jika suatu saat kalian semakin dekat dan akhirnya terjerumus ke jurang zina," jelas Bu Tini.Gayatri mendesah kasar. Jika dipikir, memang benar perkataan yang dilontarkan ibunya. Namun, ia sama sekali tak berpi
"Gayatri, ayo, bangun! Gayatri merasa tubuhnya bergoyang. Sepeninggal Galang semalam, ia merasa sulit untuk bangun. Mungkin, karena Gayatri baru bisa tidur menjelang Subuh."Gayatri!" Suara Bu Tini kali ini terdengar lebih keras hingga mau tak mau Gayatri harus bangun."Gayatri, kok, kamu sekarang malah jadi males bangun pagi?" tanya Bu Tini. Gayatri yang masih belum sepenuhnya sadar hanya mendengarkan saja karena kepalanya terasa sangat berat."Cepetan pergi ke kamar mandi! Mandi, wudu terus salat. Sebelum waktunya habis," perintah Bu Tini."Iya, Bu." jawab Gayatri pasrah. Ia berjalan gontai ke kamar mandi dengan mata setengah terbuka.***Kepulan asap di dapur menyeruak memedihkan mata Gayatri yang tengah berjalan menuju dapur. Ternyata, kepulan asap tersebut berasal dari kayu bakar yang tengah di kipasi oleh Bu T
Langit begitu pekat. Cahaya rembulan pun tidak secerah kemarin. Gayatri yang tengah duduk di tepi jendela kamar tengah mengamati beberapa bintang di langit yang pekat. Seulas senyum tersungging kala Gayatri melihat ada dua bintang yang berjejer. Khayalannya mulai bereaksi, seakan-akan dua bintang itu adalah Galang dan dirinya."Galang, apa kau merindukanku?" Gayatri berbicara sendiri.Embusan angin menerpa wajah dan rambut Gayatri. Suara jangkrik dan katak pun turut bersenandung di gelapnya malam. Hawa dingin terasa semakin menusuk kulit, apalagi Gayatri tidak memakai jaket saat ini.Ia memutuskan menutup jendela. Namun, saat jendela akan tertutup, Gayatri mendengar suara langkah kaki menuju ke arahnya. Apakah itu Galang? pikir Gayatri."Hai?" sapa seorang pria dengan senyum merekah. Pria dengan wajah tampan di hadapannya mampu dengan mudah membiusnya."Galang?" Raut wajah Gayatri memancarkan kebahagian yang begitu kentara."Kenapa? Lagi nun
Suara azan berkumandang, membangunkan Gayatri dari mimpi indahnya. Ia mengerjap-kerjapkan mata untuk mengusir rasa kantuk yang masih terasa. Diliriknya ponsel yang berada di sebelah bantalnya, ada tiga pesan masuk dari Galang.Namun, Gayatri mengurungkan niat untuk membuka pesan tersebut karena ia tahu, ibunya pasti sedang menunggunya. Gayatri sudah tahu jika ibunya pasti sudah tahu tentang apa pun yang selama ini ia tutupi."Gayatri, kamu mau mandi air hangat?" tawar Bu Tini saat Gayatri melewati dapur.Gayatri menggeleng. "Gayatri mau mandi air dingin biar seger, Bu," sahut Gayatri.Selesai salat Subuh, Gayatri membantu ibunya yang tengah bergelut di dapur. Namun, tidak seperti biasanya. Ibu Tini lebih banyak diam kali ini, membuat Gayatri merasa tidak nyaman."Bu?""Iya!" sahut Bu Tini singkat tanpa menoleh."Ibu marah sama Gayatri?"Te
"I—ibu ...." Gayatri terkunci. Ia tidak dapat berkata apa pun. Hanya tangisan yang menjadi ungkapan hatinya saat ini."Pergi! Pergi kamu dari sini!" jerit Bu Tini sembari menunjuk-nunjuk tepat di wajah Galang. Kedua mata Bu Tini berkilat, menggambarkan bahwa ia benar-benar telah dikuasai amarah yang begitu besar."Bu, tolong dengarkan penjelasan saya," sela Galang.Bu Tini, yang telah dikuasai amarah tak memedulikan ucapan Galang. Ia sangat terkejut sekaligus kecewa dengan perbuatan memalukan yang dilakukan anak semata wayangnya. Sedangkan, Gayatri hanya menunduk tidak mampu menatap wajah sang ibu."Ibu tidak menyangka, jika kalian bisa bertindak sejauh ini," desis Bu Tini dengan tangan mengepal dan mata berkaca-kaca."Galang, aku sempat percaya padamu, tapi nyatanya kamu telah merobek kep
Semua orang yang berada di ruangan sontak terkejut mendengar ucapan Bu Tini. Pasalnya, Bu Tini terkenal sebagaiibu yang sangat menyayangi anaknya dan tidak bisa jauh dari putri semata wayangnya—Gayatri. Namun, kini ucapan Bu Tini, cukup melukiskan betapa kecewa hatinya."Sabar, Bu. Semua bisa dibicarakan baik-baik. Jangan terlalu cepat mengambil keputusan untuk emosi sesaat," sela Haji Yusuf.Gayatri yang mendengar ucapan sangibu, kini tidak lagi bersimpuh, melainkan bersujud di kaki ibunya. Gayatri meraung-raung mengucapkan maaf berkali-kali, tetapi ibunya hanya bergeming. Bu Tini tidak berniat sekali pun menoleh ke arah Gayatri."Nak, sudah jangan begitu. Bangunlah!" Haji Yusuf mencoba membantu Gayatri bangun."Bu Tini, tolong maafkanlah dia. Kita akan membantu menemui keluarga Galang," timpal Pak Budi yang
Kicauan burung meriuhkan suasana halaman rumah Gayatri. Gayatri yang tengah menyapu halaman tiba-tiba dilempari batu oleh seseorang hingga mengenai kepalanya. Untungnya, batu tersebut ukurannya tidak terlalu besar."Ya Allah ... pagi-pagi udah adaorang iseng." Gayatri berucap sendiri seraya mengelus dadanya.Gayatri tahu, jika masih banyak orang yang tidak menyukainya di sini. Padahal, mereka tahu, jika Gayatri terlahir di desa ini. Namun, begitulah manusia. Sekali seseorang melakukan dosa, selamanya akan dianggap sebagai pendosa.Deru mobil terdengar memasuki halaman. Debu-debu saling beterbangan saat mobil itu melintas. Raut wajah Gayatri berubah ceria. Itu adalah mobil Bu Nurma. Wanita yang selalu dipikirkannya beberapa hari ini."Assalamualaikum, Nak,"salam Bu Nurma. Gayatri tercengang saat melihat Bu Nur
Bu Tini sempat tak percaya dengan penuturan Gayatri. Namun, ia tak serta merta menyalahkan Gayatri. Ia paham jika apa yang terjadi pada anaknya salah satunya karena ia salah mengambil keputusan. Ya ... keputusan yang Bu Tini ambil di kala emosi telah mengubah kehidupan Gayatri.Bu Tini masih ingat. Dulu Haji Yusuf pernah menasihati Bu Tini agar tidak mengambil keputusan di saat emosi sedang memuncak. Kini, ia merasakan apa akibatnya. Bu Tini tidak berpikir ke mana Gayatri akan bernaung dan tidak berpikir bagaimana Gayatri akan memenuhi kebutuhan hidupnya."Ibu yang salah, Nak," sesal Bu Tini dengan deraian air mata yang membanjiri pipinya."Bukan salah Ibu. Akulah yang salah. Aku bersyukur bisa diberi waktu untuk bertaubat. Alhamdulillah Allah mempertemukanku dengan Bu Nurma."Gayatri mengusap linangan air matasang ibu dengan ibu jarinya. Gurat-gurat keriput di wajah Bu Tini semakin tampak terlihat. Gayatri memeluk Bu Tini serta menghujani wajahnya dengan
Gayatri meraup udara sebanyak mungkin. Entah mengapa, selepas salat Subuh tadi, irama detak jantungnya serasatak normal. Rasa cemas menyelimuti, bagaikan ia akan menghadapi sebuah masalahbesar. Ya ... mungkin, karena sebentar lagi Gayatri akan bersua dengan sangIbu.Gayatri mematut dirinya di depancermin. Terpantul bayangan dirinya yang mengenakan gamis berwarna army danjilbab syari dengan warna senada. Dari dulu, Gayatri memang tak pernah memakaijilbab. Mungkin, karena itulah kotoran-kotoran sering menempel padanya yangselalu berpenampilan terbuka.Bu Nurma pernah berkata,"Wanita itu adalah aurat, dan sebaik-baiknya aurat adalah yang tertutup. Sebagaiseorang wanita, sebaiknya selalu ada di rumah. Sekali pun seorang wanitakeluar, haruslah dengan izin orang tuanya. Dan jika sudah menikah, harus dengansuaminya atau dengan izinnya.""N
Azan Zuhur berkumandang menggema dimasjid-masjid yang mereka lewati. Haikal memutuskan untuk berhenti dan mengajakGayatri dan ibunya melaksanakan salat di masjid dan beristirahat sejenak. Gayatridan Bu Nurma pun telah terjaga saat mendengar azan yang berkumandang."Indah sekali." Gayatrimemuji bangunan masjid yang ia singgahi. Masjid yang hampir semua berwarna emasini sangat terlihat mewah. Ditambah dengan dua menara yang menjulang tinggi di sisi kanan dan kiri."Ayo, Nak!Kita masuk, salat dulu.Perjalanannya masih sangat panjang," ujar Bu Nurma. Gayatri mengangguk,lantas mengekori Bu Nurma yang lebih dulu masuk ke masjid."Ya Allah, ampunilah segaladosaku dan jagalahibu.Sehatkanlah dia selalu." Gayatri berdoa seusai salatnya.Rintihan tangisnya terdengar oleh BuNurma yang berada di dep
Azan Subuh berkumandang melalui benda pipih yang tergeletak di atas nakas. Segera Gayatri turun dari ranjang menuju kamar mandi. Sayup-sayup ia mendengar rintihan wanita yang menyayat hati.Gayatri menajamkan telinga dan ternyata suara itu berasal dari kamar Sarah. Pikiran buruk terlintas dalam benaknya, tetapi segera ia menepisnya. Gayatri memutar handel pintu dengan pelan, agar tak menimbulkan suara. Seketika mata Gayatri membola saat melihat Sarah tergeletak dengan tubuh bersimbah darah."Astagfirullah ... Sarah?" Gayatri segera berlari ke arah sahabatnya."Ya Allah, kamu kenapa jadi begini, Sar?" Air mata Gayatri luruh tak terbendung kala melihat kondisi Sarah yang mengerikan. "Apa yang terjadi?""Maafkan aku ...."Hanya kata maaf yang Sarah suguhkan. Tetes air mata keluar dari sudut m
Jarum jam menunjukkan pukul dua dini hari. Gayatri beranjak dari ranjang menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan berwudu. Ia sempat lupa tata cara bersuci karena sekian lama tidak melakukannya.Berbekal buku tuntunan salat yang ia beli di toko buku sepulang dari pengajian di masjid, Gayatri belajar kembali mulai awal. Ia niatkan semua hanya kepada Allah. Gayatri benar-benar sudah lelah menjalani kehidupan sekelam itu.Dalam salat, tak terasa air mata ikut luruh saat ia melafalkan ayat-ayat suci Al-Quran. Semua dosa dan kesalahan terputar kembali dalam benaknya. Bayang-bayang ibunya selalu melintas. Pasti, Bu Tini tak pernah berhenti mendoakannya."Ya Allah, di sinilah aku. Wanita kotor yang tidak tahu malu tengah memohon ampunan-Mu.""Aku telah lama melupakan-Mu. Bagai tidak tahu diri, aku datang dan menemui-Mu di sunyi
"Ya Allah, mohon sayangilah hamba-Mu ini agar dapat meninggalkan maksiat selamanya. Sayangilah hamba-Mu ini agar tidak mengerjakan yang tidak berguna. Arahkanlah mataku ini agar selalu memandang yang Engkau ridhoi. Ikatkanlah hatiku pada ayat-ayat suci Al-Quran sesuai dengan yang Engkau inginkan, agar selalu berkeinginan membacanya sesuai ridho-Mu.""Mohon sinarilah pikiran dan perasaanku ini dengan cahaya Al-Quran, agar lapang dadaku, lancar lidahku, dan berkah dariAl-Quran suci mengalir dalam darahku sehingga membina kekuatanku. Ya Allah, kumohon dengan sangat, tolonglah hamba-Mu ini, karena tiada penolong selain Engkau.""Aamiin," lirih Gayatri sembari menyeka air mata yang menetes membasahi pipinya kala mendengar lantunan doa dari ustaz di dalam masjid."Allah p
Tak terasa, air mata Gayatri kembali luruh saat pikirannya kembali bernostalgia ke masa lalu. Tentang ibunya, Galang, dan dirinya. Seandainya, dulu Gayatri memilih mendengarkan nasihat ibunya, mungkin semua tidak akan seperti ini. Namun, sebuah penyesalan tak dapat mengembalikan semuanya. Nasi telah menjadi bubur. Itulah peribahasa yang tepat disematkan untuk dirinya.Menyebut tentangibu, Gayatri sungguh merindukannya. Mungkin, setiap hari Bu Tini tak pernah berhenti mendoakan Gayatri. Terbukti karena Gayatri selalu dalam keadaan baik-baik saja selama di kota. Ia tak pernah merasa kekurangan. Hanya satu, yaitu tidak pernah merasakan kebahagiaan.Dulu, Gayatri lega karena ternyata ia tidak mengandung benih Galang. Lalu, semenjak Sarah tahu, bahwa Gayatri telah menjadi pemuas nafsu Om Revan waktu itu, ia sama sekali tidak marah. Justru, Sarah memberi saran kepada Gayatri, bagaimana cara m
Semburat jingga menyapa dari arah barat. Semilir angin menerpa dedaunan pohon, hingga mengakibatkannya berjatuhan. Air mata yang telah berhenti, kini mulai berderai lagi. Gayatri merasa bagaikan dedaunan itu, yang terhempas terkena angin. Terbuang dari tempatnya dan terinjak-injak.Gayatri berjalan tanpa arah menuruti kemana pun kakinya melangkah. Siapa pun yang melihat, pasti mengira bahwa ia adalah orang depresi. Terlihat dari penampilan yang kacau dan tas lusuh yang ia bawa.Gayatri menaiki bus yang menuju ke kota dengan niat meninggalkan kehidupan dan semua kenangan masa kecilnya di desa. Dengan uang yang tidak seberapa, Gayatri berharap di kota nanti akan mendapat pekerjaan yang bagus.***Hari telah berganti. Gayatri merasa takjub dengan gedung-gedung yang menjulang tinggi saling berjejer. Kendaraan berupa mobil dan