Suasana berubah tegang. Cepat sekali Bu Tini bertindak. Padahal, Gayatri hanya beberapa kali bertemu dan berjalan bersama Galang. Namun, respon ibunya sangat tidak terduga.
Gayatri berjalan sambil membawa teko berisi teh hangat dan tiga gelas yang tertata rapi di nampan. Ia melirik sekilas ke arah Galang yang terlihat terkejut dengan ucapan ibunya.
"Ibu, kenapa ibu mengatakan hal seperti itu? Gayatri dan Galang tidak ada hubungan apa pun." Gayatri menjelaskan kepada ibunya lantas mengambil posisi duduk di sebelah Bu Tini.
"Ibu hanya ingin menjaga dirimu dari fitnah, Nak. Lagi pula, tak pantas jika seorang wanita dan pria yang bukan mahram berjalan bersama. Ibu juga takut jika suatu saat kalian semakin dekat dan akhirnya terjerumus ke jurang zina," jelas Bu Tini.
Gayatri mendesah kasar. Jika dipikir, memang benar perkataan yang dilontarkan ibunya. Namun, ia sama sekali tak berpikir sampai ke sana. Bagi Gayatri, ia hanya menganggap Galang sebatas teman. Karena ia sadar, dari segi penampilan, Galang terlihat seperti orang berada. Berbeda dengannya yang berpenampilan sederhana.
"Saya dan Gayatri hanya berteman, Bu. Saya tidak akan berbuat macam-macam. Jika saya berjalan berdua dengan Gayatri, itu karena saya ingin melindunginya dari gangguan pria yang tak bertanggung jawab." Penjelasan Galang membuat Bu Tini terlihat berpikir. Sesekali Bu Tini mendesah pelan seraya memejamkan mata.
"Iya, Bu. Kemarin sempat ada empat pria yang mengadang Gayatri waktu ingin mengantar bekal buat Ibu. Mereka berani nyentuh-nyentuh Gayatri, Bu. Saat mereka menarikku untuk mengikuti mereka, syukur ada Galang yang nolongin," tutur Gayatri.
Bu Tini hanya manggut-manggut. "Ibu mengerti. Maaf, Nak Galang. Bukan maksud apa-apa jika ibu berbicara begitu. Ibu hanya melakukan tugas sebagaimana orang tua kepada anaknya."
"Iya, saya mengerti. Saya tahu, jika Gayatri adalah anak Ibu satu-satunya. Maka dari itu, saya juga ingin membantu untuk menjaga Gayatri," sahut Galang.
"Terima kasih, Nak. Jangan melupakan satu hal! Kalian bukan mahram. Jadi, haram berjalan berduaan seperti kemarin-kemarin." Bu Tini tetap bersikukuh dengan ucapannya.
"Saya akan menikahi Gayatri jika sudah waktunya, Bu."
Jawaban Galang seketika membuat Gayatri terkejut. Ada rasa senang yang menyusup ke celah hatinya.
"Apa yang kamu tunggu, Nak?" tanya Bu Tini.
"Saya masih harus menyelesaikan sekolah. Setelah itu, saya harus belajar mengelola perkebunan milik ayah. Barulah saya bisa menikahi Gayatri. Memang, dari awal saya sudah menyukainya."
Gayatri terkesima mendengarnya. Bagaikan ada ribuan kupu-kupu yang beterbangan di sekelilingnya. Namun, ada rasa minder dalam hati Gayatri jika bersanding dengan Galang.
"Kamu jangan bercanda, Lang. Sudah, lupakan saja. Fokus saja sama urusanmu," sahut Gayatri.
"Aku memang benar-benar menyukaimu sejak awal kita bertemu, Tri. Namun, aku malu jika harus mengungkapkannya," balas Galang dengan senyum lebar yang memerlihatkan deretan giginya yang putih.
Sebenarnya aku juga sama, Lang.
Sayang, perkataan itu tak mampu dilontarkan Gayatri. Ucapan itu tersendat di kerongkongan.
"Sudah, jangan saling bertatap muka terlalu lama."
Ucapan Bu Tini seketika membuat Gayatri dan Galang salah tingkah.
"Maaf, Bu," balas Gayatri dan Galang serempak.
"Ehm, saya pamit pulang dulu, Bu, Tri. Saya ada janji sama ayah," pamit Galang.
“Makanlah dulu. Ibu sudah masak buat kamu,” perintah Bu Tini kepada Galang.
“Terima kasih, tapi saya sudah makan sebelum ke sini,” balas Galang.
“Baiklah kalau begitu,” ucap Bu Tini.
"Iya sudah. Hati-hati, Lang," timpal Gayatri.
Galang mengulurkan tangan ke arah Bu Tini. Namun, Bu Tini menangkupkan kedua tangannya di depan dada. Galang tersenyum kikuk. Mungkin, ia lupa dengan kejadian waktu bersama Gayatri. Gayatri pun tersenyum geli melihatnya.
Sepeninggal Galang dari rumah, Bu Tini hanya bergeming. Seperti tak ada niat untuk mengajak Gayatri berbicara.
"Bu, kenapa Ibu mengatakan hal aneh pada Galang?" Gayatri akhirnya memulai pembicaraan.
"Ibu hanya ingin tahu, apa dia serius padamu atau tidak."
"Galang sama Gayatri itu hanya sebatas teman, Bu."
"Teman jika terus berdua akan menjadi pacar. Setelah menjadi pacar maka tak akan segan untuk saling menyentuh. Lalu, apa lagi? Pasti akan masuk ke lubang zina," jelas Bu Tini.
"Ibu hanya terlalu khawatir," sahut Gayatri.
"Gayatri!" panggil Bu Tini.
Bu Tini yang tengah duduk di ruang tamu dengan tatapan tajam membuat Gayatri mau tak mau harus duduk di hadapannya. Kalau istilah Jawa 'menehi pitutur'. Namun, saat Gayatri memandang wajah ibunya, ia seakan-akan terhipnotis. Gurat-gurat keriput yang terus bertambah membuat rasa sesal menyusup ke dalam hati Gayatri.
"Maafkan Gayatri, Bu," sesal Gayatri pada akhirnya.
"Kamu harus tahu, Nduk. Ibu mekakukan ini karena ibu takut kamu akan terjerumus ke dalam godaan setan," tutur Bu Tini.
"Setan akan memperdaya manusia dengan cara apa pun karena sebelum diusir dari surga, mereka telah bernjanji akan menggoyahkan iman manusia agar lupa kepada Tuhannya," imbuh Bu Tini.
"Ibu minta maaf jika ibu keterlaluan, ya." Bu Tini meraih tangan Gayatri, lantas mengusap-usapnya perlahan.
Gayatri merasa beruntung memiliki ibu seperti Bu Tini. Tak pernah lelah mengingatkan dan tak henti-hentinya memberi nasihat kepada Gayatri.
***
Malam begitu sunyi. Gayatri tak bisa memejamkan mata, padahal jarum jam telah menunjukkan pukul dua belas malam.
Gayatri hanya bolak-balik ke kanan dan ke kiri mencari posisi tidur yang enak. Namun, tetap saja tak berhasil.
Tok-tok-tok!
Mata Gayatri kembali terbuka saat mendengar suara ketukan di jendela. Siapakah tengah malam seperti ini datang ke rumah Gayatri?
Jangan-jangan itu maling, pikir Gayatri.
"Gayatri? Ini, aku."
Gayatri menajamkan indra. Suara itu seperti suara Galang. Ia kemudian merubah posisi, kini berdiri di belakang jendela.
"Gayatri, buka! Aku mau ngomong sesuatu," kata Galang. Gayatri membuka jendela dan terlihat wajah tampan Galang yang tengah tersenyum.
"Galang, ngapain kamu malam-malam ke sini?" tanya Gayatri heran. Untungnya rumah Gayatri berada di pojok dan bersebelahan dengan tanah kosong. Sedangkan kamar Gayatri berada di belakang. Jadi, tak akan ada orang yang bisa melihat.
"Aku gak bisa tidur, Tri."
"Lah, terus kenapa kamu ke sini?"
Padahal, Gayatri juga tak dapat tidur karena memikirkan Galang.
"Karena kamu yang buat aku gak bisa tidur," balas Galang seketika membuat wajah Gayatri panas.
"Pikiranku terus tertuju padamu, Tri. Ehm, Sebentar lagi aku harus kembali ke kota untuk melanjutkan sekolah," ungkap Galang.
Ada rasa tak rela menyusup ke dalam hati Gayatri saat mendengar Galang akan pergi. Itu artinya, Gayatri tak akan bertemu dengan Galang lagi.
"Gayatri, jika kamu mencegahku untuk pergi. Maka, aku tak akan pergi." Kini, Galang berani menggenggam tangan Gayatri. Gayatri serasa terpaku. Jika biasanya ia menolak untuk disentuh, kini ia membiarkannya tangannya disentuh dan anehnya, Gayatri pun membalas sentuhan Galang.
"Apa kau benar-benar harus pergi?" Bulir bening akhirnya luruh membasahi pipi Gayatri.
"Ayah menyuruhku untuk melanjutkan pendidikan, Tri."
"Pergilah, gapai cita-citamu, Lang," ucap Gayatri akhirnya.
"Kau benar-benar ingin aku pergi?" tanya Galang sekali lagi.
"Galang, maafkan aku. Sebenarnya, aku menyukaimu. Namun, apa yang bisa kulakukan selain membiarkanmu pergi?" Akhirnya Gayatri mengakui perasaannya pada Galang.
"Akhirnya, kamu mau jujur padaku, Tri." Senyum mengembang dari bibir Galang. Ia mendekat pada Gayatri. Diusapnya pipi Gayatri yang basah karena air mata.
Kini, Galang semakin berani mendekat pada Gayatri. Gayatri merasakan sesuatu yang hangat menyentuh bibirnya. Ada rasa nyaman dan hangat menjalar ke seluruh tubuhnya.
"Gayatri, tidurlah. Aku akan menemuimu lagi lain kali. Semoga mimpi indah," ucap Galang sembari mengecup kembali bibir Gayatri. Kemudian, ia melangkah pergi meninggalkan Gayatri sendiri di balik jendela.
Ciuman pertama yang tak disangka Gayatri akan tetap bisa terjaga sampai menikah. Ternyata, kini telah direnggut lebih dulu oleh orang pertama yang ia cintai.
"Ibu, maafkan aku. Aku tak bisa menjaga amanahmu. Aku terlaku mencintai Galang."
"Galang, aku akan menunggumu."
"Gayatri, ayo, bangun! Gayatri merasa tubuhnya bergoyang. Sepeninggal Galang semalam, ia merasa sulit untuk bangun. Mungkin, karena Gayatri baru bisa tidur menjelang Subuh."Gayatri!" Suara Bu Tini kali ini terdengar lebih keras hingga mau tak mau Gayatri harus bangun."Gayatri, kok, kamu sekarang malah jadi males bangun pagi?" tanya Bu Tini. Gayatri yang masih belum sepenuhnya sadar hanya mendengarkan saja karena kepalanya terasa sangat berat."Cepetan pergi ke kamar mandi! Mandi, wudu terus salat. Sebelum waktunya habis," perintah Bu Tini."Iya, Bu." jawab Gayatri pasrah. Ia berjalan gontai ke kamar mandi dengan mata setengah terbuka.***Kepulan asap di dapur menyeruak memedihkan mata Gayatri yang tengah berjalan menuju dapur. Ternyata, kepulan asap tersebut berasal dari kayu bakar yang tengah di kipasi oleh Bu T
Langit begitu pekat. Cahaya rembulan pun tidak secerah kemarin. Gayatri yang tengah duduk di tepi jendela kamar tengah mengamati beberapa bintang di langit yang pekat. Seulas senyum tersungging kala Gayatri melihat ada dua bintang yang berjejer. Khayalannya mulai bereaksi, seakan-akan dua bintang itu adalah Galang dan dirinya."Galang, apa kau merindukanku?" Gayatri berbicara sendiri.Embusan angin menerpa wajah dan rambut Gayatri. Suara jangkrik dan katak pun turut bersenandung di gelapnya malam. Hawa dingin terasa semakin menusuk kulit, apalagi Gayatri tidak memakai jaket saat ini.Ia memutuskan menutup jendela. Namun, saat jendela akan tertutup, Gayatri mendengar suara langkah kaki menuju ke arahnya. Apakah itu Galang? pikir Gayatri."Hai?" sapa seorang pria dengan senyum merekah. Pria dengan wajah tampan di hadapannya mampu dengan mudah membiusnya."Galang?" Raut wajah Gayatri memancarkan kebahagian yang begitu kentara."Kenapa? Lagi nun
Suara azan berkumandang, membangunkan Gayatri dari mimpi indahnya. Ia mengerjap-kerjapkan mata untuk mengusir rasa kantuk yang masih terasa. Diliriknya ponsel yang berada di sebelah bantalnya, ada tiga pesan masuk dari Galang.Namun, Gayatri mengurungkan niat untuk membuka pesan tersebut karena ia tahu, ibunya pasti sedang menunggunya. Gayatri sudah tahu jika ibunya pasti sudah tahu tentang apa pun yang selama ini ia tutupi."Gayatri, kamu mau mandi air hangat?" tawar Bu Tini saat Gayatri melewati dapur.Gayatri menggeleng. "Gayatri mau mandi air dingin biar seger, Bu," sahut Gayatri.Selesai salat Subuh, Gayatri membantu ibunya yang tengah bergelut di dapur. Namun, tidak seperti biasanya. Ibu Tini lebih banyak diam kali ini, membuat Gayatri merasa tidak nyaman."Bu?""Iya!" sahut Bu Tini singkat tanpa menoleh."Ibu marah sama Gayatri?"Te
"I—ibu ...." Gayatri terkunci. Ia tidak dapat berkata apa pun. Hanya tangisan yang menjadi ungkapan hatinya saat ini."Pergi! Pergi kamu dari sini!" jerit Bu Tini sembari menunjuk-nunjuk tepat di wajah Galang. Kedua mata Bu Tini berkilat, menggambarkan bahwa ia benar-benar telah dikuasai amarah yang begitu besar."Bu, tolong dengarkan penjelasan saya," sela Galang.Bu Tini, yang telah dikuasai amarah tak memedulikan ucapan Galang. Ia sangat terkejut sekaligus kecewa dengan perbuatan memalukan yang dilakukan anak semata wayangnya. Sedangkan, Gayatri hanya menunduk tidak mampu menatap wajah sang ibu."Ibu tidak menyangka, jika kalian bisa bertindak sejauh ini," desis Bu Tini dengan tangan mengepal dan mata berkaca-kaca."Galang, aku sempat percaya padamu, tapi nyatanya kamu telah merobek kep
Semua orang yang berada di ruangan sontak terkejut mendengar ucapan Bu Tini. Pasalnya, Bu Tini terkenal sebagaiibu yang sangat menyayangi anaknya dan tidak bisa jauh dari putri semata wayangnya—Gayatri. Namun, kini ucapan Bu Tini, cukup melukiskan betapa kecewa hatinya."Sabar, Bu. Semua bisa dibicarakan baik-baik. Jangan terlalu cepat mengambil keputusan untuk emosi sesaat," sela Haji Yusuf.Gayatri yang mendengar ucapan sangibu, kini tidak lagi bersimpuh, melainkan bersujud di kaki ibunya. Gayatri meraung-raung mengucapkan maaf berkali-kali, tetapi ibunya hanya bergeming. Bu Tini tidak berniat sekali pun menoleh ke arah Gayatri."Nak, sudah jangan begitu. Bangunlah!" Haji Yusuf mencoba membantu Gayatri bangun."Bu Tini, tolong maafkanlah dia. Kita akan membantu menemui keluarga Galang," timpal Pak Budi yang
Semburat jingga menyapa dari arah barat. Semilir angin menerpa dedaunan pohon, hingga mengakibatkannya berjatuhan. Air mata yang telah berhenti, kini mulai berderai lagi. Gayatri merasa bagaikan dedaunan itu, yang terhempas terkena angin. Terbuang dari tempatnya dan terinjak-injak.Gayatri berjalan tanpa arah menuruti kemana pun kakinya melangkah. Siapa pun yang melihat, pasti mengira bahwa ia adalah orang depresi. Terlihat dari penampilan yang kacau dan tas lusuh yang ia bawa.Gayatri menaiki bus yang menuju ke kota dengan niat meninggalkan kehidupan dan semua kenangan masa kecilnya di desa. Dengan uang yang tidak seberapa, Gayatri berharap di kota nanti akan mendapat pekerjaan yang bagus.***Hari telah berganti. Gayatri merasa takjub dengan gedung-gedung yang menjulang tinggi saling berjejer. Kendaraan berupa mobil dan
Tak terasa, air mata Gayatri kembali luruh saat pikirannya kembali bernostalgia ke masa lalu. Tentang ibunya, Galang, dan dirinya. Seandainya, dulu Gayatri memilih mendengarkan nasihat ibunya, mungkin semua tidak akan seperti ini. Namun, sebuah penyesalan tak dapat mengembalikan semuanya. Nasi telah menjadi bubur. Itulah peribahasa yang tepat disematkan untuk dirinya.Menyebut tentangibu, Gayatri sungguh merindukannya. Mungkin, setiap hari Bu Tini tak pernah berhenti mendoakan Gayatri. Terbukti karena Gayatri selalu dalam keadaan baik-baik saja selama di kota. Ia tak pernah merasa kekurangan. Hanya satu, yaitu tidak pernah merasakan kebahagiaan.Dulu, Gayatri lega karena ternyata ia tidak mengandung benih Galang. Lalu, semenjak Sarah tahu, bahwa Gayatri telah menjadi pemuas nafsu Om Revan waktu itu, ia sama sekali tidak marah. Justru, Sarah memberi saran kepada Gayatri, bagaimana cara m
"Ya Allah, mohon sayangilah hamba-Mu ini agar dapat meninggalkan maksiat selamanya. Sayangilah hamba-Mu ini agar tidak mengerjakan yang tidak berguna. Arahkanlah mataku ini agar selalu memandang yang Engkau ridhoi. Ikatkanlah hatiku pada ayat-ayat suci Al-Quran sesuai dengan yang Engkau inginkan, agar selalu berkeinginan membacanya sesuai ridho-Mu.""Mohon sinarilah pikiran dan perasaanku ini dengan cahaya Al-Quran, agar lapang dadaku, lancar lidahku, dan berkah dariAl-Quran suci mengalir dalam darahku sehingga membina kekuatanku. Ya Allah, kumohon dengan sangat, tolonglah hamba-Mu ini, karena tiada penolong selain Engkau.""Aamiin," lirih Gayatri sembari menyeka air mata yang menetes membasahi pipinya kala mendengar lantunan doa dari ustaz di dalam masjid."Allah p
Kicauan burung meriuhkan suasana halaman rumah Gayatri. Gayatri yang tengah menyapu halaman tiba-tiba dilempari batu oleh seseorang hingga mengenai kepalanya. Untungnya, batu tersebut ukurannya tidak terlalu besar."Ya Allah ... pagi-pagi udah adaorang iseng." Gayatri berucap sendiri seraya mengelus dadanya.Gayatri tahu, jika masih banyak orang yang tidak menyukainya di sini. Padahal, mereka tahu, jika Gayatri terlahir di desa ini. Namun, begitulah manusia. Sekali seseorang melakukan dosa, selamanya akan dianggap sebagai pendosa.Deru mobil terdengar memasuki halaman. Debu-debu saling beterbangan saat mobil itu melintas. Raut wajah Gayatri berubah ceria. Itu adalah mobil Bu Nurma. Wanita yang selalu dipikirkannya beberapa hari ini."Assalamualaikum, Nak,"salam Bu Nurma. Gayatri tercengang saat melihat Bu Nur
Bu Tini sempat tak percaya dengan penuturan Gayatri. Namun, ia tak serta merta menyalahkan Gayatri. Ia paham jika apa yang terjadi pada anaknya salah satunya karena ia salah mengambil keputusan. Ya ... keputusan yang Bu Tini ambil di kala emosi telah mengubah kehidupan Gayatri.Bu Tini masih ingat. Dulu Haji Yusuf pernah menasihati Bu Tini agar tidak mengambil keputusan di saat emosi sedang memuncak. Kini, ia merasakan apa akibatnya. Bu Tini tidak berpikir ke mana Gayatri akan bernaung dan tidak berpikir bagaimana Gayatri akan memenuhi kebutuhan hidupnya."Ibu yang salah, Nak," sesal Bu Tini dengan deraian air mata yang membanjiri pipinya."Bukan salah Ibu. Akulah yang salah. Aku bersyukur bisa diberi waktu untuk bertaubat. Alhamdulillah Allah mempertemukanku dengan Bu Nurma."Gayatri mengusap linangan air matasang ibu dengan ibu jarinya. Gurat-gurat keriput di wajah Bu Tini semakin tampak terlihat. Gayatri memeluk Bu Tini serta menghujani wajahnya dengan
Gayatri meraup udara sebanyak mungkin. Entah mengapa, selepas salat Subuh tadi, irama detak jantungnya serasatak normal. Rasa cemas menyelimuti, bagaikan ia akan menghadapi sebuah masalahbesar. Ya ... mungkin, karena sebentar lagi Gayatri akan bersua dengan sangIbu.Gayatri mematut dirinya di depancermin. Terpantul bayangan dirinya yang mengenakan gamis berwarna army danjilbab syari dengan warna senada. Dari dulu, Gayatri memang tak pernah memakaijilbab. Mungkin, karena itulah kotoran-kotoran sering menempel padanya yangselalu berpenampilan terbuka.Bu Nurma pernah berkata,"Wanita itu adalah aurat, dan sebaik-baiknya aurat adalah yang tertutup. Sebagaiseorang wanita, sebaiknya selalu ada di rumah. Sekali pun seorang wanitakeluar, haruslah dengan izin orang tuanya. Dan jika sudah menikah, harus dengansuaminya atau dengan izinnya.""N
Azan Zuhur berkumandang menggema dimasjid-masjid yang mereka lewati. Haikal memutuskan untuk berhenti dan mengajakGayatri dan ibunya melaksanakan salat di masjid dan beristirahat sejenak. Gayatridan Bu Nurma pun telah terjaga saat mendengar azan yang berkumandang."Indah sekali." Gayatrimemuji bangunan masjid yang ia singgahi. Masjid yang hampir semua berwarna emasini sangat terlihat mewah. Ditambah dengan dua menara yang menjulang tinggi di sisi kanan dan kiri."Ayo, Nak!Kita masuk, salat dulu.Perjalanannya masih sangat panjang," ujar Bu Nurma. Gayatri mengangguk,lantas mengekori Bu Nurma yang lebih dulu masuk ke masjid."Ya Allah, ampunilah segaladosaku dan jagalahibu.Sehatkanlah dia selalu." Gayatri berdoa seusai salatnya.Rintihan tangisnya terdengar oleh BuNurma yang berada di dep
Azan Subuh berkumandang melalui benda pipih yang tergeletak di atas nakas. Segera Gayatri turun dari ranjang menuju kamar mandi. Sayup-sayup ia mendengar rintihan wanita yang menyayat hati.Gayatri menajamkan telinga dan ternyata suara itu berasal dari kamar Sarah. Pikiran buruk terlintas dalam benaknya, tetapi segera ia menepisnya. Gayatri memutar handel pintu dengan pelan, agar tak menimbulkan suara. Seketika mata Gayatri membola saat melihat Sarah tergeletak dengan tubuh bersimbah darah."Astagfirullah ... Sarah?" Gayatri segera berlari ke arah sahabatnya."Ya Allah, kamu kenapa jadi begini, Sar?" Air mata Gayatri luruh tak terbendung kala melihat kondisi Sarah yang mengerikan. "Apa yang terjadi?""Maafkan aku ...."Hanya kata maaf yang Sarah suguhkan. Tetes air mata keluar dari sudut m
Jarum jam menunjukkan pukul dua dini hari. Gayatri beranjak dari ranjang menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan berwudu. Ia sempat lupa tata cara bersuci karena sekian lama tidak melakukannya.Berbekal buku tuntunan salat yang ia beli di toko buku sepulang dari pengajian di masjid, Gayatri belajar kembali mulai awal. Ia niatkan semua hanya kepada Allah. Gayatri benar-benar sudah lelah menjalani kehidupan sekelam itu.Dalam salat, tak terasa air mata ikut luruh saat ia melafalkan ayat-ayat suci Al-Quran. Semua dosa dan kesalahan terputar kembali dalam benaknya. Bayang-bayang ibunya selalu melintas. Pasti, Bu Tini tak pernah berhenti mendoakannya."Ya Allah, di sinilah aku. Wanita kotor yang tidak tahu malu tengah memohon ampunan-Mu.""Aku telah lama melupakan-Mu. Bagai tidak tahu diri, aku datang dan menemui-Mu di sunyi
"Ya Allah, mohon sayangilah hamba-Mu ini agar dapat meninggalkan maksiat selamanya. Sayangilah hamba-Mu ini agar tidak mengerjakan yang tidak berguna. Arahkanlah mataku ini agar selalu memandang yang Engkau ridhoi. Ikatkanlah hatiku pada ayat-ayat suci Al-Quran sesuai dengan yang Engkau inginkan, agar selalu berkeinginan membacanya sesuai ridho-Mu.""Mohon sinarilah pikiran dan perasaanku ini dengan cahaya Al-Quran, agar lapang dadaku, lancar lidahku, dan berkah dariAl-Quran suci mengalir dalam darahku sehingga membina kekuatanku. Ya Allah, kumohon dengan sangat, tolonglah hamba-Mu ini, karena tiada penolong selain Engkau.""Aamiin," lirih Gayatri sembari menyeka air mata yang menetes membasahi pipinya kala mendengar lantunan doa dari ustaz di dalam masjid."Allah p
Tak terasa, air mata Gayatri kembali luruh saat pikirannya kembali bernostalgia ke masa lalu. Tentang ibunya, Galang, dan dirinya. Seandainya, dulu Gayatri memilih mendengarkan nasihat ibunya, mungkin semua tidak akan seperti ini. Namun, sebuah penyesalan tak dapat mengembalikan semuanya. Nasi telah menjadi bubur. Itulah peribahasa yang tepat disematkan untuk dirinya.Menyebut tentangibu, Gayatri sungguh merindukannya. Mungkin, setiap hari Bu Tini tak pernah berhenti mendoakan Gayatri. Terbukti karena Gayatri selalu dalam keadaan baik-baik saja selama di kota. Ia tak pernah merasa kekurangan. Hanya satu, yaitu tidak pernah merasakan kebahagiaan.Dulu, Gayatri lega karena ternyata ia tidak mengandung benih Galang. Lalu, semenjak Sarah tahu, bahwa Gayatri telah menjadi pemuas nafsu Om Revan waktu itu, ia sama sekali tidak marah. Justru, Sarah memberi saran kepada Gayatri, bagaimana cara m
Semburat jingga menyapa dari arah barat. Semilir angin menerpa dedaunan pohon, hingga mengakibatkannya berjatuhan. Air mata yang telah berhenti, kini mulai berderai lagi. Gayatri merasa bagaikan dedaunan itu, yang terhempas terkena angin. Terbuang dari tempatnya dan terinjak-injak.Gayatri berjalan tanpa arah menuruti kemana pun kakinya melangkah. Siapa pun yang melihat, pasti mengira bahwa ia adalah orang depresi. Terlihat dari penampilan yang kacau dan tas lusuh yang ia bawa.Gayatri menaiki bus yang menuju ke kota dengan niat meninggalkan kehidupan dan semua kenangan masa kecilnya di desa. Dengan uang yang tidak seberapa, Gayatri berharap di kota nanti akan mendapat pekerjaan yang bagus.***Hari telah berganti. Gayatri merasa takjub dengan gedung-gedung yang menjulang tinggi saling berjejer. Kendaraan berupa mobil dan