Semburat jingga menyapa dari arah barat. Semilir angin menerpa dedaunan pohon, hingga mengakibatkannya berjatuhan. Air mata yang telah berhenti, kini mulai berderai lagi. Gayatri merasa bagaikan dedaunan itu, yang terhempas terkena angin. Terbuang dari tempatnya dan terinjak-injak.
Gayatri berjalan tanpa arah menuruti ke mana pun kakinya melangkah. Siapa pun yang melihat, pasti mengira bahwa ia adalah orang depresi. Terlihat dari penampilan yang kacau dan tas lusuh yang ia bawa.
Gayatri menaiki bus yang menuju ke kota dengan niat meninggalkan kehidupan dan semua kenangan masa kecilnya di desa. Dengan uang yang tidak seberapa, Gayatri berharap di kota nanti akan mendapat pekerjaan yang bagus.
***
Hari telah berganti. Gayatri merasa takjub dengan gedung-gedung yang menjulang tinggi saling berjejer. Kendaraan berupa mobil dan
Tak terasa, air mata Gayatri kembali luruh saat pikirannya kembali bernostalgia ke masa lalu. Tentang ibunya, Galang, dan dirinya. Seandainya, dulu Gayatri memilih mendengarkan nasihat ibunya, mungkin semua tidak akan seperti ini. Namun, sebuah penyesalan tak dapat mengembalikan semuanya. Nasi telah menjadi bubur. Itulah peribahasa yang tepat disematkan untuk dirinya.Menyebut tentangibu, Gayatri sungguh merindukannya. Mungkin, setiap hari Bu Tini tak pernah berhenti mendoakan Gayatri. Terbukti karena Gayatri selalu dalam keadaan baik-baik saja selama di kota. Ia tak pernah merasa kekurangan. Hanya satu, yaitu tidak pernah merasakan kebahagiaan.Dulu, Gayatri lega karena ternyata ia tidak mengandung benih Galang. Lalu, semenjak Sarah tahu, bahwa Gayatri telah menjadi pemuas nafsu Om Revan waktu itu, ia sama sekali tidak marah. Justru, Sarah memberi saran kepada Gayatri, bagaimana cara m
"Ya Allah, mohon sayangilah hamba-Mu ini agar dapat meninggalkan maksiat selamanya. Sayangilah hamba-Mu ini agar tidak mengerjakan yang tidak berguna. Arahkanlah mataku ini agar selalu memandang yang Engkau ridhoi. Ikatkanlah hatiku pada ayat-ayat suci Al-Quran sesuai dengan yang Engkau inginkan, agar selalu berkeinginan membacanya sesuai ridho-Mu.""Mohon sinarilah pikiran dan perasaanku ini dengan cahaya Al-Quran, agar lapang dadaku, lancar lidahku, dan berkah dariAl-Quran suci mengalir dalam darahku sehingga membina kekuatanku. Ya Allah, kumohon dengan sangat, tolonglah hamba-Mu ini, karena tiada penolong selain Engkau.""Aamiin," lirih Gayatri sembari menyeka air mata yang menetes membasahi pipinya kala mendengar lantunan doa dari ustaz di dalam masjid."Allah p
Jarum jam menunjukkan pukul dua dini hari. Gayatri beranjak dari ranjang menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan berwudu. Ia sempat lupa tata cara bersuci karena sekian lama tidak melakukannya.Berbekal buku tuntunan salat yang ia beli di toko buku sepulang dari pengajian di masjid, Gayatri belajar kembali mulai awal. Ia niatkan semua hanya kepada Allah. Gayatri benar-benar sudah lelah menjalani kehidupan sekelam itu.Dalam salat, tak terasa air mata ikut luruh saat ia melafalkan ayat-ayat suci Al-Quran. Semua dosa dan kesalahan terputar kembali dalam benaknya. Bayang-bayang ibunya selalu melintas. Pasti, Bu Tini tak pernah berhenti mendoakannya."Ya Allah, di sinilah aku. Wanita kotor yang tidak tahu malu tengah memohon ampunan-Mu.""Aku telah lama melupakan-Mu. Bagai tidak tahu diri, aku datang dan menemui-Mu di sunyi
Azan Subuh berkumandang melalui benda pipih yang tergeletak di atas nakas. Segera Gayatri turun dari ranjang menuju kamar mandi. Sayup-sayup ia mendengar rintihan wanita yang menyayat hati.Gayatri menajamkan telinga dan ternyata suara itu berasal dari kamar Sarah. Pikiran buruk terlintas dalam benaknya, tetapi segera ia menepisnya. Gayatri memutar handel pintu dengan pelan, agar tak menimbulkan suara. Seketika mata Gayatri membola saat melihat Sarah tergeletak dengan tubuh bersimbah darah."Astagfirullah ... Sarah?" Gayatri segera berlari ke arah sahabatnya."Ya Allah, kamu kenapa jadi begini, Sar?" Air mata Gayatri luruh tak terbendung kala melihat kondisi Sarah yang mengerikan. "Apa yang terjadi?""Maafkan aku ...."Hanya kata maaf yang Sarah suguhkan. Tetes air mata keluar dari sudut m
Azan Zuhur berkumandang menggema dimasjid-masjid yang mereka lewati. Haikal memutuskan untuk berhenti dan mengajakGayatri dan ibunya melaksanakan salat di masjid dan beristirahat sejenak. Gayatridan Bu Nurma pun telah terjaga saat mendengar azan yang berkumandang."Indah sekali." Gayatrimemuji bangunan masjid yang ia singgahi. Masjid yang hampir semua berwarna emasini sangat terlihat mewah. Ditambah dengan dua menara yang menjulang tinggi di sisi kanan dan kiri."Ayo, Nak!Kita masuk, salat dulu.Perjalanannya masih sangat panjang," ujar Bu Nurma. Gayatri mengangguk,lantas mengekori Bu Nurma yang lebih dulu masuk ke masjid."Ya Allah, ampunilah segaladosaku dan jagalahibu.Sehatkanlah dia selalu." Gayatri berdoa seusai salatnya.Rintihan tangisnya terdengar oleh BuNurma yang berada di dep
Gayatri meraup udara sebanyak mungkin. Entah mengapa, selepas salat Subuh tadi, irama detak jantungnya serasatak normal. Rasa cemas menyelimuti, bagaikan ia akan menghadapi sebuah masalahbesar. Ya ... mungkin, karena sebentar lagi Gayatri akan bersua dengan sangIbu.Gayatri mematut dirinya di depancermin. Terpantul bayangan dirinya yang mengenakan gamis berwarna army danjilbab syari dengan warna senada. Dari dulu, Gayatri memang tak pernah memakaijilbab. Mungkin, karena itulah kotoran-kotoran sering menempel padanya yangselalu berpenampilan terbuka.Bu Nurma pernah berkata,"Wanita itu adalah aurat, dan sebaik-baiknya aurat adalah yang tertutup. Sebagaiseorang wanita, sebaiknya selalu ada di rumah. Sekali pun seorang wanitakeluar, haruslah dengan izin orang tuanya. Dan jika sudah menikah, harus dengansuaminya atau dengan izinnya.""N
Bu Tini sempat tak percaya dengan penuturan Gayatri. Namun, ia tak serta merta menyalahkan Gayatri. Ia paham jika apa yang terjadi pada anaknya salah satunya karena ia salah mengambil keputusan. Ya ... keputusan yang Bu Tini ambil di kala emosi telah mengubah kehidupan Gayatri.Bu Tini masih ingat. Dulu Haji Yusuf pernah menasihati Bu Tini agar tidak mengambil keputusan di saat emosi sedang memuncak. Kini, ia merasakan apa akibatnya. Bu Tini tidak berpikir ke mana Gayatri akan bernaung dan tidak berpikir bagaimana Gayatri akan memenuhi kebutuhan hidupnya."Ibu yang salah, Nak," sesal Bu Tini dengan deraian air mata yang membanjiri pipinya."Bukan salah Ibu. Akulah yang salah. Aku bersyukur bisa diberi waktu untuk bertaubat. Alhamdulillah Allah mempertemukanku dengan Bu Nurma."Gayatri mengusap linangan air matasang ibu dengan ibu jarinya. Gurat-gurat keriput di wajah Bu Tini semakin tampak terlihat. Gayatri memeluk Bu Tini serta menghujani wajahnya dengan
Kicauan burung meriuhkan suasana halaman rumah Gayatri. Gayatri yang tengah menyapu halaman tiba-tiba dilempari batu oleh seseorang hingga mengenai kepalanya. Untungnya, batu tersebut ukurannya tidak terlalu besar."Ya Allah ... pagi-pagi udah adaorang iseng." Gayatri berucap sendiri seraya mengelus dadanya.Gayatri tahu, jika masih banyak orang yang tidak menyukainya di sini. Padahal, mereka tahu, jika Gayatri terlahir di desa ini. Namun, begitulah manusia. Sekali seseorang melakukan dosa, selamanya akan dianggap sebagai pendosa.Deru mobil terdengar memasuki halaman. Debu-debu saling beterbangan saat mobil itu melintas. Raut wajah Gayatri berubah ceria. Itu adalah mobil Bu Nurma. Wanita yang selalu dipikirkannya beberapa hari ini."Assalamualaikum, Nak,"salam Bu Nurma. Gayatri tercengang saat melihat Bu Nur
Kicauan burung meriuhkan suasana halaman rumah Gayatri. Gayatri yang tengah menyapu halaman tiba-tiba dilempari batu oleh seseorang hingga mengenai kepalanya. Untungnya, batu tersebut ukurannya tidak terlalu besar."Ya Allah ... pagi-pagi udah adaorang iseng." Gayatri berucap sendiri seraya mengelus dadanya.Gayatri tahu, jika masih banyak orang yang tidak menyukainya di sini. Padahal, mereka tahu, jika Gayatri terlahir di desa ini. Namun, begitulah manusia. Sekali seseorang melakukan dosa, selamanya akan dianggap sebagai pendosa.Deru mobil terdengar memasuki halaman. Debu-debu saling beterbangan saat mobil itu melintas. Raut wajah Gayatri berubah ceria. Itu adalah mobil Bu Nurma. Wanita yang selalu dipikirkannya beberapa hari ini."Assalamualaikum, Nak,"salam Bu Nurma. Gayatri tercengang saat melihat Bu Nur
Bu Tini sempat tak percaya dengan penuturan Gayatri. Namun, ia tak serta merta menyalahkan Gayatri. Ia paham jika apa yang terjadi pada anaknya salah satunya karena ia salah mengambil keputusan. Ya ... keputusan yang Bu Tini ambil di kala emosi telah mengubah kehidupan Gayatri.Bu Tini masih ingat. Dulu Haji Yusuf pernah menasihati Bu Tini agar tidak mengambil keputusan di saat emosi sedang memuncak. Kini, ia merasakan apa akibatnya. Bu Tini tidak berpikir ke mana Gayatri akan bernaung dan tidak berpikir bagaimana Gayatri akan memenuhi kebutuhan hidupnya."Ibu yang salah, Nak," sesal Bu Tini dengan deraian air mata yang membanjiri pipinya."Bukan salah Ibu. Akulah yang salah. Aku bersyukur bisa diberi waktu untuk bertaubat. Alhamdulillah Allah mempertemukanku dengan Bu Nurma."Gayatri mengusap linangan air matasang ibu dengan ibu jarinya. Gurat-gurat keriput di wajah Bu Tini semakin tampak terlihat. Gayatri memeluk Bu Tini serta menghujani wajahnya dengan
Gayatri meraup udara sebanyak mungkin. Entah mengapa, selepas salat Subuh tadi, irama detak jantungnya serasatak normal. Rasa cemas menyelimuti, bagaikan ia akan menghadapi sebuah masalahbesar. Ya ... mungkin, karena sebentar lagi Gayatri akan bersua dengan sangIbu.Gayatri mematut dirinya di depancermin. Terpantul bayangan dirinya yang mengenakan gamis berwarna army danjilbab syari dengan warna senada. Dari dulu, Gayatri memang tak pernah memakaijilbab. Mungkin, karena itulah kotoran-kotoran sering menempel padanya yangselalu berpenampilan terbuka.Bu Nurma pernah berkata,"Wanita itu adalah aurat, dan sebaik-baiknya aurat adalah yang tertutup. Sebagaiseorang wanita, sebaiknya selalu ada di rumah. Sekali pun seorang wanitakeluar, haruslah dengan izin orang tuanya. Dan jika sudah menikah, harus dengansuaminya atau dengan izinnya.""N
Azan Zuhur berkumandang menggema dimasjid-masjid yang mereka lewati. Haikal memutuskan untuk berhenti dan mengajakGayatri dan ibunya melaksanakan salat di masjid dan beristirahat sejenak. Gayatridan Bu Nurma pun telah terjaga saat mendengar azan yang berkumandang."Indah sekali." Gayatrimemuji bangunan masjid yang ia singgahi. Masjid yang hampir semua berwarna emasini sangat terlihat mewah. Ditambah dengan dua menara yang menjulang tinggi di sisi kanan dan kiri."Ayo, Nak!Kita masuk, salat dulu.Perjalanannya masih sangat panjang," ujar Bu Nurma. Gayatri mengangguk,lantas mengekori Bu Nurma yang lebih dulu masuk ke masjid."Ya Allah, ampunilah segaladosaku dan jagalahibu.Sehatkanlah dia selalu." Gayatri berdoa seusai salatnya.Rintihan tangisnya terdengar oleh BuNurma yang berada di dep
Azan Subuh berkumandang melalui benda pipih yang tergeletak di atas nakas. Segera Gayatri turun dari ranjang menuju kamar mandi. Sayup-sayup ia mendengar rintihan wanita yang menyayat hati.Gayatri menajamkan telinga dan ternyata suara itu berasal dari kamar Sarah. Pikiran buruk terlintas dalam benaknya, tetapi segera ia menepisnya. Gayatri memutar handel pintu dengan pelan, agar tak menimbulkan suara. Seketika mata Gayatri membola saat melihat Sarah tergeletak dengan tubuh bersimbah darah."Astagfirullah ... Sarah?" Gayatri segera berlari ke arah sahabatnya."Ya Allah, kamu kenapa jadi begini, Sar?" Air mata Gayatri luruh tak terbendung kala melihat kondisi Sarah yang mengerikan. "Apa yang terjadi?""Maafkan aku ...."Hanya kata maaf yang Sarah suguhkan. Tetes air mata keluar dari sudut m
Jarum jam menunjukkan pukul dua dini hari. Gayatri beranjak dari ranjang menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan berwudu. Ia sempat lupa tata cara bersuci karena sekian lama tidak melakukannya.Berbekal buku tuntunan salat yang ia beli di toko buku sepulang dari pengajian di masjid, Gayatri belajar kembali mulai awal. Ia niatkan semua hanya kepada Allah. Gayatri benar-benar sudah lelah menjalani kehidupan sekelam itu.Dalam salat, tak terasa air mata ikut luruh saat ia melafalkan ayat-ayat suci Al-Quran. Semua dosa dan kesalahan terputar kembali dalam benaknya. Bayang-bayang ibunya selalu melintas. Pasti, Bu Tini tak pernah berhenti mendoakannya."Ya Allah, di sinilah aku. Wanita kotor yang tidak tahu malu tengah memohon ampunan-Mu.""Aku telah lama melupakan-Mu. Bagai tidak tahu diri, aku datang dan menemui-Mu di sunyi
"Ya Allah, mohon sayangilah hamba-Mu ini agar dapat meninggalkan maksiat selamanya. Sayangilah hamba-Mu ini agar tidak mengerjakan yang tidak berguna. Arahkanlah mataku ini agar selalu memandang yang Engkau ridhoi. Ikatkanlah hatiku pada ayat-ayat suci Al-Quran sesuai dengan yang Engkau inginkan, agar selalu berkeinginan membacanya sesuai ridho-Mu.""Mohon sinarilah pikiran dan perasaanku ini dengan cahaya Al-Quran, agar lapang dadaku, lancar lidahku, dan berkah dariAl-Quran suci mengalir dalam darahku sehingga membina kekuatanku. Ya Allah, kumohon dengan sangat, tolonglah hamba-Mu ini, karena tiada penolong selain Engkau.""Aamiin," lirih Gayatri sembari menyeka air mata yang menetes membasahi pipinya kala mendengar lantunan doa dari ustaz di dalam masjid."Allah p
Tak terasa, air mata Gayatri kembali luruh saat pikirannya kembali bernostalgia ke masa lalu. Tentang ibunya, Galang, dan dirinya. Seandainya, dulu Gayatri memilih mendengarkan nasihat ibunya, mungkin semua tidak akan seperti ini. Namun, sebuah penyesalan tak dapat mengembalikan semuanya. Nasi telah menjadi bubur. Itulah peribahasa yang tepat disematkan untuk dirinya.Menyebut tentangibu, Gayatri sungguh merindukannya. Mungkin, setiap hari Bu Tini tak pernah berhenti mendoakan Gayatri. Terbukti karena Gayatri selalu dalam keadaan baik-baik saja selama di kota. Ia tak pernah merasa kekurangan. Hanya satu, yaitu tidak pernah merasakan kebahagiaan.Dulu, Gayatri lega karena ternyata ia tidak mengandung benih Galang. Lalu, semenjak Sarah tahu, bahwa Gayatri telah menjadi pemuas nafsu Om Revan waktu itu, ia sama sekali tidak marah. Justru, Sarah memberi saran kepada Gayatri, bagaimana cara m
Semburat jingga menyapa dari arah barat. Semilir angin menerpa dedaunan pohon, hingga mengakibatkannya berjatuhan. Air mata yang telah berhenti, kini mulai berderai lagi. Gayatri merasa bagaikan dedaunan itu, yang terhempas terkena angin. Terbuang dari tempatnya dan terinjak-injak.Gayatri berjalan tanpa arah menuruti kemana pun kakinya melangkah. Siapa pun yang melihat, pasti mengira bahwa ia adalah orang depresi. Terlihat dari penampilan yang kacau dan tas lusuh yang ia bawa.Gayatri menaiki bus yang menuju ke kota dengan niat meninggalkan kehidupan dan semua kenangan masa kecilnya di desa. Dengan uang yang tidak seberapa, Gayatri berharap di kota nanti akan mendapat pekerjaan yang bagus.***Hari telah berganti. Gayatri merasa takjub dengan gedung-gedung yang menjulang tinggi saling berjejer. Kendaraan berupa mobil dan