Jarum jam menunjukkan pukul dua dini hari. Gayatri beranjak dari ranjang menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan berwudu. Ia sempat lupa tata cara bersuci karena sekian lama tidak melakukannya.
Berbekal buku tuntunan salat yang ia beli di toko buku sepulang dari pengajian di masjid, Gayatri belajar kembali mulai awal. Ia niatkan semua hanya kepada Allah. Gayatri benar-benar sudah lelah menjalani kehidupan sekelam itu.
Dalam salat, tak terasa air mata ikut luruh saat ia melafalkan ayat-ayat suci Al-Quran. Semua dosa dan kesalahan terputar kembali dalam benaknya. Bayang-bayang ibunya selalu melintas. Pasti, Bu Tini tak pernah berhenti mendoakannya.
"Ya Allah, di sinilah aku. Wanita kotor yang tidak tahu malu tengah memohon ampunan-Mu."
"Aku telah lama melupakan-Mu. Bagai tidak tahu diri, aku datang dan menemui-Mu di sunyi
Azan Subuh berkumandang melalui benda pipih yang tergeletak di atas nakas. Segera Gayatri turun dari ranjang menuju kamar mandi. Sayup-sayup ia mendengar rintihan wanita yang menyayat hati.Gayatri menajamkan telinga dan ternyata suara itu berasal dari kamar Sarah. Pikiran buruk terlintas dalam benaknya, tetapi segera ia menepisnya. Gayatri memutar handel pintu dengan pelan, agar tak menimbulkan suara. Seketika mata Gayatri membola saat melihat Sarah tergeletak dengan tubuh bersimbah darah."Astagfirullah ... Sarah?" Gayatri segera berlari ke arah sahabatnya."Ya Allah, kamu kenapa jadi begini, Sar?" Air mata Gayatri luruh tak terbendung kala melihat kondisi Sarah yang mengerikan. "Apa yang terjadi?""Maafkan aku ...."Hanya kata maaf yang Sarah suguhkan. Tetes air mata keluar dari sudut m
Azan Zuhur berkumandang menggema dimasjid-masjid yang mereka lewati. Haikal memutuskan untuk berhenti dan mengajakGayatri dan ibunya melaksanakan salat di masjid dan beristirahat sejenak. Gayatridan Bu Nurma pun telah terjaga saat mendengar azan yang berkumandang."Indah sekali." Gayatrimemuji bangunan masjid yang ia singgahi. Masjid yang hampir semua berwarna emasini sangat terlihat mewah. Ditambah dengan dua menara yang menjulang tinggi di sisi kanan dan kiri."Ayo, Nak!Kita masuk, salat dulu.Perjalanannya masih sangat panjang," ujar Bu Nurma. Gayatri mengangguk,lantas mengekori Bu Nurma yang lebih dulu masuk ke masjid."Ya Allah, ampunilah segaladosaku dan jagalahibu.Sehatkanlah dia selalu." Gayatri berdoa seusai salatnya.Rintihan tangisnya terdengar oleh BuNurma yang berada di dep
Gayatri meraup udara sebanyak mungkin. Entah mengapa, selepas salat Subuh tadi, irama detak jantungnya serasatak normal. Rasa cemas menyelimuti, bagaikan ia akan menghadapi sebuah masalahbesar. Ya ... mungkin, karena sebentar lagi Gayatri akan bersua dengan sangIbu.Gayatri mematut dirinya di depancermin. Terpantul bayangan dirinya yang mengenakan gamis berwarna army danjilbab syari dengan warna senada. Dari dulu, Gayatri memang tak pernah memakaijilbab. Mungkin, karena itulah kotoran-kotoran sering menempel padanya yangselalu berpenampilan terbuka.Bu Nurma pernah berkata,"Wanita itu adalah aurat, dan sebaik-baiknya aurat adalah yang tertutup. Sebagaiseorang wanita, sebaiknya selalu ada di rumah. Sekali pun seorang wanitakeluar, haruslah dengan izin orang tuanya. Dan jika sudah menikah, harus dengansuaminya atau dengan izinnya.""N
Bu Tini sempat tak percaya dengan penuturan Gayatri. Namun, ia tak serta merta menyalahkan Gayatri. Ia paham jika apa yang terjadi pada anaknya salah satunya karena ia salah mengambil keputusan. Ya ... keputusan yang Bu Tini ambil di kala emosi telah mengubah kehidupan Gayatri.Bu Tini masih ingat. Dulu Haji Yusuf pernah menasihati Bu Tini agar tidak mengambil keputusan di saat emosi sedang memuncak. Kini, ia merasakan apa akibatnya. Bu Tini tidak berpikir ke mana Gayatri akan bernaung dan tidak berpikir bagaimana Gayatri akan memenuhi kebutuhan hidupnya."Ibu yang salah, Nak," sesal Bu Tini dengan deraian air mata yang membanjiri pipinya."Bukan salah Ibu. Akulah yang salah. Aku bersyukur bisa diberi waktu untuk bertaubat. Alhamdulillah Allah mempertemukanku dengan Bu Nurma."Gayatri mengusap linangan air matasang ibu dengan ibu jarinya. Gurat-gurat keriput di wajah Bu Tini semakin tampak terlihat. Gayatri memeluk Bu Tini serta menghujani wajahnya dengan
Kicauan burung meriuhkan suasana halaman rumah Gayatri. Gayatri yang tengah menyapu halaman tiba-tiba dilempari batu oleh seseorang hingga mengenai kepalanya. Untungnya, batu tersebut ukurannya tidak terlalu besar."Ya Allah ... pagi-pagi udah adaorang iseng." Gayatri berucap sendiri seraya mengelus dadanya.Gayatri tahu, jika masih banyak orang yang tidak menyukainya di sini. Padahal, mereka tahu, jika Gayatri terlahir di desa ini. Namun, begitulah manusia. Sekali seseorang melakukan dosa, selamanya akan dianggap sebagai pendosa.Deru mobil terdengar memasuki halaman. Debu-debu saling beterbangan saat mobil itu melintas. Raut wajah Gayatri berubah ceria. Itu adalah mobil Bu Nurma. Wanita yang selalu dipikirkannya beberapa hari ini."Assalamualaikum, Nak,"salam Bu Nurma. Gayatri tercengang saat melihat Bu Nur
"Anakku, kelak jadilah wanita dengan hati yang tangguh!Jadilah wanita kuat dan jangan mudah menangis!Hiduplah sebagai wanita cerdas, Nak!Jangan sampai kamu terbujuk rayuan lelaki bermulut manis!Sesungguhnya, lelaki yang baik akan membawamu dengan cara yang baik.""Iya, Bu, Gayatri akan ingat semua pesan Ibu. Gayatri akan menjadi wanita salihah agar bisa membawa Ibu dan Bapak ke surga-Nya."*****Hiruk-pikuk kendaraan dan keramaian orang berlalu-lalang membuat aku ingin segera sampai di rumah. Sungguh, aku tak menyukai suasana di kota ini. Polusi di mana-mana membuat kepalaku berdenyut, berbeda dengan desaku dulu. Di mana pepohonan saling melambai-lambai, air sungai bersih mengalir bersama ikan-ikan yang berenang berbaris.Namun, sekarang,di sinilah aku. Di kota metropolitan, di mana tempat gedung-g
Jarum jam bertengger di angka delapan. Langit pekat yang dihiasi bulan purnama tak menyurutkan niatku malam ini. Ya ... malam ini adalah waktu si kupu-kupu malam untuk terbang mencari nafkah.Aku berdiri di depan cermin, melihat pantulan bayangandiri. Cantik,tetapimenjijikkan. Itulah kata yang biasa kusematkan untuk diri ini.Aku memakaidressmini berwarna merah tanpa lengan dan panjang di atas lutut, kontras dengan warna kulitku yang putih bersih. Ditambahmake uptipis dan rambut hitam panjang yang tergerai indah. Siapapun yang melihat, tak bisa menolak untuk memuji.Aku berjalan ke luar rumah bak seorang model. Berlenggak-lenggok dengan dada membusung disertai rambut panjang yang melambai ke kanan dan ke kiri. Di depan rumah, tampak sebuah mobil berwarna hitam sedang menungguku.
Kebahagiaan dunia yang didapat dengan cara yang salah, suatu saat akan berbalik menjadi keburukan. Gunakanlah waktu mudamu sebaik mungkin. Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi di masa yang akan datang.***"Sarah," lirihku ketika mendapati luka lebam hampir di sekujur tubuhnya."Gayatri, gue—.""Sudah, jangan bicara dulu. Ayo, masuk!" ajakku seraya memapahnya. Hatiku serasa ikut merasakan sakit yang tengah ia rasakan."Sarah, gue obatin dulu, ya,luka lo. Lo jangan ke mana-mana!" titahku kepada Sarah yang kini duduk di pinggir ranjangnya.Aku melangkah menuju dapur. Merebus air dan mencampurnya dengan air dingin agar menjadi hangat untuk kugunakan mengompres lukanya. Apa yang sebenarnya terjadi pada Sarah? Siapa yang melakukannya?