"Anakku, kelak jadilah wanita dengan hati yang tangguh! Jadilah wanita kuat dan jangan mudah menangis! Hiduplah sebagai wanita cerdas, Nak! Jangan sampai kamu terbujuk rayuan lelaki bermulut manis! Sesungguhnya, lelaki yang baik akan membawamu dengan cara yang baik."
"Iya, Bu, Gayatri akan ingat semua pesan Ibu. Gayatri akan menjadi wanita salihah agar bisa membawa Ibu dan Bapak ke surga-Nya."
*****
Hiruk-pikuk kendaraan dan keramaian orang berlalu-lalang membuat aku ingin segera sampai di rumah. Sungguh, aku tak menyukai suasana di kota ini. Polusi di mana-mana membuat kepalaku berdenyut, berbeda dengan desaku dulu. Di mana pepohonan saling melambai-lambai, air sungai bersih mengalir bersama ikan-ikan yang berenang berbaris.
Namun, sekarang, di sinilah aku. Di kota metropolitan, di mana tempat gedung-gedung berjejer menjuntai tinggi ke langit. Jalanan penuh sesak, tak ada pepohonan hijau sejauh mata memandang. Andai saja aku bisa mempunyai pintu ke mana saja milik Doraemon, mungkin aku akan segera tiba di rumah lewat pintu itu.
"Eh, Gayatri! Lo ngelamun? Tuh, lampunya udah hijau tau! Cepetan jalan, gue pusing banget!" celetuk Sarah seraya menepuk pundakku.
"Iya, dasar bawel!" Aku tersadar dari lamunan. Aku terlalu memikirkan masa lalu sehingga tidak fokus.
"Eh, Gayatri! Elo tau, gak? Nanti malem, gue diboking sama Om Ganis si pengusaha restoran tajir," ucap Sarah dengan mata berbinar.
Sarah adalah sahabatku satu-satunya di kota ini. Ia sangat cantik, putih, dan wajahnya mirip orang keturunan Pakistan, tentunya pekerjaannya satu profesi denganku. Gayatri, itulah nama yang diberikan orang tuaku. Berharap anak perempuan satu-satunya yang mereka miliki kelak menjadi orang yang cerdas. Bisa membedakan hal yang buruk dan baik. Namun, harapan yang manis kini telah menjelma menjadi kenyataan yang pahit.
Ibu, aku rindu.
Hatiku perih bagai tersayat pisau yang tajam, tetapi tak terlihat. Aku sangat merindukan Ibu. Ingin kuulangi masa-masa bersama Ibu dulu. Hidup sederhana di rumah bambu, berkerja di sawah di bawah terik sinar mentari. Ah, memikirkannya saja membuat hatiku perih.
"Ibu, maafkan aku." Aku berucap lirih agar Sarah tak mendengar.
"Elo, kenapa, sih, ngelamun aja dari tadi, Tri? Gue ajak ngomong diem aja!" protes Sarah yang sedari tadi mengajakku ngobrol, tetapi tak kurespon
"Gak papa, Sar. Aku mungkin cuma lelah aja nyetir di tengah kemacetan seperti ini," sanggahku tak sepenuhnya bohong, karena rasanya tubuhku memang sangat lelah.
"Jadi lo berhasil tuh dapetin target yang dari dulu lo cari? Waahh ... mimpi apa dia semalem, mau-maunya sama Elo?" Aku mencibik.
"Ih, kok lo ngeledek sih, Tri? Jelas banget kalo Om Ganis udah mulai suka sama gue." Aku hanya geleng-geleng kepala mendengar jawaban Sarah dengan nada cewek centil sambil mengibaskan rambut panjangnya.
"Entahlah Sar, sebenarnya—."
Kutarik napas dalam-dalam dan merauk udara sebanyak mungkin.
"Aku ingin berhenti dari pekerjaan kotor ini. Aku sudah sangat lelah. Kamu bisa lihat sendiri, ‘kan. Hidupku hancur, kini semakin lama aku semakin menjijikkan berprofesi sebagai wanita hina. Aku selalu merasa diri ini sungguh kotor dan rendah."
Air mataku menetes dengan sendirinya. Begitu pun Sarah, terlihat raut keterkejutan dari wajahnya. Namun, tak menampik di raut keterkejutannya ada rasa iba di sana.
Sarah tahu bagaimana kehidupan masa laluku. Ia tahu kehidupan normal yang dulu kujalani hingga akhirnya bermetamorfosa menjadi kupu-kupu malam. Ia pun turut andil dalam mengubahku menjadi seperti ini.
"Jangan sedih, Gayatri, elo gak sendirian di sini. Gue selalu ada buat lo, kok. Lo bukan wanita hina, Tri. Gue tau elo nglakuin ini bukan atas kemauan dari hati nurani lo sendiri. Kan, ada gue," ucap Sarah sembari memelukku. Seolah-olah memberikan kekuatan untuk batinku.
"Aku lelah, Sarah."
***
Perjalanan yang cukup melelahkan untuk bisa sampai di rumah. Aku mengempaskan tubuh ini ke ranjang yang begitu empuk. Tak ada rasa nyaman di ranjang ini, kecuali rasa jijik teramat dalam. Ranjang ini ialah saksi bisu pergumulan hebatku berkali-kali dengan banyak pria yang berbeda-beda.
Aku tersenyum getir dan senyuman itu lambat laun menjadi tawa. Kutertawakan diri ini yang tak bisa menjaga kehormatan dan amanah orangtua. Siapa kelak yang mau menerimaku?
"Ibu, maafin Gayatri, Bu. Gayatri gak bisa jadi wanita tangguh. Gayatri gak bisa jika gak menangis. Gayatri hanya bisa jadi orang bodoh." Tangisku pecah kembali.
"Sungguh aku menyayangimu, Bu. Aku tak bermaksud untuk membuatmu kecewa. Bolehkah aku menemuimu, Bu? Bolehkah aku mencium kakimu? Apakah aku masih pantas menerima maafmu?"
Kupeluk foto Ibu yang selalu kubawa di dalam dompet. Dialah penyemangat hidupku. Walau tak ada raga, biarlah gambar yang menjadi walinya.
Kulirik benda pipih yang bergetar di sebelah tubuhku. Tertera nama Om Darwin, aku tahu apa maksud pesan darinya.
[Hai, Cantik! Bisakah malam ini, kamu nemenin Om Darwin di hotel, Sayang?]
[Baiklah]
[Oh, sungguh? Baiklah nanti jam 20.00 biar sopir Om jemput kamu. Dandan yang cantik ya, Sayang. Muach]
Tak kubalas lagi pesan darinya. Sungguh menjijikkan. Akulah sang kupu-kupu malam. Banyak pria yang menginginkanku, tetapi bukan untuk menikahi, melainkan untuk membeli. Akankah kelak aku bisa merasakan kehidupan normal sebagai seorang istri dan seorang ibu?
Ah, Entahlah! Memikirkannya saja aku tak sanggup. Bagaimana mungkin ada pria yang mau menikahi wanita yang sudah berulang kali dijamah oleh banyak lelaki? Hanya pria yang tidak waras yang melakukannya.
Ya ... begitulah menurutku. Jika ada wanita yang masih suci mengapa harus memilih seorang pelacur? Namun, aku sendiri juga menginginkan lelaki yang baik. Apakah aku salah?
Tok-tok-tok!
"Tri, Lo udah tidur belum?"
Suara Sarah membuyarkan seluruh halusinasiku. Segera kuseka air mata yang membanjiri pipi, lalu segera menghambur ke pintu. Terlihat Sarah sedang berdiri dengan tatapan iba saat pintu terbuka.
"Ada apa, Sar?" tanyaku.
"Lo gak mau nyoba bunuh diri, ‘kan?" Sarah bertanya dengan menunjuk-nunjuk wajahku.
"Lo, tuh apaan, sih, Sar. Gue gak ada alasan buat ngelakuin hal sebodoh itu!" Aku menjawab seraya berjalan ke arah ranjang dan ia pun mengikuti.
"Gue cuma khawatir sama lo, Tri. Gue takut lo ngelakuin hal aneh-aneh. Kan, selama ini gue juga turut andil dalam kehidupan lo yang sekarang," terangnya.
"Gue masih punya iman. Lagi pula, ini semua juga atas kemauan gue. Lo gak usah sok nyesel gitu, kale," sahutku dengan bercanda.
"Lo, tuh gak bisa dikhawatirin, Tri," celetuknya.
"Eh, besok gue ada kerjaan, Sar. Jadi, bukan cuma lo doang," paparku.
"Sama siapa?" selidik Sarah.
"Om Darwin."
"What? Om Darwin!" teriak Sarah, terkejut.
"Ya, tapi gak usah heboh gitu kali, Sar," tuturku.
"Oh, my God! Dia, kan, orang kaya raya tujuh turunan yang gak bakal habis hartanya, Tri," celetuknya.
"Lo, tuh apaan, sih. Udah keluar sana! Gue mau tidur," usirku.
Aku risi mendengar Sarah membangga-banggakan Om Darwin. Entah mengapa, aku tidak suka mendengarnya. Rasanya sangat menyebalkan bagiku.
"Huh dasar!" tukas Sarah seraya melempar bantal ke arahku, lantas berlalu pergi.
Aku mengembuskan napas kasar. Entah sampai kapan aku harus menjalani kehidupan ini?
Jarum jam bertengger di angka delapan. Langit pekat yang dihiasi bulan purnama tak menyurutkan niatku malam ini. Ya ... malam ini adalah waktu si kupu-kupu malam untuk terbang mencari nafkah.Aku berdiri di depan cermin, melihat pantulan bayangandiri. Cantik,tetapimenjijikkan. Itulah kata yang biasa kusematkan untuk diri ini.Aku memakaidressmini berwarna merah tanpa lengan dan panjang di atas lutut, kontras dengan warna kulitku yang putih bersih. Ditambahmake uptipis dan rambut hitam panjang yang tergerai indah. Siapapun yang melihat, tak bisa menolak untuk memuji.Aku berjalan ke luar rumah bak seorang model. Berlenggak-lenggok dengan dada membusung disertai rambut panjang yang melambai ke kanan dan ke kiri. Di depan rumah, tampak sebuah mobil berwarna hitam sedang menungguku.
Kebahagiaan dunia yang didapat dengan cara yang salah, suatu saat akan berbalik menjadi keburukan. Gunakanlah waktu mudamu sebaik mungkin. Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi di masa yang akan datang.***"Sarah," lirihku ketika mendapati luka lebam hampir di sekujur tubuhnya."Gayatri, gue—.""Sudah, jangan bicara dulu. Ayo, masuk!" ajakku seraya memapahnya. Hatiku serasa ikut merasakan sakit yang tengah ia rasakan."Sarah, gue obatin dulu, ya,luka lo. Lo jangan ke mana-mana!" titahku kepada Sarah yang kini duduk di pinggir ranjangnya.Aku melangkah menuju dapur. Merebus air dan mencampurnya dengan air dingin agar menjadi hangat untuk kugunakan mengompres lukanya. Apa yang sebenarnya terjadi pada Sarah? Siapa yang melakukannya?
Pagi hari, udara di desa Sumberejo begitu menusuk kulit hingga ke tulang. Dingin. Sumber air di seluruh desa terasa seperti air es. Bagaimana tidak?Letak desa Sumberejo berada diKakiPegununganSemeru.Itulah alasan yang mungkin, membuat Gayatri malas untuk bangun pagi. Keluar dari balik selimut bagai berada di kutub utara dan menyentuh air biasa bagaikan menyentuh salju yang sangat dingin."Gayatri, ayo, bangun! Pamali anak gadis bangun setelah matahari terbit!" teriak seorang wanita paruh baya yang sedang berkutat di dapur.Ibu Hartini atau biasa dipanggil Bu Tini,iaadalah Ibu kandung Gayatri. Ia membesarkan anaknya seorang diri. Semenjak suaminya pergi saat Gayatri masih kecil, ia tetap pada pendiriannya. Tak akan menikah lagi demi menghindari sesuatu yang tak ia inginkan."Gayatri ... anak
Menjelang malam hari, bada salat Magrib. Gayatri selalu berbaring di pangkuan ibunya. Bermanja dengan seorang ibu adalah hal paling menyenangkan untuk seorang anak. Ditemani oleh irama jangkrik yang saling bersahutan di samping rumah, membuat suasana semakin syahdu."Ibu?""Aku sayang Ibu," ucap Gayatri yang merasa nyaman saat Bu Tini mengusap-usap kepalanya."Oh, ya? Jika sekarang kamu bilang sayang sama ibu, apa nanti jika kenal sama cowok akan tetap sama?" ujar Bu Tini yang seketika membuat Gayatri mendongak menatap ibunya."Ibu, kok,ngomongnya gitu, sih?" ucap Gayatri yang merasa tak terima."Ibu, aku sayangnya sama Ibu. Nggak adalah cowok-cowokan," jawab Gayatri.Bu Tini tertawa. Guratan keriput di wajah Bu Tini tak menampik kecantikan ya
Gayatri berjalan menuju sawah seperti biasanya dengan menenteng rantang berisi nasi beserta sayur asem dan tempe goreng. Hari ini,Gayatri memasak sendiri. Hitung-hitung agar ia bisa luwes dalam urusan dapur.Di perempatan jalan, Gayatri diadang oleh empat pria. Mereka mengelilinginya sembari tertawa. "Minggir!" seru Gayatri sembari memeluk rantang dengan tubuh yang sedikit bergetar."Mauabang anter, Neng?" tawar seorang pria yang terlihat lebih tua dari yang lainnya."Aku bisa pergi sendiri, minggir!" teriak Gayatri."Cantik-cantik, kok, galak amat?" Seorang pemuda yang terlihat seusia Gayatri."Mbak Gayatri, pacaran sama aku, yuk?" Kini pria berpawakan tinggi tegap menimpali."Udah, jangan digodain terus. Kasih
Suasana berubah tegang. Cepat sekali Bu Tini bertindak. Padahal, Gayatri hanya beberapa kali bertemu dan berjalan bersama Galang. Namun, respon ibunya sangat tidak terduga.Gayatri berjalan sambil membawa teko berisi teh hangat dan tiga gelas yang tertata rapi di nampan. Ia melirik sekilas ke arah Galang yang terlihat terkejut dengan ucapan ibunya."Ibu, kenapa ibu mengatakan hal seperti itu? Gayatri dan Galang tidak ada hubungan apa pun." Gayatri menjelaskan kepada ibunya lantas mengambil posisi duduk di sebelah Bu Tini."Ibu hanya ingin menjaga dirimu dari fitnah, Nak. Lagi pula,tak pantas jika seorang wanita dan pria yang bukan mahram berjalan bersama. Ibu juga takut jika suatu saat kalian semakin dekat dan akhirnya terjerumus ke jurang zina," jelas Bu Tini.Gayatri mendesah kasar. Jika dipikir, memang benar perkataan yang dilontarkan ibunya. Namun, ia sama sekali tak berpi
"Gayatri, ayo, bangun! Gayatri merasa tubuhnya bergoyang. Sepeninggal Galang semalam, ia merasa sulit untuk bangun. Mungkin, karena Gayatri baru bisa tidur menjelang Subuh."Gayatri!" Suara Bu Tini kali ini terdengar lebih keras hingga mau tak mau Gayatri harus bangun."Gayatri, kok, kamu sekarang malah jadi males bangun pagi?" tanya Bu Tini. Gayatri yang masih belum sepenuhnya sadar hanya mendengarkan saja karena kepalanya terasa sangat berat."Cepetan pergi ke kamar mandi! Mandi, wudu terus salat. Sebelum waktunya habis," perintah Bu Tini."Iya, Bu." jawab Gayatri pasrah. Ia berjalan gontai ke kamar mandi dengan mata setengah terbuka.***Kepulan asap di dapur menyeruak memedihkan mata Gayatri yang tengah berjalan menuju dapur. Ternyata, kepulan asap tersebut berasal dari kayu bakar yang tengah di kipasi oleh Bu T
Langit begitu pekat. Cahaya rembulan pun tidak secerah kemarin. Gayatri yang tengah duduk di tepi jendela kamar tengah mengamati beberapa bintang di langit yang pekat. Seulas senyum tersungging kala Gayatri melihat ada dua bintang yang berjejer. Khayalannya mulai bereaksi, seakan-akan dua bintang itu adalah Galang dan dirinya."Galang, apa kau merindukanku?" Gayatri berbicara sendiri.Embusan angin menerpa wajah dan rambut Gayatri. Suara jangkrik dan katak pun turut bersenandung di gelapnya malam. Hawa dingin terasa semakin menusuk kulit, apalagi Gayatri tidak memakai jaket saat ini.Ia memutuskan menutup jendela. Namun, saat jendela akan tertutup, Gayatri mendengar suara langkah kaki menuju ke arahnya. Apakah itu Galang? pikir Gayatri."Hai?" sapa seorang pria dengan senyum merekah. Pria dengan wajah tampan di hadapannya mampu dengan mudah membiusnya."Galang?" Raut wajah Gayatri memancarkan kebahagian yang begitu kentara."Kenapa? Lagi nun