Suara azan berkumandang, membangunkan Gayatri dari mimpi indahnya. Ia mengerjap-kerjapkan mata untuk mengusir rasa kantuk yang masih terasa. Diliriknya ponsel yang berada di sebelah bantalnya, ada tiga pesan masuk dari Galang.
Namun, Gayatri mengurungkan niat untuk membuka pesan tersebut karena ia tahu, ibunya pasti sedang menunggunya. Gayatri sudah tahu jika ibunya pasti sudah tahu tentang apa pun yang selama ini ia tutupi.
"Gayatri, kamu mau mandi air hangat?" tawar Bu Tini saat Gayatri melewati dapur.
Gayatri menggeleng. "Gayatri mau mandi air dingin biar seger, Bu," sahut Gayatri.
Selesai salat Subuh, Gayatri membantu ibunya yang tengah bergelut di dapur. Namun, tidak seperti biasanya. Ibu Tini lebih banyak diam kali ini, membuat Gayatri merasa tidak nyaman.
"Bu?"
"Iya!" sahut Bu Tini singkat tanpa menoleh.
"Ibu marah sama Gayatri?"
Te
"I—ibu ...." Gayatri terkunci. Ia tidak dapat berkata apa pun. Hanya tangisan yang menjadi ungkapan hatinya saat ini."Pergi! Pergi kamu dari sini!" jerit Bu Tini sembari menunjuk-nunjuk tepat di wajah Galang. Kedua mata Bu Tini berkilat, menggambarkan bahwa ia benar-benar telah dikuasai amarah yang begitu besar."Bu, tolong dengarkan penjelasan saya," sela Galang.Bu Tini, yang telah dikuasai amarah tak memedulikan ucapan Galang. Ia sangat terkejut sekaligus kecewa dengan perbuatan memalukan yang dilakukan anak semata wayangnya. Sedangkan, Gayatri hanya menunduk tidak mampu menatap wajah sang ibu."Ibu tidak menyangka, jika kalian bisa bertindak sejauh ini," desis Bu Tini dengan tangan mengepal dan mata berkaca-kaca."Galang, aku sempat percaya padamu, tapi nyatanya kamu telah merobek kep
Semua orang yang berada di ruangan sontak terkejut mendengar ucapan Bu Tini. Pasalnya, Bu Tini terkenal sebagaiibu yang sangat menyayangi anaknya dan tidak bisa jauh dari putri semata wayangnya—Gayatri. Namun, kini ucapan Bu Tini, cukup melukiskan betapa kecewa hatinya."Sabar, Bu. Semua bisa dibicarakan baik-baik. Jangan terlalu cepat mengambil keputusan untuk emosi sesaat," sela Haji Yusuf.Gayatri yang mendengar ucapan sangibu, kini tidak lagi bersimpuh, melainkan bersujud di kaki ibunya. Gayatri meraung-raung mengucapkan maaf berkali-kali, tetapi ibunya hanya bergeming. Bu Tini tidak berniat sekali pun menoleh ke arah Gayatri."Nak, sudah jangan begitu. Bangunlah!" Haji Yusuf mencoba membantu Gayatri bangun."Bu Tini, tolong maafkanlah dia. Kita akan membantu menemui keluarga Galang," timpal Pak Budi yang
Semburat jingga menyapa dari arah barat. Semilir angin menerpa dedaunan pohon, hingga mengakibatkannya berjatuhan. Air mata yang telah berhenti, kini mulai berderai lagi. Gayatri merasa bagaikan dedaunan itu, yang terhempas terkena angin. Terbuang dari tempatnya dan terinjak-injak.Gayatri berjalan tanpa arah menuruti kemana pun kakinya melangkah. Siapa pun yang melihat, pasti mengira bahwa ia adalah orang depresi. Terlihat dari penampilan yang kacau dan tas lusuh yang ia bawa.Gayatri menaiki bus yang menuju ke kota dengan niat meninggalkan kehidupan dan semua kenangan masa kecilnya di desa. Dengan uang yang tidak seberapa, Gayatri berharap di kota nanti akan mendapat pekerjaan yang bagus.***Hari telah berganti. Gayatri merasa takjub dengan gedung-gedung yang menjulang tinggi saling berjejer. Kendaraan berupa mobil dan
Tak terasa, air mata Gayatri kembali luruh saat pikirannya kembali bernostalgia ke masa lalu. Tentang ibunya, Galang, dan dirinya. Seandainya, dulu Gayatri memilih mendengarkan nasihat ibunya, mungkin semua tidak akan seperti ini. Namun, sebuah penyesalan tak dapat mengembalikan semuanya. Nasi telah menjadi bubur. Itulah peribahasa yang tepat disematkan untuk dirinya.Menyebut tentangibu, Gayatri sungguh merindukannya. Mungkin, setiap hari Bu Tini tak pernah berhenti mendoakan Gayatri. Terbukti karena Gayatri selalu dalam keadaan baik-baik saja selama di kota. Ia tak pernah merasa kekurangan. Hanya satu, yaitu tidak pernah merasakan kebahagiaan.Dulu, Gayatri lega karena ternyata ia tidak mengandung benih Galang. Lalu, semenjak Sarah tahu, bahwa Gayatri telah menjadi pemuas nafsu Om Revan waktu itu, ia sama sekali tidak marah. Justru, Sarah memberi saran kepada Gayatri, bagaimana cara m
"Ya Allah, mohon sayangilah hamba-Mu ini agar dapat meninggalkan maksiat selamanya. Sayangilah hamba-Mu ini agar tidak mengerjakan yang tidak berguna. Arahkanlah mataku ini agar selalu memandang yang Engkau ridhoi. Ikatkanlah hatiku pada ayat-ayat suci Al-Quran sesuai dengan yang Engkau inginkan, agar selalu berkeinginan membacanya sesuai ridho-Mu.""Mohon sinarilah pikiran dan perasaanku ini dengan cahaya Al-Quran, agar lapang dadaku, lancar lidahku, dan berkah dariAl-Quran suci mengalir dalam darahku sehingga membina kekuatanku. Ya Allah, kumohon dengan sangat, tolonglah hamba-Mu ini, karena tiada penolong selain Engkau.""Aamiin," lirih Gayatri sembari menyeka air mata yang menetes membasahi pipinya kala mendengar lantunan doa dari ustaz di dalam masjid."Allah p
Jarum jam menunjukkan pukul dua dini hari. Gayatri beranjak dari ranjang menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan berwudu. Ia sempat lupa tata cara bersuci karena sekian lama tidak melakukannya.Berbekal buku tuntunan salat yang ia beli di toko buku sepulang dari pengajian di masjid, Gayatri belajar kembali mulai awal. Ia niatkan semua hanya kepada Allah. Gayatri benar-benar sudah lelah menjalani kehidupan sekelam itu.Dalam salat, tak terasa air mata ikut luruh saat ia melafalkan ayat-ayat suci Al-Quran. Semua dosa dan kesalahan terputar kembali dalam benaknya. Bayang-bayang ibunya selalu melintas. Pasti, Bu Tini tak pernah berhenti mendoakannya."Ya Allah, di sinilah aku. Wanita kotor yang tidak tahu malu tengah memohon ampunan-Mu.""Aku telah lama melupakan-Mu. Bagai tidak tahu diri, aku datang dan menemui-Mu di sunyi
Azan Subuh berkumandang melalui benda pipih yang tergeletak di atas nakas. Segera Gayatri turun dari ranjang menuju kamar mandi. Sayup-sayup ia mendengar rintihan wanita yang menyayat hati.Gayatri menajamkan telinga dan ternyata suara itu berasal dari kamar Sarah. Pikiran buruk terlintas dalam benaknya, tetapi segera ia menepisnya. Gayatri memutar handel pintu dengan pelan, agar tak menimbulkan suara. Seketika mata Gayatri membola saat melihat Sarah tergeletak dengan tubuh bersimbah darah."Astagfirullah ... Sarah?" Gayatri segera berlari ke arah sahabatnya."Ya Allah, kamu kenapa jadi begini, Sar?" Air mata Gayatri luruh tak terbendung kala melihat kondisi Sarah yang mengerikan. "Apa yang terjadi?""Maafkan aku ...."Hanya kata maaf yang Sarah suguhkan. Tetes air mata keluar dari sudut m
Azan Zuhur berkumandang menggema dimasjid-masjid yang mereka lewati. Haikal memutuskan untuk berhenti dan mengajakGayatri dan ibunya melaksanakan salat di masjid dan beristirahat sejenak. Gayatridan Bu Nurma pun telah terjaga saat mendengar azan yang berkumandang."Indah sekali." Gayatrimemuji bangunan masjid yang ia singgahi. Masjid yang hampir semua berwarna emasini sangat terlihat mewah. Ditambah dengan dua menara yang menjulang tinggi di sisi kanan dan kiri."Ayo, Nak!Kita masuk, salat dulu.Perjalanannya masih sangat panjang," ujar Bu Nurma. Gayatri mengangguk,lantas mengekori Bu Nurma yang lebih dulu masuk ke masjid."Ya Allah, ampunilah segaladosaku dan jagalahibu.Sehatkanlah dia selalu." Gayatri berdoa seusai salatnya.Rintihan tangisnya terdengar oleh BuNurma yang berada di dep